Teks tersebut membahas makna sebenarnya dari perayaan Idul Adha yang seharusnya adalah berkorban dan bukan berkurban. Manusia cenderung egois dan lupa akan anugerah Tuhan. Kisah Nabi Ibrahim yang disuruh berkurban putranya mengajarkan untuk rela melepaskan segala yang dicintai demi Tuhan. Di Idul Adha sebaiknya manusia bersyukur atas nikmat Tuhan dan berbagi kepada orang lain.
1 of 2
Download to read offline
More Related Content
Renungan idul adha
1. Idul Adha; berkurbanka untuk jiwa kita atau jiwa kita sebagai korban?
Sungguh menarik diskusi dipinggir rel kereta api yang disekelilingnya bertaburan
gedung-gedung megah, dengan keangkuhannya mengabaikan aktivitas kehidupan di
sekitarnya. Sambil sesekali menyedot sebatang rokok kemudian melepaskannya, diriku
terhentak dengan celotehan temanku yang kuanggap sebagai celotehan yang harus
didiskusikan hari itu juga. sempat termenung juga memikirkan apa arti dari celotehan kecil
berkurban atau berkorban meskipun celotehan itu diiringi gelak tawa yang disambut
aungan suara sirene kereta api.
Diskusi kecil itu memang dideskripsikan untuk menyambut idul adha, yang kurang
beberapa hari lagi akan dirayakan diseluruh seantero dunia yang memeluk agama Islam.
Sehingga setiap sudut jalan kutemukan berbagai tulisan yang mengajak untuk berkurban,
bahkan di Jakarta, para animator telah membuat game animasi cara berkurban yang
digratiskan kepada orang yang telah berkurban lewat jaringannya.
Kenapa kita harus berkurban? Bukan berkorban?. Sejenak aku termenung
mendengar celotehan itu, kemudian perlahan-lahan aku sedikit menemukan jawaban yang
aku klaim sebagai jawaban yang hanya untuk memuaskan diriku saja agar tidak ada duel di
otakku.
Manusia cenderung dikuasai rasa ego yang tinggi sehingga jiwanya telah dikuasai
dengan nafsunya. Berbagai prilaku yang cenderung mementingkan diri sendiri, tidak
memberikan sebuah penghargaan terhadap kelompok lainnya, mengklaim dirinya atau
kelompoknya sebagai yang paling benar diantara yang lainnya bahkan apapun yang dia
lakukan hanyalah untuk kepuasan nafsunya bukan untuk kemaslahatan umat. Hal ini telah
dikhawatirkan oleh Malaikat sebelum Allah menciptakan manusia yang diutus sebagai
pungurus kepentingan yang ada di muka bumi (QS. Al Baqarah 30). Sehingga dengan
keangkuhan manusia telah mencibir segala sesuatu yang pada hakikatnya itu sebagai nilai
kebenaran bahkan menganggap dirinya bernilai daripada yang lainnya. Sehingga dia sering
mengklaim sesuatu yang dia dapat selama ini adalah buah hasil keringat dirinya sendiri. Dia
tidak ingat betapa besarnya anugerah Tuhan yang berperan besar di dalamnya.
Nilai-nilai ketuhanannya semakin hari semakin redup, yang ada hanyalah dia sebagai
korban dari nafsunya. Nafsu yang mendorong dia untuk segera mengakui semua
kesuksesannya, nafsu yang mendorong untuk segera mengklaim kebenaran dirinya, nafsu
yang mendorong untuk segara meninggalkan kepasrahan terhadap Tuhan. Sehingga dia
hidup bukan sebagai makhluk yang merdeka tetapi sebagai budak setia dari kelicikan
nafsu.
Demikian sejarah mengatakan, ketika Ibrahim diuji oleh Allah dengan menyembelih
putra semata wayangnya pada saat itu, putra yang telah ditunggu-tunggu oleh Ibrahim sejak
bertahun-tahun, putra yang diharapkan Ibrahim untuk meneruskan dakwanya. Dengan
tersentak mendengar dan melihat perintah Tuhan untuk menyembelih sesuatu yang paling
dicintai oleh Ibrahim yaitu anak. Kenapa harus anak yang disembelih? Bukanka Ibrahim
peternak yang kaya raya? Sudah berapa hewan yang disembelih Ibrahim setiap harinyanya
hanya demi untuk memuaskan para tamu dan tetangganya?. Ibrahim terus termenung
2. dengan ujian yang maha dahsyat atas dirinya. Kemudian dia sadar jika dia lalai berdzikir
kepada Tuhan sejenak ketika Ismail lahir di bumi. Dia lupa dengan Tuhannya, yang dia lihat
adalah wajah anaknya, keceriannya, tawa dan tangisnya. Dia lupa kalau dia memiliki gelar
Kholilullah pantaslah Allah cemburu terhadap HakNya yang teraibaikan oleh hambaNya,
karena Allah adalah Dzat Yang Maha Pencemburu.
Dengan kesalahan tersebut, Ibarahim diperintah untuk berkurban sesuatu yang
telah dia sangat cintai, yakni Ismail. Hanya itu yang dapat menebus kesalahan Ibrahim, dan
Ibrahim melaksanakannya tanpa ada pembantahan yang bertujuan untuk memuaskan
kepentingannya, sehingga Ibrahim lulus dalam ujian tersebut dan gelar Kholilulloh telah
kembali ke dalam dirinya.
Berbeda dengan kita, berapa kalikah kita lupa mengingat Allah? Andaikan kita seperti
Ibrahim, sudah berapa banyak anak kita untuk dikorbankan gara-gara kealpaan kita? Masih
puaskah kita adalah korban dari kelicikan nafsu? Di idul Adha ini kita tekadkan kalau semua
yang kita capai, semua yang kita miliki, semua yang kita rasakan dan kita nikmati hanyalah
murni karena Anugerah Allah. Dan Allah berhak menagih Haknya itu, dengan berkurban kita
relakan sesuatu yang kita cintai selama ini, dengan berkurban kita sedikit meringankan
beban orang lain, dengan berkorban sedikit kita membagi tawa kepada orang yang selama
ini selalu diselimuti dengan tangisan penderitaan.
Semoga bermanfaat,,,,