1. Budaya Cina di Indonesia dari Tahu hingga Tahlilan di dalam Kelenteng
Oleh DJASEPUDIN
Esais; tinggal di Nanggewer, Cibinong, Bogor
Pada masa Orde Baru, segala hal yang berkaitan dengan China atau Tionghoa sengaja
disingkirkan dan dinafikan. Kebudayaan China dilarang berkembang dan hanya hidup di wilayah
rumah pribadi. Akan tetapi itu baheula, pada pascareformasi, terlebih saat pemerintahan
Abdurahman Wahid (Gus Dur), kebudayaan China di Indonesia diberikan kran kebebasan yang
luas agar turut bergaul dengan ragam kebudayaan Nusantara lainnya.
Maka, perayaan tahun baru Imlek, pertunjukkan kesenian barongsai, atau ritual Peh Cun
yang sebelumnya tiarap, bebas dirayakan di klenteng, lingkungan rumah, pusat perbelanjaan,
atau di pusat keramaian lainnya. Hebatnya, perayaan Imlek, pertunjukkan seni barongsai, atau
ritual Peh Cun pun kini dirasakan dan dirayakan pula oleh suku bangsa Nusantara lainnya.
Dalam tataran ini dikotomi pri dan nonpri mulai terkikis. Yang ada silang budaya yang saling
mengisi dan memperkaya.
Ini tentu menggembirakan. Akulturasi budaya berjalan dengan penuh perdamaian.
Kebudayaan China berkembang seiring-sejalan dengan kebudayaa Sunda, Jawa, Batak, Bugis,
Sasak, Dayak, serta ragam budaya suku bangsa di negeri tercinta ini. Fenomena ini sejatinya
bukan barang langka, ratusan silam lampau suku bangsa keturunan China sudah melakukan
perpaduan dengan kebudayaan lokal.
Selama ini kebudayaan China di Indonesia hanya dikenal dengan perayaan Imlek dan
kesenian. Padahal keragaman budaya China dan perpaduannya dengan budaya lokal terjadi
pula pada lintas bidang kehidupan. Tentu saja, yang tak mungkin terlupakan adalah tentang
pangan, masakan, atau kuliner.
Salah satu panganan produk kebudayaan China yang berkembang di Indonesia,
khususnya di tatar Sunda, adalah tahu sumedang. Panganan ini berkembang seiring banyaknya
orang China pada tahun 1856 yang berdatangan ke tatar Priangan.
Berdasarkan studi kepustakaan dan kelisananan, sekitar tahun 1917 pendatang
bernama Ong Kino mulai memperkenalkan produk panganan bernama tahu. Mulanya tahu
buatan Ong Kino hanya dimakan dan diketahui keluarga dan kerabatnya. Lama kelamaan
penduduk setempat mengetahui kelezatan dan gurihnya panganan tahu buatan Ong Kino. Sejak
itu tahu mulai diperjualbelikan di depan rumahnya.
Suatu waktu, Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeriaatmadja atau dikenal Pangeran
Mekah, hendak ke tempat persitirahatannya di Situraja, Sumedang. Di tengah perjalanan,
tepatnya di pinggir Jalan Tegalkalong, Sumedang, Pangeran Mekah mencicipi makanan buatan
Ong Kino yang dijual di depan rumahnya. Rupanya Pangerah Mekah tertarik dan merasakan
kenikmatan luar biasa dari makanan yang dicicipinya. Maka, keluarlah kalimat pujian dan
harapan dari mulutnya, “Ngeunah ieu kadaharan teh. Mun dijual pasti payu. (enak makanan ini,
jika dijual pasti laku).”
Karena keluar dari mulut Pangeran yang sangat dicintai rakyatnya, seketika itu juga tahu
jadi makanan yang digandrungi banyak orang. Tak sedikit warga China lainnya pun membuat
dan menjual tahu seperti yang dirintis Ong Kino. Dibantu warga Sumendang, suku bangsa
2. keturunan China yang merintis idustri tahu sumedang di antaranya Bung Keng, Ong You Kim, Ko
Aniw, Ko Lento, Ko Jung Gong, dan Babah Hek. Kata “Tahu” itu sendiri, menurut Ong You Kim,
berasal dari China yakni “Tao Hu” yang maknanya (Tao=Kacang, Hu=Lumat) atau sebagian orang
cina menyebut “Tahu” sebagai daging tak bertulang.
Sambil bekerja, urang Sunda tentunya mempelajari bahan, cara pengolahan, serta
resep-resep dalam memproduksi tahu sumedang. Lama-kelamaan penduduk Sunda pun sudah
bisa memproduksi tahu sumedang.
Kabupaten Sumedang yang memiliki banyak gunung dan sumber mata air yang
berlimpah menyebabkan produksi pembuatan tahu cepat berkembang dan memiliki kekhasan.
Air dari kaki Gunung Tampomaslah, salah satu yang membedakan tahu sumedang lebih enak
ketimbang tahu lainnya. Konon, baheula mah tahu sumedang digoreng dengan menggunakan
minyak kacang tanah. Cara menggoreng juga tidak asal-asalan, untuk menghasilkan tahu yang
renyah, kulit luarnya berintik, isinya berongga, tidak cepat basi, tahu mesti digoreng dalam
keadaan basah dan dimasukkan pada minyak yang sudah sangat basah. Disamping itu tahu
berkualitas mesti menggunakan kacang kedelai yang baik. Tahu sumedang makin lengkap jika
disimpan diwadah terbuat dari anyaman bambu bernama koronjo dan dialasi daun pisang.
Berkat ketekunan suku bangsa China, kebersihan dalam produksi yang selalu terjaga,
serta didukung alam Priangan dan sumber daya manusia yang salingmemperkaya, tahu
sumedang bisa berkembang hingga sekarang. Bahkan, tahu sumedang mudah dijumpai di luar
wilayah sumedang. Meskipun untuk mendapatkan sensasi yang lebih asyik, nikmat, dan
mengenang masa silam akan lebih baik jika menikmati tahu sumedang pada senja hari di sekitar
alun-alun Sumedang, Taman Endog, atau sepanjang jalan raya menuju Cimalaka.
Maka, tak aneh tahu sumedang pun kerap dijadikan oleh-oleh ketika kita berkunjung di
seputar Sumedang. Tak hanya itu, tahu kini jadi andalan warga Sumedang dan sekitarnya untuk
memperkuat basis ekonomi, sandaran hidup alias lahan pekerjaan yang mumpuni. Menurut
data Disperindag Kab. Sumedang pada tahun 2010, jumlah unit usaha tahu Sumedang ada 232
unit usaha, kapasitas produksi per tahun 202.078.586 kg, tenaga kerja 812 orang, nilai investasi
Rp. 1.358.967.00, dan tersebar di 20 Kecamatan.
Atas jasa Ong Kino, Pangeran Mekah, urang Sumedang, serta umumnya para penikmat
panganan, kini tahu sumedang tak sekadar panganan biasa-biasa. Tahu sumedang sudah
menjelma jadi bagian identitas urang Sumedang, identitas urang Sunda.
Eksistensi tahu sumedang merupakan buah perpaduan dua kebudayaan. Perpaduan
atau akulturasi seperti budaya China dan Sunda itu patut dikembangkan dalam pelbagai sendi
kehidupan. Sebab, perbedaan budaya jika disikapi dengan kebeningan jiwa dan tangan terbuka
bisa menghasilkan sesuatu yang bermakna. Muhun, seperti keberadaan dan kelezatan tahu
sumedang.
BIla di Sumedang keselarasan kebudayaan itu tercermin dalam kuliner bernama tahu.
Maka di Bogor perpaduan budaya Cina dan Sunda itu dapat dilihat dari eksistensi warga
keturunan yang berpusat di kelenteng.
Dibandingkan dengan Kelenténg Dhanagun di Jalan Suryakancana (depan Kebun Raya
Bogor, Hok Tek Bio di Kecamatan Cibinong Kab. Bogor atau kelenténg-kelenténg yang ada di
Nusantara, Kelenténg Pan Kho Bio di Pulogeulis ini berukuran kecil.
Meski kecil, Kelenténg Pan Kho Bio di Pulogeulis Bogor diyakini sebagai kelenténg tertua
di Kota/Kab. Bogor. Didirikan sekitar abad ke-17. Pernyataan itu hingga kini tidak ada yang
3. membantah alias menyetujui Kelenténg Pan Kho Bio di Pulogeulis Bogor merupakan awal mula
kelenténg di Kota dan Kabupaten Bogor.
Malah, jika ada perayaan Imlek yang dipusatkan di Kelenténg Dhanagun, Kelenténg Pan
Kho Bio kerap berpartisipasi. Nah, dalam perayaan Imlek itu kemeriahan dan semangat
toleransi warga Pulogeulis sungguh berasa.
Sebab, kemeriahan Imlek bukan hanya dominasi umat yang memiliki garis keturunan
suku bangsa Tionghoa. Dari Pan Kho Bio menuju Dhanagun yang membawa patung dewa-dewa,
makanan, minuman, sesajian, hio, dan hal-ihwal perayaan Imlek adalah urang Sunda, warga
keturunan Tionghoa, dan keseluruhan penduduk Pulogeulis dari beragam latar agama dan
budaya.
Semangat toleransi pula yang melatari di bagian belakang Kelenténg Pan Kho Bio ada
ruang khusus untuk umat muslim yang hendak beribadah. Malah, kepengurusan Pan Kho Bio
menyediakan seperangkat alat salat seperti sajadah, mukena, sarung, dan kopiah.
Adapun batu-batu besar peninggalan prasejarah yang dipercaya sebagai petilasan dan
makam leluhur urang Sunda menyebabkan Pan Kho Bio sering didatangi para peziarah dari
pelosok Nusantara. Tentu saja peziarah itu dari lintas agama. Termasuk penganut aliran
kepercayaan dan umat Islam.
Mereka berupaya mendekatkan diri dengan Sang Pencipta Buana. Mereka meminta
sesuatu melalui perantara orang yang dianggap suci dan dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam tradisi Islam di Indonesia ritus seperti dinamai tawasul. Maka, bukan hal yang aneh di
dalam Kelenténg Pan Kho Bio kerap terdengar lantunan orang sedang membaca ayat suci Al-
quran.
Tidak hanya berziarah, mereka pun kerap membawa aneka makanan dan minuman.
Entah diniatkan untuk sesajian atau bekal untuk dimakan kala menginap bermalam-malam di
kelenténg. Oleh pengurus Pan Kho Bio dan para peziarah, sesajian seperti bekakak ayam
dibandingkan busuk kerap dibagikan kepada para penduduk Pulogeulis.
Tentu saja hidangan itu tidak langsung dikonsumsi. Sebelum acara makan-makan
mereka terbiasa memanjatkan puja-puji kepada Sanga Maha Pencipta. Di antara ritus itu yaitu
tradisi yasinan saban malam Jumat yang diikuti umat peziarah muslim dan penduduk sekitar.
Hal demikian salah satu asal mula di dalam Kelenténg Pan Kho Bio ada tradisi yasinan,
tawasulan, dan peringatan maulid Nabi atau muludan.
Itulah Pulogeulis. Semangat toleransi bukan sebatas manis dalam wacana, akan tetapi
nyata terasa dilakukan seluruh warga. Kelenténg Pan Kho Bio sebagai pusat pusaran semangat
pembauran anak semua bangsa