1. Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya
[Ayat ke-8]
惺悴惠 悖 惆 惘惠悖 悗悋 惆 悄悋 悖 惘悋悋 悋悵 悽ル惠惠 ル 悋悛 悵ル悋 悋悖 悋愕 惺 ル ル 悋悋悋 悋悋悋リ撃
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS. An Nisa: 144)
Ibnu Katsir menjelaskan: Allah Taala melarang hamba-Nya dari kaum muminin untuk
menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mumin. Maksudnya Allah
melarang kaum muminin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada
mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum muminin yang tidak mereka
ketahui. Sebagaimana firman Allah Taala berfirman: Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa) Nya (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan
kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia
berfirman: Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?.
Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman
atas kalian (Tafsir Ibni Katsir, 2/441)
Mengenai kepemimpinan dalam ajaran Al Quran, tidak ada yang salah dengan Al Quran
surat An Nisa ayat 144. Kalau kita analisis dalam gramatika bahasa Arab (Nahwu, Shorof,
Balagoh) definisi kafir (berasal dari fiil madhi ka-fa-ro) itu adalah orang-orang yang ingkar
nikmat, tidak mensyukuri karunia Tuhan dengan menyalahgunakannya pada hal-hal yang
buruk, dengan berbagai bentuk kezaliman (termasuk di dalamnya adalah perilaku korupsi).
Hal ini berdasar pada Al Quran surat Ibrahim ayat 7. Bila kamu semua bersyukur pasti Aku
tambah nikmat bagimu semua, dan bila kamu semua kafir (wa lain-kafar-tum,
kafar/kafir=ingkar nikmat/tidak bersyukur) maka sesungguhnya azabku sangat pedih.
Bukan Islam bahasa Arabnya adalah laisal Islam. Non muslim bahasa Arabnya ghoirul
muslim. Sama sekali tidak ada literatur bahasa Arab yang menunjukkan bahwa non
muslim atau bukan Islam bahasa Arabnya adalah kafir. Kalau kita merujuk pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dimana kata kafir telah mengalami divergensi makna sesuai
pemahaman kebanyakan orang walaupun salah kaprah. Tapi bahasa Al Quran adalah bahasa
Arab. Sebaiknya kita merujuk pada sumber aslinya.
Kafir dan Kufur adalah sama berasal dari fiil madhi ka-fa-ra. Kafir menunjukkan fail
(subyek yang melakukan) sedangkan kufur menunjukkan jamak (banyak orang yang
melakukan perbuatan kafara). Yang perlu dipahami definisi kafir selama ini adalah definisi
yang justru tidak berdasar pada Al Quran. Jadi sebenarnya Al Quran surat An Nisa ayat 144
yang mengandung perintah jangan memilih pemimpin yang kafir adalah JANGAN
PILIH PEMIMPIN YANG INGKAR NIKMAT.
2. Pemimpin yang menggunakan kekuasaannya bukan untuk kebaikan tapi untuk keburukan,
kezaliman. Hampir semua kata-kata kafir dalam Al Quran dihubungkan dengan ingkarnya
kenikmatan dan ketiadaan rasa syukur. Dan kafir itu bisa ditujukan juga untuk muslim itu
sendiri, bila dia tidak mau bersyukur dan mengingkari nikmat Tuhannya. Kemudian dalam
menafsirkan ayat Al Quran disamping membutuhkan kemampuan dalam gramatikal bahasa
Arab (mengingat bahasa Al Quran adalah bahasa Arab dalam tingkat tinggi), juga
memahami Asbanun Nuzul (konteks dan latar belakang diturunkan ayat Al Quran). Karena
walaupun ayat Al Quran adalah firman Tuhan yang mempunyai sifat Mutlak (Absolut)
ketika dia di ajarkan dan mencoba diaplikasikan dalam tataran manusia yang mempunya sifat
Relativitas (bergantung pada yang lain) dia menggunakan bahasa manusia yang juga
mempunyai sifat Relatif. Karena itu tidak pernah bisa ayat Al Quran dilepaskan dari konteks
(Asbabun Nuzul).
Bila kita memahami Asbabun Nuzul Al Quran surat Al Maidah ayat 51 bahwa jangan
pilih pemimpin dari orang Nasrani atau Yahudi maka sebenarnya pada saat itu terjadi
imperialisme besar-besaran (perang/penyerangan/kezaliman) yang dilakukan oleh
Kekaisaran Romawi (pada kebetulan saat itu menggunakan Nasrani sebagai agama
nasional mereka) terhadap negeri-negeri di Jazirah Arab. Pada saat itu Muhammad
SAW, membangun benteng yang kuat di Tabuk, bukan untuk menyerang tapi lebih untuk
membela diri. Juga sebagai strategi menghadapi politik pecah belah (devide et impera) yang
dilakukan orang-orang yang kebetulan beragama Yahudi untuk mengadu orang Islam dan
orang Nasrani.
Sejarah berabad-abad lamanya telah mengajarkan pada kita bahwa pertumpahan darah akan
terus menerus terjadi, lebih karena kepentingan politik dan ego masing-masing. Bila kita
berpikir jernih semua ini bukan masalah agama. Sebelum turunnya agama, pertumpahan
darah terus menerus terjadi. Karena agama apapun itu bisa ditafsirkan sesuai ego kita masing-
masing, radikal, moderat atau liberal. Yang berbuat jahat atau berbuat baik bisa muncul dari
orang apapun, dari agama manapun. Bukan masalah agamanya, tapi masalah orangnya.
Maka sekarang sebenarnya siapa sebenarnya yang kafir? Sebenarnya adalah orang-
orang yang berbuat kezaliman terhadap sesama dan membuat kerusakan di muka
bumi. Intinya adalah mari hidup rukun dan damai. Berlomba-lomba dalam kebaikan dan
menebarkan kedamaian di muka bumi serta mencari keselamatan dunia - akhirat.
Wallahu alam bishawab.
http://politik.kompasiana.com/2012/08/07/pendapat-tentang-kepemimpinan-yang-kafir-
483924.html