1. DUA BELAS PERMASALAHAN KUNCI
YANG MEMBUAT KERJASAMA PAM-SWASTA
TIDAK MEMBERIKAN HASIL YANG DIKEHENDAKI
Sebuah Analisis Kebijakan
Dr. Riant Nugroho
Jakarta, April 2011
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kerjasama antara PAM Jaya dengan Mitra Swasta berujung dengan kegagalan pelayanan yang
baik. Upaya untuk memperbaiki ternyata tidak mudah, bahkan dapat dikatakan hampir tidak
mungkin, yang dikarenakan dua belas isu yang dipaparkan berikut ini.
Pertama, ketidaksesuaian antara ideal suatu dasar kesepakatan dan faktual kesepakatan. Setiap
kesepakatan kerjasama senantiasa ditujukan untuk suatu prestasi tertentu yang dikehendaki
dicapai. Kerjasama dibuat karena salah satu pihak tidak mampu mencapai suatu prestasi sehingga
memerlukan untuk bekerjasama dengan pihak lain. Demikian juga prinsip dasar dari
pembentukan kerjasama antara PAM Jaya dan Mitra Swasta. Faktual dari isi kesepakatan
bukanlah performance based agreement melainkan lebih cenderung kepada financial-requirementfulfilment dari mitra swasta. Beberapa fakta dapat disampaikan adalah:
1. Mitra swasta sampai saat ini masih bersikukuh untuk tidak merubah tingkat imbalan
finansial atau IRR sebesar 22%, sementara itu dengan tenangnya mitra swasta dapat
merubah target-target teknis dalam rebasing. IRR merupakan sebuah fungsi tingkat
bunga dan risiko yang logikanya dapat dirubah sesuai dengan perkembangan dan
kewajaran; terlebih jika target teknis dapat berubah maka seharusnya IRR juga dapat
berubah. Ditambah dengan technical service assistance (TSA) yang diperlakukan sebagai
royalti setiap tahun, maka IRR mitra swasta di tingkat yang sangat tinggi. Bila mengacu
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23/2006 sebenarnya tingkat keuntungan yang
wajar adalah 10 % Return on Productive Assets (ROPA), sedangkan tingkat keuntungan
salah satu mitra swasta berdasarkan data proyeksi keuangan 2008-2012 yang dikonversi
ternyata memperoleh rata-rata ROPA yang melebihi 40% (belum termasuk TSA)
2. Mitra swasta bersikukuh untuk mempertahankan biaya investasi (capex) sebagai
instrumen utama yang menentukan kemajuan pelayanan daripada melakukan upaya
peningkatan kondisi investasi yang sudah ada. Pada prakteknya, mitra swasta telah
mendapatkan capex di muka dalam bentuk imbalan air (C0 ataupun Cn) yang dibebankan
kepada tarif, tetapi pada setiap tahunnya terjadi kegagalan memenuhi target investasi
tahunan dan target kinerja tahunan yang disepakati.
3. Mitra swasta masih mempertahankan biaya operasional (opex) yang besar yang tidak
sesuai dengan perkembangan kondisi usaha yang dikelolanya, satu dan lain hal karena
penggunaan tenaga asing. Sebagai ilustrasi, Telkom dengan nilai kapitalisasi pasar IDR
200 trilyun menggaji Direksinya pada rentang IDR 100-200 juta. Sementara, mitra swasta
dengan omset kurang dari IDR 3 trilyun mempunyai biaya untuk direksi diperkirakan
mendekati imbalan untuk perusahaan yang jauh lebih besar
1|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a
2. Ke dua, ketidaksesuaian antara dasar kesepakatan dan isi kesepakatan. Jika pun kesepakatan
tentang kinerja ada sebagai dasar kebijakan, tetapi muatan kerjasama kesepakatan tentang
prestasi ditetapkan secara tidak pada tempatnya, yaitu :
1. Prestasi hanya dinilai secara indikatif saja, dan bukan pada kenyataan prestasi
2. Prestasi hanya pada indikator-indikator yang kurang menentukan dibanding yang paling
menentukan. Prestasi utama yang diperlukan dari setiap penyelenggaraan air
minum/bersih perpipaan adalah tingkat kehilangan air atau water loss atau juga sering
disebut sebagai non-revenue-water (NRW) yang sebelumnya dikenal sebagai unaccounted
for water (UFW), namun prestasi ini tidak dijadikan sebagai acuan pertama dan utama.
Yang dijadikan patokan utama adalah volume air terjual. Produksi air yang merupakan
pola penilaian prestasi yang didasarkan kepada input approach, sepertinya kurang terarah
karena penentuannya justru dipengaruhi oleh tingkat NRW, akibatnya terjadi inefisiensi
dalam pemakaian bahan kimia, listrik dan air bakunya sendiri
3. Dua prestasi lain yang dikedepankan adalah jumlah sambungan, yang tidak dikaitkan
dengan kualitas air yang diterima di setiap sambungan, dan rasio cakupan (service
coverage ratio) yang didasarkan kepada asumsi 1 sambungan digunakan oleh 7 jiwa,
sementara angka statistik (BPS) untuk Jakarta adalah 5 jiwa keluarga.
4. Prestasi dapat dirubah jika dikehendaki oleh para pihak yang berkontrak, dengan
mengabaikan perkembangan kebutuhan publik dan target di awal kontrak.
Ke tiga, ketidaksesuaian antara kondisi korporasi dan perilaku korporasi. Sebagai sebuah
perusahaan multinasional yang menganut standar bisnis global, mitra swasta masih belum
bersedia menunjukkan keberadaanya sebagai perusahaan kelas dunia. Beberapa fakta dapat
disampaikan adalah:
1. Ketidaksediaan dari mitra swasta untuk berlaku transparan akan rincian biaya operasi,
Ditengaraidengan penolakan atas pemberlakuan ketentuan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 23/2006 yang mewajibkan transparansi biaya operasi, dengan dalih tidak
diatur dalam Perjanjian Kerja Sama dan Peraturan Pemerintah masih menghargai
perjanjian tersebut.
2. Ketidaksediaan untuk melakukan disclosure atas hak-hak pelanggan jika terjadi
wanprestasi sebagaimana yang ada pada Lampiran 15 pada Kontrak Kerjasama1.
Ketidaksediaan ini suah berjalan sejak pertama kali kesepakatan dibuat hingga saat ini.
Secara bisnis, mitra swasta melakukan tindakan bisnis yang tidak etis dan karenanya tidak
terhormat.
Ke empat, ketidaksesuaian antara pasal-pasal di dalam kerjasama. Pada salah satu pasal, yaitu
pasal 28 disebutkan bahwa prinsip kerjasama adalah bahwa pendapatan proyek diutamakan
untuk kebutuhan pihak pertama, dan sisanya untuk pihak ke dua, sehingga tidak ada shortfall
yang ditanggung oleh pihak pertama. Namun pada ayat ataupun pasal yang berbeda disebutkan
bahwa setiap kekurangan pendapatan dari pihak ke dua menjadi tanggungan dari pihak pertama,
dan jika tidak bisa menjadi tanggungan Pemda DKI Jakarta, dan jika tidak bisa menjadi
tanggungan Pemda DKI Jakarta, secara pertanggungjawaban dapat menjadi tanggungan
Pemerintah RI. Muatan ini mempunyai dua masalah pokok:
1
Hal ini pernah dikemukakan oleh analis kepada Gubernur pada tahun 2009 dalam sebuah pertemuan resmi, tetapi
tidak diberikan respon yang positif yang dapat digunakan untuk mendorong mitra swasta melakukan disclosure.
2|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a
3. 1.
Konflik antar pasal yang sudah disetujui oleh terutamapihak pertama dan ke dua
menunjukkan bahwa para pihak tidak cakap secara hukum perjanjian bukan secara
hukumkarena para pihak bersepakat untuk membuat perjanjian yang tidak
seimbang.
2. Pembebanan kepada pihak di luar pihak pertama seharusnya mencantumkan
persetujuan pihak lain yang diberikan pertanggungjawaban. Dengan demikian,
sebenarnya perjanjian ini batal demi hukum perjanjian.
Ke lima, ketidaksesuaian antara peran dan pelaksanaan peran dari pihak pertama. Pihak pertama
tidak cukup memperhatikan perbaikan proses kerjasama dengan mengabaikan beberapa hal
yang positif bagi peningkatan kinerja dan kerjasama yang baik, yaitu:
1. Kebijakan pihak pertama untuk merubah karyawan yang diperbantukan kepada pihak ke
dua yang berstatus ganda menjadi bersatus tunggal. Kebijakan ini sudah dijanjikan oleh
pihak pertama, tetapi tidak pernah direalisasikan sehingga mengganggu proses bisnis
pihak ke dua.
2. Keengganan pihak pertama untuk mengambil inisiatif kunci dalam peralihan kepemilikan
mitra swasta pengelola bagian timur, termasuk kemungkinan PAM menjadi salah satu
pihak, atau melakukan pengambil alihan, dan kemudian melakukan reformasi secara
menyeluruh secara bisnis, pelayanan, dan finansial, untuk dapat dijadikan sebagai
pembanding riil kepada mitra swasta yang lain, untuk mendorong kinerjanya. Walaupun
pernah ada wacana ke arah ini, namun karena satu dan lain hal terutama diperlukannnya
biaya terminasi yang tinggi, maka keinginan kearah ini menjadi gamang.
3. Keengganan pihak pertama untuk memberikan sanksi atas proses penerbitan obligasi2
dan penjualan kepemilkan3 yang tidak ada pada skema bisnis/rencana bisnis tahunan dari
mitra swasta. Hal ini juga disebabkan karena tidak jelasnya klausula perjanjian. Dari sisi
mitra swasta berpegang bahwa tidak diperlukan ijin Pihak Pertama karena tidak ada
klausula yang jelas dalam perjanjian untuk menerbitkan obligasi. Sementara segala
sesuatu yang mempengaruhi imbalan seharusnya dibicarakan terlebih dahulu antara para
pihak.
4. Keengganan pihak pertama untuk menjadi pelaku pertama untuk memperbaiki kerjasama
secara sungguh-sungguh, termasuk di antaranya:
a. Melakukan persepakatan rebasing periode 2008-2012 yang kurang maksimal, yang
setelah dinilai oleh Dewan Pengawas, Badan Regulator, dan BPKP mempunyai
banyak kekeliruan yang penting
b. Melakukan penyesuaian perjanjian atas hal-hal yang substansial seperti imbalan
berbasis kinerja, klausula terminasi, IRR, TSA dan lain sebagainya.
c. Keengganan pihak pertama untuk menjadi pihak yang mendorong keterbukaan
hak-hak pelanggan kepada publik
d. Keengganan pihak pertama untuk menyelesaikan konflik-konflik antara
pelanggan PAM dengan mitra swasta PAM.
e. Keengganan pihak pertama untuk membela hak pelanggan dalam bentuk:
2
3
Kasus Palyja. Aetra sudah bersiap untuk go public.
Kasus TPJ/Aetra, Palyja.
3|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a
4. i. Pembebasan sewa bulanan jika tidak ada air (no-water). Kebijakan yang
ada adalah jika 2 bulan tidak air sama-sekali maka baru dibebaskan sewa
meter4.
ii. Terdapat penarikan uang secara ganda kepada publik dalam bentuk sewa
meter. Sewa meter ditagihkan kepada pelanggan setiap bulan agar setiap
penggantian meter tidak ada lagi biaya, namun biaya meter dimasukkan
ke dalam capex5.
iii. Terdapat penarikan uang secara ganda kepada publik dalam bentuk biaya
sambungan. Biaya sambungan sampai 7 meter sudah masuk dalam capex,
tetapi biaya tersebut juga dimasukkan ke dalam capex6.
iv. Tidak dapat diselesaikannya tagihan kadaluwarsa, bahkan ada yang sudah
7 tahun masih ditagihkan ulang7.
5. Keengganan pihak pertama untuk memperjuangan hal-hal yang mendukung peningkatan
kinerja dan pemberiaan pelayanan yang lebih baik kepada publik, yaitu:
a. Keengganan pihak pertama untuk secara lebih maksimal menjalani/mengajukan
proses penghapusan hutang non-pokok kepada Pemerintah Pusat. Sekalipun
khusus untuk DKI Jakarta yang memiliki kerja sama dengan swasta perlakuannya
memang berbeda dengan PDAM pada umumnya.
b. Keengganan pihak pertama untuk mendukung proses pengembangan
pembangunan IPA di Jatiluhur sebagai pendukung suplai air bersih Jakarta,
padahal sudah ada investor dan studi kelayakan yang cukup untuk
pengembangannya. Tentu ini ada sebabnya.
c. Keengganan pihak pertama untuk mempromosikan penundaan tarif sementara
kinerja mitra swasta sangat buruk, dengan pertimbangan akan shortfall yang
merugikan PAM di satu sisi, dan di sisi lain, PAM tidak secara sungguh-sungguh
melakukan usaha penurunan C0 yang sudah bersifat excessive.
d. Pihak pertama menganggap bahwa penalti atas wanprestasi pihak ke dua
terhadap kualitas pelayanan merupakan hak dari pihak pertama, sehingga
menjadi bagian pendapatan dan selanjutnya keuntungan. Dengan demikian,
dapat dikatakan pihak pertama mengambil hak yang seharusnya menjadi milik
pelanggan. Pihak pertama dengan demikian mengambil yang bukan hak-nya.
Saran agar pihak pertama mengalihkan penalti menjadi pengurang Co dan/atau
tarif tidak diterima secara memadai.
Ke enam, ketidaksesuaian antara tata kelola proyek dengan pelaksanaan proyek. Beberapa isu
pokok dalam mis-governance adalah:
1. Tidak adanya akuntansi proyek, sehingga tidak ada neraca proyek dan penutupan neraca
proyek setiap tahunnya8.
4
Pada tahun 2006, YLKI mengirimkan surat komplain kepada Dirut PAM Jaya, dan Dirut PAM Jaya mengatakan bahwa
jangka waktu yang dimaksud sudah diturunkan menjadi 1 bulan (30 hari), tetapi karena surat tersebut tidak pernah
disampaikan sebagai keputusan PAM yang resmi, maka fihak mitra swasta tidak menganggap surat Dirut PAM Jaya
kepada YKLI sebagai keputusan publik. Mitra swasta hanya menganggap waktu 2 bulan.
5
Nilainya diperkirakan berkisar antara Rp 50-60 milyar. Data sedang dikonfirmasi Badan Regulator PAM.
6
Nilainya diperkirakan berkisar antara Rp 30-40 milyar. Data sedang dikonfirmasi Badan Regulator PAM.
7
Kasus yang ditemukan analis di kawasan Marina, Jakarta Utara, bulan Februari 2010. Pihak mitra swasta tetap
bersikukuh harus ditagih.
8
Sebagai akibatnya, tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab jika ada masalah finansial, seperti yang terjadi
sekarang ini.
4|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a
5. 2. Baru tahun 2006 rekening proyek yang bernama rekening escrow ditandatangani oleh
pihak petama dan pihak ke dua, setelah sebelumnya hanya oleh pihak ke dua9.
3. Pihak pertama mencatat setoran kepada DKI sebagai biaya, yang dasar hukumnya
kurang jelas. Setoran kepada pemerintah provinsi DKI sebagai pemegang saham PAM
Jaya, sebagaimana lazimnya diambil dari laba bersih dan bukan merupakan unsur biaya.
Pihak pertama mencatat biaya Badan Regulator sebagai uang muka, padahal Badan
Regulator bukanlah bawahan dari PAM Jaya dan sebagai badan independen sesuai
dengan bunyi perjanjian status uang yang diterima langsung dari Escrow adalah sama
dengan kebutuhan keuangan PAM Jaya. Penerimaan dan Pengeluaran Badan Regulator
setiap tahun telah diaudit oleh Auditor Independen dan laporannya telah disampaikan
kepada Gubernur dan Para Pihak10.
Ke tujuh, ketidaksesuaian antara harapan akan peran dan pelaksanaan peran dari pemilik pihak
pertama, yaitu Pemerintah DKI Jakarta, untuk menyelesaikan masalah pelayanan air PAM yang
tidak kunjung membaik setelah kerjasama. Beberapa isu kritikal diangkat di sini adalah :
a. Rendahnya peluang interaksi yang bisa didapatkan oleh Badan Regulator dengan
pucuk pimpinan Pemerintah Daerah, sementara interaksi dimaksud akan memberikan
masukan penting kepada Pemda DKI akan langkah yang baik untuk diambil dalam
rangka menyelamatkan pelayanan air PAM Jakarta11.
b. Kengganan pemilik pihak pertama untuk melakukan restrukturisasi manajemen pihak
pertama yang sudah seharusnya diselesaikan beberapa waktu sebelumnya, yang
membuat proses bisnis berjalan kurang sehat.
c. Hingga 2009, ada keengganan pemilik pihak pertama untuk mendorong pihak
pertama melakukan perbaikan kerjasama, jika perlu dengan langkah yang lebih tegas.
Sejak 2010, pihak pertama sangat agresif dalam menekan pihak ke dua, namun tidak
banyak pilihan yang tersedia12.
d. Keengganan pemilik pihak pertama untuk mendukung proses pengembangan
pembangunan IPA di Jatiluhur sebagai pendukung suplai air bersih Jakarta, padahal
sudah ada investor dan studi kelayakan yang cukup untuk pengembangannya (lihat
5.b)13.
e. Keengganan pemilik pihak pertama untuk ikut menjadi penanggungjawab pelayanan
publik di pelayanan PAM yang ditunjukkan dengan tidak adanya kontribusi dari
Pemda DKI dalam investasi infrastruktur PAM yang utama selama ini, yaitu Instalasi
Penjernihan Air (IPA), Jaringan Primer, dan Jaringan Sekunder14. Dengan demikian,
biaya dibebankan seluruhnya kepada tarif yang ditanggung pelanggan/rakyat.
9
Setelah Badan Regulator memaksa para pihak untuk mengganti sistem escrow account, dengan meledek dengan
cara menyebut sebagai crow account
10
Audit BPKP menemukan ada penyimpangan yang dilakukan oleh seluruh anggota BR, yang membuat seluruh
anggota BR harus mengganti kerugian dengan nilai yang dibayar masing-masing anggota antara Rp 10 juta Rp 36 juta.
11
Selama 2008-2011, DPRD DKI belum pernah memanggil Badan Regulator PAM untuk melaporkan perkembangan yang
terjadi. Selama periode tersebut, Gubernur hanya memberi waktu satu kali pertemuan dengan BR. Pada periode
sebelumnya, terdapat interaksi yang tinggi dari Eksekutif dan Legislatif DKI dengan Badan Regulator.
12
Pergantian Dirut PAM Jaya cukup membawa perubahan yang penting. Namun, kontrak-kontrak sudah terlanjur
diteken pada masa kepemimpinan sebelumnya, di mana kesepakatan yang diteken terutama adalah rebasing 2008-2012,
adalah kesepakatan kelembagaan, bukan lagi individual.
13
Pada saat ini keengganan dimaksud ada pada Pemda DKI Jakarta.
14
Pada tahun 2010, Hak Atas air sudah ditetapan oleh PBB sebagai salah satu dari hak asasi manusia. Di Prancis, sejak
lama Pemerintah kota bertanggungjawab untuk investasi IPA dan jaringan primer untuk menekan CAPEX dan
selanjutnya menekan tarif.
5|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a
6. f.
Dengan kondisi ini, maka sebenarnya Pemda DKI tidak mempunyai hak atas klaim
pendapatan yang diperoleh dalam pengelolaan air PAM. Penerimaan yang selama ini
diterima pun seharusnya dikembalikan.
Pemda DKI masih menganggap air PAM sebagai komoditi bukan sebagai
kebutuhan publik, sehingga monopoli penuh tetap diberikan kepada PAM melalui
Perda 11/1993, dan hingga saat ini tidak ada kesungguhan yang memadai untuk
memperbaiki Perda dimaksud. Dengan menganggap sebagai komoditi, maka
dimungkinkan bagi Pemda untuk melepaskan seluruh tanggungjawab kepada
pengelola dan dimungkikannya tarif dinaikkan bahkan melampaui kondisi saturated
level15 yang sudah terjadi pada saat ini.
Ke delapan, ketidaksesuaian antara harapan akan peran dari wakil rakyat DKI Jakarta dengan
pelaksanaannya. Sebagai lembaga wakil rakyat, DPRD DKI belum memberikan ruang yang
memadai untuk mendukung perbaikan kontrak kerjasama. Pada berbagai pertemuan yang
pernah dilakukan, tidak didapatkan dukungan politik untuk perubahan kontrak kerjasama, kecuali
pernyataan-pernyataan yang belum dapat dinilai mewakili lembaga DPRD.
Ke sembilan, ketidaksesuaian struktur tarif yang seharusnya dengan yang ada. Beberapa isu
yang kritikal adalah:
1. Struktur tarif yang ada mempunyai 7 jenis, mulai dari paling murah hingga paling
mahal. Solusi yang diperlukan adalah restrukturisasi tarif. Namun demikian, tidak
didapat dukungan yang memadai dari para pihak, di mana para pihak hanya
bersikukuh untuk kenaikan tarif saja, tanpa restrukturisasi tarif.
2. Restrukturisasi tarif akan mendorong kenaikan di tingkat paling bawah. Masyarakat
pelanggan di tingkat paling bawah tidak keberatan dengan kepastian pelayanan atau
penalti jika pemberi layanan wanprestasi, namun desakan publik melalui DPRD, media
massa, dan LSM sangat kuat.
3. Tidak adanya peluang bagi subsidi (PSO) bagi masyarakat miskin.
Ke sepuluh, ketidaksesuaian kondisi dibutuhkan dari konteks makro pelayanan air perpipaan
dengan kenyataan, dengan beberapa indikator:
1. Sesuai UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka air PAM bukan lagi menjadi
kewenangan pusat melainkan daerah, namun terlalu banyak kebijakan di tingkat pusat
diterapkan untuk pelayanan air PAM.
2. Jika pun dianggap masalah pusat, tidak ada ketunggalan koordinasi, yaitu antara
Depdagri dan Departemen PU. Masing-masing mengeluarkan kebijakan yang pada
sejumlah materi yang diaturnya terjadi ketidaksesuaian16.
3. Pemerintah tidak mempunyai kesungguhan untuk meningkatkan pelayanan PAM. Pada
kasus bad debt hutang swasta Pemerintah mendorong haircut sampai 80% melalui BPPN,
sementara untuk PAM upaya restrukturisasi jauh dari setara dengan yang diberikan
kepada swasta.
15
Tarif air PAM Jakarta secara rata-rata lebih mahal dibandingkan tarif air PAM di Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok,
Manila, dan Taipei.
16
Dari diskusi dengan pengurus BPPS PAM seringkali menambah keruwetan tata kelola PAM di Indonesia, karena
mereka bertindak sebagai agen pusat yang mempunyai kewenangan intervensi, termasuk menentukan penjualan
PDAM melalui skema PPP.
6|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a
7. 4. Pemerintah tidak memberikan diskresi khusus untuk pelanggar pelayanan PAM,
khususnya konsumsi ilegal dan sambungan ilegal, sehingga proses penindakan hukum
memerlukan waktu yang terlalu lama (1-2 tahun) dengan hukuman yang tidak membuat
pelaku menjadi jera17.
Ke sebelas, tata hukum Indonesia dan tata hubungan bisnis yang ada tidak menguntungkan bagi
perbaikan kerjasama. Tata hukum Indonesia senantiasa dapat mengaitkan antara perusahaan dan
pemilik, meskipun uang yang diinvestasikan adalah uang yang sudah dipisahkan. Dengan
demikian, jika PAM mengalami kesulitan keuangan, kesulitan tersebut dapat secara otomatis
secara hukum dagang dipindahkan kepada DKI Jakarta, dan seterusnya kepada Pemerintah
Indonesia. Dengan demikian, tidak ada opsi yang cukup bagi PAM Jaya untuk secara standalone
memutuskan atau merubah kerjasama secara mendasar, karena mitra swasta mempergunakan
celah hukum ini untuk menyerang Pemerintah18.
Ke dua belas, struktur tata hukum privat atau bisnis dan hukum publik yang tidak mudah
dikompromikan. Hukum privat secara hierarkis tunduk terhadap hukum publik. Namun demikian,
kondisi ini hanya dapat dilakukan jika yang bermitra adalah sesama pelaku bisnis Indonesia.
Pelaku bisnis asing senantiasa menganggap bahwa kitab suci antara pihak pertama adalah
piagam kerjasama, sebagaimana pun buruknya isi piagam kerjasama tersebut. Jika hukum publik
dibawa untuk menyelesaikan hukum privat, maka teori lex specialis derogat lex generalis berlaku,
dan gugurlah hukum publik terhadap hukum privat. Dengan demikian, kerjasama antara PAM
dengan Swasta adalah kerjasama yang sebenarnya terjadi di Indonesia tetapi tidak di Indonesia. Di
Indonesia, karena kejadiannya di Indonesia; tidak di Indonesia karena tidak tunduk kepada hukum
publik Indonesia.
Dengan mencermati keadaan di atas, amat sulit untuk melakukan perbaikan kerjasama menuju
kerjasama yang menguntungkan seluruh pihak, terutama pihak pertama yaitu PAM Jaya dan
pelanggan PAM Jaya. Skenario yang kemungkinan dirancang di balik kerjasama ini adalah setelah
25 tahun kerjasama, pelayanan PAM tetap dalam kondisi hanya dapat dikelola lebih baik oleh
swasta, sehingga PAM dan Pemerintah DKI Jakarta dapat di-fait-a-comply untuk kembali
menyerahkan konsesi kepada swasta untuk satu periode lagi ke depan, dengan skenario yang
sama, di mana pada periode setelah itu tetap akan dikembalikan kepada swasta lagi. Proses ini
dapat disebut sebagai systematic institutional dan governance decay dari pelayanan PAM di
Jakarta.
Satu-satunya cara adalah adanya pertemuan khusus antara CEO DKI Jakarta, CEO Wakil Rakyat,
dan CEO Badan Regulator untuk menyepakati langkah-langkah khusus. Kesepakatan ini akan
menjadi sebuah keputusan dari Pemerintahan (Eksekutif dan Legislatif) DKI Jakarta kepada
1. Pihak pertama, sebagai pihak yang berkontrak
2. Pihak wakil negara dari mana pihak kedua berasal
3. Pihak Pemerintah Pusat
17
Di Kuala Lumpur, pencuri air PAM langsung dapat dipenalti RM 50.000 (atau Rp 150 juta) dan/atau 2 bulan penjara
badan.
18
Setiap upaya dari fihak Pemerintah untuk menorong terminasi masuk ke klausul intervensi fihak lain yang
membuat mitra swasta akan menang dalam arbitrase, dengan nilai kemenangan per mitra swasta berkisar antara Rp 48 trilyun.
7|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a
8. Penyelesaian yang baik dapat dilaksanakan apabila:
1. Terdapat ketunggalan kebijakan di tingkat DKI Jakarta
2. Terdapat proses dialog yang baik dan terbuka
3. Terdapat dukungan dari pihak yang berada di belakang mitra swasta untuk
menyelesaikan masalah dengan baik
Tanpa itu, maka kerjasama PAM dan Swasta akan tetap dalam kondisi status quo, di mana para
pihak yang terkait dalam kerjasama akan tetap melakukan kesalahan dan kejahatan publik selama
mereka melaksanakan tugas terkait dengan kerjasama pelayanan PAM.
--end of paper---
8|1 2 M a s a l a h P P P P A M J a k a r t a