Bab pertama membahas latar belakang permasalahan penyalahgunaan narkotika yang menjadi penyakit masyarakat dan membahayakan stabilitas sosial. Bab kedua membahas pengertian korban sebagai pihak yang menderita akibat tindakan orang lain dan model-model perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika melalui sistem peradilan pidana."
1 of 15
More Related Content
Perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat memiliki dinamika kehidupan yang selalu berubah-ubah. Hal
ini karena dipengaruhi adanya budaya-budaya asing yang masuk ke dalam
kehidupan masyarakat, sehingga memudarkan budaya asli yang dimiliki
masyarakat itu sendiri. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh majunya teknologi
dan globalisasi.
Tidak hanya budaya asing yang masuk dan mempengaruhi perubahan
sosial ini, industrialisasi yang berkelanjutan juga memberikan pengaruh besar
terhadap perubahan dan dinamika masyarakat, akibatnya muncul urbanisasi dan
gerakan demokrasi untuk menata kembali masyarakat sesuai dengan prrinsip-
prinsip kehidupan demokrasi.1
Perubahan-perubahan dalam masyarakat tentu saja dihadapkan kepada
tradisi dan pemikiran yang sudah mapan dan berimplikasi menimbulkan situasi-
situasi konflik. situasi-situasi konflik ini rentan merampas hak-hak masyarakat
yang ada sehingga dapat menimbulkan korban.
Penimbulan korban tentu saja tidak terlepas dari suatu tindakan yang
dianggap menyalahi norma yang benar dalam kehidupan masyarakat baik norma
yang tertuang dalam peraturan ataupun norma yang tidak tertulis (norma yang
hidup dalam masyarakat), baik itu norma hukum, kesusilaan, kesopanan dan
agama.
Suatu tindakan yang menyalahi norma tertulis tentu saja mempunyai
sanksi yang tegas. Dalam norma hukum yang tertuang dalam suatu produk
perundang-undangan memiliki ketegasan yang memberikan kejelasan terhadap
suatu tindakan yang salah. Tindakan-tindakan yang salah itu dapat berupa
1 Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum Perkembanngan Metode Dan Pilihan
Masalah,Genta Publishing, Yogyakarta, Hlm. 10.
2. 2
kejahatan ayaupun pelanggaran. Tergantung bagaimana akibat dari tindakan itu
ketika tindakan itu telah diperbuat.
Tindakan melawan hukum yang pertumbuhannya sangat membahayakan
merupakan suatu penyakit masyarakat, artinya hal tersebut dapat mengganggu
stabilitas kehidupan dalam masyarakat. Sehingga tindakan ini harus dicegah
melalui instrumen hukum yang ada.
Penyalahgunaan Narkotika dewasa ini dapatlah dianggap sebagai penyakit
masyarakat karena tindakan ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan tertentu
dengan kualitas-kualitas tertentu, tetapi telah mewabah dan menjangkau seluruh
strata sosial masyarakat dengan sasaran potensialnya adalah kalangan yang rentan
menjadi korban dalam hal ini adalah generasi muda.
Narkotika pada dasarnya sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di
bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, tetapi penggunaan narkotika menjadi
berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu, disatu sisi untuk
menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu
pengeetahuan tetapi disisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang
selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diberlakukan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor Tahun 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, meskipun demikian,
penyalahgunaan terhadap narkotika tetap terjadi.
Pengaturan narkotika ini untuk mencegah agar penyalahgunaan narkotika
tidak menyebar luas dan menjadi penyakit masyarakat yang meresahkan di semua
strata sosial. Pencegahan itu sasarannya untuk pelaku maupun korban
penyalahgunaan narkotika. Realitasnya, pelaku penyalahgunaan itu sendiri
menjadi korban karena pelaku penyalahgunaan hanya menggunakan narkotika
untuk dirinya sendiri.
3. 3
Oleh karena itu, terhadap pelaku yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika haruslah diberi perlindungan hukum. Lantas bagaimana perlindungan
hukum itu dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan
yang akan dibahas adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap korban
penyalahgunaan narkotika melalui sistem peradilan pidana?
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korban
Pengertian korban menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia korban
adalah sesuatu (orang, binatang, dan sebagainya) yang menjadi penderita karena
dikenai perbuatan atau kejadian.2
Sebagai acuan definisi terkait korban tertuang dalam kesepakatan
internasional, yaitu dalam rancangan deklarasi dan resolusi kongres Perserikatan
bangsa Bangsa (PBB) Ke 7, yang kemudian menjadi resolusi MU PBB 40/34
tertanggal 29 Nopember 1995 tentang Declaration of Basic Principles of Justice
for Victim of Crime and Abuse of Power.3
Barda Nawawi Arief menterjemahkan sebagai berikut, bahwa yang
dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun
kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang
melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-
peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu korban termasuk
juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat)
yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional
yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma hak
asasi manusia yang diakui secara internasional.4
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No.13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Yang dimaksud dengan Korban
2 Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Tanpa Tahun, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
Praktis,Arkola, Surabaya, Hlm. 294.
3 Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Dibidang Pertanahan, LaksBang Pessindo,
Yogyakarta, Hlm, 17-18.
4 Barda Nawawi Arief, 1997, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, (Kumpulan Makalah), ex Kerjasama Indonesia Belanda Bidang Hukum,
Semarang, Hlm, 51-52.
5. 5
adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.5
Menurut Arif Gosita, pengertian korban adalah mereka yang menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.6 Korban yang dimaksud oleh Arif
Gosita diantaranya individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.
Pengertian korban menurut Stanciu yang dikutip oleh Farhana menyatakan
bahwa the victim, in the broad sense, is who suffer unjustly (from the latin
victima, which signifiers the creature offered in sacrifice to the gods). Thus, the
two characteristics traits of the victim are suffering and injustice. Suffering must
be unjust and not necessary illegal.7
Menurut Mardjono, mengenai korban meliputi pelanggaran terhadap hak
asasi manusia yang bersumber dari penyalahgunaan secara melawan hukum
kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran
terhadap peraturan ketenagakerjaan, penipuan konsumen, penyelewengan dalam
bidang perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan sebagainya,
dan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuse of
public power), seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan
wewenang oleh alat penguasa dan sebagainya.8
5 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
6 Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta,
Hlm. 41.
7 Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Pendekatan Viktimologis
Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Farhana, 2010, Aspek Perdagangan Orang Di
Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 157.
8 Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban dalam
Ibid, Hlm. 158.
6. 6
Pengertian korban tidak hanya sebatas pengertian saja, tetapi ada juga ciri
yang melekat pada pengertian korban. Ciri yang dimaksud adalah bahwa korban
mengalami penderitaan (suffering) dan ketidakadian (injustice).9
B. Model Perlindungan Korban
Model perlindungan korban dapat dibagi atas beberapa macam model,
yaitu10:
1. The Procedural Right Model
Model ini menekankan dimungkinkannya korban berperan
aktif dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa, dilibatkan
dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya
apabila terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat
korban sebagai subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas
untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya.
Keuntungan model ini adalah model ini dianggap dapat
memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun masyarakat.
Selain itu, keterlibatan korban seperti ini memungkinkan korban untuk
memperoleh kembali rasa percaya diri dan harga diri dan
meningkatkan arus informasi ini didominasi oleh terdakwa yang
melalui kuasa hukumnya yang dapat menekan korban sebagai saksi
korban dalam persidangan.
Model ini juga memliki kelemahan, bahwa model ini dapat
menimbulkan konflik antara kepentingan umum dan kepentingan
pribadi. Partisipasi korban dalam administrasi peradilan pidana dapat
menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan pribadi,
9 Ibid, Hlm. 157.
10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, Hlm. 79-80.
7. 7
padahal sistem peradilan pidana harus berlandaskan pada kepentingan
umum. Kerugian lain adalah kemungkinan hak-hak yang diberikan
pada korban dapat menimbulkan beban mental bagi yang bersangkutan
dan membuka peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran tindakan-
tindakan yang bersifat menekan dari pelaku tindak pidana.
Secara psikologis, praktis, dan finansial kadang-kadang
dianggap juga tidak menguntungkan. Kegelisahan, depresi, dan sikap
masa bodoh korban tidak memungkinkan baginya berbuat secara
wajar, dan berpendidikan rendah.
2. Service Model
Model ini menekankan pada pemberian ganti kerugian
dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan upaya pengembalian kondisi
korban yang mengalami trauma, rasa takut, dan tertekan kejahatan,
sehingga diperlukan standar baku bagi pembinaan korban yang dapat
digunakan polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai
sasaran khusus untuk melayani dalam kerangka para penegak hukum.
Keuntungan model ini adalah model ini dapat digunakan
sebagai sarana pengembalian kondisi korban yang dinamakan integrity
of the system of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif
komunal. Korban akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam
suasana tertib sosial yang adil. Suasana tertib, terkendali dan saling
mempercayai dapat diciptakan kembali. Model ini dapat menghemat
biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana
dapat mempertimbangkan kerugian-kerugian yang diderita korban
dalam rangka menentukan kompensasi bagi korban.
Kelemahan model ini antara lain kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu
melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada korban, dianggap akan
membebani penegak hukum kaena semua didasarkan atas sarana dan
prasarana yang sama. Efesiensi dianggap juga akan terganggu, sebab
8. 8
pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin digabungkan
dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu efesiensi.
C. Tinjauan Umum Mengenai Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sitesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkn keetergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan.11
Narkotika golongan I, ini hanya dapat di gunakan untuk ilmu pengetahuan
dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi yang
menimbulkan ketergantungan. Contohnya: Heroin, Cocain, Ganja, Shabu, Extacy,
LSD, Opium.
Narkotika golongan II ini adalah yang berkhasiat untuk pengobatan dan
banyak digunakan terapi dan pengembangan ilmu pengetahuan yang mempunyai
potensi tinggi yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: Morfin,
Petidin.
Narkotika golongan III, Narkotika jenis ini yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan terapi dan pengembangan Ilmu pengetahuan
yang mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contohnya:
Codein, Bufrenofin.
Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika mengatur mengenai korban sebagai penyalahguna narkotika. Tata cara
pemberian sanksi dan sanksi yang dikenakan bagi korban penyalahguna narkotika
terdapat dalam Pasal 4, Pasal 53, Pasal 103 dan Pasal 127.
11 Lihat Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
9. 9
D. Sistem Peradilan Pidana
Pada dasarnya ada beberapa model yang berkembang baik di negara
kontinental maupun di negara anglo saxon. Model ini tidak dapat dilihat sebagai
suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan hidup yang harus dipilih melainkan
harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa dibedakan dan secara bergantian dapat
dipilih sebagai prioritas di dalam pelaksanaan proses peradilan pidana.
Beberapa model sistem peradillan pidana dapat dijelaskan sebagai
berikut:12
1. Crime Control Model
Dalam crime control model (CCM) didasarkan pada pernyataan
bahwa tingkah laku kriminil haruslah ditindak, dan proses peradilan
pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk
mencapai tujuan yang amat tinggi ini, maka ccm menyatakan bahwa
perhatian utama haruslah ditujukan pada efesiensi. Efesiensi ini adalah
diatas segalanya. Efesiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya
guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap
pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh
karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara
serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari
pihak lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara.
Doktrin yang digunakan oleh CCM adalah apa yang dikenal
dengan nama presumtion of guilt (praduga bersalah). Dengan doktrin
ini maka CCM menekankan pentingnya penegasan eksistensi
kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan
pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan
pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa, dan hakim) harus
12 Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, Hlm. 43.
10. 10
semaksimal mungkin meskipun mengorbankan hak-hak asasi manusia.
2. Due Process Model
Model ini merupakan reaksi terhadap CCM, pada
hakekatnya menitikberatkan pada hak-hak individu dan berusaha
melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa proses pidana harus dapat
diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya
ditekankan pada maksimal efesiensi belaka seperti CCM melainkan
pada prosedur penyelesaian perkara. Pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah ini mencerminkan ideologi atau cita-cita cpm yang
mengandung apa yang disebut anti cita-cita kesewenangan.
Berbeda dengan CCM yang didasarkan presumption of guilt
maka pada DPM didasarkan pada presumption of innocence sebagai
dasar nilai sistem peradilan. Oleh DPM dituntut adanya suatu proses
penyelidikan terhadap suatu kasus secara formal dan menemukan fakta
secara obyekif di mana kasus seorang tersangka atau terdakwa
didengar secara terbuka di muka persidangan dan penilaian atas
tuduhan penuntut umum baru akan dilakukan setelah terdakwa
membantah atau menolak tuduhan kepadanya. Jadi yang penting ialah
pembuktian dalam pengadilan dan tuntutan bagaimana akhir dari suatu
proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam DPM.
3. Family Model
Family model adalah suatu perumpamaan yang ada dalam
keluarga kita yakni meskipun salah satu keluarga kita pukul, jewer
namun dia tetap dalam kasih sayang tanpa memperlakukan sebagai
orang jahat yang khusus (special criminal puple). Demikian pula
terhadap penjahat, jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai anggota
masyarakat dan tetap dalam suasana kasih sayang. Inilah gambaran
dari family model.
11. 11
Dalam sistem peradilan pidana ada beberapa tahapan, diantaranya
adalah:
1. Penyidikan
KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai berikut:13
serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut
penyidikan adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik
b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
c. Pemeriksaan ditempat kejadian.
d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
e. Penahanan sementara.
f. Penggeledahan.
g. Pemeriksaan atau interogasi.
h. Berita acara.
i. Penyitaan.
j. Penyampingan perkara.
k. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan
pengembaliannya keada penyidik untuk disempurnakan.
2. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
13 Lihat Pasal 1 Angka 2 Kitab Hukum Acara Pidana.
12. 12
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.14
Mengenai kebijakan penuntut, penuntut umumlah yang
menentukan suatu perkara hasil penyelidikan apakah sudah lengkap
ataukah tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili.15
3. Pemeriksaan Perkara di Persidangan
Pemeriksaan perkara ini dibagi menjadi tiga cara, yaitu:
a. Pemeriksaan biasa
Pada pemeriksaan perkara biasa dalam undang-undang
tidak mencantumkan batasan-batasan tentang perkara-perkara
yang masuk dalam pemeriksaan biasa.
b. Pemeriksaan singkat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan singkat adalah
perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana.16
c. Pemeriksaan cepat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan cepat adalah yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang
ditentukan dalam paragraf 2 baggian ini.17
14 Lihat Pasal 1 Angka 7 Kitab Hukum Acara Pidana.
15 Lihat Pasal 139 Kitab Hukum Acara Pidana.
16 Lihat Pasal 203 Ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana.
17 Lihat Pasal 205 Ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana.
13. 13
E. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika
Golongan I Melalui Sistem Peradilan Pidana
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, mengenai perlindungan
hukumnya terhadap korban penyalahgunaan narkotika atau dapat disebut self
victimizing menganut service model. Hal ini dikarenakan pada awalnya korban
penyalahgunaan narkotika ini sebelumnya bertindak sebagai pelaku yang
menggunakan narkotika.
Tujuan dari perlindungan hukum dengan model pelayanan ini adalah
untuk mengembalikan kondisi korban yang dalam Undang-Undang Tentang
Narkotika adalah rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 55.
Penyidikan yang dilakukan kepada pelaku pengguna narkotika (pecandu
narkotika) dilakukan dengan asas praduga tidak bersalah. Maksud dari
penggunaan asas ini supaya penyidikan dapat menemukan fakta secara obyektif,
untuk membuktikan bahwa pecandu menggunakan narkotika untuknya sendiri.
Penyidikan yang dilakukan terhadap pecandu narkotika haruslah mendapat
bantuan hukum, supaya hak-haknya tersampaikan tanpa tekanan.
Dalam hal penuntutan, jaksa penuntut umum harus membuktikan bahwa
pelaku benar-benar cukup bukti untuk menunjukkan bahwa penyalahgunaan
narkotika hanya untuk dirinya sendiri. Penuntutan yang dilakukan juga harus
bersandarkan pada asas praduga tak bersalah agar fakta-fakta yang didapat selama
proses pembuktian dipersidangan dinilai secara obyektif oleh hakim.
Sebagai upaya perlindungan hukum terhadap pecandu narkotika,
Berdasarkan Pasal 103, Hakim dapat memutus untuk memerintahkan pecandu
narkotika menjalani perawatan atau pengobatan melalui rehabilitasi jika pecandu
narkotika tersebut terbukti secara sah melakukan penyalahgunaan narkotika
sekalipun penggunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri diancam dengan
sanksi pidana 4 tahun penjara.
14. 14
Hal ini sebagai upaya bahwa terhadap pecandu narkotika bukanlah harus
diberikan sanksi tegas berupa sanksi pidana, melainkan harus dengan upaya-upaya
yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi/keadaan si pecandu narkotika
dalam hal ini merupakan korban.
Kemudian ini dianggap sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap
korban melalui model pelayanan karena untuk membuktikan suatu kebenaran
seseorang itu telah menjadi pecandu harus tetap melalui aparat penegak hukum
(perwakilan melalui negara) untuk mengembalikan kondisi-kondisi korban.
15. 15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika
menggunakan model pelayanan, artinya konsep perlindungannya diwakilkan oleh
negara melalui aparat penegak hukumnya. Dalam sistem peradilan pidana,
perlindungan hukum itu dilakukan dengan menggunakan asas praduga tak
bersalah (presumption of innoncence) dengan harapan agar fakta-fakta yang
dihadirkan dalam setiap proses peradilan dimulai tingkat penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di persidanga dapat dinilai secara obyektif.
Sebagai salah satu upaya perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan
narkotika sebagai pelaku yang menjadi korban, penerapan sanksi pidana dapat
diabaikan dengan adanya Pasal 54, Pasal 55 yang mengatur mengenai rehabilitasi
dan Pasal 103 mengenai hakim dalam memutus perkara terhadap pecandu
narkotika yang terbuti maupun tidak terbukti secara sah.
B. Saran
Hendaknya instrumen hukum mengenai perlindungan korban
penyalahgunaan narkotika haruslah lebih jelas supaya bisa mendapatkan kepastian
hukum.