際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Tiranny of The Bottom Line
Ralph W. Estes dalam bukunya Tiranny of The Bottom Line menceritakan tentang
fenomena orang-orang yang pada awalnya baik menjadi berperilaku buruk pada saat mereka
masuk dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena adanya praktek tyranny of the
bottom line yang diterapkan di dalam perusahaan-perusahaan besar tersebut. Tiranny of the
bottom line menceritakan tentang kekacauan korporasi yang terjadi di Amerika, yaitu:
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membawa dampak sosial dan ekonomi yang sangat
besar bagi jutaan orang Amerika, tapi disisi lain gaji CEO menjulang tinggi tak terjangkau
bagai bumi dan langit dibandingkan dengan pekerja, limbah pabrik yang mencemari tanah,
air, dan udara, produk tidak sehat yang beredar di pasaran, kecelakaan kerja, dan kejahatan
kerah putih di Wall Street yang pada akhirnya merugikan semua orang.
Menjawab pertanyaan, apakah orang-orang yang pada awalnya baik bisa menjadi
berperilaku buruk pada saat mereka masuk dalam suatu perusahaan? Jawaban kami adalah:
BISA dan peluang untuk menjadi buruk itu besar karena tuntutan mendapatkan LABA untuk
investor dan perusahaan tempat mereka bekerja sangat tinggi sehingga banyak diantara
orang-orang baik itu menjadi berfikir fragmatis.
Saat ini banyak kita lihat orang- orang jujur yang masih produktif terdepak dari
pekerjaan mereka akibat downsizing(perampingan) yang dicanangkan perusahaan dalam
rangka maksimalisasi laba, dan kembali kita bertanya apakah perolehan laba perusahaan yang
besar pantas mengorbankan kebahagian umat manusia.

Akar Permasalahan
Dalam bukunya Ralph telah memaparkan beberapa akar permasalahan dari
terbentuknya tirani ini, yaitu diantaranya adalah terdapatnya pergeseran arah tujuan
perusahaan, kekuasaan perusahaan tanpa akuntabilitas, dan terbentuknya kerajaan korpokrasi.
Pada awalnya tujuan perusahaan didirikan oleh kerajaan untuk melayani kepentingan
negara atau kerajaan. Kemudian faham demokrasi mengadopsi tradisi berdirinya perusahaan
guna melayani kepentingan umum.Sedangkan para investor dijanjikan keuntungan sebagai
perangsang agar bersedia mendanai perusahaan, namun pembagian keuntungan bagi para
investor hanya bersifat sekunder bagi tujuan perusahaan yang sesungguhnya, yaitu
memberikan keuntungan bagi masyarakat umum (Estes).Dalam gambaran ini jelas terlihat
bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk kepentingan umum, dan bukan untuk
kepentingan pemilik saham.
Ternyata dengan perkembangan zaman, tujuan perusahaan untuk melayani
kepentingan publik tersebut telah berubah digunakan untuk kepentingan pribadi atau
kelompok, sehingga persoalan mengutamakan laba mengorbankan para stakeholder- para
karyawan, pelanggan, pemasok, masyarakat, dan bangsa kita- dan mengabaikan masyarakat.
Dalam buku Tiranny of The Bottom Line telah diuraikan bahwasannya sistem
perusahaan saat ini lebih mengedepankan laba ketimbang manusia, dan pertanggungjawaban
yang tidak jelas oleh perusahan- perusahan tersebut kepada para stakeholder.Dalam konteks
perusahaan, Ralph menyebutkan tekanan untuk mencari profit yang sebesar-besarnya telah
menyebabkan perusahaan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
sosialnya dalam melindungi konsumen, memberikan produk terbaik yang sesuai dengan
kebutuhan konsumen, mengembangkan pekerja-pekerjanya dan membuat mereka sejahtera,
serta turut menjaga lingkungannya. Orang-orang baik di perusahaan, orang-orang pintar,
orang-orang ahli seakan kehilangan semua kemampuan, kebaikan, kejujuran, dan keahliannya
dibawah tekanan pemilik modal yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya.Malah
yang terjadi sebaliknya, dimana orang-orang pintar berusaha melegitimasi tindakan-tindakan
tidak terpujinya dengan kepintarannya berargumentasi.
Kelompok kami juga sependapat dengan Ralph dimana tekanan untuk mencari profit
sebesar-besarnya telah menjadi tyranny yang membuat orang pintar tak berdaya dan
membuat orang baik bertindak buruk. Tentu kita bisa melihat banyak contoh dimana tyranny
ini begitu luar biasa merusak akal sehat manusia.Selain itu menurut kamiTiranny of The
Bottom

Line

tersebut

berawal

dari

munculnya

teori

keagenan

dan

sistem

kapitalisme.Menurut Gorz disebutkan, dalam kapitalisme, faktor-faktor produksi seperti
sumber daya alam, alat-alat produksi dan tenaga kerja dikombinasikan sedemikian rupa untuk
menciptakan kemungkinan terbesar bagi tercapainya penimbunan keuntungan.Sementara
agency theory menempatkan pihak agen (manajemen perusahaan) dan principal (investor)
sebagai pihak yang memiliki akses dan mendapatkan kontribusi (keuntungan) terbesar dari
perusahaan.Perusahaan dianggap hanya bertanggung jawab untuk menghasilkan laba sebesarbesarnya bagi kepentingan para investor.
Sebagai contoh dokter-dokter di rumah sakit misalnya, tentu mereka faham betul
bagaimana seharusnya menangani pasien dengan baik.Nilai-nilai kemanusiaan yang mereka
miliki, sumpah profesi yang telah mereka jalani, tentu mendorong mereka untuk berbuat yang
terbaik bagi pasien.Namun tekanan pemilik rumah sakit seringkali menyebabkan dokter
kehilangan nurani.Ibu hamil tua yang tidak seharusnya disesar malah disesar, pasien miskin
sulit dilayani, bahkan mereka yang sekarat dibiarkan tetap merintih sebelum ada orang yang
bisa menggaransi bagaimana keuangannya nanti.
Guru-guru faham betul misinya sebagai pendidik. Namun tekanan-tekanan sekolah,
maupun tekanan-tekanan ekonomi keluarga telah memaksanya melakukan tindakan-tindakan
yang sama sekali berlawanan dengan tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Mereka
tahu bahwa memberikan contekan saat ujian adalah tindakan kecurangan yang tidak hanya
melanggar hukum, melainkan juga telah merusak semua ajaran kejujuran yang telah
ditanamkan sebelumnya. Tapi tyranny bernama reputasi sekolah, tekanan kepala sekolah,
ataupun tekanan kepala dinas telah memaksa mereka bertindak melawan nilai-nilai kejujuran
yang diajarkannya sendiri.
Para

birokrat

faham

betul

mengenai

doktrin-doktrin

pelayanan

terhadap

masyarakat.Sumpah jabatan saat mereka diangkat maupun pada setiap kenaikan pangkat
sangat jelas menuntut komitmen mereka untuk mengabdi dan mendahulukan kepentingan
orang banyak.Namun dorongan untuk mencari kekayaan pribadi lewat jalur birokrasi telah
menyebabkan mutu layanan publik berantakan.Ketika datang ke instansi pemerintah, rakyat
merasa mereka tidak sedang berhadapan dengan para pelayannya melainkan berhadapan
dengan para penghisap yang harus diwaspadai dan disiasati.Kalau tidak ada urusan yang
memaksa rasanya mereka lebih memilih untuk tidak kembali.Bahkan jika urusannya bisa
dialihkan, rakyat memilih mengalihkan urusannya kepada pihak ketiga untuk berhadapan
dengan birokrasi.
Dai-dai sangat faham mengenai tugas dawah mereka dalam mendidik dan
mencerahkan ummat, memberikan pegangan hidup berlandaskan Al-Quran dan Sunnah
secara konsisten dan konsekuen.Namun saat pemilihan presiden kemarin kita menyaksikan
tidak sedikit dai yang mencari-cari alasan keberfihakan yang tidak sesuai dengan tuntunan
syari hanya semata-mata tekanan kursi dan materi.Ummat dibuat bingung, karena doktrin
yang mereka terima selama ini mengarahkan mereka untuk memilih pemimpin yang paling
beriman dan bertakwa diantara alternatif yang ada.Tiba-tiba doktrin ini seperti dibatalkan
dengan alasan politik.Pemimpin yang relatif lebih Islami tidak dipilih, sementara pemimpin
yang percaya sihir malah diperjuangkan sampai mati.Kita melihat ayat-ayat Quran seperti
diperjualbelikan dengan harga yang murah sekali.Tyranny of the bottom line bernama kursi
dan materi tanpa sadar telah memaksa Dai yang seharusnya melakukan pencerahan malah
melakukan pembodohan terhadap ummat.
Tyranny of the bottom line sesungguhnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan
pada siapa saja.Tyranny ini muncul akibat manusia terjebak pada kepentingan-kepentingan
jangka pendeknya.Mungkin banyak juga diantara kita yang rela mengorbankan masa
depannya hanya untuk kepentingan sesaatnya, baik disadari maupun tidak. Situasi langka
pilihan, keadaan mendesak, maupun keinginan cepat sukses seringkali mendorong kita
memilih untuk menuntaskan semuanya hari ini, sehingga seakan-akan hari depan telah mati.
Karena berlomba memenuhi kepentingan hari ini, banyak orang yang tidak peduli dengan
prinsip, nilai, akal sehat, maupun hati nurani.

Solusi petunjuk praktis
Dalam buku Tyranny of the bottom line diuraikan oleh Ralph Estes bahwa saat ini
para manajer perusahaan telah membuat keputusan- keputusan mereka dengan berpedoman
pada definisi yang sempit dan kurang memadai tentang pemahaman atas keuntungan. Meski
standar- standar lain dari waktu ke waktu diumumkan, bottom line adalah satu- satunya
standar kinerja yang secara kontinyu dan konsisten digunakan oleh manajer. Dalam
menimbang keputusan sehari-hari , moralitas pribadi dan niat baik manajer seringkali
dikorbankan demi tindakan- tindakan yang bisa merugikan stakeholder, tapi diharapkan dapat
meningkatkan bottom line. Bukan berarti mereka orang jahat.Ini berarti mereka berada dalam
cengkeraman system evaluasi kinerja perusahaan yang tidak pernah dirancang untuk
mempertanggungjawabkan kinerja perusahaan.
Menurut kami dalam teori etika disebutkan salah satu teori etika adalah utilitarianisme
(berasal dari bahasa latin utilis yang berarti bermanfaat). Menurut teori ini suatu perbuatan
adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan sajasatudua
orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.Dalam rangka pemikiran utilitarianisme,
kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of
the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.Teori ini cocok
sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis.
Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung
dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.
Jadi benar adanya dimana yang menjadi penyebab manajer yang baik menjadi buruk
adalah karena mereka terjebak pada kondisi penilaian kinerja yang sangat utilitarian dan
parsial sehingga mereka harus mendapatkan laba setinggi-tingginya, tanpa peduli
perbuatannya merugikan publik atau tidak.Banyak contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari
memperlihatkan manajemen perusahaan yang bertindak merugikan publik demi mencari
keuntungan/laba semata.
Hal itulah yang akhirnya menjadi pertanyaan bagi kelompok kami, sebenarnya seperti
apa konsep kinerja akuntansi apabila dihubungkan dengan semakin tidak manusiawinya
perusahaan dalam mencari keuntungan. Seperti halnya kita ketahui untuk mengetahui
keberlangsungan hidup dan mengetahui perkembangan suatu perusahaan digunakan alat ukur
atas kinerja manajemen perusahaan. Ukuran kinerja yang digunakan perusahaan ada beberapa
jenis yaitu diantaranya: ROA, ROI, dan EVA.
ROA (Return On Asset) digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. ROA dihitung
dengan cara: laba bersih sebelum pajak dibagi total aktiva. Yang menjadi dasar pengukuran
ROA tersebut adalah laba perusahaan yang berarti kinerja manajer dalam menghasilkan laba
sebesar-besarnya dan sayangnya laba dimaksud adalah laba yang dilihat hanya dari sisi agen
(manajemen perusahaan) dan principal (investor) dan samasekali tidak ada kepentingan
publik didalamnya. Menyadari kekurangan ROA, kemudian ditambahkan ukuran kinerja ROI
(Return on Invesment), yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan dalam
menghasilkan laba dan dihitung dengan cara: laba bersih operasi dibagi total aktiva. Dalam
hal ini parameternya tetap laba perusahaan dan tentunya adalah laba untuk manajemen
perusahaan dan investor.Pengembangan berikutnya untuk mengukur kinerja perusahaan
adalah konsep EVA (Economic Value Added).Tetapi ternyata EVA tetap memiliki kelemahan
karena yang digunakan untuk menghitungnya adalah laba operasional setelah pajak dikurangi
(biaya tertimbang rata-rata atas modal dikalikan total modal terpakai).
Dalam bukunya, Ralph Estes memberikan solusi agar manajemen mengubah system
evaluasi kinerja perusahaan. Perkenalkan system yang valid dan relevan karena manajer akan
menghasilkan tindakan- tindakan dan keputusan yang lebih laras dengan seluruh tujuan
perusahaan yang sering kali cukup kuat dalam mengartikulasikan tujuan- tujuan social yang
bertanggung jawab.
Bila perusahaan, melalui system penilaiannya, sungguh- sungguh bergerak untuk
mengevaluasi para manajer tidak berdasarkan satu dimensi saja, tetapi pada keseimbangan
yang mereka capai diantara beberapa dimensi, maka para manajer akan tanggap dan segera
mencari keseimbangan itu. Perusahaan tidak hanya mengakui tanggung jawab ligkungan
dalam pernyataan misi korporatnya, tetapi juga memaksa para manajer bertanggung jawab
atas kinerja actual perusahaan atas dimensi profitabilitas financialnya, maka para manajer
niscaya akan lebih cermat memperhitungkan dampak lingkungandari setiap keputusan seharihari mereka.
Untuk memudahkan pemahaman kita terhadap bagaimana merubah system penilain
kinerja, karena ukuran kinerja keuangan dengan ROA, ROI, dan EVA dianggap sudah tidak
memadai lagi, maka salah satunya dengan dikembangkan pengukuran baru bernama
Balanced Scorecard (BSC). Pengukuran ini dimulai sejak tahun 1990 ketika Nolan Norton
Institute, sebuah badan riset KPMG mensponsori penelitian yang berlangsung selama satu
tahun yang melibatkan berbagai perusahaan. Balanced Scorecard terdiri atasempat
perspektif, yaitu: keuangan, pelanggan, internal, serta inovasi dan pembelajaran. Menurut
Kaplan dan Norton, 2000: vii-viii): pada prinsipnya keempat perspektif tersebut
dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka
panjang, antara ukuran keuangan dan non non-keuangan, antara indikator lagging dan
indikator leading, dan antara perspektif kinerja eksternal dan internal. Tujuan akhir dari
keempat perspektif Balanced Scorecard tetap bermuara pada aspek keuangan.Ada beberapa
hal yang tidak dibahas dalam Balanced Scorecard.Tidak ada pembahasan sama sekali tentang
lingkungan yang merupakan factor penentu bagi keberlangsungan pemasok bahan baku dan
juga tidak dibahas dampak sosial dari keberadaan perusahaan.
Pengabaian masalah lingkungan dan aspek sosial jelas merupakan suatu masalah bagi
kelangsungan hidup (survival) perusahaan.Ini disebabkan oleh karena survival tersebut terkait
erat dengan legitimasi sosial atau keberadaan suatu perusahaan pada suatu komunitas
tertentu. Demikian juga halnya kelangsungan suplai bahan baku produk sangat tergantung
pada kelangsungan atau daya dukungan ekologi. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu
indicator kinerja naik, kinerja keuangan maupun non-keuangan hanya berorientasi pada profit
semata, maka secara jangka panjang akan mengalami kegagalan dalam mempertahankan
eksistensi dan kelangsungan hidup suatu organisasi (Darwis, 2006). Triyuwono (2004)
menyatakan bahwa keempat perspektif dalam BSC semuanya menekankan pada orientasi
laba (profit oriented). Perspektif pelanggan maupun pembelajaran dan pertumbuhan hanyalah
sarana untuk memaksimalkan profit.
Tindakan merugikan oleh perusahaan- perusahaan besar antara lain, yang terkenal
dengan sebutan tragedi Minamata (Jepang). PT. Chisso yang memproduksi pewarna kuku
sampai peledak, dengan dukungan militer merajai industri kimia, mereka membuang limbah
perusahaan ke teluk Minamata. Selama tahun 1932 s.d. 1968 diperkirakan perusahaan
membuang limbah yang mengandung Hg atau merkuri sebanyak 200-600 ton, mangan,
thalium, dan selenium. Kandungan kimia dalam limbah tersebut mengakibatkan masalah
berupa

penyakit

yang

sangat

merugikan

penduduk

terutama

di

sekitar

teluk

Minamata.Penyakit disebabkan karena mengkonsumsi ikan yang diambil dari teluk
Minamata. Merkuri yang masuk kedalam tubuh manusia karena mengkonsumsi ikan yang
sudah tercemar merkuri tersebut menyebabkan akan menyerang sistem saraf pusat, akibatnya
terjadi degenerasi sel-sel syaraf pada otak kecil, sarung selaput syaraf dan bagian otak yang
mengatur penglihatan. Penderitanya mengalami kesemutan (paresthesia), gangguan bicara,
hilang daya ingat, ataxia dan kelainan syaraf lainnya.Gejala-gejala dapat berkembang lebih
buruk

menjadi

seperti

kesulitan

menelan,

kelumpuhan,

kerusakan

otak,

dan

kematian.Penderita kronis penyakit ini mengalami sakit kepala, sering lelah, hilang indera
perasa dan penciuman, dan menjadi pelupa. Para penderita penyakit Minamata, menunjukan
kadar Merkuri antara 200 sampai 500 mikrogram per liter darahnya. Sementara batasan aman
menurut WHO antara lima sampai 10 mikrogram Merkuri per liter darah. Penelitian dr.
Masazumi Harada pada tahun 1968, menunjukan timbunan logam berat Merkuri ini,
diturunkan dari ibu kepada bayinya melalui plasenta.
Kasus yang terjadi di Indonesia, sebagai akibat ketidakpedulian korporasi adalah
terjadinya luapan lumpur lapindo Sidoarjo pada tanggal 28 Mei 2006 yang dampaknya masih
terasa hingga sekarang di tahun 2013. Lapindo dengan ijin usaha kontrak bagi
hasil/production sharing contract (PSC) dari pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan
atas sumber daya alam. Dalam pandangan kelompok kami, pemerintah Indonesia sebenarnya
menganut sistem ekonomi neoliberal karena sejak dulu menjual potensi tambang migas dan
sumber daya alam kepada swasta/individu (corporate based). Baik pemerintah maupun
korporasi hanya berorientasi laba, tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan
alam dan peningkatan taraf hidup rakyat. Akibat kelalaian pengeboran oleh PT. Lapindo
Brantas (Lapindo) menyebabkan kebocoran berupa semburan gas yang disertai lumpur panas
yang menghancurkan ber hektar-hektar perumahan penduduk, pabrik-pabrik, sawah, tambak
bandeng, dan jalan raya yang melumpuhkan kehidupan dan perekonomian.

Kesimpulan
Menurut kelompok kami kesimpulan atau benang merah yang dapat kita ambil dari
bukunya Ralph Estes yang berjudul  Tyranny of The Bottom Line bahwasannya Tyranny of
the bottom line telah memaksa para ahli bertindak buruk dengan menggunakan otoritas
keahliannya untuk melegitimasi sebuah obsesi. Perlu diluruskannya kembali tujuan
perusahaan, perubahan terhadap penilaian manajer

harus diukur dari berbagai dimensi
dimana tidak mengesampingkan kepuasan stakeholder dan dampak tanggung jawab
sosialnya.
Selain itu menurut kami apabila semua pihak peduli, akibat dari tyranny of the bottom
line tersebut tidak perlu terjadi.Dalam ajaran agama kami yaitu agama Islam mengajarkan
kita untuk menyeimbangkan antara pemenuhan kepentingan jangka pendek dengan
pemenuhan kepentingan jangka panjang. Dalam Al Quran Allah swt mengatakan Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada
orang lain sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. (QS. Al Qashsash : 77).
Pada ayat diatas jelas Allah swt menganjurkan kepada kita untuk mengejar
kepentingan jangka panjang, namun tidak boleh melupakan kepentingan jangka pendek. Kita
harus mengejar masa depan tanpa harus melupakan hari ini. Kita tetap harus berusaha
memenuhi kepentingan-kepentingan jangka pendek sebagai syarat memenuhi kepentingan
jangka panjang.Namun tidak berarti kita harus terjebak pada kepentingan jangka pendek dan
melupakan kepentingan jangka panjang.Allah swt mengatakan Adapun orang yang
melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia.maka Sesungguhnya nerakalah
tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat
tinggal(nya). (QS. an-Naziat: 37-41).
Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo sebagai akibat Tyranny of The Bottom Line
sebenarnya bisa dicegah oleh pemerintah Indonesia dengan menggunakan Undang-Undang
No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang tersebut
diatur antara lain, pasal 8 ayat (1): sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh
pemerintah dan pasal 6 ayat (1): setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan. Dalam hal
ini, korporasi termasuk salah satu pihak yang sangat berkepentingan untuk memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan.
Demikian review singkat kelompok kami untuk tulisan Ralph W. Estes dalambukunya
Tiranny of The Bottom Line, mudah-mudahan kita tidak terjebak dalam tyranny yang
menyebabkan orang baik bertindak buruk ini. Mudah-mudahan kita bisa menjadi manusia
yang selalu memilih kepentingan masa depan tanpa melupakan kepentingan-kepentingan hari
ini. Amin.
Daftar Pustaka
-

-

Estes, Ralph W. Tiranny of The Bottom Line
Alimuddin, Tinjauan Kritis terhadap Konsep Kinerja Akuntansi.
http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/mukhamad-najibmahasiswa-s3-universitas-tokyo
Tri Wahyuni, filsafat UGM 16 Mei 2008, Minamata.
Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar
Blok
Brantas,
http://
www.walhi.
or.id/
kampanye/
cemar/industri/
060728_psclapindo_ rep/
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

More Related Content

Tiranny of the bottom line

  • 1. Tiranny of The Bottom Line Ralph W. Estes dalam bukunya Tiranny of The Bottom Line menceritakan tentang fenomena orang-orang yang pada awalnya baik menjadi berperilaku buruk pada saat mereka masuk dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena adanya praktek tyranny of the bottom line yang diterapkan di dalam perusahaan-perusahaan besar tersebut. Tiranny of the bottom line menceritakan tentang kekacauan korporasi yang terjadi di Amerika, yaitu: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membawa dampak sosial dan ekonomi yang sangat besar bagi jutaan orang Amerika, tapi disisi lain gaji CEO menjulang tinggi tak terjangkau bagai bumi dan langit dibandingkan dengan pekerja, limbah pabrik yang mencemari tanah, air, dan udara, produk tidak sehat yang beredar di pasaran, kecelakaan kerja, dan kejahatan kerah putih di Wall Street yang pada akhirnya merugikan semua orang. Menjawab pertanyaan, apakah orang-orang yang pada awalnya baik bisa menjadi berperilaku buruk pada saat mereka masuk dalam suatu perusahaan? Jawaban kami adalah: BISA dan peluang untuk menjadi buruk itu besar karena tuntutan mendapatkan LABA untuk investor dan perusahaan tempat mereka bekerja sangat tinggi sehingga banyak diantara orang-orang baik itu menjadi berfikir fragmatis. Saat ini banyak kita lihat orang- orang jujur yang masih produktif terdepak dari pekerjaan mereka akibat downsizing(perampingan) yang dicanangkan perusahaan dalam rangka maksimalisasi laba, dan kembali kita bertanya apakah perolehan laba perusahaan yang besar pantas mengorbankan kebahagian umat manusia. Akar Permasalahan Dalam bukunya Ralph telah memaparkan beberapa akar permasalahan dari terbentuknya tirani ini, yaitu diantaranya adalah terdapatnya pergeseran arah tujuan perusahaan, kekuasaan perusahaan tanpa akuntabilitas, dan terbentuknya kerajaan korpokrasi. Pada awalnya tujuan perusahaan didirikan oleh kerajaan untuk melayani kepentingan negara atau kerajaan. Kemudian faham demokrasi mengadopsi tradisi berdirinya perusahaan guna melayani kepentingan umum.Sedangkan para investor dijanjikan keuntungan sebagai perangsang agar bersedia mendanai perusahaan, namun pembagian keuntungan bagi para investor hanya bersifat sekunder bagi tujuan perusahaan yang sesungguhnya, yaitu memberikan keuntungan bagi masyarakat umum (Estes).Dalam gambaran ini jelas terlihat
  • 2. bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk kepentingan umum, dan bukan untuk kepentingan pemilik saham. Ternyata dengan perkembangan zaman, tujuan perusahaan untuk melayani kepentingan publik tersebut telah berubah digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga persoalan mengutamakan laba mengorbankan para stakeholder- para karyawan, pelanggan, pemasok, masyarakat, dan bangsa kita- dan mengabaikan masyarakat. Dalam buku Tiranny of The Bottom Line telah diuraikan bahwasannya sistem perusahaan saat ini lebih mengedepankan laba ketimbang manusia, dan pertanggungjawaban yang tidak jelas oleh perusahan- perusahan tersebut kepada para stakeholder.Dalam konteks perusahaan, Ralph menyebutkan tekanan untuk mencari profit yang sebesar-besarnya telah menyebabkan perusahaan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya dalam melindungi konsumen, memberikan produk terbaik yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, mengembangkan pekerja-pekerjanya dan membuat mereka sejahtera, serta turut menjaga lingkungannya. Orang-orang baik di perusahaan, orang-orang pintar, orang-orang ahli seakan kehilangan semua kemampuan, kebaikan, kejujuran, dan keahliannya dibawah tekanan pemilik modal yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya.Malah yang terjadi sebaliknya, dimana orang-orang pintar berusaha melegitimasi tindakan-tindakan tidak terpujinya dengan kepintarannya berargumentasi. Kelompok kami juga sependapat dengan Ralph dimana tekanan untuk mencari profit sebesar-besarnya telah menjadi tyranny yang membuat orang pintar tak berdaya dan membuat orang baik bertindak buruk. Tentu kita bisa melihat banyak contoh dimana tyranny ini begitu luar biasa merusak akal sehat manusia.Selain itu menurut kamiTiranny of The Bottom Line tersebut berawal dari munculnya teori keagenan dan sistem kapitalisme.Menurut Gorz disebutkan, dalam kapitalisme, faktor-faktor produksi seperti sumber daya alam, alat-alat produksi dan tenaga kerja dikombinasikan sedemikian rupa untuk menciptakan kemungkinan terbesar bagi tercapainya penimbunan keuntungan.Sementara agency theory menempatkan pihak agen (manajemen perusahaan) dan principal (investor) sebagai pihak yang memiliki akses dan mendapatkan kontribusi (keuntungan) terbesar dari perusahaan.Perusahaan dianggap hanya bertanggung jawab untuk menghasilkan laba sebesarbesarnya bagi kepentingan para investor. Sebagai contoh dokter-dokter di rumah sakit misalnya, tentu mereka faham betul bagaimana seharusnya menangani pasien dengan baik.Nilai-nilai kemanusiaan yang mereka miliki, sumpah profesi yang telah mereka jalani, tentu mendorong mereka untuk berbuat yang terbaik bagi pasien.Namun tekanan pemilik rumah sakit seringkali menyebabkan dokter
  • 3. kehilangan nurani.Ibu hamil tua yang tidak seharusnya disesar malah disesar, pasien miskin sulit dilayani, bahkan mereka yang sekarat dibiarkan tetap merintih sebelum ada orang yang bisa menggaransi bagaimana keuangannya nanti. Guru-guru faham betul misinya sebagai pendidik. Namun tekanan-tekanan sekolah, maupun tekanan-tekanan ekonomi keluarga telah memaksanya melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali berlawanan dengan tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Mereka tahu bahwa memberikan contekan saat ujian adalah tindakan kecurangan yang tidak hanya melanggar hukum, melainkan juga telah merusak semua ajaran kejujuran yang telah ditanamkan sebelumnya. Tapi tyranny bernama reputasi sekolah, tekanan kepala sekolah, ataupun tekanan kepala dinas telah memaksa mereka bertindak melawan nilai-nilai kejujuran yang diajarkannya sendiri. Para birokrat faham betul mengenai doktrin-doktrin pelayanan terhadap masyarakat.Sumpah jabatan saat mereka diangkat maupun pada setiap kenaikan pangkat sangat jelas menuntut komitmen mereka untuk mengabdi dan mendahulukan kepentingan orang banyak.Namun dorongan untuk mencari kekayaan pribadi lewat jalur birokrasi telah menyebabkan mutu layanan publik berantakan.Ketika datang ke instansi pemerintah, rakyat merasa mereka tidak sedang berhadapan dengan para pelayannya melainkan berhadapan dengan para penghisap yang harus diwaspadai dan disiasati.Kalau tidak ada urusan yang memaksa rasanya mereka lebih memilih untuk tidak kembali.Bahkan jika urusannya bisa dialihkan, rakyat memilih mengalihkan urusannya kepada pihak ketiga untuk berhadapan dengan birokrasi. Dai-dai sangat faham mengenai tugas dawah mereka dalam mendidik dan mencerahkan ummat, memberikan pegangan hidup berlandaskan Al-Quran dan Sunnah secara konsisten dan konsekuen.Namun saat pemilihan presiden kemarin kita menyaksikan tidak sedikit dai yang mencari-cari alasan keberfihakan yang tidak sesuai dengan tuntunan syari hanya semata-mata tekanan kursi dan materi.Ummat dibuat bingung, karena doktrin yang mereka terima selama ini mengarahkan mereka untuk memilih pemimpin yang paling beriman dan bertakwa diantara alternatif yang ada.Tiba-tiba doktrin ini seperti dibatalkan dengan alasan politik.Pemimpin yang relatif lebih Islami tidak dipilih, sementara pemimpin yang percaya sihir malah diperjuangkan sampai mati.Kita melihat ayat-ayat Quran seperti diperjualbelikan dengan harga yang murah sekali.Tyranny of the bottom line bernama kursi dan materi tanpa sadar telah memaksa Dai yang seharusnya melakukan pencerahan malah melakukan pembodohan terhadap ummat.
  • 4. Tyranny of the bottom line sesungguhnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja.Tyranny ini muncul akibat manusia terjebak pada kepentingan-kepentingan jangka pendeknya.Mungkin banyak juga diantara kita yang rela mengorbankan masa depannya hanya untuk kepentingan sesaatnya, baik disadari maupun tidak. Situasi langka pilihan, keadaan mendesak, maupun keinginan cepat sukses seringkali mendorong kita memilih untuk menuntaskan semuanya hari ini, sehingga seakan-akan hari depan telah mati. Karena berlomba memenuhi kepentingan hari ini, banyak orang yang tidak peduli dengan prinsip, nilai, akal sehat, maupun hati nurani. Solusi petunjuk praktis Dalam buku Tyranny of the bottom line diuraikan oleh Ralph Estes bahwa saat ini para manajer perusahaan telah membuat keputusan- keputusan mereka dengan berpedoman pada definisi yang sempit dan kurang memadai tentang pemahaman atas keuntungan. Meski standar- standar lain dari waktu ke waktu diumumkan, bottom line adalah satu- satunya standar kinerja yang secara kontinyu dan konsisten digunakan oleh manajer. Dalam menimbang keputusan sehari-hari , moralitas pribadi dan niat baik manajer seringkali dikorbankan demi tindakan- tindakan yang bisa merugikan stakeholder, tapi diharapkan dapat meningkatkan bottom line. Bukan berarti mereka orang jahat.Ini berarti mereka berada dalam cengkeraman system evaluasi kinerja perusahaan yang tidak pernah dirancang untuk mempertanggungjawabkan kinerja perusahaan. Menurut kami dalam teori etika disebutkan salah satu teori etika adalah utilitarianisme (berasal dari bahasa latin utilis yang berarti bermanfaat). Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan sajasatudua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.Teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Jadi benar adanya dimana yang menjadi penyebab manajer yang baik menjadi buruk adalah karena mereka terjebak pada kondisi penilaian kinerja yang sangat utilitarian dan parsial sehingga mereka harus mendapatkan laba setinggi-tingginya, tanpa peduli perbuatannya merugikan publik atau tidak.Banyak contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari
  • 5. memperlihatkan manajemen perusahaan yang bertindak merugikan publik demi mencari keuntungan/laba semata. Hal itulah yang akhirnya menjadi pertanyaan bagi kelompok kami, sebenarnya seperti apa konsep kinerja akuntansi apabila dihubungkan dengan semakin tidak manusiawinya perusahaan dalam mencari keuntungan. Seperti halnya kita ketahui untuk mengetahui keberlangsungan hidup dan mengetahui perkembangan suatu perusahaan digunakan alat ukur atas kinerja manajemen perusahaan. Ukuran kinerja yang digunakan perusahaan ada beberapa jenis yaitu diantaranya: ROA, ROI, dan EVA. ROA (Return On Asset) digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. ROA dihitung dengan cara: laba bersih sebelum pajak dibagi total aktiva. Yang menjadi dasar pengukuran ROA tersebut adalah laba perusahaan yang berarti kinerja manajer dalam menghasilkan laba sebesar-besarnya dan sayangnya laba dimaksud adalah laba yang dilihat hanya dari sisi agen (manajemen perusahaan) dan principal (investor) dan samasekali tidak ada kepentingan publik didalamnya. Menyadari kekurangan ROA, kemudian ditambahkan ukuran kinerja ROI (Return on Invesment), yang mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan dalam menghasilkan laba dan dihitung dengan cara: laba bersih operasi dibagi total aktiva. Dalam hal ini parameternya tetap laba perusahaan dan tentunya adalah laba untuk manajemen perusahaan dan investor.Pengembangan berikutnya untuk mengukur kinerja perusahaan adalah konsep EVA (Economic Value Added).Tetapi ternyata EVA tetap memiliki kelemahan karena yang digunakan untuk menghitungnya adalah laba operasional setelah pajak dikurangi (biaya tertimbang rata-rata atas modal dikalikan total modal terpakai). Dalam bukunya, Ralph Estes memberikan solusi agar manajemen mengubah system evaluasi kinerja perusahaan. Perkenalkan system yang valid dan relevan karena manajer akan menghasilkan tindakan- tindakan dan keputusan yang lebih laras dengan seluruh tujuan perusahaan yang sering kali cukup kuat dalam mengartikulasikan tujuan- tujuan social yang bertanggung jawab. Bila perusahaan, melalui system penilaiannya, sungguh- sungguh bergerak untuk mengevaluasi para manajer tidak berdasarkan satu dimensi saja, tetapi pada keseimbangan yang mereka capai diantara beberapa dimensi, maka para manajer akan tanggap dan segera mencari keseimbangan itu. Perusahaan tidak hanya mengakui tanggung jawab ligkungan dalam pernyataan misi korporatnya, tetapi juga memaksa para manajer bertanggung jawab atas kinerja actual perusahaan atas dimensi profitabilitas financialnya, maka para manajer
  • 6. niscaya akan lebih cermat memperhitungkan dampak lingkungandari setiap keputusan seharihari mereka. Untuk memudahkan pemahaman kita terhadap bagaimana merubah system penilain kinerja, karena ukuran kinerja keuangan dengan ROA, ROI, dan EVA dianggap sudah tidak memadai lagi, maka salah satunya dengan dikembangkan pengukuran baru bernama Balanced Scorecard (BSC). Pengukuran ini dimulai sejak tahun 1990 ketika Nolan Norton Institute, sebuah badan riset KPMG mensponsori penelitian yang berlangsung selama satu tahun yang melibatkan berbagai perusahaan. Balanced Scorecard terdiri atasempat perspektif, yaitu: keuangan, pelanggan, internal, serta inovasi dan pembelajaran. Menurut Kaplan dan Norton, 2000: vii-viii): pada prinsipnya keempat perspektif tersebut dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, antara ukuran keuangan dan non non-keuangan, antara indikator lagging dan indikator leading, dan antara perspektif kinerja eksternal dan internal. Tujuan akhir dari keempat perspektif Balanced Scorecard tetap bermuara pada aspek keuangan.Ada beberapa hal yang tidak dibahas dalam Balanced Scorecard.Tidak ada pembahasan sama sekali tentang lingkungan yang merupakan factor penentu bagi keberlangsungan pemasok bahan baku dan juga tidak dibahas dampak sosial dari keberadaan perusahaan. Pengabaian masalah lingkungan dan aspek sosial jelas merupakan suatu masalah bagi kelangsungan hidup (survival) perusahaan.Ini disebabkan oleh karena survival tersebut terkait erat dengan legitimasi sosial atau keberadaan suatu perusahaan pada suatu komunitas tertentu. Demikian juga halnya kelangsungan suplai bahan baku produk sangat tergantung pada kelangsungan atau daya dukungan ekologi. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu indicator kinerja naik, kinerja keuangan maupun non-keuangan hanya berorientasi pada profit semata, maka secara jangka panjang akan mengalami kegagalan dalam mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup suatu organisasi (Darwis, 2006). Triyuwono (2004) menyatakan bahwa keempat perspektif dalam BSC semuanya menekankan pada orientasi laba (profit oriented). Perspektif pelanggan maupun pembelajaran dan pertumbuhan hanyalah sarana untuk memaksimalkan profit. Tindakan merugikan oleh perusahaan- perusahaan besar antara lain, yang terkenal dengan sebutan tragedi Minamata (Jepang). PT. Chisso yang memproduksi pewarna kuku sampai peledak, dengan dukungan militer merajai industri kimia, mereka membuang limbah perusahaan ke teluk Minamata. Selama tahun 1932 s.d. 1968 diperkirakan perusahaan membuang limbah yang mengandung Hg atau merkuri sebanyak 200-600 ton, mangan, thalium, dan selenium. Kandungan kimia dalam limbah tersebut mengakibatkan masalah
  • 7. berupa penyakit yang sangat merugikan penduduk terutama di sekitar teluk Minamata.Penyakit disebabkan karena mengkonsumsi ikan yang diambil dari teluk Minamata. Merkuri yang masuk kedalam tubuh manusia karena mengkonsumsi ikan yang sudah tercemar merkuri tersebut menyebabkan akan menyerang sistem saraf pusat, akibatnya terjadi degenerasi sel-sel syaraf pada otak kecil, sarung selaput syaraf dan bagian otak yang mengatur penglihatan. Penderitanya mengalami kesemutan (paresthesia), gangguan bicara, hilang daya ingat, ataxia dan kelainan syaraf lainnya.Gejala-gejala dapat berkembang lebih buruk menjadi seperti kesulitan menelan, kelumpuhan, kerusakan otak, dan kematian.Penderita kronis penyakit ini mengalami sakit kepala, sering lelah, hilang indera perasa dan penciuman, dan menjadi pelupa. Para penderita penyakit Minamata, menunjukan kadar Merkuri antara 200 sampai 500 mikrogram per liter darahnya. Sementara batasan aman menurut WHO antara lima sampai 10 mikrogram Merkuri per liter darah. Penelitian dr. Masazumi Harada pada tahun 1968, menunjukan timbunan logam berat Merkuri ini, diturunkan dari ibu kepada bayinya melalui plasenta. Kasus yang terjadi di Indonesia, sebagai akibat ketidakpedulian korporasi adalah terjadinya luapan lumpur lapindo Sidoarjo pada tanggal 28 Mei 2006 yang dampaknya masih terasa hingga sekarang di tahun 2013. Lapindo dengan ijin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumber daya alam. Dalam pandangan kelompok kami, pemerintah Indonesia sebenarnya menganut sistem ekonomi neoliberal karena sejak dulu menjual potensi tambang migas dan sumber daya alam kepada swasta/individu (corporate based). Baik pemerintah maupun korporasi hanya berorientasi laba, tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan alam dan peningkatan taraf hidup rakyat. Akibat kelalaian pengeboran oleh PT. Lapindo Brantas (Lapindo) menyebabkan kebocoran berupa semburan gas yang disertai lumpur panas yang menghancurkan ber hektar-hektar perumahan penduduk, pabrik-pabrik, sawah, tambak bandeng, dan jalan raya yang melumpuhkan kehidupan dan perekonomian. Kesimpulan Menurut kelompok kami kesimpulan atau benang merah yang dapat kita ambil dari bukunya Ralph Estes yang berjudul Tyranny of The Bottom Line bahwasannya Tyranny of the bottom line telah memaksa para ahli bertindak buruk dengan menggunakan otoritas keahliannya untuk melegitimasi sebuah obsesi. Perlu diluruskannya kembali tujuan perusahaan, perubahan terhadap penilaian manajer harus diukur dari berbagai dimensi
  • 8. dimana tidak mengesampingkan kepuasan stakeholder dan dampak tanggung jawab sosialnya. Selain itu menurut kami apabila semua pihak peduli, akibat dari tyranny of the bottom line tersebut tidak perlu terjadi.Dalam ajaran agama kami yaitu agama Islam mengajarkan kita untuk menyeimbangkan antara pemenuhan kepentingan jangka pendek dengan pemenuhan kepentingan jangka panjang. Dalam Al Quran Allah swt mengatakan Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashsash : 77). Pada ayat diatas jelas Allah swt menganjurkan kepada kita untuk mengejar kepentingan jangka panjang, namun tidak boleh melupakan kepentingan jangka pendek. Kita harus mengejar masa depan tanpa harus melupakan hari ini. Kita tetap harus berusaha memenuhi kepentingan-kepentingan jangka pendek sebagai syarat memenuhi kepentingan jangka panjang.Namun tidak berarti kita harus terjebak pada kepentingan jangka pendek dan melupakan kepentingan jangka panjang.Allah swt mengatakan Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia.maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). (QS. an-Naziat: 37-41). Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo sebagai akibat Tyranny of The Bottom Line sebenarnya bisa dicegah oleh pemerintah Indonesia dengan menggunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang tersebut diatur antara lain, pasal 8 ayat (1): sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah dan pasal 6 ayat (1): setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan. Dalam hal ini, korporasi termasuk salah satu pihak yang sangat berkepentingan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan. Demikian review singkat kelompok kami untuk tulisan Ralph W. Estes dalambukunya Tiranny of The Bottom Line, mudah-mudahan kita tidak terjebak dalam tyranny yang menyebabkan orang baik bertindak buruk ini. Mudah-mudahan kita bisa menjadi manusia
  • 9. yang selalu memilih kepentingan masa depan tanpa melupakan kepentingan-kepentingan hari ini. Amin.
  • 10. Daftar Pustaka - - Estes, Ralph W. Tiranny of The Bottom Line Alimuddin, Tinjauan Kritis terhadap Konsep Kinerja Akuntansi. http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/mukhamad-najibmahasiswa-s3-universitas-tokyo Tri Wahyuni, filsafat UGM 16 Mei 2008, Minamata. Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, http:// www.walhi. or.id/ kampanye/ cemar/industri/ 060728_psclapindo_ rep/ Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup