際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Jurnal Seni Budaya
42 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018
A. Pengantar
Pesindhen berasal dari kata Pasindyan, yang
secara ethimologis berarti seseorang yang melagukan
nyanyian berisi sindiran-sindiran kehidupan
(zoetmoelder, 1995: 1094). Pesindhen juga lazim
disebut sebagai juru kawi, yakni orang yang memiliki
kemampuan berbahasa kawi, dimana bahasa kawi
adalah bahasa yang digunakan di dalam serat-serat
dan manuskrip kuno. Manuskrip atau serat-serat lama
yang ditembangkan oleh sindhen, tentunya
merupakan serat-serat yang berisi banyakhal, diantara
lain adalah nilai-nilai kehidupan yang saat itu dianggap
ESTETIKAWANGSALAN
DALAM LAGU SINDHENAN KARAWITAN JAWA
Sukesi Rahayu
Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Surakarta
Jl. Ki Hajar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126
ABSTRAK
Sindhenan merupakan salah satu aspek penting dalam pergelaran Karawitan Jawa baik dalam pertunjukan
mandiri maupun fungsi karawitan sebagai salah satu pendukung pertunjukan yang memiliki unsur-unsur estetis
maupun etis. Unsur-unsur estetis berkaitan dengan bentuk susunan frasa serta diksi yang digunakan dalam
teks sindhenan, antara lain yang terdapat dalam wangsalan. Wangsalan merupakan salah satu teks sindhenan
yang memiliki kandungan nilai yang dihayati dan diyakini sebagai pandangan hidup masyarakat jawa, nilai-
nilai tersebut selanjutnya disebut sebagai nilai etisyang terbingkai dalam budaya jawa. Penelitian ini merupakan
penelitian yang mengkaji makna yang terkandung dalam wangsalan sindhenan yang dikaji dengan perspekstif
estetika bunyi dan persajakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model penelitian
kualitatif dimana data yang disajikan merupaka data yang diperoleh secara langsung dari lapangan, dengan
sudut pandang penulis sebagai pelaku. Hasil dari penelitian ini mengungkap makna yang terkandung dalam
wangsalan yang disampaikan oleh seorang sindhen hubunganya dengan ideologi serta cara pandang orang
jawa dalam memaknai kehidupan.
Kata kunci: Sindhen, Wangsalan, Estetika Bunyi.
ABSTRACT
Sindhenan is an important aspect in the performance of Javanese Karawitan both in independent perfor-
mances and karawitan functions as one of the supporting aspects of the performance that has aesthetic and
ethical elements. Aesthetic elements are related to the form of the phrase structure and the diction used in the
sindhenan text, including those in the wangsalan. Wangsalan is one of the sindhenan texts which has values
that are appreciated and believed to be a Javanese view of life. These values are then referred to as ethical
values framed in Javanese culture. This research studies the meaning contained in the sindhenan wangsalan
which is studied with aesthetic perspectives of sound and poetry. The method used in this study is a qualitative
research model where the data presented is data obtained directly from the field, with the authors perspective
as the actor. The results of this study reveal the meaning contained in wangsalan conveyed by a sindhen in
relation to the Javanese view and ideology in interpreting life.
Keywords: Sindhen, Wangsalan, Sound Aesthetics.
relevan. Belum banyaknya media informasi yang
berkembang, membuat posisi juru kawi saat itu
sangatlah dibutuhkan, terutama sebagai sarana
pendidikan bagi masyarakat kecil, sedangkan
nyanyian atau lagu yang ditembangkan seorang
sindhen ini lazim disebut sebagai sindhenan.
Kehadiran seorang sindhen dalam panggung
kesenian setidaknya dapat kita perkirakan telah
ada sejak 908 Masehi, seperti yang disebutkan dalam
prasasti Wukujana bahwa pada saat itu telah ada
sebuah pertunjukan drama yang dibawakan
oleh beberapa orang, ada yang mendalang, ada
yang melawak, serta diiringi oleh seseorang yang
Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa
Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 43
menyanyikan tembang, dengan lakon Bhima
Khumara (Haryana, dalam Suyanto 2009:2). Artinya
bahwa posisi seorang pelantun tembang (Sindhen)
sejak dulu telah memiliki tempat tersendiri dalam
sebuah pertunjukan yang bersifat ritus dikarenakan
selain memiliki estetika bunyi yang dapat dinikmati,
tembang-tembang tradisi juga memiliki muatan-
muatan yang berisi nilai-nilai etis yang berisi nilai-
nilai kehidupan didukung dengan pemilihan kata
yang semakin menguatkan makna (Sudarko, 2013:
59).
Dewasa ini, fungsi sinden tidak hanya sebagai
penyampai nilai-nilai kehidupan yang universal.
Selain juga sebagai penghias lagu, sindhen juga
diposisikan sebagai seorang penghibur yang menjadi
daya tarik pementasan. Kasus ini dapat ditemukan
pada beberapa dekade terakhir. Dalam panggung
wayang kulit misalnya, pada tahun 60-an, posisi
duduk sindhen berada di belakang dalang sejajar
dengan pengendhang, dengan dandanan yang
sederhana bahkan tak jarang tanpa menggunakan
make-up, artinya pada waktu itu satu-satunya
icon yang ditampilkan dari seorang pesindhen
adalah kemampuan tarik suara, serta menguasai
berbagai bentuk tembang dalam bingkai karawitan
pakeliran.
Dekade 70-n, ketika nama Nartosabdo mulai
naik daun, dalam sebuah pergelaran wayang, posisi
tempat duduk sindhen mulai digeser menjadi
disamping sang dalang, hal ini disinyalir kedudukan
sindhen sudah tidak lagi menjadi penghias lagu
semata, namun juga menjadi sebuah icon pertunjukan
yang dijual sebagai bagian dari kemasan atau perabot
fisik pertunjukan wayang yang dianggap memiliki daya
tarik tersendiri (Manteb Soedarsono, wawancara: 21
september 2017).
Bergesernya posisi sindhen sebagai objek
tontonan, menjadikan sindhen kadang hanya
dipandang sebagai objek eksploitasi visual saja, hal
ini juga berdampakterhadapcarapandangmasyarakat
awam kepada pesindhen itu sendiri yang kadang
dipandang dalam segi negative saja, hal-hal negative
yang dimaksud adalah posisi sindhen selalu dikaitkan
dengan rendahnya moralitas yang disebabkan oleh
kehadiran sindhen dimaknai sebagai semata-mata
penghibur yang datang hanya untuk menuntaskan
hasrat penonton yang haus hiburan, maka dari itu
menurut penulis diperlukan adanya kajian secara
teoritis mengenai unsur-unsur sindhenan terutama
mengenai makna teksyang disampaikan hubunganya
dengan nilai estetika dan etika yang terkandung dalam
wangsalan sindhenan pada karawitan Jawa.
B. Sindhenan dalam Karawitan Jawa
Sindhenan merupakan lagu atau nyanyian
yang dihasilkan seorang pesindhen yang dilagukan
secara tunggal dan disajikan bersama-sama dengan
beberapa atau seluruh ricikan gamelan yang
mempresentasikan sebuah bentuk gendhing ( Sukesi,
2017:41). Sindhenan berdiri sendiri sebagai bentuk
sajian vokal dalam karawitan jawa, disamping
gerongan, macapat, dan bawa. Selain sebagai
penghias lagu, sindhenan juga memiliki peranan
penting dalam memberi ide musikal ricikan-ricikan
garap seperti rebab, kendhang, genderbarung, bonang
barung. Sertamembangunrasapadasebuahgendhing.
Sebagai sebuah sajian vokal, sindhenan
memiliki dua unsur yang saling terkait dalam
penyajianya yakni lagu dan cakepan. Dua unsur ini
sama sekali tidak dapat dipisahkan dalam sajian vokal
sindhenan, lagu merujuk pada jalinan nada yang
dibentuk dalam sajian sebuah gendhing, yang
berhubungan dengan interprestasi pesindhen terhadap
sebuah gendhing. Interprestasi pesindhen terhadap
sebuah gendhing adalah hal yang tidak mudah
dilakukan, hal ini ditentukan olehbeberapafaktorantara
lain penguasan cengkok, dan kekuatan dalam
menafsir sindhenan itu sendiri. Maka dari itu banyak
hasil sindhenan yang berbeda meskipun dalam
penyajian gendhing yang sama (Suraji, 2005: 2).
Sedangkan cakepan atau syair merujuk pada
teks-teks yang digunakan dalam melagukan tekhnik
sindhenan, teks-teks ini biasanya menggunakan karya
sastra lama seperti serat wedhatama, wulangreh, serat
tripama, serat rama dan masih banyak lagi, bahkan
dalam sindhenan Jawatimuran, teks-teks tersebut
berkembang tidak hanya berpedoman pada serat-serat
lama namun juga dibuat secara spontan diatas
panggung, kasus ini biasanya banyak didapati dalam
penggunaan teks parikan. Khusus dalam unsur teks
ini, akan diuraikan lagi beberapa jenis teks dalam
sajian sindhenan pada karawitan jawa, teks tersebut
antara lain:
1. Wangsalan
Wangsalan merupakan satu kalimat yang
terdiri dari dua frase atau lebih, dan didalamnya
terdapat teka-teki yang jawabanya berhubungan
dengan kalimat tersebut. Cara memecahkan teka-teki
pada teks wangsalan adalah dengan cara
menghubungkan kata yang terdapat pada kalimat
tersebut (Waridi, 2002: 127-128)
Padmosoekotjo mengklasifikasi wangsalan
menjadi empat jenis, yaitu: (1) wangsalan lamba, (2)
Jurnal Seni Budaya
44 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018
wangsalan rangkep (camboran), (3) wangsalan
memet, dan (4) wangsalan padinan (1960:6).
Wangsalan lamba adalah jenis wangsalan yang inti
jawabannya hanya satu, misalnya:
- Pindhang lulang (= kr竪c竪k) kac竪k apa aku karo
kow辿.
- Janur gunung (= ar竪n) kadingar竪n kow辿 teka.
- Jenang gula (= glali) aja lali karo aku iki.
- Balung klapa (= bathok) 辿thok-辿thok ora ngerti.
Wangsalan rangkep (camboran) adalah jenis
wangsalan yang isi jawabannya lebih dari satu.
Wangsalan ini terdiri dari dua frasa, frasa pertama
merupakan teka-teki, sedangkan frasa kedua
merupakan jawabannya. Misalnya:
- Jenang s辿la (= apu) wader kali sesondh竪ran (=
sepat), apuranta y竪n wonten lepat kawula.
- Jarwa surya (= sreng辿ng辿) surya lumeb竪ng ancala
(= surup), srenging karsa mung nedya
nyumurupana.
- Riris harda (= deres) hardan辿 wong lumaksana (=
mlayu), dresing karsa memayu hayuning praja.
- D辿wa tirta (= Baruna) lampah辿 amungu n辿ndra (=
subuh), pra taruna mati alabuh nagara.
Wangsalan memet adalah jenis wangsalan
yang dalam mencari jawabannya dengan
menggunakan perbendaharaan kata sampai dua kali.
Misalnya:
- Uler kambang (= lintah) y竪n trima alon-alonan (=
satitah辿, sakep辿nak辿)
- Ngebun-ebun 辿njang (= awun) njejawah sonten (=
tarabi/rarabi).
Wangsalan padinan adalah jenis wangsalan
yang tidak memerlukan jawaban, karena dianggap
orang lain yang diajak berbicara sudah mengetahui
jawabannya. Misalnya:
- Wong ka辿 sajatin辿 krungu kandhaku, ning njangan
gori (= gudheg = mbudheg).
- suk-辿suk kok wis nggodhong garing (= klaras =
nglaras).
- Aja njenang gula karo aku (= glali = lali).
- mBok aja ngrokok cendhak (= tegesan = neges-
neges).
Selain terdapat pada sajian sindhenan Jawa
Tengah, penggunaan wangsalan saat ini juga lazim
digunakan dalam sajian gendhing Jawa Timuran, Hal
itu terbukti bahwa teks yang digunakan juga sama
dengan teks wangsalan sindh竪nan Jawa Tengah,
antara lain:
- Carang wreksa, wreksa wilis tanpa patra; nora
gampang, wong urip n竪ng ngalam ndonya.
- Petis manis, sarin辿 kaca brenggala; aja ngucap,
y竪n durung weruh ing rasa.
- Ngr辿ka puspa, puspa kang nedheng w竪h ganda;
gubah basa, mingkar-mingkur ing angkara.
- Suk竪ng ndriya, ndriya sengsem r竪h ngaksama;
murih rena, nenangi manah martana.
- Ari S辿na, S辿na gelung minangkara; ng竪sthi arga,
luhur darajating bangsa.
- Kresna putra, putra Risang Dananjaya; sinambada,
sih tresna sahabimanyu.
2. Parikan
Parikan juga dapat disebut pantun jawa,
adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua frasa, yang
pada akhir frasa pertama dan frasa kedua mempunyai
kesamaan bunyi vokal (Jawa: guru lagu atau guru
swara). Frasa pertama berisi teks pertanyaan,
sedangkan frasa kedua berisi jawaban. Setiap frasa
tidak dibatasi oleh jumlah suku kata; ada yang 4 suku
kata, 5 suku kata, 6 suku kata, 8 suku kata, bahkan
10 sampai 12 suku kata. Berikut ini beberapa contoh
parikan dengan variasi jumlah suku kata pada setiap
frasa.
(1) Parikan yang dalam setiap frasa terdiri dari 4  4
suku kata X 2:
Pitik blorok, ngendhog siji,
jar辿 kapok, malah ndadi.
(2) Parikan yang dalam setiap frasa terdiri dari 4  6
suku kata X 2:
Numpak dh竪lman, lunga nyang Betawi,
n竪k berjuang, kudu wani mati.
(3) Parikan yang dalam setiap frasa terdiri dari 8  8
suku kata X 2:
Jangan krokot jangan ulur,
terik t辿mp辿 pinggir sumur,
tresna abot manjing dulur,
bisa aw竪t panjang umur.
(4) Parikan bebas, adalah jenis parikan yang jumlah
suku kata dalam setiap frasa tidak menentu:
Aja nggulani lopis sak iris,
lopis sak iris campuren klapa
Aja mb辿lani penjajah imperalis,
b辿lanana nasib辿 nusa lan bangsa.
Menurut Soebagyo (1992:viiviii), parikan
terbagi dalam dua bagian yang funda足mental, yang
disebut sampiran dan isi. Sampiran adalah bagian
pertama yang merupakan wadah, sedangkan isi
adalah bagian kedua yang merupakan pelengkap,
pasangan, atau jodoh bagi wadah yang sudah
Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa
Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 45
dipersiapkan. Ditinjau dari bentuknya, sampiran berisi
bunyi yang merupakan tantangan, sedangkan isi
merupakan jawaban atas tantangan itu. Kedua unsur
ini harus serasi dan saling melengkapi. Selanjutnya
dijelaskan bahwa parikan yang ideal mempunyai
kriteria sebagai berikut.
1. Terdiri atas dua baris(disebut parikan tunggal) atau
empat baris (disebut parikan ganda); masing-
masing baris disebut gatra;
2. Masing-masing gatra terdiri atas dua potongan
(disebut pedhotan);
3. Masing-masing pedhotan terdiri atas empat suku
kata (disebut wanda);
4. Pada parikan dua gatra, gatra pertama adalah
sampiran dan gatra kedua adalah isi;
5. Pada parikan empat gatra, dua gatra pertama
adalah sampiran dan dua gatra kedua adalah isi;
6. Sajak parikan berupa sajak silang: ab untuk
parikan tunggal, abab untuk parikan ganda.
Contoh parikan tunggal:
(1) Abang-abang ora legi,
Klambi abang manas ati.
(Merah-merah tidak manis,
Baju merah bikin panas.)
(2) Brambang diiris-iris,
Mata abang mentas nangis.
(Bawang diiris-iris,
Mata merah baru saja menangis.)
Contoh parikan ganda:
(1) Jangan krokot jangan辿 alur,
terik dh辿w辿 pinggir sumur;
Trisna abot manjing sedulur,
Ken竪ka aw竪t sak-umur-umur.
(Sayur kerokot sayur aluran,
dimasak terik di pinggir sumur;
Cinta yang berat menjadi saudara,
Semoga tahan sepanjang umur.)
(2) Taksi nggak kurang taksi,
nyegat opl竪t kliru praoto;
Aksi nggak kurang aksi,
mbukak dhomp竪t isin辿 mbako.
(Taksi tidak kurang taksi,
mencegat oplet keliru prahoto;
Aksi tidak kurang aksi,
membuka dompet isinya tembakau
3. Senggakan
Kata senggakan memiliki kata dasar senggak
yang berarti nyuwara giyak aram辿 mbarengi
(nyambungi) unin辿 gamelan (bersuara ramai
kegirangan menyertai suara gamelan). Senggakan
berarti tetembangan sing dienggo senggak yaitu
vokal tunggal atau bersama-sama dalam suasana riuh
yang menyertai suara gamelan (Prawiroatmojo,
1985:II:186). Dengan demikian senggakan dapat
diartikan:
vokal bersama atau tunggal dengan
menggunakan cakepan parikan dan/atau
serangkaian kata-kata (terkadang tanpa
makna) yang berfungsi untuk mendukung
terwujudnyasuasana ramai dalam sajian suatu
gending (Suraji, 2005:48).
Senggakan pada umumnya dilakukan oleh
sejumlah pengrawit atau wiraswara, bahkan kadang-
kadangjugaoleh pesindh竪n tetapi bukan vokal tunggal.
Kedudukan senggakan dalam gending adalah untuk
melengkapi teks atau cakepan pokok. Isi teks
senggakan kadang-kadang tidak berkaitan dengan
teks pokok. Namun demikian adakalanya senggakan
berfungsi memberi komentar atau jawaban terhadap
teks pokok.
4. Abon-abon
Abon-abon adalah cakepan sindh竪nan yang
berfungsi sebagai pelengkap atau selingan teks
pokok. Teks is竪n-is竪n tidak mempunyai hubungan
kalimat dengan teks pokok, sehingga hanya
berkedudukan sebagai pemanis sindh竪nan:
揃 Rama-rama raman辿 dh辿w辿
揃 Man 辿man-辿man
揃 La l辿la-l辿la
揃 Ya ndhuk
揃 Ya mas.
Mengingat keberadaan teks is竪n-is竪n ini
difungsikan sebagai pelengkap, maka dalam
praktiknya tidak harus disajikan, tidak pokok, hanya
sebagai penghiasatau pemanis. Pada bentuk gending
tertentu dalam satu kalimat lagu kenong atau kalimat
lagu gong kadang-kadang memiliki kalimat lagu
yang panjang, sehingga untuk menambah
ke足kosongan pada cakepan sindh竪nan diperlukan
adanya is竪n-is竪n.
Jurnal Seni Budaya
46 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018
C. Estetika Wangsalan Sindhenan
Pesindhen sebagai juru tembang, atau
seorang pashindyan seperti yang disebutkan didepan
merupakan seorang yang melagukan teks yang berisi
sindiran-sindiran kehidupan, sindiran yang dimaksud
merupakan ajaran mengenai nilai moralitas yang
terdapat pada setiap sendi kehidupan, artinya posisi
sindhen bukan merupakan penghias lagu atau
penghias pementasan semata terlebih sindhen
merupakan seorang penyampai nilai-nilai yang
brkaitan dengan kehidupan secara hakiki.
Untuk mengupas secara rinci teks-teks
wangsalan dalam perspektif estetika tentunya perlu
juga mengkaji pendekatan-pendekatan estetika bunyi
dan persajakan yang digunakan untuk mengupasnilai-
nilai yang terkandung. Wangsalan sidhenan sebagai
salah satu bentuk kesusastraan jawa memiliki
keindahan tersendiri hal ini dianalisis dari kata-kata
yangdisajikan dan juga maknayangterkandung dalam
susunan kata tersebut, sebagaimana keindahan
merupakan sesuatu yang memiliki unsur baik dan
benar, unsur baik merujuk pada susunan wujud dari
kata-kata yang disajikan, sedangkan benar merujuk
pada nilai-nilai yang terdapat pada kata tersebut
(Katsoff dalam Margono, 2004: 336). Wangsalan
sebagai sebuah karya sastra memiliki susunan frasa
yang estetik, untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui
contoh sebagai berikut:
Garwa Nata, (prameswari): Istri Raja,
Nata ing nagri Cempala, (waspada): Raja di Negara
Cempala(Drupada)
Sari ratri, : Siang malam
Kudu Eling lan Waspada : Harus waspada dan
berhati-hati
Penggalan wangsalan diatas menunjukan
sebuah susunan frasa yang memiliki rima yang indah,
rima tersebut terlihat pada pengulangan dua kata yang
saling bersambungan, (Garwa Nata, Nata ing nagri
Cempala) pengulangan kata Nata dalam wangsalan
tersebut, memberikan kesan irama yang merdu,
tertata dan kesan estetik pada pendengaran serta
perasaan oleh sebab itu efek bunyi yang ditimbulkan
menjadi semakin indah (Widiastuti, 2009: 11).
Selain pada jalinan rima, kesan estetik juga
terdapat pada nilai-nilai yang terkandung di dalam
wangsalan tersebut, wangsalan diatas memberikan
sebuah pitutur (Nasehat) jawa yang mengajak setiap
orang yang mendengarkan agar berhati-hati setiap
waktu. (Sari ratri, kudu eling lan waspada). Kata sari
dalam konteks ini bukan merupakan sari dalam artian
inti ataupun pokok dari sesuatu, namun kata sari yang
dimaksud merupakan bentuk pengucapan kata Sahari
yang berarti satu hari, yang menjadi luluh karena
tuntutan guru wilangan (jumlah kata dalam susunan
puisi jawa). Contoh lain kesan estetik yang ditimbulkan
pada wangsalan sindhenan terletak pada bentuk
wangsalan sebagai berikut ini:
Witing klapa, : Pohon Klapa (Glugu; jw)
Kalapa kang maksihmudha: Kelapa yang masih muda
(Cengkir: jw)
Salugune, : Selayaknya
Mung mardi pikir raharja : Hanya mencari ke-
tentraman jiwa
Dalam teks tersebut, pengulangan kata Klapa
memperkuat frasa yang terbentuk dan memberikan
kesan keindahan pada puisi tersebut, selain itu kesan
estetik juga terbentuk atas sajak yang membentuk
keselarasan bunyi yakni penggunaan konsonan (a)
yang kuat: Klapa, Mudha, dan Raharja.
D. Relevansi Nilai Wangsalan Sindhenan
Krawitan Jawa Dalam Kehidupan Masyarakat
Jawa.
Wangsalan sindhenan sebagai salah satu
bagian dari kebudayaan memiliki posisi yang khusus
dalam kehidupan masyarakat jawa, hal ini dapat
terlihat dari sebagian besar teks-teks sindhenan
memuat nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan
budaya jawa, nilai-nilai tersebut dihayati dan dijadikan
cara pandang terhadap kehidupan bagi masyarakat
dengan latar belakang kebudayaan jawa.
Nilai-nilai yang terkandung tersebut
diantaranya adalah cara pandang hidup orang jawa
terhadap Tuhan sebagai pencipta awal dan akhir
kehidupan, ajaran-ajaran Ketuhanan semacam ini
lazim disebut dengan konsep sangkan paraning
dumadi, yakni sebuah keyakinan bahwa kehidupan
manusia tidak bisa lepasdari Tuhan, hidup dari Tuhan
dan akan kembali kepada Tuhan (Amir, 1991: 69).
Wangsalan sindhen sebagai salah satu bentuk puisi
jawa yang memuat pandangan hidup orang jawa, juga
syarat akan ajaran-ajaran Ketuhanan, pengembangan
dari ajaran tersebut selanjutnyaberbentuk ajaran moral
dan budi pekerti, nilai-nilai tersebut diantaranya
tertuang dalam syair wangsalan sebagai berikut:
Kawis pita, (Maja): Buah kawis yang berwarna
Kuning
Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa
Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 47
Kang lata kentiring toya (Larahan) : Daun-daun kering
yang hanyut di sungai (Larahan:
Jw)
Aja uwas, : Jangan Khawatir
Den sumarah mring hyang sukma : Pasrahlah kepada
Tuhan.
Kawis pita merupakan ungkapan Jawa yang
merujuk pada buahkawisyang berwarnakuning (Maja)
maka dari itu jawaban atas susunan kata Kawis pita
adalah (Aja), sedangkan kata lata kentiring toya
merujuk pada arti larahan atau sampah daun kering,
sehingga jawaban atas pertanyaan tersebut terletak
pada kata sumarah, yang berarti pasrah. Teks
wangsalan tersebut mengajak pendengar untuk
menyingkirkan keraguan dalam kehidupanya dan
berserah diri kepada Tuhan. Jelas tersirat pada syair
tersebut bahwasanya masyarakat jawa menempatkan
Tuhan diatassegala-galanya, sebagai tempat berserah
diri dan menghilangkan segala kekhawatiran. Syair
lain yangmemuat nilai-nilai hubunganmanusiadengan
Tuhan juga terdapat pada syair lain, sebagai berikut:
We-ning angga : Air yang keluar dari badan
(Keringat, Keringet: jw)
Peksi jamang ngucap Janma : Burung bermahkota
yang bisa berbicara (Beo, Menco:
Jw)
Dipun enget, : Selalulah ingat
Lamun ketaman ing coba : Jika menerima cobaan.
Wasteng sela, : Nama lain dari sela (Batu, Watu:jw)
Sela kembang jro samodra : Batu berbentuk bunga
dalam lautan (Karang)
Mituruta : Turutilah,
Marang wulang kang utama : Kepada ajaran utama
Selain nilai-nilai Ketuhanan yang tercakup
dalam wangsalan sindhenan, nilai lain yang banyak
terdapat dalam wangsalan sindhenan adalah nilai-nilai
cinta kasih, nilai cinta kasih yang dimaksud adalah
hubungan asmara antara pria dan wanita, Contoh
wangsalan tersebut adalah:
Puspa kresna : Bunga yang berwarna hitam
(Telengan: jw)
Sapu Bale Winantara: Pembersih tempat sementara
(Kelut: jw)
Kalenglengan, : merasa bingung,
Kaluting lara asmara : Bingungnya dilanda cinta
Kawi Nedha : Bahasa kawi dari Meminta
(Nyuwun; kw)
Taksaka kang mawa pada : Ular yang berkaki (Buaya,
Baya;jw)
Sun sesuwun : saya berharap
Tumiliya karon Jiwa : Segera dapat berdua
Selanjutnya adalah nilai-nilai kenegaraan, nilai
kenegaraan yang dimaksut adalah nilai-nilai yang
berhubungan antara manusia sebagai rakyat
(Kawula:jw) dan Raja atau pemimpin yang
menjalankan jalannya pemerintahan. Nilai ini
memposisikan orang jawa sebagai masyarakat yang
tulus mengabdi dan memiliki dedikasi tinggi kepada
negara atau kerajaan tempatnya mengabdi hidup dan
mengabdi, selain itu nilai-nilai kenegaraan tersebut
diantaranya juga berbicara mengenai sebuah identitas
yang dijunjung tinggi dalam suatu negara, seperti
Pancasila. Nilai-nilai tersebut terdapat pada syair
wangsalan sebagai berikut:
Kawi lima : Bahasa kawi dari bilangan
lima (Panca: kw)
Putra priya dahyang drona : Anak laki-laki Drona
(Aswatama)
Pancasila : Pancasila
Dasaring nagri utama : Dasar dari sebuah negara
yang baik.
Kukus Harga : Asap yang terdapat di
Gunung (Ampak-ampak:
jw)
Harga Wetan Surakarta : Gunung di Timur
Surakarta (Lawu)
Kinapakna : Mau apa lagi,
Kawula mung nedya harja: Hamba hanya ingin
sesuatu yang baik.
E. Kesimpulan
Sindhen sebagai seorang pasindhiyan atau
seseorang yang melagukan syair yang berisi ajaran-
ajaran kehidupan, memiliki tanggung jawab yang
hampir sama dengan seorang dalang. Yakni
menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang hakiki.
Karena pada kenyataanya syair-syair sindhenan yang
salah satunya adalah wangsalan memiliki muatan-
muatan etis maupun estetis. Muatan-muatan estetis
terdapat pada pola penyusunan kalimat yang memiliki
pola susunan rima yang indah dengan
mempertimbangkan aspek pengulangan suara yang
tidak membosankan, sehingga membentuk pola
kalimat puitis. Sedangkan muatan-muatan etis
terdapat pada syair yang diucapkan yang memuat
Jurnal Seni Budaya
48 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018
banyak nilai kehidupan, seperti nilai Ketuhanan, Nilai
Cinta kasih dan Nilai pengabdian dan kenegaraan.
Nilai-nilai tersebut merupakancontohkecil dari
sekian banyak nilai yang terdapat pada wangsalan
sindhenan, dengan kata lain wangsalan sindhenan
bagi masyarakat jawa bukan saja dipandang sebagai
pemanis lagu dalam susunan musikal karawitan jawa
tetapi juga merupakan ideologi budaya yang menjadi
pandangan hidup orang jawa dalam memaknai
kehidupan.
KEPUSTAKAAN
Padmosoekotjo, S. 1960. Ng竪ngr竪ngan Kasusastran
Djawa II. Jogjakarta: Hien Hoo Sing.
Perlman, Marc. 1993. Unplayed Melodies: Music
Theory in Postcolonial Java. Disertasi.
Wesleyan: Wesleyan University.
Prawiroatmojo, S. 1985. Bausastra JawaIndone-
sia. Jilid III. Jakarta: Gunung Agung.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah. 1976. Ensiklopedi Seni Musik dan
Seni Tari Daerah Jawa Timur. Surabaya:
Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahayu Supanggah. 1983. Pokok-pokok Pikiran
tentang Garap, makalah disajikan dalam
diskusi mahasiswa dan dosen ASKI
Surakarta.
__________. 1984. Pengetahuan Karawitan,
makalah Pengabdian pada Masyarakat
(ASKI Surakarta).
__________. 1985. Introduction aux styles
dinterpretation dans la musique Javanais.
Th竪se de doctorat (musique), Universit辿 de
Paris.
__________. 1990. Balungan, dalam Seni
Pertunjukan Indonesia, Jurnal Masyarakat
Musikologi Indonesia Vol. I, No. 1:115136.
__________. 1994. Gatra, Inti dari Konsep Gendhing
Tradisi Jawa, dalam Wiled, Jurnal Seni
STSI Surakarta Th. I (1994):1326.
Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
__________. 1996. Seni Tradisi, Bagaimana Ia
Berbicara, makalah Penataran Tenaga
Peneliti Madia Dosen STSI Surakarta, pada
tanggal 29 Juni 1996.
__________. 2002. Both竪kan Karawitan I. Jakarta:
Ford Foundation dan Masyarakat Seni
Pertunjuk足an Indonesia.
Slamet Suparno,T. 1984/1985. Sindh竪nanAndhegan
Nyi Bei Mardusari. LaporanPenelitianASKI
Surakarta.
Soebagyo. 1992. Parikan Jawa Puisi Abadi. Jakarta:
PT. Aksara Garda Pustakatama.
Soenarto, R.P. 1980. Tuntunan Belajar Dasar-dasar
Tabuhan Karawitan Jawa Timuran.
Surabaya: Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia.
Sri Hastanto. 1985. The Concept of Pathet in Cen-
tral Javanese Gamelan Music. Disertasi
doktoral pada Durham University.
Sri Suyamti, V.M. 1985. GarapSindh竪nan Gendhing-
gendhing Surabaya di Dalam LarasSl辿ndro:
Suatu Studi Kasus Gaya Remu di RRI
Surabaya, Desa Embong Kaliasin,
Kecamatan Genteng, Kodya Surabaya.
Skripsi S-1. Surabaya: Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta.
Sri Toporini. 1980. Vokal Jineman Nyi Soemarmi.
Skripsi Sarjana Muda ASKI Surakarta.
Sudarko. 2013. Ragam Sulukan Wayang kulit Purwa
Gaya Yogyakarta: Studi Kasus Timbul
Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Suparman
dalam Resital Jurnal Seni Pertunjukan. Vol.
14 No. 1. Juni 2013: 56-70.
Sugeng Nugroho. 2003. Studi tentang Pertunjukan
Wayang Kulit Enthus Susmono. Tesis S-
2 Program Studi Pengkajian Seni, Program
Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indone-
sia (STSI) Surakarta.
__________. 2007. Konsep-konsep Artistik dan
Estetik Seni Pedalangan Jawa, dalam
Dewaruci Vol. 4 No. 3, Desember 2007 (hal.
319338). Surakarta: Program Pendidikan
Pascasarjana Institut Seni Indonesia.
Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa
Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 49
Sukesi Rahayu, Garap Sindhenan Jawa Timur
Surabayan, Surakarta: ISI Press, 2017
Sumarsam. 1976. Inner Melody in Javanese Mu-
sic. M.A. (music). Middletown, Connecti-
cut: Wesleyan University.
__________. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya dan
Perkembangan Musikal di Jawa.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suraji. 2005. Sindhenan Gaya Surakarta. Tesis S-
2 Program Studi Pengkajian Seni, Program
Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indone-
sia (STSI) Surakarta.
Suwarno. 1985. Garap Sindh竪nan Gendhing Jawa
TimurGaya Mojokerto dalam LarasSl辿ndro:
Suatu Studi Eksplore Toris Sulyani dan
Sutiah di Desa Randu Bangau, Kecamatan
Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Skripsi S-
1. Surabaya: Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatikta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
SoenartoTimoer. 1998. Serat Wewaton Padhalangan
Jawi Wetanan. Jilid I. Jakarta: Balai
Pustaka.
Waridi. 2000. Garap dalam Karawitan Tradisi:
Konsep dan Realitas Praktik, makalah
dipresentasikan dalam rangka Seminar
Karawitan Program Studi S-1 Seni
Karawitan, Program DUE-Like STSI
Surakarta.
__________. 2001. Martapangrawit, Empu Karawitan
Gaya Surakarta. Tesis S-2 Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan Uni足versitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Yogyakarta:
Mahavira.
__________. 2002. JinemanUlerKambang: Tinjauan
dari Berbagai Segi,dalam DewaRuci,Jurnal
Pengkajian dan Penciptaan Seni Program
Pascasarjana STSI Surakarta Vol. 1 No. 1
April 2002.
Widiastuti Rahma, Keindahan Bunyi Dalam Pantun
Berolek GodhangMasyarakat Melayu Luhak
Rokan Kecamatan Rokan IV Koto
Kabupaten Rokan Hulu, Skripsi Universi-
tas Riau, 2009
Zoetmolder, Kamus Jawa Kuna  Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1995

More Related Content

Sindhenan kesi

  • 1. Jurnal Seni Budaya 42 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 A. Pengantar Pesindhen berasal dari kata Pasindyan, yang secara ethimologis berarti seseorang yang melagukan nyanyian berisi sindiran-sindiran kehidupan (zoetmoelder, 1995: 1094). Pesindhen juga lazim disebut sebagai juru kawi, yakni orang yang memiliki kemampuan berbahasa kawi, dimana bahasa kawi adalah bahasa yang digunakan di dalam serat-serat dan manuskrip kuno. Manuskrip atau serat-serat lama yang ditembangkan oleh sindhen, tentunya merupakan serat-serat yang berisi banyakhal, diantara lain adalah nilai-nilai kehidupan yang saat itu dianggap ESTETIKAWANGSALAN DALAM LAGU SINDHENAN KARAWITAN JAWA Sukesi Rahayu Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta Jl. Ki Hajar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126 ABSTRAK Sindhenan merupakan salah satu aspek penting dalam pergelaran Karawitan Jawa baik dalam pertunjukan mandiri maupun fungsi karawitan sebagai salah satu pendukung pertunjukan yang memiliki unsur-unsur estetis maupun etis. Unsur-unsur estetis berkaitan dengan bentuk susunan frasa serta diksi yang digunakan dalam teks sindhenan, antara lain yang terdapat dalam wangsalan. Wangsalan merupakan salah satu teks sindhenan yang memiliki kandungan nilai yang dihayati dan diyakini sebagai pandangan hidup masyarakat jawa, nilai- nilai tersebut selanjutnya disebut sebagai nilai etisyang terbingkai dalam budaya jawa. Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji makna yang terkandung dalam wangsalan sindhenan yang dikaji dengan perspekstif estetika bunyi dan persajakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif dimana data yang disajikan merupaka data yang diperoleh secara langsung dari lapangan, dengan sudut pandang penulis sebagai pelaku. Hasil dari penelitian ini mengungkap makna yang terkandung dalam wangsalan yang disampaikan oleh seorang sindhen hubunganya dengan ideologi serta cara pandang orang jawa dalam memaknai kehidupan. Kata kunci: Sindhen, Wangsalan, Estetika Bunyi. ABSTRACT Sindhenan is an important aspect in the performance of Javanese Karawitan both in independent perfor- mances and karawitan functions as one of the supporting aspects of the performance that has aesthetic and ethical elements. Aesthetic elements are related to the form of the phrase structure and the diction used in the sindhenan text, including those in the wangsalan. Wangsalan is one of the sindhenan texts which has values that are appreciated and believed to be a Javanese view of life. These values are then referred to as ethical values framed in Javanese culture. This research studies the meaning contained in the sindhenan wangsalan which is studied with aesthetic perspectives of sound and poetry. The method used in this study is a qualitative research model where the data presented is data obtained directly from the field, with the authors perspective as the actor. The results of this study reveal the meaning contained in wangsalan conveyed by a sindhen in relation to the Javanese view and ideology in interpreting life. Keywords: Sindhen, Wangsalan, Sound Aesthetics. relevan. Belum banyaknya media informasi yang berkembang, membuat posisi juru kawi saat itu sangatlah dibutuhkan, terutama sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat kecil, sedangkan nyanyian atau lagu yang ditembangkan seorang sindhen ini lazim disebut sebagai sindhenan. Kehadiran seorang sindhen dalam panggung kesenian setidaknya dapat kita perkirakan telah ada sejak 908 Masehi, seperti yang disebutkan dalam prasasti Wukujana bahwa pada saat itu telah ada sebuah pertunjukan drama yang dibawakan oleh beberapa orang, ada yang mendalang, ada yang melawak, serta diiringi oleh seseorang yang
  • 2. Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 43 menyanyikan tembang, dengan lakon Bhima Khumara (Haryana, dalam Suyanto 2009:2). Artinya bahwa posisi seorang pelantun tembang (Sindhen) sejak dulu telah memiliki tempat tersendiri dalam sebuah pertunjukan yang bersifat ritus dikarenakan selain memiliki estetika bunyi yang dapat dinikmati, tembang-tembang tradisi juga memiliki muatan- muatan yang berisi nilai-nilai etis yang berisi nilai- nilai kehidupan didukung dengan pemilihan kata yang semakin menguatkan makna (Sudarko, 2013: 59). Dewasa ini, fungsi sinden tidak hanya sebagai penyampai nilai-nilai kehidupan yang universal. Selain juga sebagai penghias lagu, sindhen juga diposisikan sebagai seorang penghibur yang menjadi daya tarik pementasan. Kasus ini dapat ditemukan pada beberapa dekade terakhir. Dalam panggung wayang kulit misalnya, pada tahun 60-an, posisi duduk sindhen berada di belakang dalang sejajar dengan pengendhang, dengan dandanan yang sederhana bahkan tak jarang tanpa menggunakan make-up, artinya pada waktu itu satu-satunya icon yang ditampilkan dari seorang pesindhen adalah kemampuan tarik suara, serta menguasai berbagai bentuk tembang dalam bingkai karawitan pakeliran. Dekade 70-n, ketika nama Nartosabdo mulai naik daun, dalam sebuah pergelaran wayang, posisi tempat duduk sindhen mulai digeser menjadi disamping sang dalang, hal ini disinyalir kedudukan sindhen sudah tidak lagi menjadi penghias lagu semata, namun juga menjadi sebuah icon pertunjukan yang dijual sebagai bagian dari kemasan atau perabot fisik pertunjukan wayang yang dianggap memiliki daya tarik tersendiri (Manteb Soedarsono, wawancara: 21 september 2017). Bergesernya posisi sindhen sebagai objek tontonan, menjadikan sindhen kadang hanya dipandang sebagai objek eksploitasi visual saja, hal ini juga berdampakterhadapcarapandangmasyarakat awam kepada pesindhen itu sendiri yang kadang dipandang dalam segi negative saja, hal-hal negative yang dimaksud adalah posisi sindhen selalu dikaitkan dengan rendahnya moralitas yang disebabkan oleh kehadiran sindhen dimaknai sebagai semata-mata penghibur yang datang hanya untuk menuntaskan hasrat penonton yang haus hiburan, maka dari itu menurut penulis diperlukan adanya kajian secara teoritis mengenai unsur-unsur sindhenan terutama mengenai makna teksyang disampaikan hubunganya dengan nilai estetika dan etika yang terkandung dalam wangsalan sindhenan pada karawitan Jawa. B. Sindhenan dalam Karawitan Jawa Sindhenan merupakan lagu atau nyanyian yang dihasilkan seorang pesindhen yang dilagukan secara tunggal dan disajikan bersama-sama dengan beberapa atau seluruh ricikan gamelan yang mempresentasikan sebuah bentuk gendhing ( Sukesi, 2017:41). Sindhenan berdiri sendiri sebagai bentuk sajian vokal dalam karawitan jawa, disamping gerongan, macapat, dan bawa. Selain sebagai penghias lagu, sindhenan juga memiliki peranan penting dalam memberi ide musikal ricikan-ricikan garap seperti rebab, kendhang, genderbarung, bonang barung. Sertamembangunrasapadasebuahgendhing. Sebagai sebuah sajian vokal, sindhenan memiliki dua unsur yang saling terkait dalam penyajianya yakni lagu dan cakepan. Dua unsur ini sama sekali tidak dapat dipisahkan dalam sajian vokal sindhenan, lagu merujuk pada jalinan nada yang dibentuk dalam sajian sebuah gendhing, yang berhubungan dengan interprestasi pesindhen terhadap sebuah gendhing. Interprestasi pesindhen terhadap sebuah gendhing adalah hal yang tidak mudah dilakukan, hal ini ditentukan olehbeberapafaktorantara lain penguasan cengkok, dan kekuatan dalam menafsir sindhenan itu sendiri. Maka dari itu banyak hasil sindhenan yang berbeda meskipun dalam penyajian gendhing yang sama (Suraji, 2005: 2). Sedangkan cakepan atau syair merujuk pada teks-teks yang digunakan dalam melagukan tekhnik sindhenan, teks-teks ini biasanya menggunakan karya sastra lama seperti serat wedhatama, wulangreh, serat tripama, serat rama dan masih banyak lagi, bahkan dalam sindhenan Jawatimuran, teks-teks tersebut berkembang tidak hanya berpedoman pada serat-serat lama namun juga dibuat secara spontan diatas panggung, kasus ini biasanya banyak didapati dalam penggunaan teks parikan. Khusus dalam unsur teks ini, akan diuraikan lagi beberapa jenis teks dalam sajian sindhenan pada karawitan jawa, teks tersebut antara lain: 1. Wangsalan Wangsalan merupakan satu kalimat yang terdiri dari dua frase atau lebih, dan didalamnya terdapat teka-teki yang jawabanya berhubungan dengan kalimat tersebut. Cara memecahkan teka-teki pada teks wangsalan adalah dengan cara menghubungkan kata yang terdapat pada kalimat tersebut (Waridi, 2002: 127-128) Padmosoekotjo mengklasifikasi wangsalan menjadi empat jenis, yaitu: (1) wangsalan lamba, (2)
  • 3. Jurnal Seni Budaya 44 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 wangsalan rangkep (camboran), (3) wangsalan memet, dan (4) wangsalan padinan (1960:6). Wangsalan lamba adalah jenis wangsalan yang inti jawabannya hanya satu, misalnya: - Pindhang lulang (= kr竪c竪k) kac竪k apa aku karo kow辿. - Janur gunung (= ar竪n) kadingar竪n kow辿 teka. - Jenang gula (= glali) aja lali karo aku iki. - Balung klapa (= bathok) 辿thok-辿thok ora ngerti. Wangsalan rangkep (camboran) adalah jenis wangsalan yang isi jawabannya lebih dari satu. Wangsalan ini terdiri dari dua frasa, frasa pertama merupakan teka-teki, sedangkan frasa kedua merupakan jawabannya. Misalnya: - Jenang s辿la (= apu) wader kali sesondh竪ran (= sepat), apuranta y竪n wonten lepat kawula. - Jarwa surya (= sreng辿ng辿) surya lumeb竪ng ancala (= surup), srenging karsa mung nedya nyumurupana. - Riris harda (= deres) hardan辿 wong lumaksana (= mlayu), dresing karsa memayu hayuning praja. - D辿wa tirta (= Baruna) lampah辿 amungu n辿ndra (= subuh), pra taruna mati alabuh nagara. Wangsalan memet adalah jenis wangsalan yang dalam mencari jawabannya dengan menggunakan perbendaharaan kata sampai dua kali. Misalnya: - Uler kambang (= lintah) y竪n trima alon-alonan (= satitah辿, sakep辿nak辿) - Ngebun-ebun 辿njang (= awun) njejawah sonten (= tarabi/rarabi). Wangsalan padinan adalah jenis wangsalan yang tidak memerlukan jawaban, karena dianggap orang lain yang diajak berbicara sudah mengetahui jawabannya. Misalnya: - Wong ka辿 sajatin辿 krungu kandhaku, ning njangan gori (= gudheg = mbudheg). - suk-辿suk kok wis nggodhong garing (= klaras = nglaras). - Aja njenang gula karo aku (= glali = lali). - mBok aja ngrokok cendhak (= tegesan = neges- neges). Selain terdapat pada sajian sindhenan Jawa Tengah, penggunaan wangsalan saat ini juga lazim digunakan dalam sajian gendhing Jawa Timuran, Hal itu terbukti bahwa teks yang digunakan juga sama dengan teks wangsalan sindh竪nan Jawa Tengah, antara lain: - Carang wreksa, wreksa wilis tanpa patra; nora gampang, wong urip n竪ng ngalam ndonya. - Petis manis, sarin辿 kaca brenggala; aja ngucap, y竪n durung weruh ing rasa. - Ngr辿ka puspa, puspa kang nedheng w竪h ganda; gubah basa, mingkar-mingkur ing angkara. - Suk竪ng ndriya, ndriya sengsem r竪h ngaksama; murih rena, nenangi manah martana. - Ari S辿na, S辿na gelung minangkara; ng竪sthi arga, luhur darajating bangsa. - Kresna putra, putra Risang Dananjaya; sinambada, sih tresna sahabimanyu. 2. Parikan Parikan juga dapat disebut pantun jawa, adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua frasa, yang pada akhir frasa pertama dan frasa kedua mempunyai kesamaan bunyi vokal (Jawa: guru lagu atau guru swara). Frasa pertama berisi teks pertanyaan, sedangkan frasa kedua berisi jawaban. Setiap frasa tidak dibatasi oleh jumlah suku kata; ada yang 4 suku kata, 5 suku kata, 6 suku kata, 8 suku kata, bahkan 10 sampai 12 suku kata. Berikut ini beberapa contoh parikan dengan variasi jumlah suku kata pada setiap frasa. (1) Parikan yang dalam setiap frasa terdiri dari 4 4 suku kata X 2: Pitik blorok, ngendhog siji, jar辿 kapok, malah ndadi. (2) Parikan yang dalam setiap frasa terdiri dari 4 6 suku kata X 2: Numpak dh竪lman, lunga nyang Betawi, n竪k berjuang, kudu wani mati. (3) Parikan yang dalam setiap frasa terdiri dari 8 8 suku kata X 2: Jangan krokot jangan ulur, terik t辿mp辿 pinggir sumur, tresna abot manjing dulur, bisa aw竪t panjang umur. (4) Parikan bebas, adalah jenis parikan yang jumlah suku kata dalam setiap frasa tidak menentu: Aja nggulani lopis sak iris, lopis sak iris campuren klapa Aja mb辿lani penjajah imperalis, b辿lanana nasib辿 nusa lan bangsa. Menurut Soebagyo (1992:viiviii), parikan terbagi dalam dua bagian yang funda足mental, yang disebut sampiran dan isi. Sampiran adalah bagian pertama yang merupakan wadah, sedangkan isi adalah bagian kedua yang merupakan pelengkap, pasangan, atau jodoh bagi wadah yang sudah
  • 4. Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 45 dipersiapkan. Ditinjau dari bentuknya, sampiran berisi bunyi yang merupakan tantangan, sedangkan isi merupakan jawaban atas tantangan itu. Kedua unsur ini harus serasi dan saling melengkapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa parikan yang ideal mempunyai kriteria sebagai berikut. 1. Terdiri atas dua baris(disebut parikan tunggal) atau empat baris (disebut parikan ganda); masing- masing baris disebut gatra; 2. Masing-masing gatra terdiri atas dua potongan (disebut pedhotan); 3. Masing-masing pedhotan terdiri atas empat suku kata (disebut wanda); 4. Pada parikan dua gatra, gatra pertama adalah sampiran dan gatra kedua adalah isi; 5. Pada parikan empat gatra, dua gatra pertama adalah sampiran dan dua gatra kedua adalah isi; 6. Sajak parikan berupa sajak silang: ab untuk parikan tunggal, abab untuk parikan ganda. Contoh parikan tunggal: (1) Abang-abang ora legi, Klambi abang manas ati. (Merah-merah tidak manis, Baju merah bikin panas.) (2) Brambang diiris-iris, Mata abang mentas nangis. (Bawang diiris-iris, Mata merah baru saja menangis.) Contoh parikan ganda: (1) Jangan krokot jangan辿 alur, terik dh辿w辿 pinggir sumur; Trisna abot manjing sedulur, Ken竪ka aw竪t sak-umur-umur. (Sayur kerokot sayur aluran, dimasak terik di pinggir sumur; Cinta yang berat menjadi saudara, Semoga tahan sepanjang umur.) (2) Taksi nggak kurang taksi, nyegat opl竪t kliru praoto; Aksi nggak kurang aksi, mbukak dhomp竪t isin辿 mbako. (Taksi tidak kurang taksi, mencegat oplet keliru prahoto; Aksi tidak kurang aksi, membuka dompet isinya tembakau 3. Senggakan Kata senggakan memiliki kata dasar senggak yang berarti nyuwara giyak aram辿 mbarengi (nyambungi) unin辿 gamelan (bersuara ramai kegirangan menyertai suara gamelan). Senggakan berarti tetembangan sing dienggo senggak yaitu vokal tunggal atau bersama-sama dalam suasana riuh yang menyertai suara gamelan (Prawiroatmojo, 1985:II:186). Dengan demikian senggakan dapat diartikan: vokal bersama atau tunggal dengan menggunakan cakepan parikan dan/atau serangkaian kata-kata (terkadang tanpa makna) yang berfungsi untuk mendukung terwujudnyasuasana ramai dalam sajian suatu gending (Suraji, 2005:48). Senggakan pada umumnya dilakukan oleh sejumlah pengrawit atau wiraswara, bahkan kadang- kadangjugaoleh pesindh竪n tetapi bukan vokal tunggal. Kedudukan senggakan dalam gending adalah untuk melengkapi teks atau cakepan pokok. Isi teks senggakan kadang-kadang tidak berkaitan dengan teks pokok. Namun demikian adakalanya senggakan berfungsi memberi komentar atau jawaban terhadap teks pokok. 4. Abon-abon Abon-abon adalah cakepan sindh竪nan yang berfungsi sebagai pelengkap atau selingan teks pokok. Teks is竪n-is竪n tidak mempunyai hubungan kalimat dengan teks pokok, sehingga hanya berkedudukan sebagai pemanis sindh竪nan: 揃 Rama-rama raman辿 dh辿w辿 揃 Man 辿man-辿man 揃 La l辿la-l辿la 揃 Ya ndhuk 揃 Ya mas. Mengingat keberadaan teks is竪n-is竪n ini difungsikan sebagai pelengkap, maka dalam praktiknya tidak harus disajikan, tidak pokok, hanya sebagai penghiasatau pemanis. Pada bentuk gending tertentu dalam satu kalimat lagu kenong atau kalimat lagu gong kadang-kadang memiliki kalimat lagu yang panjang, sehingga untuk menambah ke足kosongan pada cakepan sindh竪nan diperlukan adanya is竪n-is竪n.
  • 5. Jurnal Seni Budaya 46 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 C. Estetika Wangsalan Sindhenan Pesindhen sebagai juru tembang, atau seorang pashindyan seperti yang disebutkan didepan merupakan seorang yang melagukan teks yang berisi sindiran-sindiran kehidupan, sindiran yang dimaksud merupakan ajaran mengenai nilai moralitas yang terdapat pada setiap sendi kehidupan, artinya posisi sindhen bukan merupakan penghias lagu atau penghias pementasan semata terlebih sindhen merupakan seorang penyampai nilai-nilai yang brkaitan dengan kehidupan secara hakiki. Untuk mengupas secara rinci teks-teks wangsalan dalam perspektif estetika tentunya perlu juga mengkaji pendekatan-pendekatan estetika bunyi dan persajakan yang digunakan untuk mengupasnilai- nilai yang terkandung. Wangsalan sidhenan sebagai salah satu bentuk kesusastraan jawa memiliki keindahan tersendiri hal ini dianalisis dari kata-kata yangdisajikan dan juga maknayangterkandung dalam susunan kata tersebut, sebagaimana keindahan merupakan sesuatu yang memiliki unsur baik dan benar, unsur baik merujuk pada susunan wujud dari kata-kata yang disajikan, sedangkan benar merujuk pada nilai-nilai yang terdapat pada kata tersebut (Katsoff dalam Margono, 2004: 336). Wangsalan sebagai sebuah karya sastra memiliki susunan frasa yang estetik, untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui contoh sebagai berikut: Garwa Nata, (prameswari): Istri Raja, Nata ing nagri Cempala, (waspada): Raja di Negara Cempala(Drupada) Sari ratri, : Siang malam Kudu Eling lan Waspada : Harus waspada dan berhati-hati Penggalan wangsalan diatas menunjukan sebuah susunan frasa yang memiliki rima yang indah, rima tersebut terlihat pada pengulangan dua kata yang saling bersambungan, (Garwa Nata, Nata ing nagri Cempala) pengulangan kata Nata dalam wangsalan tersebut, memberikan kesan irama yang merdu, tertata dan kesan estetik pada pendengaran serta perasaan oleh sebab itu efek bunyi yang ditimbulkan menjadi semakin indah (Widiastuti, 2009: 11). Selain pada jalinan rima, kesan estetik juga terdapat pada nilai-nilai yang terkandung di dalam wangsalan tersebut, wangsalan diatas memberikan sebuah pitutur (Nasehat) jawa yang mengajak setiap orang yang mendengarkan agar berhati-hati setiap waktu. (Sari ratri, kudu eling lan waspada). Kata sari dalam konteks ini bukan merupakan sari dalam artian inti ataupun pokok dari sesuatu, namun kata sari yang dimaksud merupakan bentuk pengucapan kata Sahari yang berarti satu hari, yang menjadi luluh karena tuntutan guru wilangan (jumlah kata dalam susunan puisi jawa). Contoh lain kesan estetik yang ditimbulkan pada wangsalan sindhenan terletak pada bentuk wangsalan sebagai berikut ini: Witing klapa, : Pohon Klapa (Glugu; jw) Kalapa kang maksihmudha: Kelapa yang masih muda (Cengkir: jw) Salugune, : Selayaknya Mung mardi pikir raharja : Hanya mencari ke- tentraman jiwa Dalam teks tersebut, pengulangan kata Klapa memperkuat frasa yang terbentuk dan memberikan kesan keindahan pada puisi tersebut, selain itu kesan estetik juga terbentuk atas sajak yang membentuk keselarasan bunyi yakni penggunaan konsonan (a) yang kuat: Klapa, Mudha, dan Raharja. D. Relevansi Nilai Wangsalan Sindhenan Krawitan Jawa Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa. Wangsalan sindhenan sebagai salah satu bagian dari kebudayaan memiliki posisi yang khusus dalam kehidupan masyarakat jawa, hal ini dapat terlihat dari sebagian besar teks-teks sindhenan memuat nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan budaya jawa, nilai-nilai tersebut dihayati dan dijadikan cara pandang terhadap kehidupan bagi masyarakat dengan latar belakang kebudayaan jawa. Nilai-nilai yang terkandung tersebut diantaranya adalah cara pandang hidup orang jawa terhadap Tuhan sebagai pencipta awal dan akhir kehidupan, ajaran-ajaran Ketuhanan semacam ini lazim disebut dengan konsep sangkan paraning dumadi, yakni sebuah keyakinan bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepasdari Tuhan, hidup dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan (Amir, 1991: 69). Wangsalan sindhen sebagai salah satu bentuk puisi jawa yang memuat pandangan hidup orang jawa, juga syarat akan ajaran-ajaran Ketuhanan, pengembangan dari ajaran tersebut selanjutnyaberbentuk ajaran moral dan budi pekerti, nilai-nilai tersebut diantaranya tertuang dalam syair wangsalan sebagai berikut: Kawis pita, (Maja): Buah kawis yang berwarna Kuning
  • 6. Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 47 Kang lata kentiring toya (Larahan) : Daun-daun kering yang hanyut di sungai (Larahan: Jw) Aja uwas, : Jangan Khawatir Den sumarah mring hyang sukma : Pasrahlah kepada Tuhan. Kawis pita merupakan ungkapan Jawa yang merujuk pada buahkawisyang berwarnakuning (Maja) maka dari itu jawaban atas susunan kata Kawis pita adalah (Aja), sedangkan kata lata kentiring toya merujuk pada arti larahan atau sampah daun kering, sehingga jawaban atas pertanyaan tersebut terletak pada kata sumarah, yang berarti pasrah. Teks wangsalan tersebut mengajak pendengar untuk menyingkirkan keraguan dalam kehidupanya dan berserah diri kepada Tuhan. Jelas tersirat pada syair tersebut bahwasanya masyarakat jawa menempatkan Tuhan diatassegala-galanya, sebagai tempat berserah diri dan menghilangkan segala kekhawatiran. Syair lain yangmemuat nilai-nilai hubunganmanusiadengan Tuhan juga terdapat pada syair lain, sebagai berikut: We-ning angga : Air yang keluar dari badan (Keringat, Keringet: jw) Peksi jamang ngucap Janma : Burung bermahkota yang bisa berbicara (Beo, Menco: Jw) Dipun enget, : Selalulah ingat Lamun ketaman ing coba : Jika menerima cobaan. Wasteng sela, : Nama lain dari sela (Batu, Watu:jw) Sela kembang jro samodra : Batu berbentuk bunga dalam lautan (Karang) Mituruta : Turutilah, Marang wulang kang utama : Kepada ajaran utama Selain nilai-nilai Ketuhanan yang tercakup dalam wangsalan sindhenan, nilai lain yang banyak terdapat dalam wangsalan sindhenan adalah nilai-nilai cinta kasih, nilai cinta kasih yang dimaksud adalah hubungan asmara antara pria dan wanita, Contoh wangsalan tersebut adalah: Puspa kresna : Bunga yang berwarna hitam (Telengan: jw) Sapu Bale Winantara: Pembersih tempat sementara (Kelut: jw) Kalenglengan, : merasa bingung, Kaluting lara asmara : Bingungnya dilanda cinta Kawi Nedha : Bahasa kawi dari Meminta (Nyuwun; kw) Taksaka kang mawa pada : Ular yang berkaki (Buaya, Baya;jw) Sun sesuwun : saya berharap Tumiliya karon Jiwa : Segera dapat berdua Selanjutnya adalah nilai-nilai kenegaraan, nilai kenegaraan yang dimaksut adalah nilai-nilai yang berhubungan antara manusia sebagai rakyat (Kawula:jw) dan Raja atau pemimpin yang menjalankan jalannya pemerintahan. Nilai ini memposisikan orang jawa sebagai masyarakat yang tulus mengabdi dan memiliki dedikasi tinggi kepada negara atau kerajaan tempatnya mengabdi hidup dan mengabdi, selain itu nilai-nilai kenegaraan tersebut diantaranya juga berbicara mengenai sebuah identitas yang dijunjung tinggi dalam suatu negara, seperti Pancasila. Nilai-nilai tersebut terdapat pada syair wangsalan sebagai berikut: Kawi lima : Bahasa kawi dari bilangan lima (Panca: kw) Putra priya dahyang drona : Anak laki-laki Drona (Aswatama) Pancasila : Pancasila Dasaring nagri utama : Dasar dari sebuah negara yang baik. Kukus Harga : Asap yang terdapat di Gunung (Ampak-ampak: jw) Harga Wetan Surakarta : Gunung di Timur Surakarta (Lawu) Kinapakna : Mau apa lagi, Kawula mung nedya harja: Hamba hanya ingin sesuatu yang baik. E. Kesimpulan Sindhen sebagai seorang pasindhiyan atau seseorang yang melagukan syair yang berisi ajaran- ajaran kehidupan, memiliki tanggung jawab yang hampir sama dengan seorang dalang. Yakni menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang hakiki. Karena pada kenyataanya syair-syair sindhenan yang salah satunya adalah wangsalan memiliki muatan- muatan etis maupun estetis. Muatan-muatan estetis terdapat pada pola penyusunan kalimat yang memiliki pola susunan rima yang indah dengan mempertimbangkan aspek pengulangan suara yang tidak membosankan, sehingga membentuk pola kalimat puitis. Sedangkan muatan-muatan etis terdapat pada syair yang diucapkan yang memuat
  • 7. Jurnal Seni Budaya 48 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 banyak nilai kehidupan, seperti nilai Ketuhanan, Nilai Cinta kasih dan Nilai pengabdian dan kenegaraan. Nilai-nilai tersebut merupakancontohkecil dari sekian banyak nilai yang terdapat pada wangsalan sindhenan, dengan kata lain wangsalan sindhenan bagi masyarakat jawa bukan saja dipandang sebagai pemanis lagu dalam susunan musikal karawitan jawa tetapi juga merupakan ideologi budaya yang menjadi pandangan hidup orang jawa dalam memaknai kehidupan. KEPUSTAKAAN Padmosoekotjo, S. 1960. Ng竪ngr竪ngan Kasusastran Djawa II. Jogjakarta: Hien Hoo Sing. Perlman, Marc. 1993. Unplayed Melodies: Music Theory in Postcolonial Java. Disertasi. Wesleyan: Wesleyan University. Prawiroatmojo, S. 1985. Bausastra JawaIndone- sia. Jilid III. Jakarta: Gunung Agung. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1976. Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Tari Daerah Jawa Timur. Surabaya: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rahayu Supanggah. 1983. Pokok-pokok Pikiran tentang Garap, makalah disajikan dalam diskusi mahasiswa dan dosen ASKI Surakarta. __________. 1984. Pengetahuan Karawitan, makalah Pengabdian pada Masyarakat (ASKI Surakarta). __________. 1985. Introduction aux styles dinterpretation dans la musique Javanais. Th竪se de doctorat (musique), Universit辿 de Paris. __________. 1990. Balungan, dalam Seni Pertunjukan Indonesia, Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia Vol. I, No. 1:115136. __________. 1994. Gatra, Inti dari Konsep Gendhing Tradisi Jawa, dalam Wiled, Jurnal Seni STSI Surakarta Th. I (1994):1326. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia. __________. 1996. Seni Tradisi, Bagaimana Ia Berbicara, makalah Penataran Tenaga Peneliti Madia Dosen STSI Surakarta, pada tanggal 29 Juni 1996. __________. 2002. Both竪kan Karawitan I. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjuk足an Indonesia. Slamet Suparno,T. 1984/1985. Sindh竪nanAndhegan Nyi Bei Mardusari. LaporanPenelitianASKI Surakarta. Soebagyo. 1992. Parikan Jawa Puisi Abadi. Jakarta: PT. Aksara Garda Pustakatama. Soenarto, R.P. 1980. Tuntunan Belajar Dasar-dasar Tabuhan Karawitan Jawa Timuran. Surabaya: Sekolah Menengah Karawitan Indonesia. Sri Hastanto. 1985. The Concept of Pathet in Cen- tral Javanese Gamelan Music. Disertasi doktoral pada Durham University. Sri Suyamti, V.M. 1985. GarapSindh竪nan Gendhing- gendhing Surabaya di Dalam LarasSl辿ndro: Suatu Studi Kasus Gaya Remu di RRI Surabaya, Desa Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kodya Surabaya. Skripsi S-1. Surabaya: Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta. Sri Toporini. 1980. Vokal Jineman Nyi Soemarmi. Skripsi Sarjana Muda ASKI Surakarta. Sudarko. 2013. Ragam Sulukan Wayang kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Studi Kasus Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito, dan Suparman dalam Resital Jurnal Seni Pertunjukan. Vol. 14 No. 1. Juni 2013: 56-70. Sugeng Nugroho. 2003. Studi tentang Pertunjukan Wayang Kulit Enthus Susmono. Tesis S- 2 Program Studi Pengkajian Seni, Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indone- sia (STSI) Surakarta. __________. 2007. Konsep-konsep Artistik dan Estetik Seni Pedalangan Jawa, dalam Dewaruci Vol. 4 No. 3, Desember 2007 (hal. 319338). Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Institut Seni Indonesia.
  • 8. Sukesi Rahayu: Estetika Wangsalan dalam Lagu Sindhenan Karawitan Jawa Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 49 Sukesi Rahayu, Garap Sindhenan Jawa Timur Surabayan, Surakarta: ISI Press, 2017 Sumarsam. 1976. Inner Melody in Javanese Mu- sic. M.A. (music). Middletown, Connecti- cut: Wesleyan University. __________. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suraji. 2005. Sindhenan Gaya Surakarta. Tesis S- 2 Program Studi Pengkajian Seni, Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indone- sia (STSI) Surakarta. Suwarno. 1985. Garap Sindh竪nan Gendhing Jawa TimurGaya Mojokerto dalam LarasSl辿ndro: Suatu Studi Eksplore Toris Sulyani dan Sutiah di Desa Randu Bangau, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Skripsi S- 1. Surabaya: Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. SoenartoTimoer. 1998. Serat Wewaton Padhalangan Jawi Wetanan. Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka. Waridi. 2000. Garap dalam Karawitan Tradisi: Konsep dan Realitas Praktik, makalah dipresentasikan dalam rangka Seminar Karawitan Program Studi S-1 Seni Karawitan, Program DUE-Like STSI Surakarta. __________. 2001. Martapangrawit, Empu Karawitan Gaya Surakarta. Tesis S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Uni足versitas Gadjah Mada Yogyakarta. Yogyakarta: Mahavira. __________. 2002. JinemanUlerKambang: Tinjauan dari Berbagai Segi,dalam DewaRuci,Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Program Pascasarjana STSI Surakarta Vol. 1 No. 1 April 2002. Widiastuti Rahma, Keindahan Bunyi Dalam Pantun Berolek GodhangMasyarakat Melayu Luhak Rokan Kecamatan Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu, Skripsi Universi- tas Riau, 2009 Zoetmolder, Kamus Jawa Kuna Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995