1. I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya alam hayati didefinisikan sebagai unsur-unsur di alam yang terdiri
dari sumber-sumber alam nabati dan hewani yang bersama dengan unsur non hayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk suatu ekosistem (Poolock, 1991). Salah satu
bentuk-bentuk sumberdaya alam adalah kekayaan hutan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Pengelolaan sumberdaya hutan bertujuan untuk mendapatkan manfaat-manfaat
penting dari hutan, diantaranya sebagai penghasil kayu dan vegetasi lainnya, satwa liar,
tempat rekreasi, mencegah banjir dan erosi, mempertahankan kesuburan tanah, dan
mengatur kondisi iklim dan lingkungan hidup (Worrel, 1970).
Hutan mempunyai banyak manfaat (multiple use) yang merupakan karakteristik
sumberdaya alam yang berbeda dengan sumberdaya alam lainnya, sebab selain sebagai
produksi kayu, hutan juga mempunyai berbagai fungsi penting lainnya, sehingga dalam
pengambilan keputusan mengenai macam penggunaan hutan, perlu diperhatikan bahwa
tidak semua hutan cocok untuk semua bentuk pemanfaatan (Suparmoko, 1989).
Hutan di Indonesia merupakan 75 % dari seluruh wilayah Indonesia atau 50% dari
hutan tropika di Asia Tenggara dan 10 % dari seluruh wilayah hutan tropika dunia. Hutan
di Indonesia berdasarkan Tata Guna Lahan Kesepakatan (TGHK) secara nasional seluas
144 juta hektar yang tersebar di berbagai pulau utama di Indonesia. Kawasan hutan seluas
144 juta hektar tersebut dalam pembulatan presentase dibagi menjadi beberapa fungsi,
1
yaitu 20 % sebagai hutan konversi, 27 % sebagai hutan lindung, 9,8 % sebagai hutan
2. suaka alam dan wisata hutan, 17 % sebagai hutan produksi tetap, 16,1 % sebagai hutan
produksi terbatas (Arief, 2001).
Salah satu wilayah Sumatera Selatan yang memiliki hutan produksi adalah
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Hutan produksi terdapat di berbagai lahan seperti lahan
kering, rawa lebak, dan rawa gambut. Pengembangan hutan produksi sendiri masih
memiliki berbagai kendala seperti kondisi lahan yang terbatas dan kemampuan lahan
tidak merata, maka pengembangan lahan yang lestari dan berkelanjutan harus
mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan sistem perencanaan yang akurat dan
terukur, sehingga semua faktor yang mempengaruhi pengembangan hutan yang
berkelanjutan, termasuk faktor pendukung dan pembatas, perlu dipikirkan sejak awal dan
dituangkan dalam sebuah produk database dan peta.
Perkembangan penggunaan sumber daya lahan sampai saat ini di Kabupaten Ogan
Komering Ilir belum sepenuhnya memiliki kontribusi yang nyata dalam meningkatkan
produksi tanaman secara berkelanjutan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lahan bervariasi
berdasarkan letak geografis dan topografi, yang sangat mempengaruhi produktifitas
tanaman, sehingga diperlukan perencanaan yang matang dalam mengambil keputusan
jenis tanaman yang akan ditanam.
Perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat harus dilandasi oleh data dan
informasi yang yang akurat tentang kondisi lahan. Penggunaan teknologi berbasis
komputer untuk mendukung perencanaan tersebut mutlak diperlukan untuk menganalisis,
memanipulasi dan menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan keruangan. Salah satu
teknologi tersebut adalah Sistem Informasi Geografis (SIG) yang memiliki kemampuan
3. membuat model yang memberikan gambaran, penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi
faktual.
Oleh karena itu maka untuk mendapatkan model, informasi dan gambaran
keruangan tentang komoditas yang cocok di Kabupaten Ogan Komering Ilir secara cepat
dan akurat, maka dilakukan kegiatan pembuatan peta dan sistem informasi mengenai
lahan menggunakan metode GIS.
B. Tujuan
Tujuan penelitian sistem informasi lahan rawa gambut hutan produksi Pedamaran
Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah :
Tujuan penelitian potensi dan pengembangan lahan hutan gambut melalui Sistem
Informasi Manajemen di Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah:
1. Membuat database karakterisasi hutan rawa gambut sebagai data dasar dalam
membuat suatu perencanaan pengelolaan hutan rawa gambut sesuai dengan
karakteristik dan kemampuan lahan.
2. Mengidentifikasi potensi kesesuaian lahan terutama pada kawasan hutan produksi dan
menyajikan data dan informasi yang lebih akurat, obyektif dan lengkap sebagai bahan
pertimbangan pengambilan keputusan dalam pengembangan hutan produksi.
3. Membuat Sistem Informasi Manajemen Lahan pada hutan rawa gambut di bentang
lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
4. Memberikan alternatif kegiatan masyarakat dalam mengelolan kawasan hutan secara
baik dan berkesinambungan.
5. Hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan dijumpai di daerah tropis,
subtropis, di dataran rendah maupun pegunungan bahkan di daerah kering sekalipun.
Pengertian hutan disini adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan
membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis.
Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan
dipermukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan
eksosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief, 1994).
Pengertian menurut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan
No.5 Tahun 1967 adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati, alam lingkungannya dan yang
4
ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan (Arief, 1994)
Menurut Arief (1994), hutan produksi adalah kawasan hutan yang khusus dikelola
untuk menghasilkan jenis-jenis hasil hutan tertentu sebagai keperluan industri dan ekspor.
Contohnya hutan jati (Tectona grandis), hutan pinus (Pinus merkusii), hutan damar
(Agathis loranthifolia), hutan mahoni (Swietenia sp.) dan sonokeling (Dalbergia
latifolia).
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1999 total luas hutan
Indonesia adalah 120,34 juta hektar (WALHI, 2007). Departemen Kehutanan telah
mengalokasikan hutan produksi tidak produktif untuk usaha Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) seluas 5,4 juta ha. Hutan produksi tidak produktif seluas 5,4 juta ha tersebut
tersebar di 8 propinsi yang ada di 102 kabupaten di daratan Sumatera dan Kalimantan,
6. merupakan alokasi untuk tahap pertama. Untuk realisasi pelaksanaannya terlebih dahulu
akan dilakukan klarifikasi kondisi riil di lapangan (Departemen Kehutanan, 2007) .
B. Lahan Gambut
a. Definisi
Rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang
menjorok masuk ke pedalaman sungai sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya
pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang
mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada saat musim
hujan, lahan tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering
bahkan sebagian muka air tanah turun menjadi kedalaman lebih dari 50 cm dari
permukaan tanah (Noor, 2004).
Pengertian rawa yang lebih luas adalah rawa digolongkan sebagai lahan basah
(wetlands) atau lahan bawahan (lowlands), tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau
lahan bawahan hanya rawa. Menurut Konversi Ramsar yang dimaksud dengan lahan
basah adalah daerah rawa, payau, gambut, atau badan perairan lainnya, baik alami
maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang, bersifat tawar, payau atau salin,
termasuk kawasan laut yang mempunyai kedalaman air pada saat surut terendah tidak
lebih dari enam meter (Ramsar dalam Noor, 2004).
Hutan Rawa Gambut Tropika pada umumnya disebut pula sebagai hutan ramin,
mengingat jenis ini sangat mendominasi tipe hutan ini, meskipun pola sebarannya
cenderung berubah mengikuti trend perubahan ketebalan lapisan gambut. Jenis Ramin
(Gonystilus bancanus) pada umumnya terkonsenterasi berada di daerah dengan ketebalan
lapisan gambut berkisar antara 0,5 - 5 meter. Di daerah-daerah dimana ketebalan lapisan
7. gambut mencapai 5 meteran, jenis ini cenderung berkurang, sedangkan untuk daerah-
daerah peralihan (0,5 meter), jenis ramin ini berasosiasi dengan cukup nyata dengan jenis
Agathis dan beberapa jenis meranti rawa (Anonim, 2007).
b. Sebaran Gambut
Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli penutupan
vegetasinya adalah identik dengan luas hutan rawa gambut, karena pada hutan primer di
lahan gambut merupakan sumber utama bahan organik sebagai bahan utama gambut.
Luasan lahan gambut ada awalnya adalah sama dengan luas lahan gambut, namun
dengan perkembangan kebutuhan manusia dan teknologi yang ada menusia mengelola
lahan rawa gambut dan sebagian besar terjadi degradasi lahan (Lopez dan Shanley,
2005).
Indonesia memiliki kawasan gambut dan lahan basah air tawar yang sangat luas
yaitu sekitar 19 juta hektar atau 10 persen luas wilayah negara. Delapan puluh sembilan
persen diantaranya berupa lahan gambut yang sebagian besar terletak di Papua Barat,
Sumatera, dan Kalimantan. Lahan-lahan basah tropis ini secara alami tertutup rapat oleh
vegetasi hutan dan seringkali memilki jenis kayu bernilai tinggi (Chokkalingam dan
Suyanto, 2004).
Daerah sebaran Hutan Rawa Gambut Tropika ini meliputi semua hutan alam yang
tumbuh pada hutan rawa bergambut (organik), terletak pada delta-delta sungai (mencapai
5.000 meter dari tepi sungai) dan diantara tipe penyusun Tanah Alluvial dengan Jenis
Podzol, dengan ketebalan lapisan gambut yang bervariasi yang mempengaruhi tipe
penyusun vegetasi yang tumbuh di atasnya.
8. Penyebaran tanah gambut biasanya mengikuti pola landform yang terbentuk
diantara dua sungai besar, diantaranya berupa dataran rawa pasang surut dan dataran
gambut (dome). Landform tersebut terletak dibelakang tanggul sungai (leeve). Tanah
gambut yang menyebar langsung di belakang tanggul sungai dan dipengaruhi oleh luapan
air sungai disebut gambut topogen, sedangkan yang terletak jauh di pedalaman dan hanya
dipengaruhi oleh air hujan biasa disebut gambut ombrogen.
c. Proses Pembentukan
Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan organik melebihi proses
mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi jenuh air yang hampir terus menerus
sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah terhambat. Hal tersebut akan memperlambat proses
dekomposisi bahan organik dan akhirnya bahan organik itu akan menumpuk (Chotimah,
2002).
Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik
dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di
dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi
anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian
penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan
hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen di
Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun,
sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi
(Radjagukguk, 1990).
d. Karakteristik Gambut
9. Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-18% atau
lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih segar, sedangkan
makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut
dengan humus (Rismunandar, 2001).
Tanah gambut di Indonesia pada umunya mempunyai reaksi kemasaman tanah
(pH) yang rendah, yaitu antara 3,0 – 5,0 (Hardjowigeno, 1996). Hasil analisis di berbagai
wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, memperlihatkan bahwa Histosols
menunjukkan reaksi tanah masam ekstrim (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam
sekali (pH 3,6 – 4,5).
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan, sangat tinggi ( 6 – 91 %) dan
kandungan nitrogen di seluruh lapisan gambut, sebagian besar, juga sangat tinggi (>75
%), rasio C/N tergolong tinggi sampai sangat tinggi (16 – 69), yang berarti walaupun
kandungan N tinggi, tetapi dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman.
Kandungan P dan K-potensial lapisan atas (0 -50 cm) sedang sampai tinggi, lebih
baik dari pada lapisan bawah yang umumnya rendah. Pada gambut dangkal dan gambur
eutrofik kandungan potensial kedua unsur tersebut termasuk sedang sampai tinggi.
Kriteria kadar abu dari Fliescher in Widjaja-Adhi (1986) yang menyatakan bahwa
gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik mempunyai kadar abu masing-masing
sekitar 10,5 dan 2 %. Jumlah basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na) sebagian besar
tergolong sangat rendah sampai rendah.
KTK tanah karena kandungan bahan organik tinggi, semuanya menunjukkan nilai
sangat tinggi (60 – 350 Cmol(+)kg-1 tanah. Namun sebaliknya, KB-nya semuanya
10. termasuk sangat rendah (1-5%). Dengan demikian, disimpulkan bahwa potensi kesuburan
alami tanah gambut adalah sangat rendah sampai rendah.
Tanah gambut memiliki berat isi yang rendah berkisar antara 0,05 – 0,25 gcm-3,
semakin lemah tingkat dekomposisinya semakin rendah berat isi (BD), sehingga daya
topang terhadap bebadan diatasnya seperpti tanmana, banguanan irigasi, jalan, dan
mesin-mesin pertanian adalah rendah. Gambut yang sudah direklamasi akan lebih padat
dengan berat isi antara 0,1 – 0,4 gcm-3 (Subagyono et al., 1997). Porositas tanah tinggi,
penyusutan volume tanah gambut (irreversible) sehingga mudah terbakar, dan apabila
tergenang akan mengembang dan hanyut terbawa arus.
Menurut Subagjo (2002), tanah gambut mempunyai pori-pori dan kapiler yang
tinggi, sehingga mempunyai daya menahan air yang sangat besar. Dalam keadaan jenuh
kandungan air tanah gambut dapat mencapai 4,50-30 kali bobot keringnya.
Pada kondisi gambut pada musim kemarau, tanah gambut masih tetap lembab
dengan kadar air tinggi. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang optimal bagi
pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, pengambilan sampel pada kondisi lembab akan
lebih mendekati keadaan di lapangan. Sifat fisik juga sangat berkaitan dengan aspek
teknik pembangunan rumah, pembuatan dan pemeliharaan jalan, serta pembuatan saluran
drainase dan irigasi (Widjaja, 1984).
Kualitas tanah gambut sangat bergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan
organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada dibawahnya, faktor
lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Di
daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus atau mudah melapuk
daripada di dataran rendah atau pantai. Makin halus kadar serat bahan organik berarti
11. yang berombak makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas gambut makin baik
(Rismunandar, 2001). Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha
pertanian, yang pertama harus diperhatikan adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah
gambut, terutama sifat kimia yang berhubungan dengan manajemen air tanah, antara lain (1)
dinamika sifat kemasaman tanah yang dikaitkan dengan pengendalian asam-asam organik
meracun, dan (2) dinamika kesuburan tanah sehubungan dengan ketersediaan unsur hara
makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman yang diusahakan (Sabiham, 1996).
e. Klasifikasi Tanah Gambut
Menurut Soil Survey Staff (1990) tanah gambut termasuk ordo Histosol yang
dibedakaan lagi ke dalam sub ordo, great group, sub group dan famili. Sub group terdiri
dari Folist, Fibrist, Hemist dan Saprist. Pembagian pada tingkat ordo lebih menekankan
kepada tingkat kematangan gambut. Dalam klasifikasi tanah Soepraptohardjo (1961a dan
1961b) disebut Tanah Organosol, dan biasa masyarakat menyebutnya dalam tanah
rawang, atau tanah sepuk spok (Subagyo et al., 2000). Tingkat dekomposisi bahan organik
ditunjukkan oleh kandungan serat. Pengertian taraf dekomposisi bahan organik tanah yang
lebih jelas dikemukakan Widjaja (1988).
Tingkat kematangan fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat sedikit
terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume fibrik lebih
kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik
adalah bahan organik yang terdekomposisi paling lanjut yang mengandung serat kurang dari
1/3 volume dan bobot isi saprik adalah 0.195 g cm3, sedangkan hemik adalah bahan organik
12. yang mempunyai tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0.075
sampai 0.195 g cm3.
Pusat Penelitian Tanah (1983), memasukkan tanah gambut kedalam tanah
organosol yang dibedakan kedalam tiga macam yaitu : 1) Organosol Fibrik, ialah tanah
organosol yang didominasi oleh bahan fibrik sedalam 50 cm atrau berlapis sampai 80 cm
dari permukaan; 2) Organosol Hemik ialah tanah organosol yang didominasi bahan
hemik sedalam 50 cm atau berlapis sampai 80 cm dari permukaan; dan 3) Organosol
Saprik, ialah tanah organosol selain organosol fibrik maupun hemik yang umumnya
didominasi oleh bahan saprik.
Untuk menentukan kematangan gambut di lapangan ditentukan melalui sidik cepat.
a. Berdasarkan Kadar Air Maksimum (KAM)
1. Fibrik – KAM 850 - > 3.000 % berat
Warna coklat kekuningan muda, coklat tua, atau coklat
kemerahan
2. Hemik – KAM 450 – 850 %
Warna coklat tua, atau coklat kemerahan
3. Safrik – KAM < 450 %
Warna coklat tua, coklat kehitaman, atau hitam
b. Berdasarkan Kadar Serat
Kematangan Kadar Serat Utuh Kadar Serat Gosok
Fibrik > 66% > 75 %
Hemik 33 – 66 % 15 – 75%
Saprik < 33% < 15 %
Berdasarkan kualitasnya tanah gambut dibagi menjadi 3 macam, yaitu gambut
eutropik, mesotropik, dan oligotropik.
13. Gambut Eutropik terdiri dari gambut topogenus yaitu gambut yang terbentuk di
daerah pedalaman dataran pantai atau dapat juga di daerah dataran pasang surut, sehingga
gambut ini relatif subur.
Gambut topogenus dicirikan oleh akumulasi bahan organik yang tidak terlalu
tebal, yang berkisar antara 0,5 – 2,0 m, dan biasanya dijumpai pada landform dataran
gambut atau pada sisi kubah gambut.
Gambut mesotropik dan gambut oligotropik terdiri dari gambut ombrogenus yang
terbentuk dari tumpukan bahan organik yang tidak dipengaruhi oleh luapan air sungai dan
biasanya membentuk kubah gambut (dome), serta memiliki ketebalan > 2 m (Siswanto et
al., 2006).