TELAAH KRITIS ATAS INISIATIF PENYUSUNAN RUU TJSL OLEH DPD
1. Hal 1 dari 6
PERLUKAH MENATA CSR?
Telaah Kritis Atas Inisiatif Penyusunan RUU TJSL
Oleh DPD-RI
Oleh:
Perkumpulan Amerta
Januari 2017
2. Hal 2 dari 6
PENDAHULUAN
Selama beberapa waktu terakhir DPD-RI mengambil inisiatif untuk menyusun rancangan
RUU Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Inisiatif tersebut telah menghasilkan
rancangan RUU TJSL yang beredar secara terbatas. Mengingat dampak yang dapat
ditimbulkan oleh RUU TJSL inisiatif DPD-RI tersebut, maka kiranya rancangan yang ada
menjadi subyek kajian oleh publik dan para pemangku kepentingan terkait.
RUU TJSL SEBAGAI KESALAHAN KONSEPTUAL
Inisiatif penyusunan RUU TJSL adalah sebuah kesalahan konseptual karena beberapa alasan:
1. Tanggung jawab sosial (Social Responsibility, SR) sejak awal dikonsepkan dan
dilaksanakan oleh perusahaan dan bukan oleh pemerintah. Karena itu SR berada pada
private domain bukan public domain. Private domain diatur oleh mekanisme self
regulating dengan mengacu pada good corporate governance. Sedangkan public domain
diatur oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan publik dan peraturan. Pengaturan
berlebihan pada private domain seperti pengelolaan TJSL (pasal 13 & 14) dan
pengorganisasian pekerjaan (pasal 17 &23) oleh entitas publik adalah sebuah
kesalahan, demikian pula public domain yang diatur oleh entitas private seperti
pembebanan sistem informasi pada pemerintah daerah (pasal 29) dan penggunaan
dana publik (pasal 38) juga adalah sebuah kesalahan.
2. Telah terdapat berbagai produk hukum yang mengatur perusahaan dan/atau
organisasi sebagaimana dimaksud oleh rancangan yang disusun, termasuk juga
dampak-dampaknya. Pelaksanaan dari berbagai peraturan yang ada sampai dengan saat
ini belum optimal. Telaah efektivitas dan dampak dari berbagai peraturan tersebut
juga belum dilaksanakan sehingga belum bisa ditentukan apakah ada lubang peraturan
(regulation holes, regulation gap) yang membutuhkan peraturan baru. Berikut adalah
sebagian dari berbagai peraturan yang ada.
3. Hal 3 dari 6
3. Telah terdapat mekanisme yang memastikan sinergi antara berbagai pemangku
kepentingan untuk secara bersama-sama terlibat dalam pembangunan. Mekanisme
tersebut seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang
dilaksanakan setiap tahun. Mekanisme lain adalah konsultasi antara berbagai asosiasi
industri dengan pemerintah.
4. Telah terdapat berbagai rujukan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial yang diakui
secara global, beberapa diantaranya adalah ISO 26000, Guiding Principle on Business
and Human Right, Equator Principle, dan sebagainya. Tanpa ada dasar yang kuat, maka
penetapan standar ataupun pedoman nasional (pasal 13) menjadi lemah urgensinya.
5. Kontribusi utama dari perusahaan adalah investasi yang menghasilkan multiplier effect
berupa penciptaan lapangan kerja, berkembangnya rantai pemasok dan rantai
pemasaran, serta kontribusi dalam bentuk pajak dan retribusi. Untuk mendorong
investasi perusahaan pemerintah telah menetapkan berbagai paket kebijakan ekonomi
yang pada prinsipnya menghilangkan berbagai hambatan investasi serta mengurangi
ekonomi biaya tinggi. Isi dari rancangan RUU justru bertolak belakang dari kebijakan
pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.
SESAT PIKIR DALAM RUMUSAN
Rancangan RUU menyatakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai tanggung jawab
organisasi untuk menangani/mengelola dampak yang ditimbulkan. Terdapat dua hal
utama dari rumusan tersebut yang perlu diperhatikan. Pertama, TJSL adalah tanggung jawab
organisasi bukan tanggung jawab pihak diluar organisasi sehingga pengaturan TJSL semestinya
dilakukan oleh organisasi bukan pihak diluar organisasi. Kedua, TJSL berkenaan dengan
penanganan atau pengelolaan dampak, tentu yang dimaksudkan disini adalah dampak yang
merugikan. Dalam konteks ini, dampak menjadi public domain manakala dampak merugikan
kepentingan umum. Dengan demikian alasan pengaturan sesuai dengan rumusan TJSL adalah
dampak yang merugikan kepentingan umum. Namun berbagai diktum Menimbang justru
4. Hal 4 dari 6
tidak disebutkan persoalan dampak yang merugikan justru yang disebutkan lebih soal kaitan
dengan pembangunan berkelanjutan dan sistem pembangunan nasional. Juga tujuan TJSL
(pasal 3) tidak menyebutkan sama sekali soal dampak.
Terkait dengan dampak, seperti telah disebutkan sebelumnya telah terdapat berbagai
peraturan lain yang mengatur. Tetapi keberadaan berbagai peraturan lain tersebut justru
tidak dikenali oleh drat RUU TJSL. Dalam diktum Mengingat yang dicantumkan hanya UUD
1945, sama sekali tidak ada rujukan pada berbagai peraturan lain. Anehnya, dalam
pertimbangan justru terdapat frasa ketidakpastian hukum. Hukum mana yang dimaksudkan
tidak jelas.
Lebih lanjut mengenai dampak. Bila dampak adalah alasan utama TJSL sebagaimana
didefinisikan dalam rancangan RUU, mengapa kewajiban melaksanakan TJSL dalam pasal 7
justru didasarkan pada besaran aset dan jumlah karyawan? Mempergunakan nalar hukum,
semestinya kewajiban pelaksanaan TJSL dikaitkan dengan besar atau luasnya dampak
merugikan yang ditimbulkan oleh organisasi.
Organisasi pelaksana TJSL sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 rancangan RUU mencakup:
perseroan, organisasi masyarakat berbadan hukum, dan perkumpulan yang tidak berbadan
hukum. Terdapat dua hal yang perlu menjadi catatan. Pertama, Terdapat ketidaksesuaian
dengan Pasal 6 yang menyatakan TJSL wajib dilaksanakan oleh: perseroan, BUMN, BUMD,
CV, Firma, Yayasan, dan koperasi. Kedua, pencantuman perkumpulan yang tidak berbadan
hukum. Apakah yang dimaksud dengan perkumpulan yang tidak berbadan hukum? Tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. Bagaimana entitas tidak berbadan hukum dapat diatur
oleh UU?
Paparan yang disampaikan menunjukkan secara jelas rancangan RUU perlu ditolak karena
justru akan menyebabkan ketidakpastian hukum, kontra produktif dengan tujuan
pembangunan nasional, dan berpotensi mengurangi komitmen berbagai organisasi dan
perusahaan melaksanakan TJSL.
PENATAAN CSR
Bagaimanakah sebaiknya penataan TJSL? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diidentifikasi
terlebih dahulu masalah yang dihadapi untuk mengembangkan TJSL. Pengalaman lapangan
Amerta menemukan lima masalah utama, yaitu:
1) belum berkembangnya pemahaman dan komitmen tentang TJSL,
2) keterbatasan kapasitas untuk melaksanakan TJSL,
3) tidak terkomunikasikannya berbagai inisiatif dan praktik baik TJSL,
4) terjadinya praktek green washing yaitu organisasi melaksanakan kegiatan yang disebut
sebagai TJSL untuk menutupi praktek buruk seperti korupsi dan perusakan
lingkungan,
5) regulasi berlebihan dan tumpang tindih terkait TJSL di lapangan.
Realita lapangan menunjukkan seringkali pada satu daerah terdapat beberapa masalah
sekaligus yang membutuhkan sinergi penataan. Penataan yang ada dapat dilaksanakan
menggunakan pendekatan kelembagaan, ekonomi, maupun legal. Secara skematis dapat
dirumuskan sebagai berikut.
5. Hal 5 dari 6
Kelembagaan Ekonomi Legal
1. belum
berkembangnya
pemahaman dan
komitmen tentang TJSL
Kerja sama antar
organisasi, asosiasi, dan
pemerintah untuk
kembangkan kesadaran
TJSL
Insentif bagi organisasi
yang melaksanakan
TJSL dan pendidikan
popular yang terkait
Sosialisasi peraturan
terkait TJSL yang
mengatur lembaga
maupun dampak
2. keterbatasan
kapasitas untuk
melaksanakan TJSL
Kerja sama
peningkatan kapasitas
melalui sharing
pengalaman,
mekanisme, dan tool
Kebijakan untuk
menjadikan biaya
peningkatan kapasitas
sebagai biaya operasi
organisasi
Peraturan yang
memberikan
kemudahan bagi
organisasi lakukan
peningkatan kapasitas
3. tidak
terkomunikasikannya
berbagai inisiatif dan
praktik baik TJSL
Penetapan standar dan
mekanisme pelaporan
oleh asosiasi industri,
organisasi pelanggan,
dsb
Penghargaan bagi
organisasi yang
mempublikasikan
inisiatif dan praktik
TJSL
Peraturan yang
memberikan insentif
bagi organisasi untuk
mengkomunikasikan
kegiatan TJSL
4. terjadinya praktek
green washing
Forum-forum
komunikasi & evaluasi
praktik bisnis
melibatkan media,
akademisi, dan LSM
Denda/sanksi pada
perusahaan yang
terbukti melakukan
perusakan lingkungan
tanpa perhatikan
kegiatan TJSL yang
dilakukan
Penegakan hukum atas
berbagai pelanggaran
yang dilakukan
organisasi terhadap
hutan, lingkungan,
masyarakat
5. regulasi berlebihan
dan tumpang tindih
terkait TJSL
Tim untuk menelaah
berbagai regulasi dan
membuat usulan
Telaah untuk hindari
pembebanan tambahan
diluar pajak & retribusi
Harmonisasi berbagai
peraturan yang
mengatur TJSL
PENUTUP
Para pemangku kepentingan khususnya pengambil kebijakan perlu menahan diri terhadap
godaan menyusun UU dan peraturan. Mempertimbangkan dampak dari pengaturan TJSL,
maka perlu dilaksanakan proses yang terbuka, partisipatif, dan evolutif. Melaksanakan telaah
terhadap keberadaan berbagai peraturan yang terkait TJSL serta membangun komunikasi
dengan organisasi, asosiasi serta pemangku kepentingan utama lainnya adalah langkah awal
yang perlu dicoba. Terima kasih.
6. Hal 6 dari 6
AMERTA adalah jejaring para praktisi CSR yang mengembangkan metode dan praktik terbaik CSR
untuk mendukung berbagai organisasi dan perusahaan mengembangkan CSR dan mewujudkan kinerja
sosial yang efektif dan berkelanjutan.
AMERTA mengembangkan kompetensi dalam:
? SOCIAL STUDY. Berbagai kajian dan penilaian seperti PRA (Participatory Rural Appraisal), PLA
(Participatory Learning Action), Baseline Study, Studi Dampak, Social Risk Assessment, SEAGA
(Socio-Economic & Gender Analysis), SLA (Sustainable Livelihood Analysis), HRIA (Human
Rights Impact Assessment) adalah kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai langkah awal
melaksanakan CSR.
? CSR PLANNING & PROGRAMMING. Perumusan rencana strategis dan program CSR
berbasis konteks social dan model bisnis adalah langkah lanjut yang dilaksanakan untuk
memastikan CSR dilaksanakan sebagai sebuah system manajemen.
? CSR PROJECT MANAGEMENT. Berbagai bentuk program dan kegiatan yang dilakukan oleh
organisasi dan perusahaan perlu didesain untuk memiliki dampak sosial. Microfinance& small
business development, community organizing& facilitation, behavior change & social marketing dan
advocacy adalah bentuk-bentuk CSR di lapangan.
? INDUSTRIAL RELATION & HR. Hubungan industrial dan SDM merupakan bagian dari CSR
internal perusahaan dan perlu dikelola secara sistematis dan strategis sehingga mendukung tujuan
bisnis.
Kantor:
Jl. PuloAsem Utara A 20
Kelurahan Jati, Pulo Gadung, Jakarta 13220, Indonesia
Ph: 62-21-29833288
www.amerta.id