1. KONTRIBUSI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG KOTA
TERHADAP EMISI CO2
DI KAWASAN PERUMAHAN PERKOTAAN
Oleh:
Tim Kerja
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman
Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pekerjaan Umum
2005
2. 1. PENDAHULUAN
Kadar CO2 di udara dalam jumlah yang normal sangat bermanfaat sekali untuk
melindungi kehidupan di bumi, namun dalam jumlah yang berlebihan sangat
membahayakan. Kandungan CO2 di udara saat ini dianggap menjadi penyebab efek
rumah kaca (50%), oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak pihak
untuk menekan tingkat emisi yang dianggap sudah melebihi toleransi. Sebagai gambaran
kadar CO2 sebelum masa pra-industialisasi sebesar 280 ppm, kemudian meningkat
sebesar 345 ppm pada tahun 1984, dan diperkirakan akan mencapai 560 ppm pada
pertengahan abad ini (Kantor Meneg KLH: 1990).
Sejauh ini sumber-sumber pencemar CO2 dan CO yang telah diidentifikasi
meliputi:kebakaran hutan, penguraian materi organik, pembakaran bahan bakar yang
tidak sempurna, asap rokok, respirasi organisme hidup. Emisi CO ini pada level
pencemaran udara global ternyata menyumbang prosentase terbesar yaitu 55,7%, yang
kemudian diikuti oleh hidrokarbon 13,1% (lihat tabel 1).
No. Jenis Pencemar Porsentase Emisi Tahunan (%)
1. Sulfur Oksida 12,9
2. Partikel 9,7
3. Nitrogen Oksida 8,6
4. Hidro Karbon 13,1
5. Karbon Monoksida 55,7
Total 100
Sumber: Miller 1979
Kemudian jika dilihat dari jenis kegiatan yang menghasilkan CO terbesar, ternyata
aktivitas transportasi merupakan penyumbang emisi CO paling tinggi yang selanjutnya
diikuti oleh pembakaran BBM stasioner dan aktivitas industri (lihat tabel 2). Pembakaran
BBM stationer ini tidak lain adalah pemakaian BBM untuk pembangkit listrik yang menurut
sumber yang sama terbukti mempunyai level toksisitas paling tinggi.
No. Sumber Pencemaran Porsentase Emisi Tahunan (%)
1. Pembakaran BBM stasioner 16,9
2. Industri 15,3
3. Transportasi 54,5
4. Pembakaran limbah pertanian 7,3
5. Pembuangan sampah 4,2
6. Lain-lain 1,8
Total 100
Sumber: Miller 1979
Jika mengacu sumber dan jenis pencemaran pada tabel di atas maka CO dan aktivitas
transportasi menjadi komponen utama yang perlu mendapatkan prioritas penanganan.
Terdapat dua metode mengendalian yang cukup efektif untuk mengendalikan emisi CO
dari aktivitas transportasi khususnya untuk sumber yang berasal dari kendaraan
(automobil) , yaitu pendekatan input dan output.
Pendekatan input yang terkait dengan kebijakan pengelolaan kota antara lain penurunan
penggunaan kendaraan (automobile) dan pengembangan transportasi masal. Beberapa
langkah yang termasuk dalam pendekatan pertama adalah pembatasan penggunaan
mobil dengan pengenaan pajak BBM, daya mesin (horsepowers), dan berat kendaraan;
mencegah arus lalulintas ke pusat kota; merubah gaya hidup dan rancang bangun kota
yang menekan penggunaan mobil. Sedangkan pengembangan trapsortasi massal yang
2
3. terpenting adalah menyediakan berbagai mode transportasi umum yang nyaman disiplin,
terjangkau secara spasial dan financial.
Pendekatan output yang cukup signifikan antata lain kontrol terhadap gas emisi yang
ketat dengan peningkatan efisiensi mesin atau pemasangan konverter katalis pada sistem
pembuangan gas. Pendekatan output yang dilakukan di negara kita antara lain
pengukuran gas emisi pada kota-kota tertentu, bahkan secara legal beberapa kota besar
seperti jakarta sedang mempersiapkan peraturan-peraturan yang mendukung penekanan
emisi CO2 misalnya pengaturan merokok, pengendalian emisi CO2 secara ketat,
pembatasan umur kendaraan, dan penyediaan transportasi masa.
Kebijakan yang secara tidak langsung dilakukan untuk menekan penggunaan BBM
pembangkit listrik juga dilakukan di Indonesia, antara lain kampanye penghematan
pemakaian listrik untuk rumah tangga, baik melalui kampanye di media cetak maupun
media elektronik.
Jika Pendekatan-pendekatan tersebut ingin diterapkan secara penuh, maka berbagai
aspek harus dikaji secara seksama. Aspek penataan ruang merupakan salah satu aspek
yang sangat signifikan untuk dikaji karena sangat mempengaruhi sistem transportasi
suatu wilayah dan sekaligus terkait dengan penaggulangan dampak meningkatkan
permintaan transportasi, misalnya ketersediaan jalur hijau untuk mereduksi CO2 dan
mensuplay Oksigen. Oleh karena itu dalam paper ini pembahasan aspek tata ruang akan
mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas.
2. KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN EMISI CO2
Secara sengaja tidak banyak kebijakan penataan ruang kota yang mengkaitkan secara
ekplisit alokasi ruang untuk tujuan mereduksi CO2, akan tetapi tindakan atau kebijakan
konservasi hidrologi yang selama ini lebih lazim dilakukan pada berbagai penyusunan
dokumen penataan ruang mempunyai superimpos yang luas terhadap kebijakan reduksi
CO2. Oleh karena itu jika konservasi hidrologi dilakukan dengan baik, maka reduksi CO2
sebenarnya juga ikut tertangani, misalnya perlindungan terhadap kawasan lindung secara
langsung juga mendukung tindakan reduksi CO2 dan penambahan cadangan O2.
Dalam konteks emisi CO2 oleh aktivitas transportasi, pendekatan yang umum dilakukan
di Indonesia adalah penataan tata ruang khususnya mendistribusikan pusat-pusat
kegiatan dekat dengan konsentrasi perumahan sehingga dapat mengurangi jarak operasi
kendaraan dan menekan angka kemacetan pada pusat kota. Penataan rute, mode
transportasi, serta jaringan jalan merupakan kebijakan lanjutan yang secara umum
menyertai kebijakan tata ruang.
Dari aspek legal sudah tersedia Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentangTata Ruang.
Kemudian secara lebih operasional telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 63
Tahun 2002 tentang Hutan Kota, yang secara langsung mengkaitkan fungsi hutan dengan
pengurangan emisi CO2 dan fungsi-fungsi lainnya, termasuk konservasi hidrologi.
Menurut PP di atas, hutan kota dibedakan atas beberapa tipe, yaitu:
a. Tipe kawasan permukiman adalah hutan kota yang dibangun pada areal permukiman,
yang berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air,
penahan angin, dan peredam kebisingan, berupa jenis komposisi tanaman
pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan.
3
4. b. Tipe kawasan industri yaitu hutan kota yang dibangun di kawasan industri yang
berfungsi untuk mengurangi polusi udara dan kebisingan, yang ditimbulkan dari
kegiatan industri.
c. Tipe rekreasi adalah hutan kota yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan
rekreasi dan keindahan, dengan jenis pepohonan yang indah dan unik.
d. Tipe pelestarian plasma nutfah adalah hutan kota yang berfungsi sebagai pelestari
plasma nutfah, yaitu :
 sebagai konservasi plasma nutfah khususnya vegetasi secara insitu;
 sebagai habitat khususnya untuk satwa yang dilindungi atau yang dikembangkan.
e. Tipe perlindungan adalah hutan kota yang berfungsi untuk :
 mencegah atau mengurangi bahaya erosi dan longsor pada daerah dengan
kemiringan cukup tinggi dan sesuai karakter tanah;
 melindungi daerah pantai dari gempuran ombak (abrasi);
 melindungi daerah resapan air untuk mengatasi masalah menipisnya volume air
tanah dan atau masalah intrusi air laut;
f. Tipe pengamanan adalah hutan kota yang berfungsi untuk meningkatkan keamanan
pengguna jalan pada jalur kendaraan dengan membuat jalur hijau dengan kombinasi
pepohonan dan tanaman perdu.
Berkaitan dengan luasan hutan kota sangat bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain,
misalnya ada yang menyatakan 10%, 20%, 30% bahkan hingga 60%. Berbagai
pendekatan dapat digunakan sesuai dengan karakteristik kota sehingga menyebabkan
prosentase luasan hutan kota tersebut sangat bervariasi.
Penentuan luas hutan kota ada yang mengacu pada jumlah penduduk dan kebutuhan
ruang gerak per individu. Di Malaysia luasan hutan kota ditetapkan seluas 1,9
M2/penduduk; di Jepang ditetapkan sebesar 5,0 M2/penduduk; Dewan kota Lancashire
Inggris menetapkan 11,5 M2/penduduk; Amerika menentukan luasan hutan yang lebih
fantastis yaitu 60 M2/penduduk; sedangkan DKI Jakarta mengusulkan luasan taman untuk
bermain dan berolah raga sebesar 1,5 M2/penduduk (Green for Life: 2004).
Penentuan yang sama juga dapat didasarkan pada issu-issu penting seperti
permasalahan hidrologi atau kebutuhan oksigen (O2). Untuk issu kebutuhan oksigen bagi
wilayah kota yang berpenduduk padat dan dengan kendaraan bermotor serta tingkat
industrialisasi yang tinggi dapat dihitung kebutuhan hutan kota sebagai berikut:
L = a.V + b.W
20
Dimana:
L = luasa hutan kota (M2)
A = kebutuhan Oksigen per orang (Kg/Jam)
B = rerataan kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor (Kg/Jam)
V = jumlah penduduk
W = jumlah kendaraan
20 = tetapan (Kg/Jam/Ha)
Perhitungan dengan issu kebutuhan oksigen tersebut mudah diterima secara logis
sehingga akan diperoleh luasan hutan kota sesuai dengan jumlah penghuninya. Semakin
besar penduduk kota semakin luas pula hutan yang harus tersedia. Namun kendalanya
juga tidak sedikit karena pada kenyataannya semakin padat dan semakin meningkatnya
jumlah kegitan suatu kota, maka biasanya harga lahan semakin mahal dengan guna
4
5. lahan yang semakin beragam pula. Akibatnya pada tingkat pelaksanaan akan banyak
menemui kendala. Masalah lain adalah jika issu suatu kota berjumlah lebih dari satu,
maka akan ada beberapa luasan yang harus dipilih dan hal ini berarti terkait dengan
penentuan prioritas, belum lagi rata-rata kebutuhan oksigen per kendaraan atau per
industri harus pula dicari terlebih dahulu.
Masalah yang paling krusial dari pendekatan-pendekatan di atas adalah bahwa sifat kota
adalah dinamis dimana jumlah penduduk dan kegiatan senantiasa bergerak naik dan
untuk negara sedang berkembang sangat jarang bergerak turun. Hal ini berarti kebutuhan
luasan hutan kota juga akan semakin meningkat. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa
suatu saat kebutuhan hutan kota akan melebihi luas admisnistrasi kota itu sendiri.
Terlepas dari pilihan pendekatan mana yang paling sesuai dengan karakteristik kota-kota
di Indonesia, tetapi setidak-tidaknya saat ini sudah ada suprastruktur politik yang dapat
mengakomodasikan pemecahan masalah yang berkaitan dengan issu lingkungan
khususnya kerusakan aspek hidrologi dan pencemaran udara. Tidak distandarkannya
perhitungan kebutuhan luasan hutan kota dalam Peraturan Pemerintah nomor 63/ 2002 di
atas berarti daerah bebas memilih metode yang tepat sesuai dengan karakteristik wilayah
masing-masing sejalan dengan pemberlakuaan Undang-Undang Otonomi Daerah.
Jadi jika pengelola kota dapat menerapkan kebijakan yang ada secara konsisten
sebenarnya emisi CO2 bisa tereduksi dengan tersedianya hutan kota, kawasan
konservasi, atau berbagai jenis kawasan lindung jika suatu kota mempunyai lahan yang
memungkinkan untuk fungsi-fungsi tersebut. Masalahnya terletak pada kemauan politik
pemerintah daerah (pemda) itu sendiri terhadap penyelesaian masalah-masalah
permukiman dan lingkungan. Hingga saat ini banyak pemda yang tidak menganggap
permasalahan permukiman termasuk pencemaran udara menjadi prioritas utama untuk
ditangani sebelum terjadinya musibah yang memakan korban jiwa (perhatikan kasus
longsor di Leuwigadjah, banjir di Bogor, Blitar Selatan, dll).
Penyediaan kawasan lindung, konservasi, hutan kota jika dilihat dengan kaca mata
ekonomi tidak akan mendatangkan keuntungan finansial, kecuali keuntungan ekologi
yang bersifat jangka panjang dan tidak tampak. Oleh karena itu kesadaran akan hal ini
harus ditumbuhkan pada politisi di tingkat daerah dan masyarakat jika bencana yang
mengerikan tidak ingin terjadi dimana-mana.
3. IDENTIFIKASI KEBIJAKAN TATA RUANG DI LOKASI SURVEI TERKAIT DENGAN
EMISI CO2
Secara umum Dokumen Tata Ruang di seluruh wilayah survei (Bandung, Mataram,
Makasar, Malang) telah mengalokasikan sebagian ruang kotanya untuk kawasan lindung,
konservasi, penyangga, ataupun hutan kota. Walaupun pada umumnya penetapan
kawasan tersebut mempunyai nuansa perlindungan siklus hidrologi, namun secara
fungsional kawasan-kawasan tersebut juga dapat menjadi pereduksi CO2 dan penghasil
O2.
Kebijakan penataan transportasi juga secara keseluruhan sudah terakomodasi dalam
dokumen penataan ruang, namun tujuan utama kebijakan ini pada umumnya adalah
menyediakan aksesibilitas warga kota yang lebih baik. Hal ini dicerminkan dari keinginan-
keinginan yang akan dicapai misalnya mempermudah pencapaian pusat-pusat kegiatan,
mengurangi tingkat kemacetan lalulintas di pusat kota, mempeluas jangkauan pelayanan
transportasi, memberikan banyak pilihan mode transportasi, dan lain-lain.
5
6. Namun demikian kebijakan yang sifatnya teknis yang terkait langsung dengan
pengurangan emisi CO2, seperti penurunan pemakaian automobil dengan menerapkan
pendekatan input dan output yang sebagian besar difokuskan pada rekayasa teknologi,
tentu tidak mungkin terakomodasikan dalam dokumen tata ruang, dan perlu dikaji pada
dokumen lain.
Kebijakan pengaturan emisi CO2 dengan menerapkan instrumen pajak dan retribusi
pemakaian kendaraan belum diketemukan di daerah survei. Kebijakan yang langsung
berhubungan dengan pembatasan emisi CO2 yang pernah diterapkan antara lain
pengendalian emisi kendaraan dengan melakukan pengukuran kadar emisi gas buang
dalam periode tertentu seperti dilakukan di kota Jakarta dan Bandung; rencana
pembatasan masa pakai kendaraan sebagaimana akan diterapkan oleh Pemda DKI;
peremajaan angkutan kota yang diterapkan pada setiap kota; serta kampanye
pemakaian listrik secara efisien oleh PLN. Nampaknya meskipun kebijakan tersebut
berada di luar domain tata ruang tetapi cukup signifikan diketahui dalam studi ini.
Secara ringkas kebijakan tata ruang yang terkait dengan upaya penurunan emisi CO2 di
permukiman dapat diuraikan sebagai berikut:
6
8. Kota Pokok-Pokok Kebijakan Tata Ruang
• Penggunaan lahan untuk konservasi atau jalur hijau terletak pada kawasan sekitar daerah aliran sungai dan
Mataram pantai. Mengacu pada Permendagri No. 2 Tahun 1987, bahwa lebar sempadan sungai dan pantai adalah 10 –
15 meter.
• Penggunaan lahan untuk kawasan pertanian, setelah dikurangi dengan lahan untuk pengembangan kota.
• Alokasi ruang untuk jalan sebesar 20%, untuk utilitas 15%, serta untuk jalur hijau (open space) sebesar 20%.
• Strategi penyediaan taman kota dan ruang terbuka hijau
- peletakan taman di pusat kota dibutuhkan untuk memberikan kesegaran dan sebagai paru-paru kota
- Pendistribusian taman dan ruang terbuka yang dapat memberikan pelayanan maksimal bagi masyarakat
dan dapat menambah niliai estetika kota
- Pemanfaatan ruang terbuka sebagai sarana olah raga
- Pemanfaatan fasilitas kuburan dan lahan pertanian sebagai ruang terbuka hijau
- Pemanfaatan jalur hijau di sepanjang aliran sungai sebagai kawasan limitasi atau konservasi untuk
menyangga perkembangan fisik kota dengan sempadan selebar 10-15 meter.
• Pengaturan pergerakan dalam dua pola: rutin dan temporal melalui penataan pusat-pusat kegiatan.
• Pemisahan terminal regional dari terminal lokal, serta memperbanyak terminal lokal (4 terminal lokal, 1
regional)
• Pembangkit listrik di Mataram adalah PLTD dimana kebutuhan daya dari tahu ke tahun terus meningkat.
Gambaran peningkatan permintaan daya pada tahun 1994, 1999, 2004 secara berturut-turut adalah:
31.908,566 (Kwh); 49.377.504; 71.211,69. Kebijakan efisiensi penggunaan tenaga listrik pada kota ini adalah
sebagai berikut:
- Rehabilitasi sisitem yang ada, yakni memperkecil frekuensi pemadaman per tahun dan memperpendek
periode padam per pemadaman.
- Kualitas tegangan yang baik, tegangan yang stabil pada titik beban;
- Efisiensi sistem yang baik dengan memperkecil kerugian pada tegangan
- Fleksibilitas sistem yang baik, mampu menampung penambahan beban yang diakibatkan oleh peningkatan
penduduk dan aktivitasnya.
• Memperkecil atau membatasi pertumbuhan baru pada wilayah sebelah utara dan mengusahakan menjaga
kelestarian lingkungan wilayah utara untuk menjaga sumber air tanah.
• Konservasi dan rehabilitasi lahan daerah hulu sungai dan pengaman sungai sekitar Bandung dalam rangka
pengendalian Banjir di Bandung
• Mengusahakan penyebaran penduduk lebih merata yang dikaitkan dengan pengembangan kawasan
perluasan dan penyebaran tempat-tempat bekerja
• Mengoptimalkan mode transportasi yang ada serta memfungsikan kembali angkutan kereta api
8
9. Kota Pokok-Pokok Kebijakan Tata Ruang
MAKASAR • Penentapan beberapa kawasan menjadi kawasan lindung yang meliputi: perlindungan setempat, suaka alam
dan cagar budaya, serta kawasan rawan bencana.
• Pengembangan kawasan budidaya khususnya kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, serta kawasan
pariwisata
• Alokasi ruang untuk guna lahan pariwisata, daerah sempadan, konservasi, ruang terbuka hijau, rawa serta
sungai yang mencapai 22% dari total guna lahan.
• Rencana pengaturan kerapatan penduduk, bangunan, koefisien dasar bangunan (KDB), serta Koefisien lantai
bangunan pada setiap bagian wilayah kota (BWK)
• Dalam bidang transportasi akan dilakukan penerbitan penggunaan izin trayek angkutan kota dan
menghentikan pengeluaran izin trayek yang baru.
• Pengembangan fasilitas pejalan kaki
• Pengembangan jaringan jalan, terutama jalan lingkar luar dan jalan lingkar dalam sebagai salah satu alternatif
untuk mengurangi beban jalan dan kemacetan lalu lintas.
• Pengaturan sistim jaringan jalan sebagai berikut: Jalan arteri dan kolektor tidak memotong unit lingkungan
permukiman skala 2500 penduduk; Jalan kolektor selalu melewati pusat-pusat lingkungan berskala 30.000
penduduk; Jalan lokal menghubungkan antar pusat-pusat lingkungan berskala 2.500 penduduk
MALANG • Dalam bidang permukiman kebijakan tata ruang di arahkan pada peningkatan kualitas permukiman dan
menata distribusi kepadatannya.
• Dalam penentuan kawasan dan jenis industri sangat mempertimbangkan aspek lingkungan dan struktur ruang
sehingga yang dikembangkan hingga saat ini hanya industri non-polutan dan berlokasi pada kawasan yang
memenuhi syarat untuk pembangunan industri
• Mempertahankan tempat olah raga yang sudah ada dan membangun tempat oleh raga baru di setiap wilayah
kecamatan
• Membangun jaringan jalan yang berhirarki dengan maksud meningkatkan aksesibilitas warga di setiap bagian
kota, serta mengurangi kemacetan lalulintas.
• Penetapan sempadan bangunan sesuai dengan kelas jalan
• Pembangunan trotoar jalan yang mendorong warga berjalan kaki untuk perjalan jarak dekat
• Peremajaan angkutan kota secara periodik dan konsisten
• Pengembangan dan peningkatan kualitas tempat pembuangan akhir dan tempat pembuangan sementara
Ruang terbuka hijau di luar kawasan terbangun harus dicadangkan minimum, 30% terhadap luas total Kota
Malang dimana angka ini sudah termasuk untuk keperluan konservasi, keberadaan sawah dan sebagainya.
9
10. Kota Pokok-Pokok Kebijakan Tata Ruang
• Pada kawasan sekitar pengembangan tanah untuk industri, harus disediakan ruang terbuka hijau yang cukup
yakni dengan ketentuan KDB kegiatan industri maksimum adalah 50 % sedangkan 50% sisanya adalah untuk
sirkulasi dan ruang terbuka hijau. Pada pengembangan tanah industri ini juga disyaratkan bahwa jenis
tanaman yang dikembangkan sebaiknya adalah tanaman yang mempunyai fungsi buffer terhadap polusi baik
udara maupun suara.
• Kawasan yang seharusnya mempunyai fungsi kawasan lindung, harus dikembangkan sebagai jalur hijau kota,
terutama yang berfungsi sebagai kawasan penyangga dan penyedia oksigen (paru-paru kota). . Hal ini
sebaiknya dilakukan pada wilayah bantaran sungai, sepanjang rel kereta api, juga pada sekitar tegangan
tinggi, dan kawasan konservasi lainnya.
• Kota Malang yang memiliki variasi topografi mulai dari wilayah yang datar, bergelombang, sampai berbukit
perlu menjaga keseimbangan ekologi lingkungan Kota Malang dengan kebijaksanaan perencanaan sebagai
berikut:
o Pada kawasan terbangun kota, harus disediakan ruang terbuka hijau yang cukup yaitu:
 Untuk kawasan yang padat, minimum disediakan area 10 % dari luas total kawasan.
 Untuk kawasan yang kepadatan bangunannya sedang harus disediakan ruang terbuka hijau minimum
15 % dari luas kawasan.
 Untuk kawasan berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka hijau minimum 20 %
terhadap luas kawasan secara keseluruhan.
o Pada kawasan terbangun kota, harus dikendalikan besaran angka Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai dengan sifat dan jenis penggunaan tanahnya. Secara
umum pengendalian KDB dan KLB ini adalah mengikuti kaidah semakin besar kapling bangunan, nilai KDB
dan KLB makin kecil, sedangkan semakin kecil ukuran kapling, maka nilai KDB dan KLB akan semakin
besar.
o Untuk mengendalikan kualitas air dan penyediaan air tanah, maka bagi setiap bangunan baik yang telah
ataupun akan membangun disyaratkan untuk membuat sumur resapan air. Hal ini sangat penting artinya
untuk menjaga agar kawasan terbangun kota, tinggi muka air tanah agar tidak makin menurun. Pada
tingkat yang tinggi, kekurangan air permukaan ini akan mampu mempengaruhi kekuatan konstruksi
bangunan.
o Untuk meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, maka perlu dikembangkan kawasan resapan air yang
menampung buangan air hujan dari saluran drainase. Kawasan resapan air ini terutama direncanakan di
wilayah Gunung Buring, dimana untuk setiap 20 ha tanah perlu disediakan 1 unit serta di bagian Barat kota
yaitu di sekitar Bandulan, Tidar, Karangbesuki dan Medosari yang membutuhkan 1 unit untuk setiap 30 ha
10
11. Kota Pokok-Pokok Kebijakan Tata Ruang
tanah. Pada bagian Utara dan Selatan kota kawasan resapan air ini minimum adalah 200 M2. Upaya lain
yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kolam resapan air pada setiap wilayah tangkapan air.
• Pengaturan kapling rumah yang ada di wilayah Kota Malang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Malang No 7
Tahun 2001 tentang bangunan pada pasal 29:
 Bentuk rumah besar, paling kecil 500 meter persegi
 Bentuk rumah sedang, antara 300 meter sampai dengan 500 meter persegi
 Bentuk rumah kecil, antara 150 meter sampai dengan 300 meter persegi
 Bentuk rumah kampung, antara 50 meter sampai dengan 150 meter persegi
• Untuk kawasan pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu jalur angkutan
umum adalah 250 meter.
• Antar kawasan yang memiliki fungsi penting (misalnya perkantoran, perdagangan, pendidikan dan
sebagainya) dengan lokasi permukiman terdekat harus dilayani oleh angkutan umum ke salah satu pusat
pelayanan perkotaan yang lainnya.
Meskipun angkutan kota dapat berhenti pada sebagian besar tempat/jalur yang dilalui, akan tetapi sudah saatnya
disediakan halte pemberhentian sehingga pola angkutan umum ini akan lebih teratur.
11
12. 4. PENUTUP
Baik secara akademis maupun secara politis sebenarnya sudah tersedia perangkat
lunak yang dapat menjadi landasan kebijakan daerah untuk mengatur emisi CO2. Di
tingkat Pusat misalnya sudah tersedia Undang-Undang No. 22/1992 tentang Tata
Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 63/ 2002 tentang Hutan Kota. Walaupun kedua
perangkat peraturan tersebut tidak dilengkapi dengan standar luasan kawasan lindung
dan hutan kota, namun banyak dokumen akademik yang dapat diacu untuk keperluan
tersebut.
Secara umum dokumen penataan ruang baik secara langsung maupun tidak langsung
sudah mengakomodasi langkah-langkah pengurangan emisi CO2. Beberapa kebijakan
yang pada umumnya ditempuh antara lain pengaturan kepadatan penduduk dan
bangunan; penetapan kawasan lindung (perlindungan setempat, hutan kota, jalur hijau,
taman kota, sempadan, dll); pengaturan jaringan jalan; distribusi pusat-pusat kegiatan;
bahkan sudah ada yang mengatur luas kapling rumah. Namun demikian, kebijakan yang
langsung berhubungan dengan pengaturan sumber emisi (kondisi mesin, pengendalian
gas buang dengan teknologi, instrumen peraturan) tentu tidak terdapat dalam dokumen
tata ruang dan harus mengacu kepada kebijakan bidang lain, misalnya: transportasi,
lingkungan hidup, serta energi.
Hal yang belum diketahui adalah seberapa jauh kebijakan-kebijakan tata ruang di atas
sudah diimplementasikan dan bagaimana perubahannya terhadap kondisi lingkungan,
khususnya emisi CO2. Evaluasi tata ruang yang ada pada umumnya hanya membahas
aspek ketepatan atau penyimpangan pemanfaatan ruang berdarakan zoning-zoning
yang sudah ditetapkan. Sementara itu perubahan intensitas pemanfaatannya jarang di
bahas, sehingga jika dikaitkan dengan perubahan emisi CO2, maka perlu dibantu
dengan metode lain antara lain membandingkan tingkat emisi dari waktu ke waktu, baik
menggunakan data sekunder maupun pengukuran langsung.
12