1. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
121
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
SEBAGAI PELAKUTINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANGMENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
8 TAHUN 20101
Oleh : Melinda Rachel Porung2
ABSTRAK
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana kebijakan formulasi
hukum pidana terhadap tindak pidana
pencucian uang dan bagaimana pola
pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku
tindak pidana pencucian uang. Dengan
menggunakan metode penelitian yuridis
normatif, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut: 1. Terdapat beberapa kelemahan
formulasi dalam Undang-undang No. 8 tahun
2010,terutama yangberkaitandengan pidana
terhadapkorporasi,adanya pidana
kumulatif,semakin meningkatnya jumlah dalam
denda pidana,dipidananyapercobaan dan
pemufakatan jahat sama halnya dengan pidana
penuh. 2. Pertanggungjawaban korporasi
terhadap setiap bentuk kegiatan korporasi
didasarkan pandangan akan kedudukan
korporasi sebagai (recht persoon),
dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
diatur mengenai pertanggungjawabankorporasi
selayaknya individu yang melakukan perbuatan
tindak pidana pencucian uang, meskipun dalam
formulasinya masih terdapat banyak
kelemahan.
Kata kunci: Pertanggungjawaban, korporasi,
pencucian uang.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam perkembangannya korporasi tidak
sekedar sebagai subyek hukum perdata,namun
telah bergeser menjadi subyek hukum pidana.
Ditinjau dari bentuk subjek dan motifnya.
Kejahatan korporasi dapat dikategorikan
sebagai kejahatan kerah putih (white collar
crime)sebagai kejahatan yang terorganisir.
Mengungkap kejahatan korporasi bukan
sesuatu yang sederhana karena tingkat
kompleksitas dan kerumitannya. Kejahatan
1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : SelvianiSambali,
SH.MH., LendySiar, SH.MH
2
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM.
100711227
kerah putih (white collar crime)dankejahatan
korporasi (corporate crime)lebih serius
daripada tindak pidana lainnya seperti
pembobolan(burglary) dan perampokan
(robbery).
Tindak pidana pencucian uang sebagai salah
satu bentuk kejahatan transnasional yang
tersistematis menuntut bekerjanya hukum
nasional dalam konteks kerjasama internasional
sebagaimana yang telah dihimbau oleh UNCAC
(United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime) Tahun 2003
yang berupa kewajiban negara-negara peserta
untuk mengambil tindakan-tindakan
pencegahan melalui hukum nasionalnya serta
mewajibkan setiap negara untuk mengadopsi
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
nasionalnya, tindakan-tindakan legislatif dan
tindakan-tindakan lain yang diperlukan, untuk
menangani kegiatan-kegiatan yang digolongkan
kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang
(Money Laundering). Tindak pidana pencucian
uang sebagai bentuk kejahatan yang tidak
hanya mengancam stabilitas perekonomian dan
integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara3
.
Dewasa ini perkembangannya cukup
memprihatinkan. Kejahatan dengan
memanfaatkan jaringan sistem keuangan untuk
menyembunyikan asal-usul uang dari hasil
tindak pidana tertentu agar tampak seperti
layaknya uang halal menimbulkan dampak
kerugian yang tidak sedikit bahkan dapat
bersifat sistemik. Sebagai bentukkejahatan
terusan atas suatu delik tertentu4
yang
menyertainya, kejahatan tersebut butuh sarana
atau upaya yang komprehensif dalam
penanganannya.
Permasalahan tindak pidana pencucian uang
yang dalam prakteknya tidak hanya dilakukan
individu melainkan juga dilakukan korporasi
menimbulkanpenyelesaian yang berbeda di
antara keduanya dengan melihat unsur
kejahatan dan pertanggungjawaban pidana
3
Lihat Konsiderans menimbang huruf (a) dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
4
Lihat Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 Tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
2. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
122
yang menjadi dasar penjatuhan sanksi dalam
kasus tindak pidana pencucian uang tersebut.
Penanganan secara penal maupun non penal
terhadap tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan korporasi menarik minat penulis
untuk melakukan penulisan makalah ini.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kebijakan formulasi hukum
pidana terhadap tindak pidana pencucian
uang?
2. Bagaimana pola pertanggungjawaban
korporasi sebagai pelaku tindak pidana
pencucian uang?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normative. Pendekatan terhadap permasalahan
dalam penelitian ini dilakukan dengan 4
(empat) cara pendekatan, yaitu pendekatan
perundang-undangan (statue approach),
pendekatan analisis konsep hukum (analytical
and conceptual approach), pendekatan sejarah
hukum (historical approach) dan pendekatan
perbandingan hukum (comparative approach).
Dalam penelitian ini, sumber bahan hukum
yang dipergunakan bersumber dari 2 (dua)
sumber bahan hukum yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana
Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang
Kebijakan formulasi hukum pidana diartikan
sebagai suatu usaha untuk membuat dan
merumuskan suatu perundang-undangan
pidana yang baik. Pengertian tersebut terlihat
pula dalam definisi yang dikemukakan oleh
Marc Ancel yang menyatakan bahwa penal
policy sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang
bertujuan untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat Undang-Undang, tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan Undang-Undang
dan juga kepada para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan.5
Dengan
pernyataan bahwa Criminal policy as apart of
5
BardaNawawiArief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru),
Kencana, Jakarta, 2008, hal. 80
social policy, menurut Muladi sangat penting
dan akan dapat menghindarkan hal-hal sebagai
berikut:
a. Pendekatan kebijakan sosial yang terlalu
berorientasi pada social welfare dan
kurang memperhatikan social defense
policy;
b. Keragu-raguan untuk selalu melakukan
evaluasidan pembaharuan terhadap
produk-
produklegislatifyangberkaitandenganperl
indungansosialyang merupakan sub
sistem dari national social defense policy;
c. Perumusan kebijakan sosialyang
segmental, baik nasional maupun
daerah,khususnya dalam kaitan dengan
dimensi kesejahteraan dan perlindungan;
d. Pemikiran yang sempit tentang kebijakan
kriminal, yang seringkali hanya
melihatkaitannya dengan penegakan
hukum pidana. Padahal sebagai bagian
dari kebijakan sosial, penegakan hukum
pidana merupakan sub sistem pula dari
penegakan hukum dalam arti luas;
e. Kebijakan legislatif (legislative policy)
yang kurang memperhatikan keserasian
aspirasi baik dari suprastruktur,
infrastruktur, kepakaran maupun
berbagai kecenderungan internasional.6
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum
pidana sebagai salah satu upaya untuk
mengatasi masalah sosial termasuk dalam
bidang kebijakan penegakan hukum.7
Oleh
karena hukum bekerja dalam ranah
kemasyarakatan, maka penggunaan upaya
hukum termasuk dalam bagian kebijakan
perlindungan dan kesejahteraan sosial.
Perlunya penggunaan sarana pidana dan
hukum pidana menurut RoeslanSaleh
didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak
terletak pada persoalan tujuan-tujuan
yanghendak dicapai, tetapi terletak pada
persoalan seberapa jauh untuk mencapai
6
Muladi dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah
Pembaharuan Hukum Pidana Magister Ilmu Hukum Undip,
Unsoed dan Untag, 2010,hal. 113
7
BardaNawawiArief, Kebijakan Legislatif Dalam
Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,
hal.17
3. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
123
tujuanitu boleh mempergunakan
paksaan;
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau
perawatan yang tidak mempunyai arti
sama sekalibagi si terhukum; dan di
samping itu harus tetap ada suatu reaksi
atas pelanggarannorma yang telah
dilakukannya itu dan tidaklah dapat
dibiarkan begitu saja;
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana
bukan semata-mata ditujukan pada si
penjahat, tetapi juga untuk
mempengaruhi orang yang tidak jahat
yaitu warga masyarakat yang mentaati
norma-norma masyarakat.8
Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 mencantumkan dua jenis sanksi baik
pidana maupun administratif serta mengadopsi
beberapa ketentuan yang terkandung dalam
berbagai instrument internasional mengenai
penanganan terhadap transaksi keuangan
mencurigakan, tetap saja butuh penanganan
yang bersifat kompleks dan dapat mengikuti
perkembangan laju teknologi.
Tindak pidana dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 dibedakanmenjadi 2
(dua), yaitu:
a. Tindak pidana pencucian uang (BAB II Pasal 3
sampai dengan Pasal 10);
b. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana pencucian uang (BAB III Pasal
11 sampai dengan Pasal 16).
Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 menggantikan Undang-Undang yang telah
ada sebelumnya, namun dalam kenyataannya
masih terdapat beberapa ketentuan yang
menyimpang dari KUHP sebagai pedoman
utamanya. Penyimpangan atau perbedaan itu,
meliputi beberapa hal berikut:
a. Adanya subjek tindak pidana berupa
korporasi dan ketentuan khusus mengenai
pertanggungjawaban korporasi, (Pasal 6-9
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010);
b. Adanya perumusan ancaman pidana secara
kumulasi, yaitu penggabungan antarapidana
penjara dengan denda;
c. Dipidananya percobaan, pembantuan dan
permufakatan jahat yang sama
8
RoeslanSaleh dalam BardaNawawiArief, Ibid, hal.20
denganpelaku (Pasal 10);
d. Meningkatnya jumlah ancaman pidana
denda yang sangat tinggi, hingga
mencapaiketentuan denda maksimal
seratus milyar rupiah terhadap pelaku
pencucian uangberupa korporasi;9
Hal inilah yang dapat menimbulkan masalah
yuridis dan kesulitan atau kejanggalan dalam
praktik penegakan hukumnya.10
Selayaknya
pembuat kebijakan memahami mengenai pola
pemidanaan yaitu acuan, pegangan atau
pedoman untuk membuat atau menyusun
peraturan perundang-undangan yang
mengandung sistem sanksi pidana, atau juga
disebut sebagai pedoman pembuatan atau
penyusunan pidana untuk pembuat undang-
undang.
B. Pertanggungjawaban Korporasi dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pengertian korporasi merupakan
terminologi yang berkaitan erat dengan istilah
badan hukum (rechtpersoon), dan badan
hukum itu sendiri merupakanterminologi yang
erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.11
Memang peraturan hukum memperlakukan
sama, hubungan antara badan hukum dengan
manusia, antara badan hukum dengan badan
hukum lainnya, seperti hubungan antara
manusia dengan manusia. Hukum tidak
membedakan, tidak pula membuat peraturan
khusus bagi hubungan tertentu. Jadi dalam
hukum, badan hukum mempunyai kepentingan
(interest) sendiri sebagaimana ada pada
manusia. Kepentingannya dilindungi hukum,
dan dilengkapi dengan suatu aksi, jika
kepentingan itu diganggu.
Dewasa ini keberadaan korporasi semakin
mendapatkan posisi penting dalam dinamika
kehidupan suatu negara, korporasi memegang
sektor penting terutama yang berkaitan dengan
sektor industri atau ekonomi. Kondisi tersebut
di satu pihak membawa dampak positif namun
dalam lain hal perkembangan tersebut
9
BardaNawawiArief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit,
hlm. 182. dengan perubahan berdasarkan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
10
Ibid
11
DwidjaPriyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem
Pertanggungjawaban PidanaKorporasi di Indonesia,
Penerbit CV. Utomo, Bandung, 2004, hal.12
4. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
124
mendorong munculnya jenis kejahatan
ekonomi, atau kejahatan bisnis atau kejahatan
korporasi yang diartikan sebagai illegal acts
that use deceit and concealment - rather than
the application or threat of physical force or
violence to obtain money, property, service; to
avoid the payment or loss of money; or to scour
a business or professional advantage. White
collar occupy positions of responsibility and
trust in government,industry, the professions
and organizations.12
Dari definisi tersebut
dapat dilihat bahwa motif utama kejahatan
korporasi adalah terletak pada pemenuhan atas
motif ekonomi yang berupa keuntungan atau
profit yang dilakukan secara illegal
ataumelawan hukum. Adapun batas-batas
mengenai kejahatan korporasi adalah sebagai
berikut:
a. Kejahatan tersebut merupakan bentuk
kejahatan white collar crime, yaitu
kejahatanyang dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki kedudukan sosial
yang tinggi danterhormat dalam
pekerjaannya (crime committed by
person of respectability andhigh social
status in the course of theiroccupation);
b. Berbentuk kejahatan dengan
menggunakan jabatan atau Occupational
Crimes,berupa kejahatan yang
mengandung dua elemen. Pertama
berkaitan dengan statuspelaku tindak
pidana (status of offender), dan kedua
berkaitan dengan karakterjabatan
tertentu (the occupation character of the
offence);
c. Kejahatan tersebut berbentuk
kejahatanyang terorganisirOrganized
Crime, kejahatan tersebut dikendalikan
oleh suatu kesatuan yang lebih besar
dalamlingkungan penjahat secara
terstruktur dan tersistematis
berdasarkan peran danbagian dari
masing-masing anggota kesatuan
tersebut.13
Dengan mengetahui beberapa hal tersebut,
maka diharapkan dapat memperjelas batas-
batas kejahatan korporasi. Proses globalisasi
12
Podgor dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Kejahatan
Dan Pertanggungjawaban Korporasi, Makalah Bahan
Kuliah Magister Ilmu Hukum Undip.
13
Setiyono, Op.Cit, hlm.35-37
dan peningkatan interdependensi antar negara
di semua aspek kehidupan terutama bidang
ekonomi semakin meningkatkan peran
korporasi, baik nasional maupun multinasional
sebagai pendorong dan penggerak globalisasi.
Untuk itu dibutuhkan suatu rancang bangun
hukum dan kode etik yang dapat mengatur
keberadaan korporasi tersebut. DiIndonesia
sendiri terkait dengan keberadaan korporasi
dalam sektor ekonomi terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yaitu sebagai
berikut: UU. No. 7 Tahun 1992 Jo. UU. No. 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan, UU. No. 5
Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU. No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU. No.
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, UU. No. 29 Tahun 2000
Tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU.
No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang,
UU. No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri, UU. No. 32 Tahun 2000 Tentang
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU. No. 31
Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU.
No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari beberapa perundang-undangan tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa; penentuan
korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya
untuk tindak pidana tertentu yang diatur
dengan menggunakan Undang-Undang khusus,
pada awalnya tidak digunakan istilah korporasi
tetapi digunakan istilah yang bermacam-
macam atau bervariasi (tidak seragam), dan
tidak konsisten.14
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 sebagai pengganti atas Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, mengenai korporasi diatur
sebagai berikut:
Pasal 6
1. Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap
Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.
14
BardaNawawiArief, Op.Cit
5. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
125
2. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi
apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh
Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan
maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi pelaku atau pemberi perintah;
dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi Korporasi.
Pasal 7
1. Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap
Korporasi adalah pidana denda paling
banyak Rp l00.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
2. Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terhadap
Korporasi jugadapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh
kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan
Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk
negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 8
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk
membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5,
pidana denda tersebut diganti dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat)
bulan.
Pasal 9
1. Dalam hal Korporasi tidak mampu
membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalamPasal 7 ayat (1), pidana
denda tersebut diganti dengan
perampasan Harta Kekayaan milik
Korporasi atau Personil Pengendali
Korporasiyang nilainya sama dengan
putusan pidana denda yang dijatuhkan.
2. Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik
Korporasi yang dirampas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi,
pidana kurungan pengganti denda
dijatuhkan terhadap Personil Pengendali
Korporasi dengan memperhitungkan
denda yang telah dibayar.
Dalam Undang-Undang ini korporasi
memiliki pertanggungjawaban yang sama
dengan individu (natuur person) oleh karena
kedudukannya sebagai (recht person). Hal ini
terlihat dari ketentuan yang mengatakan
bahwa dalam hal tindak pidana pencucian
uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4
dan 5 dilakukan oleh korporasi, pidana
dijatuhkan terhadap korporasi atau personil
pengendali korporasiperbuatan sebagaimana
diancamkan dalam Pasal 3, 4 dan 5 merupakan
perbuatan yang diancamkan terhadap manusia
(unsur setiap orang), pencantuman korporasi
sebagai subjek tindak pidana dapat dikatakan
merupakan penyimpangan dari ketentuan
dalam KUHP walaupun hal ini dapat dibenarkan
secara yuridis namun dapat mengakibatkan
permasalahan dalam proses penegakannya,
sementara apabiladiperhatikan dalam konsep
KUHP Tahun 2005 terdapat peraturan
mengenai korporasi sebagai subjek tindak
pidana.
Dalam konsep KUHP Tahun 2005 juga
dicantumkan mengenai unsur
pertanggungjawaban korporasi yang
berbunyi:Jika tindak pidana dilakukan oleh
korporasi, pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.15
Selanjutnya secara berturut-
turut dalam Pasal 50 dan Pasal 51 Konsep KUHP
Tahun 2005 dicantumkan pertanggungjawaban
korporasi sebagai berikut: Korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan
untuk dan/atau atas nama korporasi, jika
perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup
usahanya sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar atau ketentuan lain yang
berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
Pertanggungjawaban pidana pengurus
korporasi dibatasi sepanjang pengurus
mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi. Klausula yang
tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tersebut dapat dikatakan
mengadopsi ketentuan dalam konsep KUHP
Tahun 2005 terutama dalam hal
pertanggungjawaban korporasi dan pengurus
15
Pasal 49 Konsep KUHP Tahun 2005
6. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
126
apabila korporasi terbukti melakukan suatu
tindak pidana.
Apabila diperhatikan mengenai model-
model pertanggungjawaban tentang korporasi
sebagai pembuat suatu delik atau tindak pidana
tertentu, terdapat tiga model
pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggung jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus
yang bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga
sebagai yang bertanggung jawab.16
Dengan demikian, terhadap korporasi yang
melakukan perbuatan berupa Placement,
Layering dan Integration, harus terlebih dahulu
dibuktikan apakah perbuatan yang tergolong
pencucian uang tersebut dilakukan oleh
individu secara pribadi ataukah
mengatasnamakan pengurus atau korporasi
yang bersangkutan sehingga dapat dijatuhkan
sanksi sesuai dengan kualifikasinya masing-
masing. Selanjutnya mengenai persoalan jenis
pidana dan pemidanaan, dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, diatur
mengenai beberapa jenis pidana yang secara
garis besar digolongkan kedalam 2 (dua) bagian
yaitu pidana pokok berupa denda dan pidana
tambahan. Hal yang menarik adalah
dicantumkannya mengenai pidana kurungan
pengganti denda (Pasal 8) maksimal selama 1
(satu) tahun 4 (empat) bulan yang dapat
dijatuhkan terhadap pengurus atau pengendali
korporasi disamping itu dalam Pasal 9 ayat 2
dikatakan : Dalam hal penjualan Harta
Kekayaan milik Korporasi yang dirampas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi, pidana kurungan pengganti denda
dijatuhkan terhadap Personil Pengendali
Korporasi dengan memperhitungkan denda
yang telah dibayar. Persoalan bagaimana
penjatuhan pidana kurungan pengganti denda
tersebut dapat dilaksanakan, termasuk
mengenai perhitungan kekayaan korporasi
yang dirampas sebagai alasan pengurangan
pidana kurungan pengganti denda tidak diatur
lebih lanjut dalam penjelasan undang-undang
tersebut. Hal ini menunjukkan keserampangan
16
Dwidja Priyatno, Op.Cit, hal. 53
dari pembuat kebijakan perundang-undangan
dalam merumuskan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010. Korporasi sebagai badan hukum
merupakan subjek hukum pendukung hak dan
kewajiban. Kejahatan korporasi yang selalu
berhubungan dengan kegiatan ekonomi atau
dunia bisnis dikarenakan pengaruh dari
globalisasi yang bersifat multidimensional.
Diancamkannya pidana terhadap korporasi
sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang
didasarkan adanya pandangan korporasi
sebagai (persoon) dalam artian hukum.
Korporasi berbuat dan bertindak atas
kepentingan dari korporasi melalui struktur
kepengurusan yang tersistematisasi, atas dasar
pandangan tersebut dan dengan didukung
beberapa teori seperti Strict Liability dan
Vicarious Liability maka korporasi dapat
dikenakan pidana sebagaimana yang
diancamkan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010.
Personil Pengendali Korporasi sebagaimana
yang diatur dalam pasal 1 angka 14 Undang-
undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah setiap
orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
sebagai penentu kebijakan Korporasi atau
memiliki kewenangan untuk melakukan
kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus
mendapat otorisasi dari atasannya. Korporasi
sebagai subjek hukum artinya membawa hak
dan kewajiban, sehingga apabila korporasi
melanggar kewajiban atau berbuat tanpa hak
maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan.
Subjek hukum menurut SudiknoMertokusumo
adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh
hak dan kewajiban dari hukum. Yang dapat
memperoleh hak dan kewajiban dari hukum
adalah manusia. Jadi manusia oleh hukum
diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban,
sebagaisubjekhukum atau sebagai orang.17
Korporasi dapat dipidana sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
2010.
Pemidanaan terhadap korporasi,sekalipun
sering dikaitkan dengan masalah finansial,
namun sebenarnya mengandung tujuan yang
lebih jauh. Dikaji lebih mendalam peranan
hukum pidana, dalam rangka
pertanggungjawaban pidana korporasi banyak
17
Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 67.
7. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
127
manfaatnya, sehingga dapatlah dikemukakan
apa yang menjadi alasan penggunaan hukum
pidana terhadap korporasi antara lain:
1. HukumPidanadipandangmampumelaksa
nakanperananedukatifdalammendefinisik
an/menetapkan dan memperkuat batas-
batas perbuatan yang dapatditerima
(acceptable conduct);
2. Hukum Pidana bergerak dengan langkah
lebih cepat daripada perdata.
Denganpidana restitusi, lebih cepat
memperoleh kompensasi bagi korban;
3. Peradilan Perdata terhalang untuk
mengenakan sanksi pidana;
4. Penuntutan bersama (korporasi dan
agennya) memerlukan suatu forum
pidanaapabila ancaman pengurungan
digunakan untuk mencegah individu.18
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terdapat beberapa kelemahan formulasi
dalam Undang-undang No. 8 tahun
2010,terutama yangberkaitandengan
pidana terhadapkorporasi,adanya pidana
kumulatif,semakin meningkatnya jumlah
dalam denda
pidana,dipidananyapercobaan dan
pemufakatan jahat sama halnya dengan
pidana penuh.
2. Pertanggungjawabankorporasiterhadaps
etiapbentukkegiatankorporasi
didasarkan pandangan akan kedudukan
korporasi sebagai (recht persoon),
dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 diatur mengenai
pertanggungjawabankorporasi
selayaknya individu yang melakukan
perbuatan tindak pidana pencucian uang,
meskipun dalam formulasinya masih
terdapat banyak kelemahan.
B. Saran
1. Pentingnya formulasi kebijakan
perundang-undangan dengan
memperhatikan pola pemidanaan, agar
kebijakan tersebut dapat selaras dalam
18
John C. Coffe, Corporate Criminal Liability, dalam
BardaNawawiArief, Dalam Sari
Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hal. 163
tataran aplikatifpenegakan hukum.
Pentingnya pola pemidanaan terkhusus
dalam Undang-UndangNomor 8 Tahun
2010 untuk menghindarkan
permasalahan-permasalahan yuridis
yang mungkin timbul dalam proses
implementasi kebijakan tersebut.
2. Formulasi pertanggungjawaban korporasi
hendaknya dibuat dengan
memperhatikan sejauh mana pergerakan
korporasi dalam kejahatan pencucian
uang, dengan mempertimbangkan akibat
yang ditimbulkan dari kejahatan
tersebut, disamping itu sedapat mungkin
formulasi mengenai
pertanggungjawaban korporasi
berkesesuaian dengan KUHP sebagai
ketentuan umum.
KEPUSTAKAAN
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan
Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008.
_________, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Penerbit PT Citra Aditya Bakti,Bandung,
2010.
_________,Kebijakan Legislatif Dalam
Penanggulangan KejahatanDengan Pidana
Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
Chairul Huda, DariTiada PidanaTanpa
KesalahanMenujuKepadaTiadaPertanggungj
awaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada
Media,Jakarta, 2006.
DwidjaPriyatno, Kebijakan Legislasi Tentang
Sistem Pertanggungjawaban
PidanaKorporasi di Indonesia, Penerbit CV.
Utomo, Bandung, 2004.
EsmiWarrasihPudjiRahayu, Pranata Hukum
Sebuah Telaah Sosiologis, PenerbitPT.
Suryandaru Utama, Semarang, 2005.
G. Peter Hoefnagels, The Other Side of
Criminology, Kluwer Deventer,
Holland,1973.
Miranda RisangAyu, Kedudukan Komisi dan
Lembaga Independen Sebagai State
Auxiliary Institutions dan Relevansinya
dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Jurnal PSKN UNPAD Vol.1, Bandung.
Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah
Pembaharuan Hukum Pidana MagisterIlmu
Hukum Undip, Unsoeddan Untag, 2010.
8. Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015
128
_________, Bahan Kuliah Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System), Program
Magister Ilmu Hukum
UNDIP,Semarang,2010.
_________, Globalisasi HAM dan Penegakan
Hukum, Makalah: disampaikan pada
matrikulasi mahasiswa program Magister
Ilmu Hukum Undip Tahun 2010, tanggal 18
September 2010.
_________, Kejahatan Dan
Pertanggungjawaban Korporasi, Makalah
Bahan Kuliah Magister Ilmu Hukum Undip.
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, Penerbit
Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986.
SatjiptoRahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni,
Bandung, 1986.
Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis
Viktimologis Dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Bayu Media Publishing, Malang, 2005.
YunusHusein, Peran PPATK Dalam Mendeteksi
Pencucian Uang, Makalah: Disampaikan
pada acara Video Conference Nasional yang
diselenggarakan oleh Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank
Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas
GadjahMada, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Diponegoro, Universitas
Airlangga, pada tanggal 18 Mei 2004 di
gedung Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang Konsep KUHP
Tahun 2005
United Nations Convention Against
Transnational Organized Crimes Tahun
2000. United Nations Convention Against
Corruption