際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
EKSKUSI DAN PENINJAUAN KEMBALI
      PUTUSAN PENGADILAN
      TATA USAHA NEGARA


                  Disampaikan dalam rangka
Workshop Advokasi Kasus Hukum Dan Sengketa Tata Usaha Negara
DITJEN SUMBER DAYA DAN PRANGKAT POS DAN INFORMATIKA
                   Hotel Holiday Inn Resort
                  Bali, 13  15 Oktober 2011




                          Oleh :

                         SUPANDI
                       HAKIM AGUNG RI
PUTUSAN PENGADILAN
 PUTUSAN HAKIM adalah suatu pernyataan oleh
Hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di pertimbangkan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara
para pihak ( Soedikno. M, 1985 :172 )
Hakim harus berupaya semaksimal mungkin :
   - menyediakan putusan yang objektif
   - Adil
   - Tidak dipengaruhi oleh unsur apapun
PUTUSAN PTUN
Pasal 97 ayat 7 UU. No. 5/1980 jo UU. No. 9/2004 :
    a. Gugatan di tolak
    b. Gugatan di kabulkan
    c. Gugatan tidak diterima
    d. Gugatan gugur
KEWAJIBAN YANG DAPAT DIBEBANKAN
               KEPADA TERGUGAT
Dalam hal gugatan dikabulkan , maka dalam putusan dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Tergugat :
I.   a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan, atau ;
     b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan
         menerbitkan KTUN yang baru, atau ;
     c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan di dasarkan
pasal ketentuan pasal 3 ( Keputusan Fiktif  Negatif ) (Pasal 97
ayat 8 dan 9 UU. No. 5 Tahun 1986 ).
II. Kewajiban tersebut diatas dapat disertai pembebanan ganti
     rugi ( ayat 10 ).Maxsimal 5 juta, minimum Rp. 250.000,-
( Pasal PP. 43/1991 )
III. Dalam hal putusan tersebut menyangkut kepegawaian,
disamping kewajiban-kewajiban tersebut diatas dapat disertai
dengan kewajiban rehabilitasi (Pasal 97 ayat 11 UU. No. 5 Tahun
1986).
ISI PUTUSAN
Suatu putusan harus memuat :
( Pasal. 109 ayat 1 UU. No. 5 Tahun 1986 )
  1. Kepala yang berbunyi :  DEMI KEADILAN
      BERDASARKAN KETUHAN YANG MAHA ESA 
  2. Nama, jabatan , kewarganegaraan, tempat kediaman
      para pihak yang bersengketa.
  3. Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat.
  4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang
  terjadi dalam persidangan selama sengketa itu
diperiksa.
  5. Alasan Hakim yang menjadi dasar putaran.
  6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
  7. Hari, Tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama panitera, serta
keterangan hadir atau tidak hadirnya para pihak.
   8. Diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum

ayat 2 : Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan dimaksud dalam ayat ( 1 )
dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
PUTUSAN YANG MEMERLUKAN EKSEKUSI

Dari 4 ( empat ) jenis putusan dalam pasal 97 ayat 7 UU. No. 5
Tahun 1986, hanya dalam hal :
Gugatan Di kabulkan yang memerlukan tindak lanjut (follow-up)
dalam bentuk Eksekusi, dan itupun yang bersifat Kondemnatoir
seperti :
   - Kewajiban untuk mencabut KTUN yang bersangkutan ;
   - Kewajiban untuk mencabut KTUN yang lama dan
      menerbitkan KTUN yang baru.
   - Kewajiban untuk menerbitkan KTUN dalam hal gugatan
yang di dasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 ;
   - Kewajiban dalam bentuk pemberian ganti  rugi (Pasal 97
ayat 10)
   - Kewajiban dalam bentuk pemberian Rehabilitasi yang
      menyangkut kepegawaian ( Pasal 97 ayat 11 )
EKSEKUSI PUTUSAN PTUN
EKSEKUSI OTOMATIS, DAN PENEGURAN BERJENJANG
VERSI UU. No. 5 Tahun 1986.

Pasal 115
  Hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan Hukum
Tetap yang dapat dilakukan.

Catatan : Termasuk didalamnya melaksanakan penetapan
Hakim yang berisi Perintah untuk menangguhkan surat
Keputusan objek sengketa ( Pasal 67 UU. No. 5 Tahun 1986 )
Pasal 116
   1. Salinan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan
      hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan
      surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas
      perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
      tingkat I selambat - lambatnya dalam waktu 14 hari.

   2. Dalam 4 bulan setelah pemberitahuan tersebut dalam
      ayat ( 1 ) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan
      kewajibannya dimaksud pasal 97 ayat 9 huruf a
      ( Pencabutan SK objek sengketa ), maka KTUN tersebut
      tidak mempunnyai kekuatan Hukum lagi.
      Catatan : Dalam praktek, tergugat tidak mempunyai
                inisiatif tindakan - tindakan yang berkaitan
                dengan hal - hal KTUN tidak mempunyai
                kekuatan hukum lagi.
3. Dalam hal tergugat diwajibkan sebagaimana tersebut pasal 97
   ayat 9 b, c (Pencabutan KTUN dan penertiban KTUN baru
   atau penertiban KTUN sehubungan gugatan berdasar pasal
   3), setelah 3 bulan ternyata tidak dilaksanakan , maka
   penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN
   yang bersangkutan agar memerintahkan Tergugat
   melaksanakan isi putusan Pengadilan tersebut.
4. Jika Tergugat masih tetap tidak mau melakukan, Ketua
      PTUN mengajukan hal tersebut kepada atasan
   Pejabat yang bersangkutan secara berjenjang.
5. Instalasi atasan dalam waktu 2 ( dua ) bulan setelah
   menerima pemberitahuan tersebut, harus memerintahkan
   pejabat bersangkutan itu untuk melaksanakan putusan
   pengadilan tersebut.
   catatan : Dalam praktek pasal ini mandul, dan lebih
   bersifat formalistis saja.
6. Dalam hal peneguran berjenjang tersebut tidak diindahkan,
   Ketua PTUN mengajukan hal tersebut kepada Presiden.
PENERAPAN UANG PAKSA dan / atau Sanksi
      Administratif, Pengumuman di Mas Media

Pasal 116 UU. No.9 Tahun 2004
Ayat 4 : Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap, terhadap pejabat ybs
dikeluarkan upaya paksa, berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/
atau sanksi administratif.

Penjelasan
Yang dimaksud dengan Pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa
dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah
uang yang ditetapkan oleh Hakim karena jabatannya yang dicantumkan
dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan
Penggugat.

Ayat 5    :        Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, diumumkan         pada media massa
cetak setempat oleh Panitera sejak tidak    terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 3.

           Penjelasan : cukup jelas
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN
       PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
    Secara normatif, sebagaimana diatur dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 Jo UU 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sarana-
sarana perlindungan hukum/upaya hukum yang dapat
ditempuh terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara
adalah :
     Perlawanan terhadap Penetapan Ketua Pengadilan dalam
rangka penyelesaian perkara menurut pasal 62 (Dismissal
proses.
    Banding kepada Pengadilan Tinggi TUN. ( pasal 122
sampai dengan pasal 130 ).
     Kasasi. ( pasal 131 ).
     Peninjauan Kembali.( pasal 132 ).
Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Pasal 132. UU No. 14 tahun 1985 Jo UU No.5
Tahun 2004 Jo UU No.3 Tahun 2009,
mengatur tentang upaya hukum Peninjauan
kembali, yakni suatu bentuk upaya hukum luar
biasa, yang dapat diajukan terhadap suatu
putusan    Peradilan    TUN     yang   telah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde). Peninjauan kembali terhadap
putusan Peradilan yang berkekuatan hukum
tetap adalah merupakan wewenang ekslusif
dari Mahkamah Agung.
Dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini,
Mahkamah Agung akan memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama dan terakhir.
pasal 69 :
Tenggang       waktu      mengajukan   permohonan
peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan
puluh) hari kalender, kecuali hitungan hari terakhir
pendaftaran permohonan peninjauan kembali maka
hari libur dapat diabaikan.

Penghitungan tersebut dimulai dari ditemukannya
alasan permohonan peninjauan kembali.
Alasan-Alasan Peninjauan Kembali
 Pasal 67
1. Putusan yang dimohon didasarkan pada suatu
   kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
   diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
   pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh Hakim
   pidana dinyatakan palsu.
2. Ditemukan alat-alat bukti yang bersifat menentukan
   yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan
   (novum).
3. Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
   lebih dari yang dituntut (ultra petita).
4. Apabila suatu bagian dari tuntutan belum
   diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
   sebabnya.
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama
   mengenai surat soal yang sama, atas dasar
   yang sama, oleh Pengadilan yang sama
   atau sama tingkatannya telah diberikan
   putusan yang bertentangan satu sama lain.
6. Terdapat kekhilafan Hakim      atau   suatu
   kekeliruan yang nyata.
Peradilan Tata Usaha Negara diadakan
dalam rangka memberikan perlindungan
hukum kepada Rakyat pencari keadilan,
yang merasa dirugikan akibat suatu
Keputusan      Tata     Usaha     Negara.
Disamping itu fungsi peradilan Tata
Usaha Negara adalah sebagai lembaga
kontrol ekstern (judicial external control)
dari sikap dan tindak dari Badan Pejabat
Tata Usaha Negara.
Upaya    hukum       diadakan   agar
perlindungan hukum terhadap pencari
keadilan dalam menggapai kebenaran
dan keadilan menjadi maksimal. Akan
tetapi pada sisi lain, adanya beberapa
sarana upaya hukum tersebut, proses
penyelesaian perkara menjadi berlarut-
larut dan melelahkan. Hal mana acapkali
menjadi tidak paralel dengan azas
peradilan cepat, sederhana dan biaya
ringan.
Hakim adalah berposisi sebagai pseudo
legislator, yang derajat kekuatan hukum
produk putusan hakim adalah setingkat
dengan      peraturan perundang-undangan,
sehingga idealnya, setelah putusan hakim
pada tingkat pertama dijatuhkan dan setelah
disimak pertimbangan hukumnya ternyata
mengandung kebenaran dan keadilan, maka
pihak yang dihukum tersebut harus segera
mematuhi/melaksanakannya      tanpa  harus
mengajukan upaya hukum lagi.
KESIMPULAN
  1. Pola Eksekusi versi pasal 116 UU. No.5 Tahun 1986
sesungguhnya sudah sesuai dengan Etika dan tata krama suatu
Negara Hukum.
     Sayangnya : BUDAYA HUKUM PEJABAT PUBLIK MASIH
SANGAT MEMPRIHATINKAN.

   2. Pola Eksekusi versi pasal 116 UU. No. 9 Tahun 2004 seolah
-olah suatu jalan keluar walaupun agak mencederai Etika Negara
Hukum yaitu :
Pejabat yang seharusnya warganegara yang diberi amanah
penegakan hukum didalam negara hukum, ternyata harus
melaksanakan hukum itu dengan cara-cara paksa (eksekusi).

   3. Perlu dihadirkan suatu ketentuan ( norma ) hukum yang
ditegakkan secara tepat dan konsisten dengan tujuan : 
membangun Budaya Hukum Pejabat Publik sampai tingkat yang
diharapkan ( Law as a toll of social Enginering ).
SARAN

    RUU Hukum Administrasi Pemerintahan sudah akan
dibicarakan di DPR sebagai inisiatif Pemerintah. Bertolak dari
dasar pemikiran :
    1. Pejabat adalah personifikasi ( ujud manusia ) suatu
       organ negara Hukum, pemegang amanah kedaulatan
       Rakyat.

   2. Adalah  Conditio Since Qua Non  ( Syarat yang tidak
      boleh tidak ada ) pada diri Pejabat yaitu : Sikap patuh
      dan konsisten dalam setiap perilaku jabatannya.

   3. Pengingkaran dan sikap tidak konsisten dalam penegakkan
      hukum berarti sama dengan tindakan melawan perintah
      jabatannya.
jika Bangsa ini benar - benar bercita - cita Hidup dalam suasana
negara Hukum seperti amanat Konstitusi, sudah waktunya didalam
RUU tersebut diatas dicantumkan :
   1. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan atau penetapan
      Pengadilan yang berkekuatan Hukum tetap yang sama
      nilainya dengan  Hukum dalam kasus konkrit , di kwalifisir
      melawan perintah jabatannya, dan harus diberhentikan dari
      jabatannya itu.
   2. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah yang
      berwenang mencabut jabatan itu dengan hak delegasi
      kepada menteri Penertiban dan pendayagunaan aparatur
      negara.
   3. Tata cara penegakannya diatur lebih rinci didalam Undang-
      undang tentang Penarikan Tata Usaha Negara.
   4. Sejalan dengan Rancangan Undang-undang tersebut,
      hendaknya DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap
      Undang-undang No. 9 Tahun 2004 jo UU. No. 5 Tahun 1986
      kekuatannya tentang pasal 116, sehingga terdapat Sinkonisasi
      antara Hukum material dengan Hukum Formilnya.

     Semoga.


                                                 Terima kasih

More Related Content

7. eksekusi dan peninjauan kembali putusan tun

  • 1. EKSKUSI DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Disampaikan dalam rangka Workshop Advokasi Kasus Hukum Dan Sengketa Tata Usaha Negara DITJEN SUMBER DAYA DAN PRANGKAT POS DAN INFORMATIKA Hotel Holiday Inn Resort Bali, 13 15 Oktober 2011 Oleh : SUPANDI HAKIM AGUNG RI
  • 2. PUTUSAN PENGADILAN PUTUSAN HAKIM adalah suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di pertimbangkan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara para pihak ( Soedikno. M, 1985 :172 ) Hakim harus berupaya semaksimal mungkin : - menyediakan putusan yang objektif - Adil - Tidak dipengaruhi oleh unsur apapun
  • 3. PUTUSAN PTUN Pasal 97 ayat 7 UU. No. 5/1980 jo UU. No. 9/2004 : a. Gugatan di tolak b. Gugatan di kabulkan c. Gugatan tidak diterima d. Gugatan gugur
  • 4. KEWAJIBAN YANG DAPAT DIBEBANKAN KEPADA TERGUGAT Dalam hal gugatan dikabulkan , maka dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Tergugat : I. a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan, atau ; b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru, atau ; c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan di dasarkan pasal ketentuan pasal 3 ( Keputusan Fiktif Negatif ) (Pasal 97 ayat 8 dan 9 UU. No. 5 Tahun 1986 ). II. Kewajiban tersebut diatas dapat disertai pembebanan ganti rugi ( ayat 10 ).Maxsimal 5 juta, minimum Rp. 250.000,- ( Pasal PP. 43/1991 ) III. Dalam hal putusan tersebut menyangkut kepegawaian, disamping kewajiban-kewajiban tersebut diatas dapat disertai dengan kewajiban rehabilitasi (Pasal 97 ayat 11 UU. No. 5 Tahun 1986).
  • 5. ISI PUTUSAN Suatu putusan harus memuat : ( Pasal. 109 ayat 1 UU. No. 5 Tahun 1986 ) 1. Kepala yang berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHAN YANG MAHA ESA 2. Nama, jabatan , kewarganegaraan, tempat kediaman para pihak yang bersengketa. 3. Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat. 4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. 5. Alasan Hakim yang menjadi dasar putaran. 6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara. 7. Hari, Tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan hadir atau tidak hadirnya para pihak. 8. Diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum ayat 2 : Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan dimaksud dalam ayat ( 1 ) dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
  • 6. PUTUSAN YANG MEMERLUKAN EKSEKUSI Dari 4 ( empat ) jenis putusan dalam pasal 97 ayat 7 UU. No. 5 Tahun 1986, hanya dalam hal : Gugatan Di kabulkan yang memerlukan tindak lanjut (follow-up) dalam bentuk Eksekusi, dan itupun yang bersifat Kondemnatoir seperti : - Kewajiban untuk mencabut KTUN yang bersangkutan ; - Kewajiban untuk mencabut KTUN yang lama dan menerbitkan KTUN yang baru. - Kewajiban untuk menerbitkan KTUN dalam hal gugatan yang di dasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 ; - Kewajiban dalam bentuk pemberian ganti rugi (Pasal 97 ayat 10) - Kewajiban dalam bentuk pemberian Rehabilitasi yang menyangkut kepegawaian ( Pasal 97 ayat 11 )
  • 7. EKSEKUSI PUTUSAN PTUN EKSEKUSI OTOMATIS, DAN PENEGURAN BERJENJANG VERSI UU. No. 5 Tahun 1986. Pasal 115 Hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan Hukum Tetap yang dapat dilakukan. Catatan : Termasuk didalamnya melaksanakan penetapan Hakim yang berisi Perintah untuk menangguhkan surat Keputusan objek sengketa ( Pasal 67 UU. No. 5 Tahun 1986 )
  • 8. Pasal 116 1. Salinan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat I selambat - lambatnya dalam waktu 14 hari. 2. Dalam 4 bulan setelah pemberitahuan tersebut dalam ayat ( 1 ) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya dimaksud pasal 97 ayat 9 huruf a ( Pencabutan SK objek sengketa ), maka KTUN tersebut tidak mempunnyai kekuatan Hukum lagi. Catatan : Dalam praktek, tergugat tidak mempunyai inisiatif tindakan - tindakan yang berkaitan dengan hal - hal KTUN tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
  • 9. 3. Dalam hal tergugat diwajibkan sebagaimana tersebut pasal 97 ayat 9 b, c (Pencabutan KTUN dan penertiban KTUN baru atau penertiban KTUN sehubungan gugatan berdasar pasal 3), setelah 3 bulan ternyata tidak dilaksanakan , maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN yang bersangkutan agar memerintahkan Tergugat melaksanakan isi putusan Pengadilan tersebut. 4. Jika Tergugat masih tetap tidak mau melakukan, Ketua PTUN mengajukan hal tersebut kepada atasan Pejabat yang bersangkutan secara berjenjang. 5. Instalasi atasan dalam waktu 2 ( dua ) bulan setelah menerima pemberitahuan tersebut, harus memerintahkan pejabat bersangkutan itu untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut. catatan : Dalam praktek pasal ini mandul, dan lebih bersifat formalistis saja. 6. Dalam hal peneguran berjenjang tersebut tidak diindahkan, Ketua PTUN mengajukan hal tersebut kepada Presiden.
  • 10. PENERAPAN UANG PAKSA dan / atau Sanksi Administratif, Pengumuman di Mas Media Pasal 116 UU. No.9 Tahun 2004 Ayat 4 : Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap, terhadap pejabat ybs dikeluarkan upaya paksa, berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/ atau sanksi administratif. Penjelasan Yang dimaksud dengan Pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh Hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat. Ayat 5 : Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 3. Penjelasan : cukup jelas
  • 11. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Secara normatif, sebagaimana diatur dalam Undang- undang No. 5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 Jo UU 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sarana- sarana perlindungan hukum/upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah : Perlawanan terhadap Penetapan Ketua Pengadilan dalam rangka penyelesaian perkara menurut pasal 62 (Dismissal proses. Banding kepada Pengadilan Tinggi TUN. ( pasal 122 sampai dengan pasal 130 ). Kasasi. ( pasal 131 ). Peninjauan Kembali.( pasal 132 ).
  • 12. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Pasal 132. UU No. 14 tahun 1985 Jo UU No.5 Tahun 2004 Jo UU No.3 Tahun 2009, mengatur tentang upaya hukum Peninjauan kembali, yakni suatu bentuk upaya hukum luar biasa, yang dapat diajukan terhadap suatu putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Peninjauan kembali terhadap putusan Peradilan yang berkekuatan hukum tetap adalah merupakan wewenang ekslusif dari Mahkamah Agung.
  • 13. Dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini, Mahkamah Agung akan memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir. pasal 69 : Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari kalender, kecuali hitungan hari terakhir pendaftaran permohonan peninjauan kembali maka hari libur dapat diabaikan. Penghitungan tersebut dimulai dari ditemukannya alasan permohonan peninjauan kembali.
  • 14. Alasan-Alasan Peninjauan Kembali Pasal 67 1. Putusan yang dimohon didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu. 2. Ditemukan alat-alat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan (novum). 3. Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut (ultra petita).
  • 15. 4. Apabila suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- sebabnya. 5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai surat soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain. 6. Terdapat kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
  • 16. Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada Rakyat pencari keadilan, yang merasa dirugikan akibat suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Disamping itu fungsi peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai lembaga kontrol ekstern (judicial external control) dari sikap dan tindak dari Badan Pejabat Tata Usaha Negara.
  • 17. Upaya hukum diadakan agar perlindungan hukum terhadap pencari keadilan dalam menggapai kebenaran dan keadilan menjadi maksimal. Akan tetapi pada sisi lain, adanya beberapa sarana upaya hukum tersebut, proses penyelesaian perkara menjadi berlarut- larut dan melelahkan. Hal mana acapkali menjadi tidak paralel dengan azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
  • 18. Hakim adalah berposisi sebagai pseudo legislator, yang derajat kekuatan hukum produk putusan hakim adalah setingkat dengan peraturan perundang-undangan, sehingga idealnya, setelah putusan hakim pada tingkat pertama dijatuhkan dan setelah disimak pertimbangan hukumnya ternyata mengandung kebenaran dan keadilan, maka pihak yang dihukum tersebut harus segera mematuhi/melaksanakannya tanpa harus mengajukan upaya hukum lagi.
  • 19. KESIMPULAN 1. Pola Eksekusi versi pasal 116 UU. No.5 Tahun 1986 sesungguhnya sudah sesuai dengan Etika dan tata krama suatu Negara Hukum. Sayangnya : BUDAYA HUKUM PEJABAT PUBLIK MASIH SANGAT MEMPRIHATINKAN. 2. Pola Eksekusi versi pasal 116 UU. No. 9 Tahun 2004 seolah -olah suatu jalan keluar walaupun agak mencederai Etika Negara Hukum yaitu : Pejabat yang seharusnya warganegara yang diberi amanah penegakan hukum didalam negara hukum, ternyata harus melaksanakan hukum itu dengan cara-cara paksa (eksekusi). 3. Perlu dihadirkan suatu ketentuan ( norma ) hukum yang ditegakkan secara tepat dan konsisten dengan tujuan : membangun Budaya Hukum Pejabat Publik sampai tingkat yang diharapkan ( Law as a toll of social Enginering ).
  • 20. SARAN RUU Hukum Administrasi Pemerintahan sudah akan dibicarakan di DPR sebagai inisiatif Pemerintah. Bertolak dari dasar pemikiran : 1. Pejabat adalah personifikasi ( ujud manusia ) suatu organ negara Hukum, pemegang amanah kedaulatan Rakyat. 2. Adalah Conditio Since Qua Non ( Syarat yang tidak boleh tidak ada ) pada diri Pejabat yaitu : Sikap patuh dan konsisten dalam setiap perilaku jabatannya. 3. Pengingkaran dan sikap tidak konsisten dalam penegakkan hukum berarti sama dengan tindakan melawan perintah jabatannya.
  • 21. jika Bangsa ini benar - benar bercita - cita Hidup dalam suasana negara Hukum seperti amanat Konstitusi, sudah waktunya didalam RUU tersebut diatas dicantumkan : 1. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan atau penetapan Pengadilan yang berkekuatan Hukum tetap yang sama nilainya dengan Hukum dalam kasus konkrit , di kwalifisir melawan perintah jabatannya, dan harus diberhentikan dari jabatannya itu. 2. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah yang berwenang mencabut jabatan itu dengan hak delegasi kepada menteri Penertiban dan pendayagunaan aparatur negara. 3. Tata cara penegakannya diatur lebih rinci didalam Undang- undang tentang Penarikan Tata Usaha Negara. 4. Sejalan dengan Rancangan Undang-undang tersebut, hendaknya DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-undang No. 9 Tahun 2004 jo UU. No. 5 Tahun 1986 kekuatannya tentang pasal 116, sehingga terdapat Sinkonisasi antara Hukum material dengan Hukum Formilnya. Semoga. Terima kasih