Inilah aku, Darsih Idayani dengan panggilan ‘sayang’ darsih, dar, atau cece. Hampir seperempat abad yang lalu dilahirkan di kota kecil yang hijau di ujung timur Pulau Jawa di rumah sederhana dengan halaman belakang lebih luas daripada halaman depan dan membelakangi jalan (rumah yang aneh memang). Situbondo, disitulah aku lahir setelah beberapa menit kelahiran kakak perempuanku, kami kembar. Anehnya kata orang bukan dia kakakku tapi aku kakaknya karena menurut mitos yang mengalah untuk ‘keluar’ melihat dunia itulah kakaknya. Mitos memang selalu aneh. Sayang kami (red: aku dan kakakku) tidak ditakdirkan untuk tumbuh dan berkembang bersama karena kakakku yang aku tidak ingat lagi wajahn