際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
See	discussions,	stats,	and	author	profiles	for	this	publication	at:	http://www.researchgate.net/publication/276412634
Prospek	Pemanfaatan	Bioethanol	Sebagai
Pengganti	BBM	di	Indonesia
CONFERENCE	PAPER	揃	SEPTEMBER	2014
READS
20
8	AUTHORS,	INCLUDING:
M.	Sidik	Boedoyo
Badan	Pengkajian	dan	Penerapan	Teknologi
30	PUBLICATIONS			2	CITATIONS			
SEE	PROFILE
Available	from:	M.	Sidik	Boedoyo
Retrieved	on:	18	October	2015
55
Prospek Pemanfaatan Bioethanol Sebagai Pengganti BBM
di Indonesia
M. Sidik Boedoyo
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi, BPPT
Gedung 625, Klaster Energi, Kawasan Puspiptek, Kota Tangerang Selatan
Email: msboedoyo@gmail.com
Abstract
As a developing country Indonesia's economy will continue to grow. One of the
requirements needed for the smooth development, is the availability of
infrastructure, good development, including raw water, land and energy. Indonesia
has a range of potential energy resources, both fossil fuels such as oil, natural gas,
coal, and renewable energy resources such as hydro, geothermal, solar, wind,
biomass, and ocean.
The transportation sector is the largest fuel users, followed by the industrial
and commercial sectors. Especially for transport sector use of biodiesel to replace
most of its use of diesel oil as mandated in the ESDM No. 25 of 2013 has been
running, but the use of bioethanol has not run as expected. This is because the raw
material of bioethanol is also necessary as food and medicine, while currently the
main raw material of bioethanol is molasses which is very limited and also the raw
material of monosodium glutamate. When in fact Indonesia has the highly varied
potential bioethanol feedstock as crops, sap, roots, even a source of cellulose such
as wood and other plantation waste.
This paper discusses the development and utilization of bioethanol to replace or
reduce the use of fuel, especially gasoline replacement.
Keywords: bioethanol, production process, diversification programs
1. Pendahuluan
Sebagai negara yang sedang berkembang
ekonomi Indonesia akan terus tumbuh.
Pertumbuhan ekonomi ini dapat berlangsung
bila persyaratan yang dibutuhkan terpenuhi,
antara lain adanya target atau perencanaan
pembangunan yang jelas, tersedianya
sumberdaya manusia yang handal, tercukupinya
finansiil, tersedianya sarana dan prasarana
pembangunan yang baik, termasuk air baku,
lahan dan energi, dan terpeliharanya lingkungan
hidup. Dalam hal ini, ketersediaan energi
merupakan syarat yang mutlak diperlukan,
karena tanpa dukungan energi baik berupa
bahan bakar maupun listrik, maka
pembangunan dapat terhambat atau bahkan
terhenti.
Indonesia memiliki berbagai potensi
sumberdaya energi baik energi fosil seperti
minyak bumi, gas bumi, batubara, serta
sumberdaya energi terbarukan seperti hidro,
panas bumi, surya, angin, biomasa, dan
samudra. Sumberdaya minyak bumi saat ini
sudah sangat membutuhkan perhatian, karena
cadangan minyak bumi terus menurun,
sementara konsumsi terus meningkat sehingga
impor minyak bumi dan bahan bakar minyak
terus meningkat. Persoalan lain ialah sejak
tahun 1997 sampai sekarang bahan bakar
minyak mendapat subsidi yang makin membesar
setiap tahun. Sektor transportasi yang
merupakan pengguna bahan bakar minyak
terbesar justru memperoleh subsidi bahan
bakar, sementara industri dan pembangkitan
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
iii
Gambar 1. Analisis kajian pemanfaatan bioethanol
listrik tidak memperoleh subsidi. Dilain pihak
peningkatan arus transportasi barang, dan orang
yang kurang didukung oleh tersedianya
transportasi masal yang memadai, dan adanya
harga bahan bakar bersubsidi yang relatif murah
makin mendorong peningkatan kepemilikan
kendaraan bermotor yang menyebabkan subsidi
BBM makin lama makin meningkat.
Beberapa langkah untuk mengurangi
subsidi energi dan ketergantungan pada bahan
bakar minyak antara lain ialah dengan
mengurangi atau mencabut subsidi, mengganti
BBM dengan energi alternatif, mengganti
teknologi yang menggunakan BBM dengan
teknologi dengan energi alternatif,
memanfaatkan teknologi yang lebih efisien, dan
mengubah pola penggunaan energi.
Pemanfaatan biodiesel untuk mengganti
sebagian penggunaannya minyak diesel seperti
diamanatkan pada Permen ESDM Nomor 25
Tahun 2013 telah berjalan, tetapi pemanfaatan
bioethanol belum berjalan seperti yang
diharapkan.
Makalah ini membahas pengembangan
dan pemanfaatan bioethanol untuk
menggantikan atau mengurangi penggunaan
BBM.
2. Metodologi
Dalam menganalisis pemanfaatan
bioethanol untjuk mengurangi atau
menggantikan penggunaan bensin, maka
dilakakukan tahap-tahap analisis yang meliputi
analisis terhadap kondisi saat ini dalam
penggunaan bensin serta bioethanol, analisis
tentang potensi produksi bioethanol di
Indonesia, analisis tentang status teknologi
yangntu ada dan akan dikembangkan, analisis
kebijakan Pemerintah dalam pemanfaatan
bioethanol, serta strategi yang dapat
dilaksanakan untuk mengganti bensin sebagian
atau seluruhnya dengan bioethanol.
Gambar 1 menunjukkan aliran dari
analisis kajian pemanfaatan bioethanol untuk
menggantikan atau mengurangi penggunaan
bensin. Untuk mencapai target atau kondisi yang
diharapkan evaluasi terhadap kebijakan, target
capaian, pelaksanaan dan realisasi merupakan
hal yang sangat penting karena menentukan
apakah target terlalu besar atau terlalu kecil dan
atau apakah kebijakan yang ada sudah tepat
atau harus diperbaiki.
2.1. Kondisi Saat Ini
Peningkatan pertumbuhan sektor
transportasi menyebabkan konsumsi bensin
setiap tahun makin meningkat dengan
pertumbuhan antara tahun 2006-2012
mencapai 9% per tahun. Dari konsumsi bensin
tersebut selama periode 2006-2012 sekitar 96%
 97% adalah premium yang mempunyai Oktan
88, sekitar 3% - 4% Pertamax dan sekitar 0,1%
Bio Premium + Bio Pertamax khususnya pada
tahun 2008 dan 2009. Tabel 1 menunjukkan
konsumsi bensin antara tahun 2006-2012 untuk
Premium, Pertamax, Bio Premium dan Bio
Pertamax.
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
57
Year
Premium Pertamax
Pertamax
Plus
Total Bensin
Juta SBM Juta SBM
Juta
SBM
Juta
SBM
Juta
kl
2006 92,91 2,95 0,75 96,61 15,36
2007 99,17 2,81 0,92 102,90 16,36
2008 111,63 1,83 0,67 114,13 18,15
2009 121,84 2,80 0,61 125,25 19,91
2010 130,49 3,91 0,66 135,06 21,47
2011 144,33 3,64 1,72 149,69 23,80
2012 160,91 3,88 0,87 165,66 26,34
Tahun
Produksi Bensin DN (RON)
Impor
88 95 91 Total DN
Juta SBM
Juta
SBM
Juta
kl
Juta
SBM
Juta
kl
2006 70 2 1 73 12 44 7
2007 71 3 1 75 12 46 7
2008 72 2 0 74 12 54 9
2009 75 3 1 78 12 74 12
2010 67 3 1 71 11 90 14
2011 64 2 1 68 11 99 16
2012 68 2 1 71 11 116 18
201220152020202520302035
Tabel 1. Konsumsi Bensin 2006-2012. Dalam Gambar 2. terlihat bahwa dari
tahun 2012 sampai tahun 2035 konsumsi bensin
yang diperoleh dari produksi dalam negeri dan
impor meningkat sampai 3 - 4 kali lipat untuk
skenario BAU (Business As Usual) maupun
skenario HIGH (tinggi).
HIGH
BAU
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic 2013,
Pusdatin-KESDM
Masalahnya ialah dari pasokan bensin tidak
seluruhnya dapat dipenuhi oleh kilang dalam
negeri, bahkan pangsa impor bensin terhadap
produksi dalam negeri terus meningkat seperti
terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pasokan bensin dalam negeri dan impor
HIGH
BAU
HIGH
BAU
HIGH
BAU
HIGH
BAU
HIGH
BAU
Produksi Bensin
Impor Bensin
0 200 400 600 800
Sumber: OEI 2013, BPPT
Gambar 2. Produksi, impor bensin dan produksi
bioethanol (juta BOE)
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic 2013,
Pusdatin-KESDM
2.2. Proyeksi Kebutuhan Bensin
Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang cukup cepat, maka pertumbuhan sektor
transportasi sebagai sektor penunjang utama
untuk pengangkutan orang dan barang juga
meningkat pula. Diprediksi pertumbuhan bensin
yang dipergunakan untuk kendaraan pribadi,
angkutan kota dan truk ringan akan meningkat
dengan cepat. Berdasar kondisi saat ini maka
untuk memenuhi kebutuhan dimasa
mendatang, impor bensin diperkirakan akan
terus meningkat.
2.3. Pengembangan Bioethanol Sebagai Bahan
Bakar Alternatif
Bahan bakar ethanol atau bioethanol
merupakan bahan bakar yang dapat
menggantikan bensin. Di beberapa negara
bioethanol sudah dipergunakan sebagai
campuran bensin, di Brazilia bioethanol
dipergunakan 100% (B100) untuk menjalankan
kendaraan khusus bioethanol.
Ethanol atau alkohol merupakan bahan
bakar yang bersih, dimana hasil pembakaran
menghasilkan CO2 dan H2 O. Penambahan bahan
yang mengandung oksigen ini pada sistem
bahan bakar akan mengurangi emisi gas CO dari
sisa pembakaran yang sangat beracun. Aditif TEL
(Tetra Ethyl Lead) dan MTBE (Methyl Tertier
Buthyl Ether) pada mulanya dipergunakan untuk
meningkatkan nilai oktan, namun saat ini
dilarang dipergunakan. TEL dan MTBE dapat
dideteksi dan menyebabkan pencemaran pada
udara dan air tanah sehingga alkohol merupakan
alternatif yang menarik untuk mengurangi emisi
gas CO. Penggunaan alkohol murni dibanding
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
58
dengan bensin secara umum akan mengurangi
pencemaran CO2 di atmospher hingga 13%
karena merupakan hasil dari pertanian yang
akan memerlukan gas CO2 untuk
metabolismenya.
Penggunaan alkohol bukan tanpa problem
pada lingkungan hidup, dimana VOC atau
komponen bahan organik yang mudah menguap
meningkat, kebutuhan lahan pertanian
dikhawatirkan akan mengurangi jumlah hutan
dan tentunya akan bersaing dengan kebutuhan
makanan.
Jenis tanaman yang dapat menghasilkan
ethanol seperti terlihat pada Tabel 3. Bahan
bakar etanol dari sari tanaman tebu akan lebih
mudah diproduksi dibanding dengan fermentasi
karbohidrat dari jagung. Di pabrik, tebu digiling
ditekan dengan silinder berputar untuk
memperoleh sari cairan manis dan menyisakan
residu berserat atau bagas. Cairan manis dapat
langsung difermentasi oleh ragi yang akan
memecah gula menjadi gas CO2 dan etanol
sampai konsentrasi 15%. Campuran air etanol di
distilasi untuk memperoleh etanol atau alkohol
95%. Alkohol ini sudah dapat dijual untuk bahan
bakar mobil. Namun jika dikehendaki sebagai
aditif dengan menambahkan 10% kedalam
bensin (gasohol), maka alkohol perlu dimurnikan
hingga mendekati 100%. Pemurnian hingga
100% dapat dilakukan dengan absorbsi dengan
bahan penghisap air seperti CaO.
Setiap 1000 kg tebu yang dikirim ke kilang
mengandung serat bagas 145 kg, gula sukrosa
138 kg. Dari jumlah gula tersebut hanya 112 kg
yang dapat dijadikan gula pasir, sisanya 23 kg
berupa gula tetes yang berharga murah. Jika sari
tebu tersebut difermentasi akan menghasilkan
72 liter alkohol. Bagas serat dapat dibakar panas
dapat dipergunakan untuk destilasi,
pengeringan dan tenaga listrik sebesar 288 MJ.
Energi tersebut: 180 MJ untuk pabrik dan 108
dapat dijual ke perusahaan listrik.
Setiap hektar lahan tebu dapat
menghasilkan 10  15 ton tetes tebu per hektar
atau 766  1150 liter ethanol grade bahan
bakar. Penggunaan Luas tanaman tebu
Indonesia tahun 2013 adalah 470.000 Ha atau
potensi maksimum mencapai 3,6 juta kl ethanol.
Pengolahan lahan tebu khusus untuk produksi
ethanol akan menghasilkan sekitar 5 kl per Ha.
Dengan perbaikan kwalitas tanaman dan teknik
penanaman di Brasil dapat menghasilkan
alkohol 550 m3
/km2
atau 5,5 kl per Ha.
Bahan baku selain tetes seperti ketela
pohon, ubi jalar, nipah, sorgum dan lain-lain
yang banyak dijumpai di Indonesia merupakan
potensi yang dapat dikembangkan di masa
mendatang.
Luas lahan sagu di Indonesia mencapai 1,2
juta Ha dengan potensi produksi sagu sekitar 5
juta ton pati kering. Dengan konsumsi sekitar
210 ribu ton atau 5% produksi dan intensitas
produksi 600 liter per ton pati, maka akan
diperoleh potensi bioethanol sebesar 2,85 juta
kl ethanol. Sumber potensial lain ialah Nipah,
Aren dan Lontar. Nipah yang merupakan
tumbuhan tepi pantai dan merupakan
tumbuhan utama pada hutan manggrove. Luas
tanaman Nipah adalah sekitar 0,75  1,35 juta
Ha atau sekitar 30% luas hutan Manggrove. Dari
Tabel 3. Sumber, hasil panen dan rendemen alkohol sebagai hasil konversi
Sumber karbohidrat
Hasil panen
ton/ha/th
Perolehan alkohol
liter/ton liter/ha/th
Singkong 25 (23,6) 180 (155) 4500 (3658)
Tetes tebu 3,6 270 973
Sorgum biji 6 333,4 2000
Ubi jalar 62,5 125 7812
Sagu 6,8 608 4133
Tebu 75 67 5025
Nipah 27 93 2500
Sorgum manis 80 75 6000
Sumber: Nurdyastuti (2008) dan Assegaf (2009)
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
59
tanaman Nipah diperkirakan dapat diproduksi
750 ribu kl ethanol (25% produksi).
Masalah dalam pengembangan
bioethanol ialah hasil produksinya merupakan
produk makanan, serta bahan baku industri,
sehingga tetap sulit bersaing walaupun telah
diberi subsidi harga sebesar Rp. 3500 / liter pada
APBN 2013 dan RAPBN 2014.
2.4. Pengembangan Teknologi Bio Ethanol
Teknologi proses produksi bioethanol
dapat dikatakan sangat sederhana dan sudah
dikuasai oleh masyarakat sejak jaman dulu,
antara lain dengan produksi alkohol dari bahan
nira, gula, tetes tebu. Arah pengembangan Bio-
ethanol dari saat ini sampai masa mendatang
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Arah pengembangan teknologi
biofuel
Proses produksi ethanol saat ini
merupakan generasi pertama yang pada
dasarnya terdiri dari dua tahapan proses yaitu
proses fermentasi dan proses distilasi. Proses
fermentasi adalah tahapan proses di mana gula
di dalam bahan baku (tetes tebu) dikonversi
menjadi ethanol dengan bantuan ragi (yeast).
Proses distilasi adalah tahapan proses di mana
hasil fermentasi dilakukan pemurnian, sehingga
di dapatkan hasil produk ethanol dengan kadar
kemurnian 96,5% .
Untuk teknologi proses generasi 1 dapat
ditunjukkan dengan diagram proses produksi
dari PG Madu Kismo, Yogyakarta dengan bahan
baku molasse atau tetes tebu.
Sumber: Madu Baru, PT. Madu Kismo
Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkohol
PT Madu Kismo
Pada diagram tersebut ada dua aliran proses
yaitu aliran dari bahan baku tetes tebu dan
aliran dari enzym/mikrobakteri Saccaromyces
cerevisiae (ragi roti) untuk pelaksanaan
fermentasi dan distilasi sehingga memperoleh
alkohol dengan kandungan 94%  95%. Untuk
mencapai kandungan alkohol 99% seperti
sebagian besar kebutuhan pasar maka dapat
dilaksanakan dengan proses pengeringan
dengan menggunakan CaO atau filterisasi.
Secara umum pada lahan tebu 1 Ha hanya
akan diperoleh 1100 - 1200 liter per tahun,
sehingga diupayakan agar biomasa lain yang
merupakan sisa seperti sepah tebu atau bagase
dan lain-lain dapat dimanfaatkan.
Proses produksi ethanol generasi kedua
adalah memanfaatkan lignoselulosa biomasa
yang terdiri dari selulosa dari kayu dan serat
biomasa, dengan pertolongan enzim diubah jadi
gula, kemudian melalui proses fermentasi
menjadi ethanol. Proses produks ini relatif sulit
karena selulosa merupakan bahan yang stabil
dan tidak mudah terurai, disebabkan dialam
selulosa terikat dengan lignin dan pentosan yang
sulit diuraikan. Teknologi yang diperlukan ialah
menemukan enzym yang tepat agar dapat
menguraikan selulosa dengan cepat dan
mengubahnya menjadi gula-gulaan.
Sementara itu gambaran tentang proses
produksi bioethanol generasi 1 dan 2 dapat
dilihat pada gambar 5. Pemanfaatan seluruh
limbah produksi gula ini akan dapat
meningkatkan produksi ethanol per Ha dari
1200 literhingga menjadi 3600 liter.
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
60
Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang
diperbarui dengan Permen ESDM Nomor 25
Tahun 2013 tentang mandatori penggunaan
BBN.
Gambar 5. Proses produksi ethanol generasi 1
dan generasi 2
Persoalannya walaupun lignoselulosa
relatif murah tetapi memerlukan teknologi
tinggi dalam produksi enzim yang dapat
mengubah selulosa menjadi gula sehingga biaya
produksi ethanol menjadi tidak murah. Pada
Gambar 6 berikut ditunjukkan teknologi proses
produksi bioethanol generasi 2.
Sumber: Dian Shofinita, Majari Magazine, 2009
Gambar 6. Proses produksi ethanol generasi 2
2.5. Kebijakan Pengembangan Bio-ethanol
Sebagai Pengganti Bensin
Mengingat kebutuhan Bahan Bakar
Minyak terus meningkat setiap tahun yang
diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah dan jarak
tempuh kendaraan sementara cadangan minyak
bumi terus menurun, maka dilaksanakan impor
BBM yang volumenya terus meningkat pula.
Persoalannya ialah BBM memperoleh subsidi
yang makin membebani anggaran belanja
negara. Salah satu cara untuk mengurangi beban
subsidi ini Pemerintah Indonesia berusaha untuk
mengurangi pemakaian BBM dengan
penggunaan Bahan Bakar Nabati. Kebijakan ini
tertuang pada Perpres Nomor 5 Tahun 2006,
Inpres Nomor 1 Tahun 2006 dan didukung oleh
Untuk pengurangan bensin (Premium dan
Pertamax) diatur dengan mandatori
pemanfaatan bioethanol untuk substitusi bensin
di sektor industri dan transportasi baik PSO
maupun non PSO, sementara untuk sektor
rumah tangga dan pembangkit listrik belum
ditentukan. Target dari kebijakan kewajiban
penggunaan bioethanol 100 yang sesuai dengan
ketentuan yang ada adalah sebagaimana terlihat
pada Tabel 4 tentang mandatori bioethanol.
Tabel 4. Mandatori bioethanol (E100)
Sektor 2015 2020 2025
PERMEN
No.32/2008
Rumah Tangga Blm. Ditentukan
Transp. PSO 5 10 15
Transp. Non
PSO
10 12 15
Industri 10 12 15
Pemb. Listrik - - -
PERMEN
No.25/2013
Rumah Tangga - - -
Transp. PSO 1 5 20
Transp. Non
PSO
2 10 20
Industri 2 10 20
Pemb. Listrik - - -
Kebijakan dan regulasi terkait pengembangan
biofuel adalah sebagai berikut.
 UU No. 12 Tahun 1992, tentang Sistem
Budidaya Tanaman.
 UU No. 18 Tahun 2004, tentang
Perkebunan.
 UU No. 30 Tahun 2007, tentang Energi.
 Inpres No. 1 Tahun 2006, tentang
Percepatan dan Pemanfaatan BBN (biofuel)
sebagai bahan bakar lain.
 PP No. 79 Tahun 2014 menggantikan
Perpres No. 5 Tahun 2006, tentang
Kebijakan Energi Nasional.
 Perpres No. 10 Tahun 2006, tentang
Pembentukan Tim Nasional BBN.
 Perpres No. 26 Tahun 2008, tentang DEN.
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
61
2011 2012 2013 2014
Bensin bersubsidi 25.530 28.340 29.260 32.320
Mandatori
Bioethanol
694 968 1.167 1.334
Mandatori
Transpor PSO
230 244 146 165
Realisasi - - - -
 Permen Pertanian No.26 Tahun 2007,
tentang Pedoman Perijinan Usaha
Perkebunan.
 Permen ESDM No.32 Tahun 2008, tentang
Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga
BBN.
 Permen ESDM No. 04 Tahun 2012, tentang
harga pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN
(Persero) dari pembangkit tenaga listrik
yang menggunakan energi terbarukan skala
kecil dan menengahatau kelebihan tenaga
listrik.
 Permen ESDM No. 25 Tahun 2013, tentang
Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga
BBN sebagai perubahan Permen ESDM
No.32 Tahun 2008.
3. Analisis Pengembangan Bioethanol
3.1. Permasalahan dalam pengembangan
Bioethanol
bioethanol sebagai substitusi bensin (Premium
dan Pertamax). Faktor penghambat ini antara
lain adalah :
a. Bahan baku utama ethanol adalah gula dan
tetes tebu. Saat ini Indonesia merupakan
importir gula, sementara tetes tebu yang
merupakan produk samping industri gula
harganya relatif mahal dan bersaing dengan
industri penyedap makanan serta
keperluan impor. Saat ini lahan tebu hanya
sekitar 400 ribu Ha, dan sulit sekali untuk
mengembangkan lahan tebu sampai 3, 6
juta Ha bila kebutuhan bioethanol dipenuhi
dari tetes tebu.
b. Sumber ethanol yang potensiil lain seperti
nipah, ketela pohon, ubi jalar dan lain-lain
yang merupakan produk makanan sehingga
menyebabkan kesulitan tersendiri dalam
pemanfaatannya karena adanya kompetisi
antara bahan makanan dengan energi .
c. Subsidi harga sebesar Rp. 3500 / liter pada
Target mandatori bioethanol pada APBN 2013 dan RAPBN 2014BBN yang
Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 cukup diberikan oleh Pemerintah untuk
besar tetapi karena pelaksanaannya masih
terkendala maka untuk tahun 2015 target
diturunkan walaupun untuk tahun 2025 target
dinaikkan menjadi 20% dari 15%. Gambaran
tentang pelaksanaan mandatori bioethanol
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Konsumsi bensin, mandatori bioethanol
dan realisasinya
Ribu kl
Sumber : Ditjen EBTKE, 2013 dan PT. Pertamina Persero
Tabel tersebut menunjukkan bahwa
sampai tahun 2014 mandatori bioethanol pada
transpor PSO maupun pada seluruh mandatori
bioethanol total bensin premium maupun
pertamax pada kenyataannya belum dapat
terlaksanakan.
Hal yang disebabkan oleh berbagai faktor
yang masih menghambat pemanfaatan
pemanfaatan bioethanol belum cukup
mendorong industri ethanol untuk
mendistribusikan ethanolnya ke Pertamina.
3.2. Strategi Pengembangan Bioethanol
Pengembangan bioethanol mungkin
dapat dilaksanakan dalam 4 langkah atau
strategi sebagai berikut.
a. Memperluas lahan penanaman tebu
meliputi lahan yang belum digarap
termasuk lahan kritis dengan target untuk
mencapai kapasitas produksi gula sebagai
bahan makanan dan bahan baku
bioethanol.
b. Mengembangkan tanaman yang berpotensi
untuk produksi bioethanol tanpa
berkompetisi dengan bahan makanan.
c. Mengembangkan teknologi proses produksi
bioethanol generasi 2 dengan bahan baku
lignoselulosa secara terintegrasi antara
lembaga penelitian dan pendidikan, dan
bila perlu melalui kerjasama internasional.
d. Mengembangkan sistem distribusi gula dan
molase (tetes) untuk pengaturan produksi
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
62
gula dan bioethanol, sekaligus mengatur
harga jual kedua komoditi tersebut.
e. Mengembangkan sistem penyediaan
bioethanol termasuk harga dan subsidi
dalam rangka pencapaian target mandatori
penggunaan bioethanol.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan dan terhadap
pengembangan dan pemanfaatan bioethanol
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
a. Sampai saat ini bioethanol belum dapat
menjadi bahan bakar alternatif karena
berbagai hambatan dalam pengembangan
dan distribusinya.
b. Indonesia mempunyai potensi bahan baku
lain berupa bahan makanan maupun bukan
yang dapat dimanfaatkan sebagai
bioethanol.
c. Teknologi produksi Bio-ethanol generasi 1
berbasis fermentasi gula pada umumnya
sudah dikuasai, sementara teknologi proses
generasi kedua yang prinsipnya mengolah
lignoselulosa dengan enzim dan fermentasi
atau gasifikasi biomasa dengan proses
Fisher Tropch masih dalam pengembangan.
d. Saat ini sedang dilaksanakan penelitian
produksi bioethanol generasi kedua oleh
berbagai institusi baik penelitian maupun
pendidikan secara sendiri maupun
bekerjasama dengan institusi luar negeri.
4.2. Saran
Dari hal-hal yang telah dikaji dan
evaluasi tersebut, disampaikan beberapa saran
sebagai berikut.
a. Perlu perluasan dan penyediaan
perkebunan tebu, ketela pohon dan
sumber bahan baku ethanol lain yang
khusus untuk produksi ethanol untuk bahan
bakar, sehingga tidak ada tarikan atau
kompetisi antara bahan makan dengan
energi.
b. Perlu dikembangkan secara serius teknologi
bioethanol generasi kedua dengan
memanfaatkan lignoselulosa mengingat
potensi bahan bakunya yang sangat tinggi
dan saat ini belum termanfaatkan secara
optimal.
c. Perlu dibentuk tim atau badan nasioanl
yang mengkaji harga BBM dan BBN serta
menentukan besar insentif baik melalui
subsidi maupun fiskal. Diantaranya
menetapkan suatu mekanisme subsidi yang
melekat (floating) pada harga BBM yang
dikaji dan dievaluasi secara terus menerus
sebagai masukan bagi Kementrian
Keuangan dan institusi terkait lainnya.
Daftar Pustaka
[1] Nurdyastuti, I., 2004, Teknologi Proses
Produksi Bio-Etanol: Prospek Pengembang-
an Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar
Minyak, PTKKE, BPPT.
[2] Lennartsson, P.R., Erlandsson, P., and
Taherzadeh, M.J., 2014, Integration of the
first and second generation bioethanol
processes and the importance of by-
products, Bioresource Technology, Vol. 165,
p. 3-8, August 2014, Elsevier.
[3] Fatimah, N., 2012, Bioetanol Molase Tebu,
Hasil Samping Industri Tebu yang
Menguntungkan, PBT Pertama, BBP2TP,
Surabaya.
[4] Rosyadi, E., 2012, Bahan Kuliah Bahan
Bakar Nabati, Universitas Pertahanan,
Jakarta.
[5] PTPN X, 2012, Experiences & Prospects of
Bioethanol in Indonesia, Bioethanol Project-
PT. Perkebunan Nusantara X (Persero), Juli
2012.
[6] Pusdatin, 2014, Handbook of Energy and
Economic Statistics 2013, Pusat Data dan
Informasi, Kementerian ESDM, Jakarta.
[7] Deinol, 2014, Potential Standard for
Production of Second Generation
Bioethanol, DEINOVE SA, Grabels, France.
[8] Shofinita, D., 2014, Bioethanol Generasi
Kedua, Majari Magazine, Tersedia di
http://majarimagazine.com/2009/02/bioet
anol-generasi-kedua/, Diakses 2 Agustus
2014.
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 &
Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
63

More Related Content

Bioethanol untuk bbm

  • 2. 55 Prospek Pemanfaatan Bioethanol Sebagai Pengganti BBM di Indonesia M. Sidik Boedoyo Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi, BPPT Gedung 625, Klaster Energi, Kawasan Puspiptek, Kota Tangerang Selatan Email: msboedoyo@gmail.com Abstract As a developing country Indonesia's economy will continue to grow. One of the requirements needed for the smooth development, is the availability of infrastructure, good development, including raw water, land and energy. Indonesia has a range of potential energy resources, both fossil fuels such as oil, natural gas, coal, and renewable energy resources such as hydro, geothermal, solar, wind, biomass, and ocean. The transportation sector is the largest fuel users, followed by the industrial and commercial sectors. Especially for transport sector use of biodiesel to replace most of its use of diesel oil as mandated in the ESDM No. 25 of 2013 has been running, but the use of bioethanol has not run as expected. This is because the raw material of bioethanol is also necessary as food and medicine, while currently the main raw material of bioethanol is molasses which is very limited and also the raw material of monosodium glutamate. When in fact Indonesia has the highly varied potential bioethanol feedstock as crops, sap, roots, even a source of cellulose such as wood and other plantation waste. This paper discusses the development and utilization of bioethanol to replace or reduce the use of fuel, especially gasoline replacement. Keywords: bioethanol, production process, diversification programs 1. Pendahuluan Sebagai negara yang sedang berkembang ekonomi Indonesia akan terus tumbuh. Pertumbuhan ekonomi ini dapat berlangsung bila persyaratan yang dibutuhkan terpenuhi, antara lain adanya target atau perencanaan pembangunan yang jelas, tersedianya sumberdaya manusia yang handal, tercukupinya finansiil, tersedianya sarana dan prasarana pembangunan yang baik, termasuk air baku, lahan dan energi, dan terpeliharanya lingkungan hidup. Dalam hal ini, ketersediaan energi merupakan syarat yang mutlak diperlukan, karena tanpa dukungan energi baik berupa bahan bakar maupun listrik, maka pembangunan dapat terhambat atau bahkan terhenti. Indonesia memiliki berbagai potensi sumberdaya energi baik energi fosil seperti minyak bumi, gas bumi, batubara, serta sumberdaya energi terbarukan seperti hidro, panas bumi, surya, angin, biomasa, dan samudra. Sumberdaya minyak bumi saat ini sudah sangat membutuhkan perhatian, karena cadangan minyak bumi terus menurun, sementara konsumsi terus meningkat sehingga impor minyak bumi dan bahan bakar minyak terus meningkat. Persoalan lain ialah sejak tahun 1997 sampai sekarang bahan bakar minyak mendapat subsidi yang makin membesar setiap tahun. Sektor transportasi yang merupakan pengguna bahan bakar minyak terbesar justru memperoleh subsidi bahan bakar, sementara industri dan pembangkitan
  • 3. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII iii Gambar 1. Analisis kajian pemanfaatan bioethanol listrik tidak memperoleh subsidi. Dilain pihak peningkatan arus transportasi barang, dan orang yang kurang didukung oleh tersedianya transportasi masal yang memadai, dan adanya harga bahan bakar bersubsidi yang relatif murah makin mendorong peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor yang menyebabkan subsidi BBM makin lama makin meningkat. Beberapa langkah untuk mengurangi subsidi energi dan ketergantungan pada bahan bakar minyak antara lain ialah dengan mengurangi atau mencabut subsidi, mengganti BBM dengan energi alternatif, mengganti teknologi yang menggunakan BBM dengan teknologi dengan energi alternatif, memanfaatkan teknologi yang lebih efisien, dan mengubah pola penggunaan energi. Pemanfaatan biodiesel untuk mengganti sebagian penggunaannya minyak diesel seperti diamanatkan pada Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013 telah berjalan, tetapi pemanfaatan bioethanol belum berjalan seperti yang diharapkan. Makalah ini membahas pengembangan dan pemanfaatan bioethanol untuk menggantikan atau mengurangi penggunaan BBM. 2. Metodologi Dalam menganalisis pemanfaatan bioethanol untjuk mengurangi atau menggantikan penggunaan bensin, maka dilakakukan tahap-tahap analisis yang meliputi analisis terhadap kondisi saat ini dalam penggunaan bensin serta bioethanol, analisis tentang potensi produksi bioethanol di Indonesia, analisis tentang status teknologi yangntu ada dan akan dikembangkan, analisis kebijakan Pemerintah dalam pemanfaatan bioethanol, serta strategi yang dapat dilaksanakan untuk mengganti bensin sebagian atau seluruhnya dengan bioethanol. Gambar 1 menunjukkan aliran dari analisis kajian pemanfaatan bioethanol untuk menggantikan atau mengurangi penggunaan bensin. Untuk mencapai target atau kondisi yang diharapkan evaluasi terhadap kebijakan, target capaian, pelaksanaan dan realisasi merupakan hal yang sangat penting karena menentukan apakah target terlalu besar atau terlalu kecil dan atau apakah kebijakan yang ada sudah tepat atau harus diperbaiki. 2.1. Kondisi Saat Ini Peningkatan pertumbuhan sektor transportasi menyebabkan konsumsi bensin setiap tahun makin meningkat dengan pertumbuhan antara tahun 2006-2012 mencapai 9% per tahun. Dari konsumsi bensin tersebut selama periode 2006-2012 sekitar 96% 97% adalah premium yang mempunyai Oktan 88, sekitar 3% - 4% Pertamax dan sekitar 0,1% Bio Premium + Bio Pertamax khususnya pada tahun 2008 dan 2009. Tabel 1 menunjukkan konsumsi bensin antara tahun 2006-2012 untuk Premium, Pertamax, Bio Premium dan Bio Pertamax.
  • 4. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII 57 Year Premium Pertamax Pertamax Plus Total Bensin Juta SBM Juta SBM Juta SBM Juta SBM Juta kl 2006 92,91 2,95 0,75 96,61 15,36 2007 99,17 2,81 0,92 102,90 16,36 2008 111,63 1,83 0,67 114,13 18,15 2009 121,84 2,80 0,61 125,25 19,91 2010 130,49 3,91 0,66 135,06 21,47 2011 144,33 3,64 1,72 149,69 23,80 2012 160,91 3,88 0,87 165,66 26,34 Tahun Produksi Bensin DN (RON) Impor 88 95 91 Total DN Juta SBM Juta SBM Juta kl Juta SBM Juta kl 2006 70 2 1 73 12 44 7 2007 71 3 1 75 12 46 7 2008 72 2 0 74 12 54 9 2009 75 3 1 78 12 74 12 2010 67 3 1 71 11 90 14 2011 64 2 1 68 11 99 16 2012 68 2 1 71 11 116 18 201220152020202520302035 Tabel 1. Konsumsi Bensin 2006-2012. Dalam Gambar 2. terlihat bahwa dari tahun 2012 sampai tahun 2035 konsumsi bensin yang diperoleh dari produksi dalam negeri dan impor meningkat sampai 3 - 4 kali lipat untuk skenario BAU (Business As Usual) maupun skenario HIGH (tinggi). HIGH BAU Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic 2013, Pusdatin-KESDM Masalahnya ialah dari pasokan bensin tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh kilang dalam negeri, bahkan pangsa impor bensin terhadap produksi dalam negeri terus meningkat seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pasokan bensin dalam negeri dan impor HIGH BAU HIGH BAU HIGH BAU HIGH BAU HIGH BAU Produksi Bensin Impor Bensin 0 200 400 600 800 Sumber: OEI 2013, BPPT Gambar 2. Produksi, impor bensin dan produksi bioethanol (juta BOE) Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic 2013, Pusdatin-KESDM 2.2. Proyeksi Kebutuhan Bensin Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup cepat, maka pertumbuhan sektor transportasi sebagai sektor penunjang utama untuk pengangkutan orang dan barang juga meningkat pula. Diprediksi pertumbuhan bensin yang dipergunakan untuk kendaraan pribadi, angkutan kota dan truk ringan akan meningkat dengan cepat. Berdasar kondisi saat ini maka untuk memenuhi kebutuhan dimasa mendatang, impor bensin diperkirakan akan terus meningkat. 2.3. Pengembangan Bioethanol Sebagai Bahan Bakar Alternatif Bahan bakar ethanol atau bioethanol merupakan bahan bakar yang dapat menggantikan bensin. Di beberapa negara bioethanol sudah dipergunakan sebagai campuran bensin, di Brazilia bioethanol dipergunakan 100% (B100) untuk menjalankan kendaraan khusus bioethanol. Ethanol atau alkohol merupakan bahan bakar yang bersih, dimana hasil pembakaran menghasilkan CO2 dan H2 O. Penambahan bahan yang mengandung oksigen ini pada sistem bahan bakar akan mengurangi emisi gas CO dari sisa pembakaran yang sangat beracun. Aditif TEL (Tetra Ethyl Lead) dan MTBE (Methyl Tertier Buthyl Ether) pada mulanya dipergunakan untuk meningkatkan nilai oktan, namun saat ini dilarang dipergunakan. TEL dan MTBE dapat dideteksi dan menyebabkan pencemaran pada udara dan air tanah sehingga alkohol merupakan alternatif yang menarik untuk mengurangi emisi gas CO. Penggunaan alkohol murni dibanding
  • 5. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII 58 dengan bensin secara umum akan mengurangi pencemaran CO2 di atmospher hingga 13% karena merupakan hasil dari pertanian yang akan memerlukan gas CO2 untuk metabolismenya. Penggunaan alkohol bukan tanpa problem pada lingkungan hidup, dimana VOC atau komponen bahan organik yang mudah menguap meningkat, kebutuhan lahan pertanian dikhawatirkan akan mengurangi jumlah hutan dan tentunya akan bersaing dengan kebutuhan makanan. Jenis tanaman yang dapat menghasilkan ethanol seperti terlihat pada Tabel 3. Bahan bakar etanol dari sari tanaman tebu akan lebih mudah diproduksi dibanding dengan fermentasi karbohidrat dari jagung. Di pabrik, tebu digiling ditekan dengan silinder berputar untuk memperoleh sari cairan manis dan menyisakan residu berserat atau bagas. Cairan manis dapat langsung difermentasi oleh ragi yang akan memecah gula menjadi gas CO2 dan etanol sampai konsentrasi 15%. Campuran air etanol di distilasi untuk memperoleh etanol atau alkohol 95%. Alkohol ini sudah dapat dijual untuk bahan bakar mobil. Namun jika dikehendaki sebagai aditif dengan menambahkan 10% kedalam bensin (gasohol), maka alkohol perlu dimurnikan hingga mendekati 100%. Pemurnian hingga 100% dapat dilakukan dengan absorbsi dengan bahan penghisap air seperti CaO. Setiap 1000 kg tebu yang dikirim ke kilang mengandung serat bagas 145 kg, gula sukrosa 138 kg. Dari jumlah gula tersebut hanya 112 kg yang dapat dijadikan gula pasir, sisanya 23 kg berupa gula tetes yang berharga murah. Jika sari tebu tersebut difermentasi akan menghasilkan 72 liter alkohol. Bagas serat dapat dibakar panas dapat dipergunakan untuk destilasi, pengeringan dan tenaga listrik sebesar 288 MJ. Energi tersebut: 180 MJ untuk pabrik dan 108 dapat dijual ke perusahaan listrik. Setiap hektar lahan tebu dapat menghasilkan 10 15 ton tetes tebu per hektar atau 766 1150 liter ethanol grade bahan bakar. Penggunaan Luas tanaman tebu Indonesia tahun 2013 adalah 470.000 Ha atau potensi maksimum mencapai 3,6 juta kl ethanol. Pengolahan lahan tebu khusus untuk produksi ethanol akan menghasilkan sekitar 5 kl per Ha. Dengan perbaikan kwalitas tanaman dan teknik penanaman di Brasil dapat menghasilkan alkohol 550 m3 /km2 atau 5,5 kl per Ha. Bahan baku selain tetes seperti ketela pohon, ubi jalar, nipah, sorgum dan lain-lain yang banyak dijumpai di Indonesia merupakan potensi yang dapat dikembangkan di masa mendatang. Luas lahan sagu di Indonesia mencapai 1,2 juta Ha dengan potensi produksi sagu sekitar 5 juta ton pati kering. Dengan konsumsi sekitar 210 ribu ton atau 5% produksi dan intensitas produksi 600 liter per ton pati, maka akan diperoleh potensi bioethanol sebesar 2,85 juta kl ethanol. Sumber potensial lain ialah Nipah, Aren dan Lontar. Nipah yang merupakan tumbuhan tepi pantai dan merupakan tumbuhan utama pada hutan manggrove. Luas tanaman Nipah adalah sekitar 0,75 1,35 juta Ha atau sekitar 30% luas hutan Manggrove. Dari Tabel 3. Sumber, hasil panen dan rendemen alkohol sebagai hasil konversi Sumber karbohidrat Hasil panen ton/ha/th Perolehan alkohol liter/ton liter/ha/th Singkong 25 (23,6) 180 (155) 4500 (3658) Tetes tebu 3,6 270 973 Sorgum biji 6 333,4 2000 Ubi jalar 62,5 125 7812 Sagu 6,8 608 4133 Tebu 75 67 5025 Nipah 27 93 2500 Sorgum manis 80 75 6000 Sumber: Nurdyastuti (2008) dan Assegaf (2009)
  • 6. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII 59 tanaman Nipah diperkirakan dapat diproduksi 750 ribu kl ethanol (25% produksi). Masalah dalam pengembangan bioethanol ialah hasil produksinya merupakan produk makanan, serta bahan baku industri, sehingga tetap sulit bersaing walaupun telah diberi subsidi harga sebesar Rp. 3500 / liter pada APBN 2013 dan RAPBN 2014. 2.4. Pengembangan Teknologi Bio Ethanol Teknologi proses produksi bioethanol dapat dikatakan sangat sederhana dan sudah dikuasai oleh masyarakat sejak jaman dulu, antara lain dengan produksi alkohol dari bahan nira, gula, tetes tebu. Arah pengembangan Bio- ethanol dari saat ini sampai masa mendatang dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Arah pengembangan teknologi biofuel Proses produksi ethanol saat ini merupakan generasi pertama yang pada dasarnya terdiri dari dua tahapan proses yaitu proses fermentasi dan proses distilasi. Proses fermentasi adalah tahapan proses di mana gula di dalam bahan baku (tetes tebu) dikonversi menjadi ethanol dengan bantuan ragi (yeast). Proses distilasi adalah tahapan proses di mana hasil fermentasi dilakukan pemurnian, sehingga di dapatkan hasil produk ethanol dengan kadar kemurnian 96,5% . Untuk teknologi proses generasi 1 dapat ditunjukkan dengan diagram proses produksi dari PG Madu Kismo, Yogyakarta dengan bahan baku molasse atau tetes tebu. Sumber: Madu Baru, PT. Madu Kismo Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkohol PT Madu Kismo Pada diagram tersebut ada dua aliran proses yaitu aliran dari bahan baku tetes tebu dan aliran dari enzym/mikrobakteri Saccaromyces cerevisiae (ragi roti) untuk pelaksanaan fermentasi dan distilasi sehingga memperoleh alkohol dengan kandungan 94% 95%. Untuk mencapai kandungan alkohol 99% seperti sebagian besar kebutuhan pasar maka dapat dilaksanakan dengan proses pengeringan dengan menggunakan CaO atau filterisasi. Secara umum pada lahan tebu 1 Ha hanya akan diperoleh 1100 - 1200 liter per tahun, sehingga diupayakan agar biomasa lain yang merupakan sisa seperti sepah tebu atau bagase dan lain-lain dapat dimanfaatkan. Proses produksi ethanol generasi kedua adalah memanfaatkan lignoselulosa biomasa yang terdiri dari selulosa dari kayu dan serat biomasa, dengan pertolongan enzim diubah jadi gula, kemudian melalui proses fermentasi menjadi ethanol. Proses produks ini relatif sulit karena selulosa merupakan bahan yang stabil dan tidak mudah terurai, disebabkan dialam selulosa terikat dengan lignin dan pentosan yang sulit diuraikan. Teknologi yang diperlukan ialah menemukan enzym yang tepat agar dapat menguraikan selulosa dengan cepat dan mengubahnya menjadi gula-gulaan. Sementara itu gambaran tentang proses produksi bioethanol generasi 1 dan 2 dapat dilihat pada gambar 5. Pemanfaatan seluruh limbah produksi gula ini akan dapat meningkatkan produksi ethanol per Ha dari 1200 literhingga menjadi 3600 liter.
  • 7. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII 60 Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang diperbarui dengan Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang mandatori penggunaan BBN. Gambar 5. Proses produksi ethanol generasi 1 dan generasi 2 Persoalannya walaupun lignoselulosa relatif murah tetapi memerlukan teknologi tinggi dalam produksi enzim yang dapat mengubah selulosa menjadi gula sehingga biaya produksi ethanol menjadi tidak murah. Pada Gambar 6 berikut ditunjukkan teknologi proses produksi bioethanol generasi 2. Sumber: Dian Shofinita, Majari Magazine, 2009 Gambar 6. Proses produksi ethanol generasi 2 2.5. Kebijakan Pengembangan Bio-ethanol Sebagai Pengganti Bensin Mengingat kebutuhan Bahan Bakar Minyak terus meningkat setiap tahun yang diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah dan jarak tempuh kendaraan sementara cadangan minyak bumi terus menurun, maka dilaksanakan impor BBM yang volumenya terus meningkat pula. Persoalannya ialah BBM memperoleh subsidi yang makin membebani anggaran belanja negara. Salah satu cara untuk mengurangi beban subsidi ini Pemerintah Indonesia berusaha untuk mengurangi pemakaian BBM dengan penggunaan Bahan Bakar Nabati. Kebijakan ini tertuang pada Perpres Nomor 5 Tahun 2006, Inpres Nomor 1 Tahun 2006 dan didukung oleh Untuk pengurangan bensin (Premium dan Pertamax) diatur dengan mandatori pemanfaatan bioethanol untuk substitusi bensin di sektor industri dan transportasi baik PSO maupun non PSO, sementara untuk sektor rumah tangga dan pembangkit listrik belum ditentukan. Target dari kebijakan kewajiban penggunaan bioethanol 100 yang sesuai dengan ketentuan yang ada adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4 tentang mandatori bioethanol. Tabel 4. Mandatori bioethanol (E100) Sektor 2015 2020 2025 PERMEN No.32/2008 Rumah Tangga Blm. Ditentukan Transp. PSO 5 10 15 Transp. Non PSO 10 12 15 Industri 10 12 15 Pemb. Listrik - - - PERMEN No.25/2013 Rumah Tangga - - - Transp. PSO 1 5 20 Transp. Non PSO 2 10 20 Industri 2 10 20 Pemb. Listrik - - - Kebijakan dan regulasi terkait pengembangan biofuel adalah sebagai berikut. UU No. 12 Tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU No. 18 Tahun 2004, tentang Perkebunan. UU No. 30 Tahun 2007, tentang Energi. Inpres No. 1 Tahun 2006, tentang Percepatan dan Pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain. PP No. 79 Tahun 2014 menggantikan Perpres No. 5 Tahun 2006, tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres No. 10 Tahun 2006, tentang Pembentukan Tim Nasional BBN. Perpres No. 26 Tahun 2008, tentang DEN.
  • 8. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII 61 2011 2012 2013 2014 Bensin bersubsidi 25.530 28.340 29.260 32.320 Mandatori Bioethanol 694 968 1.167 1.334 Mandatori Transpor PSO 230 244 146 165 Realisasi - - - - Permen Pertanian No.26 Tahun 2007, tentang Pedoman Perijinan Usaha Perkebunan. Permen ESDM No.32 Tahun 2008, tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN. Permen ESDM No. 04 Tahun 2012, tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengahatau kelebihan tenaga listrik. Permen ESDM No. 25 Tahun 2013, tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai perubahan Permen ESDM No.32 Tahun 2008. 3. Analisis Pengembangan Bioethanol 3.1. Permasalahan dalam pengembangan Bioethanol bioethanol sebagai substitusi bensin (Premium dan Pertamax). Faktor penghambat ini antara lain adalah : a. Bahan baku utama ethanol adalah gula dan tetes tebu. Saat ini Indonesia merupakan importir gula, sementara tetes tebu yang merupakan produk samping industri gula harganya relatif mahal dan bersaing dengan industri penyedap makanan serta keperluan impor. Saat ini lahan tebu hanya sekitar 400 ribu Ha, dan sulit sekali untuk mengembangkan lahan tebu sampai 3, 6 juta Ha bila kebutuhan bioethanol dipenuhi dari tetes tebu. b. Sumber ethanol yang potensiil lain seperti nipah, ketela pohon, ubi jalar dan lain-lain yang merupakan produk makanan sehingga menyebabkan kesulitan tersendiri dalam pemanfaatannya karena adanya kompetisi antara bahan makanan dengan energi . c. Subsidi harga sebesar Rp. 3500 / liter pada Target mandatori bioethanol pada APBN 2013 dan RAPBN 2014BBN yang Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 cukup diberikan oleh Pemerintah untuk besar tetapi karena pelaksanaannya masih terkendala maka untuk tahun 2015 target diturunkan walaupun untuk tahun 2025 target dinaikkan menjadi 20% dari 15%. Gambaran tentang pelaksanaan mandatori bioethanol dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi bensin, mandatori bioethanol dan realisasinya Ribu kl Sumber : Ditjen EBTKE, 2013 dan PT. Pertamina Persero Tabel tersebut menunjukkan bahwa sampai tahun 2014 mandatori bioethanol pada transpor PSO maupun pada seluruh mandatori bioethanol total bensin premium maupun pertamax pada kenyataannya belum dapat terlaksanakan. Hal yang disebabkan oleh berbagai faktor yang masih menghambat pemanfaatan pemanfaatan bioethanol belum cukup mendorong industri ethanol untuk mendistribusikan ethanolnya ke Pertamina. 3.2. Strategi Pengembangan Bioethanol Pengembangan bioethanol mungkin dapat dilaksanakan dalam 4 langkah atau strategi sebagai berikut. a. Memperluas lahan penanaman tebu meliputi lahan yang belum digarap termasuk lahan kritis dengan target untuk mencapai kapasitas produksi gula sebagai bahan makanan dan bahan baku bioethanol. b. Mengembangkan tanaman yang berpotensi untuk produksi bioethanol tanpa berkompetisi dengan bahan makanan. c. Mengembangkan teknologi proses produksi bioethanol generasi 2 dengan bahan baku lignoselulosa secara terintegrasi antara lembaga penelitian dan pendidikan, dan bila perlu melalui kerjasama internasional. d. Mengembangkan sistem distribusi gula dan molase (tetes) untuk pengaturan produksi
  • 9. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII 62 gula dan bioethanol, sekaligus mengatur harga jual kedua komoditi tersebut. e. Mengembangkan sistem penyediaan bioethanol termasuk harga dan subsidi dalam rangka pencapaian target mandatori penggunaan bioethanol. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan Dari pembahasan dan terhadap pengembangan dan pemanfaatan bioethanol diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. a. Sampai saat ini bioethanol belum dapat menjadi bahan bakar alternatif karena berbagai hambatan dalam pengembangan dan distribusinya. b. Indonesia mempunyai potensi bahan baku lain berupa bahan makanan maupun bukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. c. Teknologi produksi Bio-ethanol generasi 1 berbasis fermentasi gula pada umumnya sudah dikuasai, sementara teknologi proses generasi kedua yang prinsipnya mengolah lignoselulosa dengan enzim dan fermentasi atau gasifikasi biomasa dengan proses Fisher Tropch masih dalam pengembangan. d. Saat ini sedang dilaksanakan penelitian produksi bioethanol generasi kedua oleh berbagai institusi baik penelitian maupun pendidikan secara sendiri maupun bekerjasama dengan institusi luar negeri. 4.2. Saran Dari hal-hal yang telah dikaji dan evaluasi tersebut, disampaikan beberapa saran sebagai berikut. a. Perlu perluasan dan penyediaan perkebunan tebu, ketela pohon dan sumber bahan baku ethanol lain yang khusus untuk produksi ethanol untuk bahan bakar, sehingga tidak ada tarikan atau kompetisi antara bahan makan dengan energi. b. Perlu dikembangkan secara serius teknologi bioethanol generasi kedua dengan memanfaatkan lignoselulosa mengingat potensi bahan bakunya yang sangat tinggi dan saat ini belum termanfaatkan secara optimal. c. Perlu dibentuk tim atau badan nasioanl yang mengkaji harga BBM dan BBN serta menentukan besar insentif baik melalui subsidi maupun fiskal. Diantaranya menetapkan suatu mekanisme subsidi yang melekat (floating) pada harga BBM yang dikaji dan dievaluasi secara terus menerus sebagai masukan bagi Kementrian Keuangan dan institusi terkait lainnya. Daftar Pustaka [1] Nurdyastuti, I., 2004, Teknologi Proses Produksi Bio-Etanol: Prospek Pengembang- an Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak, PTKKE, BPPT. [2] Lennartsson, P.R., Erlandsson, P., and Taherzadeh, M.J., 2014, Integration of the first and second generation bioethanol processes and the importance of by- products, Bioresource Technology, Vol. 165, p. 3-8, August 2014, Elsevier. [3] Fatimah, N., 2012, Bioetanol Molase Tebu, Hasil Samping Industri Tebu yang Menguntungkan, PBT Pertama, BBP2TP, Surabaya. [4] Rosyadi, E., 2012, Bahan Kuliah Bahan Bakar Nabati, Universitas Pertahanan, Jakarta. [5] PTPN X, 2012, Experiences & Prospects of Bioethanol in Indonesia, Bioethanol Project- PT. Perkebunan Nusantara X (Persero), Juli 2012. [6] Pusdatin, 2014, Handbook of Energy and Economic Statistics 2013, Pusat Data dan Informasi, Kementerian ESDM, Jakarta. [7] Deinol, 2014, Potential Standard for Production of Second Generation Bioethanol, DEINOVE SA, Grabels, France. [8] Shofinita, D., 2014, Bioethanol Generasi Kedua, Majari Magazine, Tersedia di http://majarimagazine.com/2009/02/bioet anol-generasi-kedua/, Diakses 2 Agustus 2014.
  • 10. Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII 63