1. EKSKUSI DAN PENINJAUAN KEMBALI
PUTUSAN PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA
Disampaikan dalam rangka
Workshop Advokasi Kasus Hukum Dan Sengketa Tata Usaha Negara
DITJEN SUMBER DAYA DAN PRANGKAT POS DAN INFORMATIKA
Hotel Holiday Inn Resort
Bali, 13 15 Oktober 2011
Oleh :
SUPANDI
HAKIM AGUNG RI
2. PUTUSAN PENGADILAN
PUTUSAN HAKIM adalah suatu pernyataan oleh
Hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di pertimbangkan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara
para pihak ( Soedikno. M, 1985 :172 )
Hakim harus berupaya semaksimal mungkin :
- menyediakan putusan yang objektif
- Adil
- Tidak dipengaruhi oleh unsur apapun
3. PUTUSAN PTUN
Pasal 97 ayat 7 UU. No. 5/1980 jo UU. No. 9/2004 :
a. Gugatan di tolak
b. Gugatan di kabulkan
c. Gugatan tidak diterima
d. Gugatan gugur
4. KEWAJIBAN YANG DAPAT DIBEBANKAN
KEPADA TERGUGAT
Dalam hal gugatan dikabulkan , maka dalam putusan dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Tergugat :
I. a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan, atau ;
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan
menerbitkan KTUN yang baru, atau ;
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan di dasarkan
pasal ketentuan pasal 3 ( Keputusan Fiktif Negatif ) (Pasal 97
ayat 8 dan 9 UU. No. 5 Tahun 1986 ).
II. Kewajiban tersebut diatas dapat disertai pembebanan ganti
rugi ( ayat 10 ).Maxsimal 5 juta, minimum Rp. 250.000,-
( Pasal PP. 43/1991 )
III. Dalam hal putusan tersebut menyangkut kepegawaian,
disamping kewajiban-kewajiban tersebut diatas dapat disertai
dengan kewajiban rehabilitasi (Pasal 97 ayat 11 UU. No. 5 Tahun
1986).
5. ISI PUTUSAN
Suatu putusan harus memuat :
( Pasal. 109 ayat 1 UU. No. 5 Tahun 1986 )
1. Kepala yang berbunyi : DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHAN YANG MAHA ESA
2. Nama, jabatan , kewarganegaraan, tempat kediaman
para pihak yang bersengketa.
3. Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat.
4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu
diperiksa.
5. Alasan Hakim yang menjadi dasar putaran.
6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
7. Hari, Tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama panitera, serta
keterangan hadir atau tidak hadirnya para pihak.
8. Diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum
ayat 2 : Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan dimaksud dalam ayat ( 1 )
dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
6. PUTUSAN YANG MEMERLUKAN EKSEKUSI
Dari 4 ( empat ) jenis putusan dalam pasal 97 ayat 7 UU. No. 5
Tahun 1986, hanya dalam hal :
Gugatan Di kabulkan yang memerlukan tindak lanjut (follow-up)
dalam bentuk Eksekusi, dan itupun yang bersifat Kondemnatoir
seperti :
- Kewajiban untuk mencabut KTUN yang bersangkutan ;
- Kewajiban untuk mencabut KTUN yang lama dan
menerbitkan KTUN yang baru.
- Kewajiban untuk menerbitkan KTUN dalam hal gugatan
yang di dasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 ;
- Kewajiban dalam bentuk pemberian ganti rugi (Pasal 97
ayat 10)
- Kewajiban dalam bentuk pemberian Rehabilitasi yang
menyangkut kepegawaian ( Pasal 97 ayat 11 )
7. EKSEKUSI PUTUSAN PTUN
EKSEKUSI OTOMATIS, DAN PENEGURAN BERJENJANG
VERSI UU. No. 5 Tahun 1986.
Pasal 115
Hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan Hukum
Tetap yang dapat dilakukan.
Catatan : Termasuk didalamnya melaksanakan penetapan
Hakim yang berisi Perintah untuk menangguhkan surat
Keputusan objek sengketa ( Pasal 67 UU. No. 5 Tahun 1986 )
8. Pasal 116
1. Salinan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan
surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas
perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat I selambat - lambatnya dalam waktu 14 hari.
2. Dalam 4 bulan setelah pemberitahuan tersebut dalam
ayat ( 1 ) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya dimaksud pasal 97 ayat 9 huruf a
( Pencabutan SK objek sengketa ), maka KTUN tersebut
tidak mempunnyai kekuatan Hukum lagi.
Catatan : Dalam praktek, tergugat tidak mempunyai
inisiatif tindakan - tindakan yang berkaitan
dengan hal - hal KTUN tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
9. 3. Dalam hal tergugat diwajibkan sebagaimana tersebut pasal 97
ayat 9 b, c (Pencabutan KTUN dan penertiban KTUN baru
atau penertiban KTUN sehubungan gugatan berdasar pasal
3), setelah 3 bulan ternyata tidak dilaksanakan , maka
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN
yang bersangkutan agar memerintahkan Tergugat
melaksanakan isi putusan Pengadilan tersebut.
4. Jika Tergugat masih tetap tidak mau melakukan, Ketua
PTUN mengajukan hal tersebut kepada atasan
Pejabat yang bersangkutan secara berjenjang.
5. Instalasi atasan dalam waktu 2 ( dua ) bulan setelah
menerima pemberitahuan tersebut, harus memerintahkan
pejabat bersangkutan itu untuk melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.
catatan : Dalam praktek pasal ini mandul, dan lebih
bersifat formalistis saja.
6. Dalam hal peneguran berjenjang tersebut tidak diindahkan,
Ketua PTUN mengajukan hal tersebut kepada Presiden.
10. PENERAPAN UANG PAKSA dan / atau Sanksi
Administratif, Pengumuman di Mas Media
Pasal 116 UU. No.9 Tahun 2004
Ayat 4 : Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap, terhadap pejabat ybs
dikeluarkan upaya paksa, berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/
atau sanksi administratif.
Penjelasan
Yang dimaksud dengan Pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa
dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah
uang yang ditetapkan oleh Hakim karena jabatannya yang dicantumkan
dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan
Penggugat.
Ayat 5 : Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, diumumkan pada media massa
cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 3.
Penjelasan : cukup jelas
11. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Secara normatif, sebagaimana diatur dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 Jo UU 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sarana-
sarana perlindungan hukum/upaya hukum yang dapat
ditempuh terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara
adalah :
Perlawanan terhadap Penetapan Ketua Pengadilan dalam
rangka penyelesaian perkara menurut pasal 62 (Dismissal
proses.
Banding kepada Pengadilan Tinggi TUN. ( pasal 122
sampai dengan pasal 130 ).
Kasasi. ( pasal 131 ).
Peninjauan Kembali.( pasal 132 ).
12. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Pasal 132. UU No. 14 tahun 1985 Jo UU No.5
Tahun 2004 Jo UU No.3 Tahun 2009,
mengatur tentang upaya hukum Peninjauan
kembali, yakni suatu bentuk upaya hukum luar
biasa, yang dapat diajukan terhadap suatu
putusan Peradilan TUN yang telah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde). Peninjauan kembali terhadap
putusan Peradilan yang berkekuatan hukum
tetap adalah merupakan wewenang ekslusif
dari Mahkamah Agung.
13. Dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini,
Mahkamah Agung akan memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama dan terakhir.
pasal 69 :
Tenggang waktu mengajukan permohonan
peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan
puluh) hari kalender, kecuali hitungan hari terakhir
pendaftaran permohonan peninjauan kembali maka
hari libur dapat diabaikan.
Penghitungan tersebut dimulai dari ditemukannya
alasan permohonan peninjauan kembali.
14. Alasan-Alasan Peninjauan Kembali
Pasal 67
1. Putusan yang dimohon didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh Hakim
pidana dinyatakan palsu.
2. Ditemukan alat-alat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan
(novum).
3. Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari yang dituntut (ultra petita).
15. 4. Apabila suatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya.
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama
mengenai surat soal yang sama, atas dasar
yang sama, oleh Pengadilan yang sama
atau sama tingkatannya telah diberikan
putusan yang bertentangan satu sama lain.
6. Terdapat kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
16. Peradilan Tata Usaha Negara diadakan
dalam rangka memberikan perlindungan
hukum kepada Rakyat pencari keadilan,
yang merasa dirugikan akibat suatu
Keputusan Tata Usaha Negara.
Disamping itu fungsi peradilan Tata
Usaha Negara adalah sebagai lembaga
kontrol ekstern (judicial external control)
dari sikap dan tindak dari Badan Pejabat
Tata Usaha Negara.
17. Upaya hukum diadakan agar
perlindungan hukum terhadap pencari
keadilan dalam menggapai kebenaran
dan keadilan menjadi maksimal. Akan
tetapi pada sisi lain, adanya beberapa
sarana upaya hukum tersebut, proses
penyelesaian perkara menjadi berlarut-
larut dan melelahkan. Hal mana acapkali
menjadi tidak paralel dengan azas
peradilan cepat, sederhana dan biaya
ringan.
18. Hakim adalah berposisi sebagai pseudo
legislator, yang derajat kekuatan hukum
produk putusan hakim adalah setingkat
dengan peraturan perundang-undangan,
sehingga idealnya, setelah putusan hakim
pada tingkat pertama dijatuhkan dan setelah
disimak pertimbangan hukumnya ternyata
mengandung kebenaran dan keadilan, maka
pihak yang dihukum tersebut harus segera
mematuhi/melaksanakannya tanpa harus
mengajukan upaya hukum lagi.
19. KESIMPULAN
1. Pola Eksekusi versi pasal 116 UU. No.5 Tahun 1986
sesungguhnya sudah sesuai dengan Etika dan tata krama suatu
Negara Hukum.
Sayangnya : BUDAYA HUKUM PEJABAT PUBLIK MASIH
SANGAT MEMPRIHATINKAN.
2. Pola Eksekusi versi pasal 116 UU. No. 9 Tahun 2004 seolah
-olah suatu jalan keluar walaupun agak mencederai Etika Negara
Hukum yaitu :
Pejabat yang seharusnya warganegara yang diberi amanah
penegakan hukum didalam negara hukum, ternyata harus
melaksanakan hukum itu dengan cara-cara paksa (eksekusi).
3. Perlu dihadirkan suatu ketentuan ( norma ) hukum yang
ditegakkan secara tepat dan konsisten dengan tujuan :
membangun Budaya Hukum Pejabat Publik sampai tingkat yang
diharapkan ( Law as a toll of social Enginering ).
20. SARAN
RUU Hukum Administrasi Pemerintahan sudah akan
dibicarakan di DPR sebagai inisiatif Pemerintah. Bertolak dari
dasar pemikiran :
1. Pejabat adalah personifikasi ( ujud manusia ) suatu
organ negara Hukum, pemegang amanah kedaulatan
Rakyat.
2. Adalah Conditio Since Qua Non ( Syarat yang tidak
boleh tidak ada ) pada diri Pejabat yaitu : Sikap patuh
dan konsisten dalam setiap perilaku jabatannya.
3. Pengingkaran dan sikap tidak konsisten dalam penegakkan
hukum berarti sama dengan tindakan melawan perintah
jabatannya.
21. jika Bangsa ini benar - benar bercita - cita Hidup dalam suasana
negara Hukum seperti amanat Konstitusi, sudah waktunya didalam
RUU tersebut diatas dicantumkan :
1. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan atau penetapan
Pengadilan yang berkekuatan Hukum tetap yang sama
nilainya dengan Hukum dalam kasus konkrit , di kwalifisir
melawan perintah jabatannya, dan harus diberhentikan dari
jabatannya itu.
2. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah yang
berwenang mencabut jabatan itu dengan hak delegasi
kepada menteri Penertiban dan pendayagunaan aparatur
negara.
3. Tata cara penegakannya diatur lebih rinci didalam Undang-
undang tentang Penarikan Tata Usaha Negara.
4. Sejalan dengan Rancangan Undang-undang tersebut,
hendaknya DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap
Undang-undang No. 9 Tahun 2004 jo UU. No. 5 Tahun 1986
kekuatannya tentang pasal 116, sehingga terdapat Sinkonisasi
antara Hukum material dengan Hukum Formilnya.
Semoga.
Terima kasih