際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
DOWN SYNDROME DAN TERAPI GEN


1.   PENDAHULUAN

       Penyebab ini baru diketahui pada tahun 1930-an oleh Waardenberg dan
Blayer. Namun baru 30 tahun kemudian dapat dibuktikan kelebihan kromosom
21. Keadaan ini secara akademis disebut Trisomi 21.
       Nama Down Syndrome sendiri berasal dari nama seorang dokter yang
pertama kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik dan
berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah Dr. John
Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai
Monglismus, sebab memang penderitanya memiliki ciri fisik menyerupai ras
Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini diganti menjadi Down
Syndrome. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui bahwa kelainan genetika ini
dapat terjadi pada ras mana saja tanpa membedakan jenis kelamin.
       Sejak bayi baru lahir atau neonatus, Down Syndrome bisa dideteksi.
Bahkan kemajuan teknologi memungkinkan dilakukannya amniosentesis, yaitu
pengambilan cairan kandungan untuk diperiksa keadaan kromosom janin bayinya.
       Berbagai teori telah diajukan untuk menerangkan berbagai kelainan klinis
pada Down Syndrome. Antara lain adanya suatu produk yang disebut sebagai
radikal bebas yang bersifat toksik dalam jaringan.
       Dalam keadaan normal pun dalam tubuh kita selalu terbentuk radikal
bebas, tapi tubuh manusia normal dapat menetralisirnya. Pada kasus Down
Syndrome karena ada ketidak seimbangan enzim tertentu maka terjadi kelebihan
radikal bebas. Penetralannya bisa dibantu dengan pemberian anti oksidan seperti
vitamin E. Sayangnya telah terbukti bahwa pemberian anti oksidan ini tidak
terlalu membantu. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor lain yang belum kita
ketahui.
       Sampai saat ini pemicu kelainan kromosom belum bisa diungkap. Dalam
dunia kedokteran, Down Syndrome tidak bisa diobati secara causatif karena



                                        1
2



kromosom yang mengalami kelainan itu sudah menyebar ke seluruh tubuh. Yang
bisa dilakukan hanya memberi latihan dan terapi fisioterapi agar otak dan organ
tubuhnya bisa dirangsang berfungsi dengan baik.
       Sementara menurut berita dari BBC News, tanda-tanda penyembuhaan
Down Syndrome sudah mulai tampak dengan selesainya pemetaan gen kromosom
21 oleh sebuah konsorsium di Jerman dan Jepang pada Mei 2000.



2.   MENGUAK KROMOSOM 21

       Bagian kromosom 21 yang telah dianalisis komplit adalah rantai panjang
(long arm) yang memiliki sekuens DNA sepanjang 33.546.361 pasangan basa
(base pair, bp). Dengan panjang total kira-kira 33,65 juta bp maka korsumsium
tersebut telah berhasil memetakan 99,7 % dari seluruh kromosom 21. Kromosom
21 memiliki 225 gen dan 59 pseudogen. Pseudogen merupakan "gen sampah"
yang sebelumnya pernah aktif tetapi kemudian tidak aktif lagi akibat mutasi. Dari
225 gen yang berhasil dilacak, 127 persis sama dengan gen-gen yang telah dikenal
sebelumnya, sedangkan 98 sisanya merupakan gen-gen yang baru pertama kali
ditemukan. Dari ke 98 "gen baru" tersebut, 13 mirip dengan gen-gen yang pernah
diteliti, 17 merupakan gen yang memiliki kemiripan dengan sebagian wilayah
gen-gen yang telah dikenal, sedang 68 sisanya merupakan unit transkripsi yang
tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan gen-gen yang sudah dikenal.
Diantara ke 127 gen yang diketahui, 22 gen berukuran lebih dari 100 kb (1 kb
setara dengan 1000 bp), yang paling besar (gen DSCAM) berukuran 840 kb.
Ukuran rata-rata gen pada kromosom 21 sebesar 39 kb.




                                        Gambar 1. Foto Kromosom 21
                                        dengan menggunakan mikroskop
                                        electron transmisi
                                                           (Reeves, 2000)
3



       Kromosom 21 (lihat Gambar 1) merupakan autosom kedua yang telah
berhasil dipetakan melalui proyek genom manusia yang telah dimulai sejak tahun
1990. Autosom pertama yang berhasil dipetakan secara komplit adalah kromosom
22 oleh konsorsium yang dipimpin SangerCenter, Cambridge. Berkebalikan
dengan kromosom 21 yang miskin gen, kromosom 22 merupakan kromosom yang
kaya gen. Pada rantai panjang kromosom 22 yang berukuran 33,46 Mb (1Mb
setara dengan 1juta bp) telah berhasil ditemukan 545 gen. Kedua penemuan
tersebut selaras dengan hasil pemetaan 30.181 gen-gen tunggal EST (Expressed
Sequence Tags) yang dipilih secara acak. Dengan asumsi bahwa kombinasi kedua
kromosom tersebut mampu menggambarkan secara garis besar kandungan gen
dalam genom manusia, maka kelompok peneliti kromosom 21 menyimpulkan
bahwa total jumlah gen manusia kemungkinan hanya sekitar 40.000 gen.
Pendugaan tersebut jauh lebih rendah daripada pendapat yang selama ini diyakini
yaitu antara 70.000 hingga 140.000 gen. Dengan terungkapnya kedua kromosom
tersebut maka sebenarnya baru sedikit yang kita ketahui mengenai genom
manusia, karena keduanya hanya mewakili 770 gen atau kira-kira 2 % dari seluruh
gen yang kita miliki. Pengungkapan misteri kedua kromosom tersebut berhasil
meletakkan dasar kajian terhadap kromosom-kromosom lain serta mempercepat
riset sehingga diperkirakan pemetaan seluruh genom manusia akan selesai pada
tahun 2002 (dengan kualitas sebagaimana hasil pemetaan kromosom 21),
demikian Dr. Helmut Bloecker, salah satu anggota korsursium, dari GBF,
Braunshweig.
       Arsitektur kromosom merupakan faktor penting lainnya disamping jumlah
dan macam gen yang dimilikinya. Tiap kromosom memiliki fragmen berulang
(repeat unit), fragmen DNA ganda, dan breakpoints. Kromosom 21, sebagaimana
kromosom yang lain memiliki fragmen berulang berukuran 93 bp pada wilayah
telomer. Wilayah tersebut penting untuk mempelajari evolusi dan organisasi
telomer baik fungsional maupun struktural. Satu penemuan penting dalam
kromosom 21 adalah ditemukannya wilayah sepanjang 7 Mb (pada posisi antara
5,5 hingga 12,5 Mb) yang hanya memiliki 1 gen. Kromosom 21 juga memiliki
tiga wilayah yang masing-masing berukuran 1 Mb yang tidak mengandung gen
4



sama sekali. Jika wilayah-wilayah tersebut dijumlahkan maka praktis 1/3 wilayah
kromosom 21 hanya memiliki 1 gen saja. Kromosom 22 juga memiliki wilayah
berukuran 2,5 Mb yang berdekatan dengan ujung telomer, serta dua wilayah lain
yang masing-masing berukuran 1 Mb yang tidak memiliki gen sama sekali.
Diduga wilayah-wilayah miskin gen seperti itu terdapat juga di kromosom
mamalia lainnya. Wilayah tersebut memiliki arti baik fungsional maupun
arsitektural yang hingga saat ini belum diketahui.


2.1 Kromosom 21 dan Penyakit Genetik
    a. Penyakit Monogenik
        Jika salah satu dari 14 gen berikut yang terdapat dalam kromosom 21
        mengalami mutasi maka akan menyebabkan munculnya penyakit-
        penyakit monogenik di antaranya salah satu bentuk Alzheimer (mutasi
        pada gen APP), Amyotropic Lateral Sclerosis (SOD1), penyakit
        Autoimmune     Polyglanduar     (AIRE),      Homocystinuria   (CBS),    dan
        Progressive Myoclonus Epilepsy (CSTB). Gen AML1 pada kromosom 21
        merupakan penyebab munculnya leukaemia. Sedangkan beberapa gen
        penyebab penyakit monogenik diantaranya Recessive Nonsyndromic
        Deafness (DFNB10 dan DFNB8), sindroma Usher tipe 1E, Sindroma
        Knobloch dan Holoprocencephaly tipe 1 (HPE1) belum berhasil
        didapatkan klonnya.
    b. Neoplasia
        Hilangnya heterosigositas pada beberapa wilayah dalam kromosom 21
        diketahui menyebabkan berbagai jenis tumor diantaranya kanker leher
        dan kepala, payudara, pankreas, mulut, usus, oesophagus dan kanker
        paru-paru. Ketiadaan heterosigositas pada penderita kanker tersebut
        mengindikasikan kemungkinan kromosom 21 memiliki paling tidak satu
        gen penghambat tumor (Tumour Suppressor Gene).
    c. Abnormalitas Kromosom
        Kromosom 21 merupakan agen yang menyebabkan penyimpangan
        kromosomal      meliputi    monosomi,        translokasi   kromosom    serta
5



  rearrangement lainnya. Melalui proyek genom manusia, gen-gen klon
  yang telah dipetakan dan disekuens sekarang tersedia sehingga diagnosis
  dan karakterisasi   molekuler    yang akurat    terhadap   abnormalitas
  kromosomal dapat dilakukan. Hal ini akan membantu dalam identifikasi
  gen-gen yang terlibat dalam mekanisme perkembangan penyakit.
d. Down-Syndrom
  Implikasi medis terbesar yang terkait dengan kromosom 21 adalah
  sindroma Down. Sindroma Down diderita paling sedikit 300 ribu anak di
  seluruh Indonesia dan 8 juta manusia diseluruh dunia. Satu dari 700 anak
  yang dilahirkan memiliki kemungkinan menderita sindroma Down.
  Sebagaimana yang telah banyak diketahui sindroma Down bukan
  merupakan penyakit     genetik   yang diturunkan tetapi disebabkan
  kromosom 21 memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom
  normal yang hanya memiliki 2 kembaran (Gambar 2). Kesalahan
  penggandaan tersebut berkorelasi erat dengan umur wanita saat
  mengandung. Semakin tua maka semakin besar kemungkinan untuk
  mendapatkan anak      yang   menderita sindroma Down.        Kesalahan
  penggandaan tersebut menyebabkan munculnya kelambatan mental
  (Mental Retardation) yang merupakan ciri utama penderita sindroma
  Down. Selain itu penderita seringkali harus menderita juga penyakit
  jantung bawaan, perkembangan tubuh yang abnormal, dysmorphic,
  Alzheimer semasa muda, leukemia tertentu (childhood leukaemia),
  defisiensi sistem pertahanan tubuh, serta berbagai problem kesehatan
  lainnya.
6




  Gambar 2. Triplikasi Kromosom 21 yang menyebabkan sindroma Down
                                                          (Reeves, 2000)

       Data yang diperoleh dari penelitian yang menggunakan tikus transgenik
memperlihatkan bahwa hanya beberapa gen dalam kromosom 21 yang diduga
menyebabkan munculnya fenotipik sindroma Down. Para peneliti hingga saat ini
masih mengalami kesulitan untuk menentukan gen-gen apa saja yang merupakan
kandidat munculnya fenotipik sindroma Down pada manusia. Meskipun demikian
diketahui beberapa produk gen tertentu lebih sentitif dibanding produk gen
lainnya jika terjadi ketidakimbangan gen di dalam sel. Produk-produk tersebut
diantaranya morfogen, molekul adhesi sel, komponen protein multi-subunit, ligan
dan reseptornya, regulator transkripsi dan transporter. Identifikasi gen penyebab
munculnya fenotipik sindroma Down akan semakin terbuka di masa yang akan
7



datang dengan semakin lengkapnya katalog gen yang didapatkan dari proyek
genom manusia. Selain berakibat negatif, peningkatan dosis gen pada penderita
sindroma Down ternyata juga menimbulkan efek positif. Kemungkinan penderita
mendapatkan berbagai jenis tumor (Solid Tumours) jauh lebih rendah dibanding
individu normal. Peningkatan jumlah beberapa gen di kromosom 21 diduga
merupakan penyebab terlindunginya individu penderita sindroma Down dari
tumor-tumor tersebut.
       Jumlah gen yang relatif rendah pada kromosom 21 konsisten dengan
pengamatan bahwa trisomi 21 merupakan satu-satunya kesalahan penggandaan
kromosom yang tidak menyebabkan kematian. Katalog gen kromosom 21
membuka kesempatan emas untuk memecahkan dasar-dasar molekuler sindroma
Down serta kemungkinan untuk menyembuhkan penyakit tersebut.



3.   TERAPI GEN : HARAPAN UNTUK MENYEMBUHKAN SINDROMA
     DOWN

       Terapi sindroma Down hingga saat ini hanya dilakukan terhadap gejala
yang telah muncul. Terapi konvensional semacam itu tidak akan pernah mengatasi
penderitaan pasien sindroma Down secara tuntas. Ketidakimbangan gen dan
ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21 akan terus berlangsung sepanjang
hidup pasien. Ketidakimbangan tersebut akan menyebabkan kekacauan fungsi
produk-produk gen yang sensitif yang kemudian muncul dalam ujud fenotipik
khas sindroma Down. Jika demikian sudah hilangkah harapan penderita untuk
hidup dengan normal sebagaimana anggota masyarakat lainnya? Jika jawabannya
tidak, adakah alternatif lain terapi untuk sindroma Down?
       Harapan ditaruh ke teknologi terbaru yang dikenal dengan terapi gen.
Terapi gen merupakan pengobatan atau pencegahan penyakit melalui transfer
bahan genetik ke tubuh pasien. Dengan demikian melalui terapi gen bukan gejala
yang diobati tetapi penyebab munculnya gejala penyakit tersebut. Studi klinis
terapi gen pertama kali dilakukan pada tahun 1990. Kontroversi terhadap terapi
gen menjadi mengemuka ketika terjadi peristiwa kematian pasien setelah
8



menjalani terapi gen pada bulan September 1999 di University of Pennsylvania,
AS.
       Terlepas dari kegagalan tersebut, terapi gen merupakan sistem terapi baru
yang menjanjikan banyak harapan. Beberapa pelajaran dan kegagalan-kegagalan
yang diperoleh selama dekade pertama serta pesatnya perkembangan bidang
tersebut saat ini membuka kemungkinan teknologi tersebut akan merevolusi dunia
kedokteran di dekade mendatang. Seluruh uji klinis transfer gen hanya dilakukan
terhadap sel-sel somatik bukan ke sperma atau ovum yang jika dilakukan pasti
akan menimbulkan kecaman dan pelanggaran etika yang dianut saat ini. Transfer
gen ke sel somatik dapat dilakukan melalui dua metode yaitu ex vivo atau in vitro.
Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari tubuh pasien, direkayasa secara
genetik dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Keunggulan metode ini adalah
transfer gen menjadi lebih efisien dan sel terekayasa mampu membelah dengan
baik dan menghasilkan produk sasaran. Kelemahannya, yaitu memunculkan
immunogenisitas sel pada pasien-pasien yang peka, biaya lebih mahal dan sel
terekayasa sulit dikontrol.
       Seluruh uji klinis terapi gen saat ini menggunakan teknik in vivo, yaitu
transfer langsung gen target ke tubuh pasien dengan menggunakan pengemban
(vektor). Pengemban yang paling sering dipakai untuk mengantarkan gen asing ke
tubuh pasien adalah Adenovirus. Selain itu dikembangkan juga pengemban-
pengemban lain yaitu Retrovirus, Lentivirus, Adeno-associated virus, DNA
telanjang (naked DNA), lipida kationik dan partikel DNA terkondensasi. Uji-uji
klinis terapi gen yang saat ini sedang berjalan dilakukan terhadap penderita
kanker, penyakit monogenik turunan, penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular,
arthritis reumatoid, serta Cubital Tunnel Syndrome.
       Apakah sindroma Down dapat diobati melalui terapi gen? Penulis optimis
pada beberapa tahun mendatang terapi gen dapat dilakukan juga terhadap
penderita sindroma Down, paling tidak pada tahapan uji klinis. Sebagaimana telah
diuraikan di depan, sindroma Down disebabkan ketidakimbangan gen akibat
kesalahan penggandaan pada kromosom 21. Kajian sangat intensif saat ini sedang
dikerjakan di banyak lembaga riset terkemuka di dunia. Dalam beberapa tahun
9



mendatang diharapkan dasar molekuler sindroma Down akan tersingkap. Dengan
tersingkapnya hal itu maka pendekatan terapi gen untuk mengatasi penyakit
tersebut dapat dikembangkan, misalnya dengan mengubah gen-gen yang
ekspresinya menyebabkan kerusakan, atau membuat gen-gen tertentu lebih
resisten terhadap ketidakimbangan gen yang terdapat dalam sel (Gambar 3).
       Dengan berhasil dipetakannya kromosom 21 maka harapan kesana
semakin terbuka lebar. Semoga saja impian tersebut dapat segera terwujud yang
akan menjadi hadiah terbesar bagi penderita sindroma Down dan keluarga terkait.
Sungguh kita berharap itu semua akan terjadi.




                  Gambar 3. Teknologi untuk mengubah
                  gen-gen yang rusak
DAFTAR PUSTAKA


Santosa, D.A.; 2000; Misteri Kromosom 21 Terungkap; Media Indonesia; 29
      Juni:22.

Smaglik, P.; 2000; Gene Therapy Institute Denies That Errors Led To Trial
      Death; Nature 403:820.

Smaglik, P.; 2000; NIH Tightens Up Monitoring Of Gene-Therapy Mishaps;
      Nature 404:5.




                                   10

More Related Content

sindrom down

  • 1. DOWN SYNDROME DAN TERAPI GEN 1. PENDAHULUAN Penyebab ini baru diketahui pada tahun 1930-an oleh Waardenberg dan Blayer. Namun baru 30 tahun kemudian dapat dibuktikan kelebihan kromosom 21. Keadaan ini secara akademis disebut Trisomi 21. Nama Down Syndrome sendiri berasal dari nama seorang dokter yang pertama kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik dan berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah Dr. John Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai Monglismus, sebab memang penderitanya memiliki ciri fisik menyerupai ras Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini diganti menjadi Down Syndrome. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui bahwa kelainan genetika ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa membedakan jenis kelamin. Sejak bayi baru lahir atau neonatus, Down Syndrome bisa dideteksi. Bahkan kemajuan teknologi memungkinkan dilakukannya amniosentesis, yaitu pengambilan cairan kandungan untuk diperiksa keadaan kromosom janin bayinya. Berbagai teori telah diajukan untuk menerangkan berbagai kelainan klinis pada Down Syndrome. Antara lain adanya suatu produk yang disebut sebagai radikal bebas yang bersifat toksik dalam jaringan. Dalam keadaan normal pun dalam tubuh kita selalu terbentuk radikal bebas, tapi tubuh manusia normal dapat menetralisirnya. Pada kasus Down Syndrome karena ada ketidak seimbangan enzim tertentu maka terjadi kelebihan radikal bebas. Penetralannya bisa dibantu dengan pemberian anti oksidan seperti vitamin E. Sayangnya telah terbukti bahwa pemberian anti oksidan ini tidak terlalu membantu. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor lain yang belum kita ketahui. Sampai saat ini pemicu kelainan kromosom belum bisa diungkap. Dalam dunia kedokteran, Down Syndrome tidak bisa diobati secara causatif karena 1
  • 2. 2 kromosom yang mengalami kelainan itu sudah menyebar ke seluruh tubuh. Yang bisa dilakukan hanya memberi latihan dan terapi fisioterapi agar otak dan organ tubuhnya bisa dirangsang berfungsi dengan baik. Sementara menurut berita dari BBC News, tanda-tanda penyembuhaan Down Syndrome sudah mulai tampak dengan selesainya pemetaan gen kromosom 21 oleh sebuah konsorsium di Jerman dan Jepang pada Mei 2000. 2. MENGUAK KROMOSOM 21 Bagian kromosom 21 yang telah dianalisis komplit adalah rantai panjang (long arm) yang memiliki sekuens DNA sepanjang 33.546.361 pasangan basa (base pair, bp). Dengan panjang total kira-kira 33,65 juta bp maka korsumsium tersebut telah berhasil memetakan 99,7 % dari seluruh kromosom 21. Kromosom 21 memiliki 225 gen dan 59 pseudogen. Pseudogen merupakan "gen sampah" yang sebelumnya pernah aktif tetapi kemudian tidak aktif lagi akibat mutasi. Dari 225 gen yang berhasil dilacak, 127 persis sama dengan gen-gen yang telah dikenal sebelumnya, sedangkan 98 sisanya merupakan gen-gen yang baru pertama kali ditemukan. Dari ke 98 "gen baru" tersebut, 13 mirip dengan gen-gen yang pernah diteliti, 17 merupakan gen yang memiliki kemiripan dengan sebagian wilayah gen-gen yang telah dikenal, sedang 68 sisanya merupakan unit transkripsi yang tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan gen-gen yang sudah dikenal. Diantara ke 127 gen yang diketahui, 22 gen berukuran lebih dari 100 kb (1 kb setara dengan 1000 bp), yang paling besar (gen DSCAM) berukuran 840 kb. Ukuran rata-rata gen pada kromosom 21 sebesar 39 kb. Gambar 1. Foto Kromosom 21 dengan menggunakan mikroskop electron transmisi (Reeves, 2000)
  • 3. 3 Kromosom 21 (lihat Gambar 1) merupakan autosom kedua yang telah berhasil dipetakan melalui proyek genom manusia yang telah dimulai sejak tahun 1990. Autosom pertama yang berhasil dipetakan secara komplit adalah kromosom 22 oleh konsorsium yang dipimpin SangerCenter, Cambridge. Berkebalikan dengan kromosom 21 yang miskin gen, kromosom 22 merupakan kromosom yang kaya gen. Pada rantai panjang kromosom 22 yang berukuran 33,46 Mb (1Mb setara dengan 1juta bp) telah berhasil ditemukan 545 gen. Kedua penemuan tersebut selaras dengan hasil pemetaan 30.181 gen-gen tunggal EST (Expressed Sequence Tags) yang dipilih secara acak. Dengan asumsi bahwa kombinasi kedua kromosom tersebut mampu menggambarkan secara garis besar kandungan gen dalam genom manusia, maka kelompok peneliti kromosom 21 menyimpulkan bahwa total jumlah gen manusia kemungkinan hanya sekitar 40.000 gen. Pendugaan tersebut jauh lebih rendah daripada pendapat yang selama ini diyakini yaitu antara 70.000 hingga 140.000 gen. Dengan terungkapnya kedua kromosom tersebut maka sebenarnya baru sedikit yang kita ketahui mengenai genom manusia, karena keduanya hanya mewakili 770 gen atau kira-kira 2 % dari seluruh gen yang kita miliki. Pengungkapan misteri kedua kromosom tersebut berhasil meletakkan dasar kajian terhadap kromosom-kromosom lain serta mempercepat riset sehingga diperkirakan pemetaan seluruh genom manusia akan selesai pada tahun 2002 (dengan kualitas sebagaimana hasil pemetaan kromosom 21), demikian Dr. Helmut Bloecker, salah satu anggota korsursium, dari GBF, Braunshweig. Arsitektur kromosom merupakan faktor penting lainnya disamping jumlah dan macam gen yang dimilikinya. Tiap kromosom memiliki fragmen berulang (repeat unit), fragmen DNA ganda, dan breakpoints. Kromosom 21, sebagaimana kromosom yang lain memiliki fragmen berulang berukuran 93 bp pada wilayah telomer. Wilayah tersebut penting untuk mempelajari evolusi dan organisasi telomer baik fungsional maupun struktural. Satu penemuan penting dalam kromosom 21 adalah ditemukannya wilayah sepanjang 7 Mb (pada posisi antara 5,5 hingga 12,5 Mb) yang hanya memiliki 1 gen. Kromosom 21 juga memiliki tiga wilayah yang masing-masing berukuran 1 Mb yang tidak mengandung gen
  • 4. 4 sama sekali. Jika wilayah-wilayah tersebut dijumlahkan maka praktis 1/3 wilayah kromosom 21 hanya memiliki 1 gen saja. Kromosom 22 juga memiliki wilayah berukuran 2,5 Mb yang berdekatan dengan ujung telomer, serta dua wilayah lain yang masing-masing berukuran 1 Mb yang tidak memiliki gen sama sekali. Diduga wilayah-wilayah miskin gen seperti itu terdapat juga di kromosom mamalia lainnya. Wilayah tersebut memiliki arti baik fungsional maupun arsitektural yang hingga saat ini belum diketahui. 2.1 Kromosom 21 dan Penyakit Genetik a. Penyakit Monogenik Jika salah satu dari 14 gen berikut yang terdapat dalam kromosom 21 mengalami mutasi maka akan menyebabkan munculnya penyakit- penyakit monogenik di antaranya salah satu bentuk Alzheimer (mutasi pada gen APP), Amyotropic Lateral Sclerosis (SOD1), penyakit Autoimmune Polyglanduar (AIRE), Homocystinuria (CBS), dan Progressive Myoclonus Epilepsy (CSTB). Gen AML1 pada kromosom 21 merupakan penyebab munculnya leukaemia. Sedangkan beberapa gen penyebab penyakit monogenik diantaranya Recessive Nonsyndromic Deafness (DFNB10 dan DFNB8), sindroma Usher tipe 1E, Sindroma Knobloch dan Holoprocencephaly tipe 1 (HPE1) belum berhasil didapatkan klonnya. b. Neoplasia Hilangnya heterosigositas pada beberapa wilayah dalam kromosom 21 diketahui menyebabkan berbagai jenis tumor diantaranya kanker leher dan kepala, payudara, pankreas, mulut, usus, oesophagus dan kanker paru-paru. Ketiadaan heterosigositas pada penderita kanker tersebut mengindikasikan kemungkinan kromosom 21 memiliki paling tidak satu gen penghambat tumor (Tumour Suppressor Gene). c. Abnormalitas Kromosom Kromosom 21 merupakan agen yang menyebabkan penyimpangan kromosomal meliputi monosomi, translokasi kromosom serta
  • 5. 5 rearrangement lainnya. Melalui proyek genom manusia, gen-gen klon yang telah dipetakan dan disekuens sekarang tersedia sehingga diagnosis dan karakterisasi molekuler yang akurat terhadap abnormalitas kromosomal dapat dilakukan. Hal ini akan membantu dalam identifikasi gen-gen yang terlibat dalam mekanisme perkembangan penyakit. d. Down-Syndrom Implikasi medis terbesar yang terkait dengan kromosom 21 adalah sindroma Down. Sindroma Down diderita paling sedikit 300 ribu anak di seluruh Indonesia dan 8 juta manusia diseluruh dunia. Satu dari 700 anak yang dilahirkan memiliki kemungkinan menderita sindroma Down. Sebagaimana yang telah banyak diketahui sindroma Down bukan merupakan penyakit genetik yang diturunkan tetapi disebabkan kromosom 21 memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom normal yang hanya memiliki 2 kembaran (Gambar 2). Kesalahan penggandaan tersebut berkorelasi erat dengan umur wanita saat mengandung. Semakin tua maka semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan anak yang menderita sindroma Down. Kesalahan penggandaan tersebut menyebabkan munculnya kelambatan mental (Mental Retardation) yang merupakan ciri utama penderita sindroma Down. Selain itu penderita seringkali harus menderita juga penyakit jantung bawaan, perkembangan tubuh yang abnormal, dysmorphic, Alzheimer semasa muda, leukemia tertentu (childhood leukaemia), defisiensi sistem pertahanan tubuh, serta berbagai problem kesehatan lainnya.
  • 6. 6 Gambar 2. Triplikasi Kromosom 21 yang menyebabkan sindroma Down (Reeves, 2000) Data yang diperoleh dari penelitian yang menggunakan tikus transgenik memperlihatkan bahwa hanya beberapa gen dalam kromosom 21 yang diduga menyebabkan munculnya fenotipik sindroma Down. Para peneliti hingga saat ini masih mengalami kesulitan untuk menentukan gen-gen apa saja yang merupakan kandidat munculnya fenotipik sindroma Down pada manusia. Meskipun demikian diketahui beberapa produk gen tertentu lebih sentitif dibanding produk gen lainnya jika terjadi ketidakimbangan gen di dalam sel. Produk-produk tersebut diantaranya morfogen, molekul adhesi sel, komponen protein multi-subunit, ligan dan reseptornya, regulator transkripsi dan transporter. Identifikasi gen penyebab munculnya fenotipik sindroma Down akan semakin terbuka di masa yang akan
  • 7. 7 datang dengan semakin lengkapnya katalog gen yang didapatkan dari proyek genom manusia. Selain berakibat negatif, peningkatan dosis gen pada penderita sindroma Down ternyata juga menimbulkan efek positif. Kemungkinan penderita mendapatkan berbagai jenis tumor (Solid Tumours) jauh lebih rendah dibanding individu normal. Peningkatan jumlah beberapa gen di kromosom 21 diduga merupakan penyebab terlindunginya individu penderita sindroma Down dari tumor-tumor tersebut. Jumlah gen yang relatif rendah pada kromosom 21 konsisten dengan pengamatan bahwa trisomi 21 merupakan satu-satunya kesalahan penggandaan kromosom yang tidak menyebabkan kematian. Katalog gen kromosom 21 membuka kesempatan emas untuk memecahkan dasar-dasar molekuler sindroma Down serta kemungkinan untuk menyembuhkan penyakit tersebut. 3. TERAPI GEN : HARAPAN UNTUK MENYEMBUHKAN SINDROMA DOWN Terapi sindroma Down hingga saat ini hanya dilakukan terhadap gejala yang telah muncul. Terapi konvensional semacam itu tidak akan pernah mengatasi penderitaan pasien sindroma Down secara tuntas. Ketidakimbangan gen dan ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21 akan terus berlangsung sepanjang hidup pasien. Ketidakimbangan tersebut akan menyebabkan kekacauan fungsi produk-produk gen yang sensitif yang kemudian muncul dalam ujud fenotipik khas sindroma Down. Jika demikian sudah hilangkah harapan penderita untuk hidup dengan normal sebagaimana anggota masyarakat lainnya? Jika jawabannya tidak, adakah alternatif lain terapi untuk sindroma Down? Harapan ditaruh ke teknologi terbaru yang dikenal dengan terapi gen. Terapi gen merupakan pengobatan atau pencegahan penyakit melalui transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Dengan demikian melalui terapi gen bukan gejala yang diobati tetapi penyebab munculnya gejala penyakit tersebut. Studi klinis terapi gen pertama kali dilakukan pada tahun 1990. Kontroversi terhadap terapi gen menjadi mengemuka ketika terjadi peristiwa kematian pasien setelah
  • 8. 8 menjalani terapi gen pada bulan September 1999 di University of Pennsylvania, AS. Terlepas dari kegagalan tersebut, terapi gen merupakan sistem terapi baru yang menjanjikan banyak harapan. Beberapa pelajaran dan kegagalan-kegagalan yang diperoleh selama dekade pertama serta pesatnya perkembangan bidang tersebut saat ini membuka kemungkinan teknologi tersebut akan merevolusi dunia kedokteran di dekade mendatang. Seluruh uji klinis transfer gen hanya dilakukan terhadap sel-sel somatik bukan ke sperma atau ovum yang jika dilakukan pasti akan menimbulkan kecaman dan pelanggaran etika yang dianut saat ini. Transfer gen ke sel somatik dapat dilakukan melalui dua metode yaitu ex vivo atau in vitro. Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari tubuh pasien, direkayasa secara genetik dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Keunggulan metode ini adalah transfer gen menjadi lebih efisien dan sel terekayasa mampu membelah dengan baik dan menghasilkan produk sasaran. Kelemahannya, yaitu memunculkan immunogenisitas sel pada pasien-pasien yang peka, biaya lebih mahal dan sel terekayasa sulit dikontrol. Seluruh uji klinis terapi gen saat ini menggunakan teknik in vivo, yaitu transfer langsung gen target ke tubuh pasien dengan menggunakan pengemban (vektor). Pengemban yang paling sering dipakai untuk mengantarkan gen asing ke tubuh pasien adalah Adenovirus. Selain itu dikembangkan juga pengemban- pengemban lain yaitu Retrovirus, Lentivirus, Adeno-associated virus, DNA telanjang (naked DNA), lipida kationik dan partikel DNA terkondensasi. Uji-uji klinis terapi gen yang saat ini sedang berjalan dilakukan terhadap penderita kanker, penyakit monogenik turunan, penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular, arthritis reumatoid, serta Cubital Tunnel Syndrome. Apakah sindroma Down dapat diobati melalui terapi gen? Penulis optimis pada beberapa tahun mendatang terapi gen dapat dilakukan juga terhadap penderita sindroma Down, paling tidak pada tahapan uji klinis. Sebagaimana telah diuraikan di depan, sindroma Down disebabkan ketidakimbangan gen akibat kesalahan penggandaan pada kromosom 21. Kajian sangat intensif saat ini sedang dikerjakan di banyak lembaga riset terkemuka di dunia. Dalam beberapa tahun
  • 9. 9 mendatang diharapkan dasar molekuler sindroma Down akan tersingkap. Dengan tersingkapnya hal itu maka pendekatan terapi gen untuk mengatasi penyakit tersebut dapat dikembangkan, misalnya dengan mengubah gen-gen yang ekspresinya menyebabkan kerusakan, atau membuat gen-gen tertentu lebih resisten terhadap ketidakimbangan gen yang terdapat dalam sel (Gambar 3). Dengan berhasil dipetakannya kromosom 21 maka harapan kesana semakin terbuka lebar. Semoga saja impian tersebut dapat segera terwujud yang akan menjadi hadiah terbesar bagi penderita sindroma Down dan keluarga terkait. Sungguh kita berharap itu semua akan terjadi. Gambar 3. Teknologi untuk mengubah gen-gen yang rusak
  • 10. DAFTAR PUSTAKA Santosa, D.A.; 2000; Misteri Kromosom 21 Terungkap; Media Indonesia; 29 Juni:22. Smaglik, P.; 2000; Gene Therapy Institute Denies That Errors Led To Trial Death; Nature 403:820. Smaglik, P.; 2000; NIH Tightens Up Monitoring Of Gene-Therapy Mishaps; Nature 404:5. 10