際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Cahyo Hasanudin, M.Pd.
Beberapa Masalah
Kritik Sastra Indonesia Modern
Pertemuan ke-12
A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
Masalah pertama tidak sesuainya karya
sastra dengan dasar kritik sastra atau
kriteria untuk menyaring karya sastra yang
hendak diterbitkan, yaitu dasar kritik
pragmatik yang merupakan aturan Balai
Pustaka. Contohnya kasus Salah Asuhan
dan Belenggu
Masalah kedua, pada periode Pujangga
Baru ada masalah perbedaan dasar
A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
Kritik sastra untuk menciptakan karya
sastra. Yaitu seni untuk seni, seni
bertendens, dan seni untuk rakyat
Pada akhir tahun 1940-an, masuklah paham
humanisme universal dalam seni dan sastra
Indonesia. Yaitu sastra borjuis-patriotik
(Pramoedya Ananta Toer)
Pada awal tahun 1950-an ada masalah
krisis kesusastraan karena pada awal
A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
tahun1950-an itu dianggap tidak ada karya-
karya sastra yang bernilai sastra tinggi
Pada periode 1950-1965 tokoh-tokoh sastra
Lekra membuat serangan terhadap karya
sastra dan sastrawan di luar Lekra secara
gencar, yaitu tentang Tenggelamnya Kapal
van der Wijck roman Hamka
Pada paro kedua tahun 1960-an, timbul
pula masalah khusus dalam kritik sastra
A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
dengan dimuatnya cerpen Ki Pandjikusmin
yang berjudul Langit Makin Mendung
dalam majalah sastra
Pada paro kedua tahun 1960-an s.d. 1975
terjadi perdebatan dalam bidang metode
(teori kritik sastra) antara pengikut kritik
sastra ilmiah (kritik objektif) yang dikenal
sebagai kritik analitik dengan pengikut
kritik sastra metode Ganzheit.
A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
Pada awal tahun 1970-an, terjadi
ketidakpuasan para penyair muda terhadap
sajak-sajak dan penyair yang sudah mapan,
terutama yang berkubu di majalah Horizon.
Dengan demikian, timbul puisi Mbeling
yang dimuat dalam majalah Aktuil. Puisi
mbeling ini dipanglimai oleh Remy Sylado
(Japie Tambajong). Kemudian, Puisi
mbeling ini dikenal dengan nama puisi
lugu
A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
Pada sekitar pertengahan tahun 1980-an,
terjadilah polemik sekitar masalah sastra
kontekstual. Polemik ini dibukukan oleh
Ariel Heryanto
Pada paro kedua tahun 1980-an, timbul
masalah kritik sastra di Indonesia, terutama
dengan timbulnya karya-karya sastra yang
menunjukkan latar belakang sosial budaya
Indonesia (nusantara) yang khusus
A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
Pada tahun 1984, Subagio Sastrowardojo telah
menyatakan penolakan terhadap teori sastra
Barat (yang baru) untuk diterapkan begitu saja
(begitu saja) dalam mengkritik karya sastra
Indonesia
Pada awal tahun 1988 diadakan seminar kritik
dan teori sastra di Universitas Bung Hatta
Padang untuk mendorong terbentuknya teori
sastra dan kritik sastra yang sesuai dengan
karya sastra Indonesia sendiri.
B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Pada mulanya Abdullah S.P. menuduh
Hamka melakukan plagiat dengan bukunya
Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Tuduhan plagiat ini bukan hanya bersifat
kasus kritik sastra saja, melainkan juga
terkandung tujuan politik untuk
menjatuhkan lawan partai
Abdullah S.P. menuduh Hamka menjiplak
mentah-mentah buku Magdalaine karya
pujangga Mesir Manfaluthi yang
B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Merupakan terjemahan karya Alphonse
Car辿 (nama menurut Abdullah), pujangga
Perancis
Buku Manfaluthi dalam Bahasa Arab (cet.
Ke-11), buku Hamka (cet. Ke-7), 1958.
dikemukakannya bahwa yang dijiplak
adalah tema, isi, dan napasnya. Hamka
hanya mengganti tempat kejadian dan
tokoh-tokohnya dan menggunakan warna
setempat
B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Tuduhan yang bersifat poletis itu menjadi
semakin hebat setelah Pramoedya Ananta
Toer campur tangan menolong Abdullah
dalam membuat kerangka penelitian idea
script untuk lebih meyakinkan lagi bahwa
buku Hamka itu jiplakan mentah-mentah
Suara merdeka melontarkan bahwa Hamka
melakukan skandal besar dalam
kesusatraan dengan menjiplak karya orang
lain dan Suara Merdeka menginginkan
Hamka diadili
B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Harian Rakyat menuduh Hamka sebagai
doktor Plagiator
Hamka memberikan keterangan kepada
wartawan Berita Minggu bahwa memang ia
terpengaruh Manfuluthi, juga dalam Gema
Islam.
Hamka mengharapkan agar Tenggelamnya
Kapal van der Wijck diteliti secara ilmiah
oleh ahli sastra untuk menentukan apakah
hasil curian, saduran, atau asli secara pasti.
B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Hamka berharap dibentuk panitia
kesusatraan yang bersifat ilmiah di bawah
Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
Hamka bersedia akan memberikan
keterangan
Tuduhan plagiat itu ditolak oleh beberapa
tokoh, diantaranya H.B. Jassin, Rusjdi, Umar
Junus, Ali Audah, dan Soewardi Idris
B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Seperti dikemukakan Jassin, roman Hamka
itu bukan plagiat atau jiplakan karena
Hamka tidak hanya menerjemahkan dan
membubuhkan nama sendiri dalam
terjemahan itu, melainkan ia menciptakan
karya dengan seluruh Kepribadiannya.
Dengan demikian kasus Tenggelamnya
Kapal van der Wicjk itu menjadi masalah
hubungan intertekstual, bukan masalah
jiplakan.
C. Kasus Langit Makin Mendung
Langit Makin Mendung cerpen
Kipanjikusmin dimuat dalam majalah Sastra
No. 8, Tahun VI, Agustus 1968, hlm. 3-8,
Kemudian cerpen itu menimbulkan kasus
apa yang disebut Jassin Heboh Sastra
1968.
Heboh Sastra 1968 adalah buku Jassin
yang merupakan pertanggungjawaban
Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah
sastra atas pemuatan cerpen kipanjikusmin
C. Kasus Langit Makin Mendung
Cerita itu menimbulkan sikap pro dan
kontra di antara umat Islam dan para
sastrawan, karena pemuatan cerpen itu
majalah tersebut dilarang beredar oleh
Kejaksaan Tinggi Medan di daerah
hukumnya karena cerpen tersebut
melukiskan suatu penghinaan terhadap
abstraksi dari ke-Tuhanan serta kemuliaan
Nabi Muhammad. Cerpen tersebut
dianggap menghina agama Islam
C. Kasus Langit Makin Mendung
Atas kemarahan para alim-ulama dan umat
Islam, Kipanjikusmin secara terbuka minta
maaf kepada umat Islam tanggal 24
Oktober 1968, pukul 10.30 pagi, di gedung
Departemen Penerangan, dan pernyataan
Kipanjikusmin itu secara lengkap dimuat
dalam harian Kami, 25 Oktober 1968
C. Kasus Langit Makin Mendung
Isi cerpen itu secara ringkas sebagai berikut:
Para pansiunan nabi di sorga mengajukan
petisi kepada Tuhan untuk mengirimkan
utusan turba ke bumi. Nabi Muhammad
ditunjuk sebagai utusan. Tuhan meminta
penjelasan kepadanya untuk apa turba ke
bumi. Muhammad menerangkan hal itu sangat
penting untuk meneliti mengapa pada akhir-
akhir ini sangat sedikit manusia yang masuk
sorga. Tuhan mengemukakan bahwa dunia
C. Kasus Langit Makin Mendung
Sudah boborok sekali, maka tidak ada gunanya
ditengok. Akan tetapi, akhirnya Tuhan pun
mengizinkannya dengan menyuruh malaikat
Jibril menyertainya dan memberi tunggangan
buroq. Diadakan upacara pemberangkatan
dengan pidato Nabi Adam sebagi sesepuh ahli
sorga dan atas nama seluruh ahli sorga ia
mengharapkan agar misi turba sukses. Tujuan
utama Muhammad adalah Arab, daerah
kelahirannya. Akan tetapi, di angkasa buroq
C. Kasus Langit Makin Mendung
Ditabrak sputnik Rusia. Sputnik dan buroq
hancur, sedangkan Muhammad dan Jibrail
terpental jatuh di atas awan di atas kota
Jakarta. Jakarta tampak sebagai bagian dari
neraka.
Jibrail menerangkan seluk-beluk Jakarta
yang sudah bobrok itu kepada Muhammad,
diterangkan tentang PBR (Pemimpin Besar
Revolusi) Bung Karno sebagai nabi palsu
dengan ide nasakomnya (nasional, agama, dan
C. Kasus Langit Makin Mendung
Komunis), tentang komplotan komunis yang
hendak menjatuhkan RI dengan pembunuhan
para jenderal di Lubang Buaya, peranan RRC
dalam mendorong G30S, anjuran PBB untuk
makan jagung, sagu, dan gaplek. Oleh semua
kengerian itu, nabi lupa untuk pergi ke
Mekkah, ke negeri Arab. Jibrail dan Nabi
Muhammad menyamar menjadi burung
rajawali (burung elang) untuk melihat Jakarta
yang bobrok itu lebih dekat.
C. Kasus Langit Makin Mendung
Bur Rasuanto menanggapi bahwa cerpen
Langit Makin Mendung itu versi lain cerpen
A.A. Navis Robohnya Surau Kami. Hanya saja,
A.A. Navis berhasil mengangkat persoalan ke
dalam karya sastra bermutu tinggi, sedangkan
Kipanjikusmin tidak.
Taufik Ismail pun menyatakan bahwa Langit
Makin Mendung tidak bermutu sastra, cerpen
yang buruk. Akan tetapi, secara tidak langsung
ia menyatakan bahwa cerpen itu tidak
bermaksud menghina Tuhan dan agama Islam.
D. Kasus Pengadilan Puisi
Pengadilan puisi telah terjadi di Bandung
tanggal 8 September 1974. Sesungguhnya
Pengadilan Puisi itu adalah bentuk
seminar atau diskusi sastra yang diubah
bentuk formal-nya menjadi semacam
pengadilan, sidang pengadilan olok-olok,
untuk kelucuan agar tidak menjemukan
Pengadilan puisi itu timbul akibat
ketidakpuasan sementara sastrawan muda
terhadap kehidupan sastra, khususnya puisi
D. Kasus Pengadilan Puisi
mutakhir, pada awal tahun 1970-an. Hal ini
mirip dengan masalah adanya kriris sastra
awal tahun 1950-an. Bedanya, pada masalah
krisis sastra para ahli sastra (dan kebudayaan)
pada waktu itu menganggap ada krisis sastra
Indonesia modern karena tidak ada atau tidak
terlahir karya-karya sastra bernilai, terutama
tidak ada roman (novel) yang ditulis,
sedangkan pada pengadilan puisi para
sastrawan (penyair) muda menganggap karya-
karya mereka yang cukup bernilai tidak atau
belum diperhitungkan oleh para kritikus pada
waktu itu.
D. Kasus Pengadilan Puisi
Pengadilan puisi merupakan salah satu kasus
pemberontakan angkatan muda terhadap
angkatan tua, angkatan yang sudah mapan,
ataupun pemberontakan terhadap kemapanan
sendiri, baik dalam bidang puisi (karya sastra)
maupun bidang kritik sastra yang
mengokohkan kemapanan itu.
Pemberontakan terhadap kemapanan itu
dalam konotasinya pemberontakan terhadap
ketradisonalan atau ukuran-ukuran (penilaian)
yang mutlak karena dogmatis.
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
1. A. Teeuw
A teeuw adalah mahaguru dalam bidang
bahasa dan sastra Melayu dan Indonesia pada
Universitas Leiden (secara resmi mengakhiri
masa dinasnya tanggal 1 September 1986)
Mempelajari bahasa dan sastra Indonesia di
Universitas Utrecht dan memperoleh gelar
doktor sastra di universitas itujuga dengan
disertasi yang berjudul Bhomakavya (1946).
Jadi, menurut judul disertasinya ia adalah ahli
bahasa dan sastra Jawa Kuno.
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
1. A. Teeuw
A teeuw selalu berhubungan dengan
Indonesia(berkunjung ke Indonesia) karena
telibat berbagai aktivitas ilmiah dalam
rangka kersa sama Indonesia-Belanda. Di
antaranya memberi penataran sastra pada
dosen-dosen Indonesia dan memberi kuliah
sastra pada program S-2. aktivitas kuliah
sastranya itu menghasilkan buku teori
sastra berjudul Sastra dan Ilmu Sastra
(1984)
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
1. A. Teeuw
Dalam Pokok dan Tokoh, kritik Teeuw
berjenis impresionistik, judisial, dan
cenderung kepada tipe ekspresif meskipun
karya sastranya sendiri juga dipentingkan.
Biasanya dalam pembicaraan roman secara
singkat dibuat dahulu ringkasan cerita,
sesudah itu baru dibuat komentar dan
penilaian singkat. Misalnya tampak pada
kritiknya kepada Layar Terkembang
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
1. A. Teeuw
Dalam menilai ia membandingkan karya
sastra yang ditinjaunya itu dengan karya
sastra lain, baik karya pengarang itu sendiri
maupun karya pengarang lain
Kriteria penilaiannya dengan dasar orientasi
mimetik, sesuai dengan aliran realisme.
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
2. Harry Aveling
Harry Aveling alias Swami Anand Haridas.
Paling sedikit kehadiran tulisannya di
Indonesia telah mendorong diadakannya
Pengadilan Puisi, setidak-tidaknya
menjadi sandaran bagi dakwaan Penuntut
Umum, di Bandung pada tanggal 8
September 1974
Ia berada di Indonesia pada bulan
Desember 1969 sampai Juni 1970.
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
2. Harry Aveling
Selama tinggal di Indonesia dan sesudahnya
dia banyak menulis kritik sastra (terapan)
dan esai tentang kesusastraan Indonesia
Modern, di antaranya dimuat dalam
majalah Horizon, Budaya Jaya, dan Basis
Sebagian tulisannya itu kemudian
dibukukan di bawah nama barunya Swami
Anand Haridas, berjudul Sastra Indonesia:
Terlibat atau Tidak? Diterbitkan oleh
penerbit Kanisius Yogyakarta, 1986
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
2. Harry Aveling
Dalam sampul bukunya di atas, tertulis ia
lahir di Sydney Australia 30 Maret 1942.
Lulus dari Universitas Sydney tahun 1966,
menurut pengakuannya ia mendapat gelar
M.A. Di bidang kesusastraan Indonesia dan
telah mengajar kesusastraan Indonesia
sejak tahun 1963
Pernah berkunjung ke Indonesia dan
Malaysia sebelum tahun 1969
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
2. Harry Aveling
Ia menerjemahkan karya-karya sastra Indonesiake
dalam bahasa Inggris. Di antaranya adalah
1. Contemporary Indonesian Poetry (1975)
2. Rendra Ballads and Blues: Poems Translated
from Indonesian
3. Kapai-kapai drama Arifin C. Noer (Moths, 1974
4. Ziarah novel Iwan Simatupang (The Pilgrim,
1975) dan Kooong (The Story of Pigeon)
5. Godlob kumpulan cerpen Danarto
(Abracadabra, 1978)
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
2. Harry Aveling
Ia datang dari latar belakang tradisi kritik
yang pragmatik, kurang emosional,
cenderung ke arah sinisme dan sekaligus
juga ke arah moral Inggris dan berlatar
belakang pula praktik-praktik kritik yang
didapatnya dari new criticism (karya sastra
baru dari kaum New Critics)
Corak dan jenis kritiknya bersifat akademik
E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia
Modern
3. Anthony H. Johns
Ia datang dari latar belakang tradisi kritik
yang pragmatik, kurang emosional,
cenderung ke arah sinisme dan sekaligus
juga ke arah moral Inggris dan berlatar
belakang pula praktik-praktik kritik yang
didapatnya dari new criticism (karya sastra
baru dari kaum New Critics)
Corak dan jenis kritiknya bersifat akademik

More Related Content

8. beberapa masalah kritik sastra indonesia modern

  • 1. Cahyo Hasanudin, M.Pd. Beberapa Masalah Kritik Sastra Indonesia Modern Pertemuan ke-12
  • 2. A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra Indonesia Modern Masalah pertama tidak sesuainya karya sastra dengan dasar kritik sastra atau kriteria untuk menyaring karya sastra yang hendak diterbitkan, yaitu dasar kritik pragmatik yang merupakan aturan Balai Pustaka. Contohnya kasus Salah Asuhan dan Belenggu Masalah kedua, pada periode Pujangga Baru ada masalah perbedaan dasar
  • 3. A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra Indonesia Modern Kritik sastra untuk menciptakan karya sastra. Yaitu seni untuk seni, seni bertendens, dan seni untuk rakyat Pada akhir tahun 1940-an, masuklah paham humanisme universal dalam seni dan sastra Indonesia. Yaitu sastra borjuis-patriotik (Pramoedya Ananta Toer) Pada awal tahun 1950-an ada masalah krisis kesusastraan karena pada awal
  • 4. A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra Indonesia Modern tahun1950-an itu dianggap tidak ada karya- karya sastra yang bernilai sastra tinggi Pada periode 1950-1965 tokoh-tokoh sastra Lekra membuat serangan terhadap karya sastra dan sastrawan di luar Lekra secara gencar, yaitu tentang Tenggelamnya Kapal van der Wijck roman Hamka Pada paro kedua tahun 1960-an, timbul pula masalah khusus dalam kritik sastra
  • 5. A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra Indonesia Modern dengan dimuatnya cerpen Ki Pandjikusmin yang berjudul Langit Makin Mendung dalam majalah sastra Pada paro kedua tahun 1960-an s.d. 1975 terjadi perdebatan dalam bidang metode (teori kritik sastra) antara pengikut kritik sastra ilmiah (kritik objektif) yang dikenal sebagai kritik analitik dengan pengikut kritik sastra metode Ganzheit.
  • 6. A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra Indonesia Modern Pada awal tahun 1970-an, terjadi ketidakpuasan para penyair muda terhadap sajak-sajak dan penyair yang sudah mapan, terutama yang berkubu di majalah Horizon. Dengan demikian, timbul puisi Mbeling yang dimuat dalam majalah Aktuil. Puisi mbeling ini dipanglimai oleh Remy Sylado (Japie Tambajong). Kemudian, Puisi mbeling ini dikenal dengan nama puisi lugu
  • 7. A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra Indonesia Modern Pada sekitar pertengahan tahun 1980-an, terjadilah polemik sekitar masalah sastra kontekstual. Polemik ini dibukukan oleh Ariel Heryanto Pada paro kedua tahun 1980-an, timbul masalah kritik sastra di Indonesia, terutama dengan timbulnya karya-karya sastra yang menunjukkan latar belakang sosial budaya Indonesia (nusantara) yang khusus
  • 8. A. Masalah-Masalah Khusus dalam Kritik Sastra Indonesia Modern Pada tahun 1984, Subagio Sastrowardojo telah menyatakan penolakan terhadap teori sastra Barat (yang baru) untuk diterapkan begitu saja (begitu saja) dalam mengkritik karya sastra Indonesia Pada awal tahun 1988 diadakan seminar kritik dan teori sastra di Universitas Bung Hatta Padang untuk mendorong terbentuknya teori sastra dan kritik sastra yang sesuai dengan karya sastra Indonesia sendiri.
  • 9. B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck Pada mulanya Abdullah S.P. menuduh Hamka melakukan plagiat dengan bukunya Tenggelamnya Kapal van der Wijck Tuduhan plagiat ini bukan hanya bersifat kasus kritik sastra saja, melainkan juga terkandung tujuan politik untuk menjatuhkan lawan partai Abdullah S.P. menuduh Hamka menjiplak mentah-mentah buku Magdalaine karya pujangga Mesir Manfaluthi yang
  • 10. B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck Merupakan terjemahan karya Alphonse Car辿 (nama menurut Abdullah), pujangga Perancis Buku Manfaluthi dalam Bahasa Arab (cet. Ke-11), buku Hamka (cet. Ke-7), 1958. dikemukakannya bahwa yang dijiplak adalah tema, isi, dan napasnya. Hamka hanya mengganti tempat kejadian dan tokoh-tokohnya dan menggunakan warna setempat
  • 11. B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck Tuduhan yang bersifat poletis itu menjadi semakin hebat setelah Pramoedya Ananta Toer campur tangan menolong Abdullah dalam membuat kerangka penelitian idea script untuk lebih meyakinkan lagi bahwa buku Hamka itu jiplakan mentah-mentah Suara merdeka melontarkan bahwa Hamka melakukan skandal besar dalam kesusatraan dengan menjiplak karya orang lain dan Suara Merdeka menginginkan Hamka diadili
  • 12. B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck Harian Rakyat menuduh Hamka sebagai doktor Plagiator Hamka memberikan keterangan kepada wartawan Berita Minggu bahwa memang ia terpengaruh Manfuluthi, juga dalam Gema Islam. Hamka mengharapkan agar Tenggelamnya Kapal van der Wijck diteliti secara ilmiah oleh ahli sastra untuk menentukan apakah hasil curian, saduran, atau asli secara pasti.
  • 13. B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hamka berharap dibentuk panitia kesusatraan yang bersifat ilmiah di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Hamka bersedia akan memberikan keterangan Tuduhan plagiat itu ditolak oleh beberapa tokoh, diantaranya H.B. Jassin, Rusjdi, Umar Junus, Ali Audah, dan Soewardi Idris
  • 14. B. Kasus Tenggelamnya Kapal van der Wijck Seperti dikemukakan Jassin, roman Hamka itu bukan plagiat atau jiplakan karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan seluruh Kepribadiannya. Dengan demikian kasus Tenggelamnya Kapal van der Wicjk itu menjadi masalah hubungan intertekstual, bukan masalah jiplakan.
  • 15. C. Kasus Langit Makin Mendung Langit Makin Mendung cerpen Kipanjikusmin dimuat dalam majalah Sastra No. 8, Tahun VI, Agustus 1968, hlm. 3-8, Kemudian cerpen itu menimbulkan kasus apa yang disebut Jassin Heboh Sastra 1968. Heboh Sastra 1968 adalah buku Jassin yang merupakan pertanggungjawaban Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah sastra atas pemuatan cerpen kipanjikusmin
  • 16. C. Kasus Langit Makin Mendung Cerita itu menimbulkan sikap pro dan kontra di antara umat Islam dan para sastrawan, karena pemuatan cerpen itu majalah tersebut dilarang beredar oleh Kejaksaan Tinggi Medan di daerah hukumnya karena cerpen tersebut melukiskan suatu penghinaan terhadap abstraksi dari ke-Tuhanan serta kemuliaan Nabi Muhammad. Cerpen tersebut dianggap menghina agama Islam
  • 17. C. Kasus Langit Makin Mendung Atas kemarahan para alim-ulama dan umat Islam, Kipanjikusmin secara terbuka minta maaf kepada umat Islam tanggal 24 Oktober 1968, pukul 10.30 pagi, di gedung Departemen Penerangan, dan pernyataan Kipanjikusmin itu secara lengkap dimuat dalam harian Kami, 25 Oktober 1968
  • 18. C. Kasus Langit Makin Mendung Isi cerpen itu secara ringkas sebagai berikut: Para pansiunan nabi di sorga mengajukan petisi kepada Tuhan untuk mengirimkan utusan turba ke bumi. Nabi Muhammad ditunjuk sebagai utusan. Tuhan meminta penjelasan kepadanya untuk apa turba ke bumi. Muhammad menerangkan hal itu sangat penting untuk meneliti mengapa pada akhir- akhir ini sangat sedikit manusia yang masuk sorga. Tuhan mengemukakan bahwa dunia
  • 19. C. Kasus Langit Makin Mendung Sudah boborok sekali, maka tidak ada gunanya ditengok. Akan tetapi, akhirnya Tuhan pun mengizinkannya dengan menyuruh malaikat Jibril menyertainya dan memberi tunggangan buroq. Diadakan upacara pemberangkatan dengan pidato Nabi Adam sebagi sesepuh ahli sorga dan atas nama seluruh ahli sorga ia mengharapkan agar misi turba sukses. Tujuan utama Muhammad adalah Arab, daerah kelahirannya. Akan tetapi, di angkasa buroq
  • 20. C. Kasus Langit Makin Mendung Ditabrak sputnik Rusia. Sputnik dan buroq hancur, sedangkan Muhammad dan Jibrail terpental jatuh di atas awan di atas kota Jakarta. Jakarta tampak sebagai bagian dari neraka. Jibrail menerangkan seluk-beluk Jakarta yang sudah bobrok itu kepada Muhammad, diterangkan tentang PBR (Pemimpin Besar Revolusi) Bung Karno sebagai nabi palsu dengan ide nasakomnya (nasional, agama, dan
  • 21. C. Kasus Langit Makin Mendung Komunis), tentang komplotan komunis yang hendak menjatuhkan RI dengan pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, peranan RRC dalam mendorong G30S, anjuran PBB untuk makan jagung, sagu, dan gaplek. Oleh semua kengerian itu, nabi lupa untuk pergi ke Mekkah, ke negeri Arab. Jibrail dan Nabi Muhammad menyamar menjadi burung rajawali (burung elang) untuk melihat Jakarta yang bobrok itu lebih dekat.
  • 22. C. Kasus Langit Makin Mendung Bur Rasuanto menanggapi bahwa cerpen Langit Makin Mendung itu versi lain cerpen A.A. Navis Robohnya Surau Kami. Hanya saja, A.A. Navis berhasil mengangkat persoalan ke dalam karya sastra bermutu tinggi, sedangkan Kipanjikusmin tidak. Taufik Ismail pun menyatakan bahwa Langit Makin Mendung tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk. Akan tetapi, secara tidak langsung ia menyatakan bahwa cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan dan agama Islam.
  • 23. D. Kasus Pengadilan Puisi Pengadilan puisi telah terjadi di Bandung tanggal 8 September 1974. Sesungguhnya Pengadilan Puisi itu adalah bentuk seminar atau diskusi sastra yang diubah bentuk formal-nya menjadi semacam pengadilan, sidang pengadilan olok-olok, untuk kelucuan agar tidak menjemukan Pengadilan puisi itu timbul akibat ketidakpuasan sementara sastrawan muda terhadap kehidupan sastra, khususnya puisi
  • 24. D. Kasus Pengadilan Puisi mutakhir, pada awal tahun 1970-an. Hal ini mirip dengan masalah adanya kriris sastra awal tahun 1950-an. Bedanya, pada masalah krisis sastra para ahli sastra (dan kebudayaan) pada waktu itu menganggap ada krisis sastra Indonesia modern karena tidak ada atau tidak terlahir karya-karya sastra bernilai, terutama tidak ada roman (novel) yang ditulis, sedangkan pada pengadilan puisi para sastrawan (penyair) muda menganggap karya- karya mereka yang cukup bernilai tidak atau belum diperhitungkan oleh para kritikus pada waktu itu.
  • 25. D. Kasus Pengadilan Puisi Pengadilan puisi merupakan salah satu kasus pemberontakan angkatan muda terhadap angkatan tua, angkatan yang sudah mapan, ataupun pemberontakan terhadap kemapanan sendiri, baik dalam bidang puisi (karya sastra) maupun bidang kritik sastra yang mengokohkan kemapanan itu. Pemberontakan terhadap kemapanan itu dalam konotasinya pemberontakan terhadap ketradisonalan atau ukuran-ukuran (penilaian) yang mutlak karena dogmatis.
  • 26. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 1. A. Teeuw A teeuw adalah mahaguru dalam bidang bahasa dan sastra Melayu dan Indonesia pada Universitas Leiden (secara resmi mengakhiri masa dinasnya tanggal 1 September 1986) Mempelajari bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Utrecht dan memperoleh gelar doktor sastra di universitas itujuga dengan disertasi yang berjudul Bhomakavya (1946). Jadi, menurut judul disertasinya ia adalah ahli bahasa dan sastra Jawa Kuno.
  • 27. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 1. A. Teeuw A teeuw selalu berhubungan dengan Indonesia(berkunjung ke Indonesia) karena telibat berbagai aktivitas ilmiah dalam rangka kersa sama Indonesia-Belanda. Di antaranya memberi penataran sastra pada dosen-dosen Indonesia dan memberi kuliah sastra pada program S-2. aktivitas kuliah sastranya itu menghasilkan buku teori sastra berjudul Sastra dan Ilmu Sastra (1984)
  • 28. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 1. A. Teeuw Dalam Pokok dan Tokoh, kritik Teeuw berjenis impresionistik, judisial, dan cenderung kepada tipe ekspresif meskipun karya sastranya sendiri juga dipentingkan. Biasanya dalam pembicaraan roman secara singkat dibuat dahulu ringkasan cerita, sesudah itu baru dibuat komentar dan penilaian singkat. Misalnya tampak pada kritiknya kepada Layar Terkembang
  • 29. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 1. A. Teeuw Dalam menilai ia membandingkan karya sastra yang ditinjaunya itu dengan karya sastra lain, baik karya pengarang itu sendiri maupun karya pengarang lain Kriteria penilaiannya dengan dasar orientasi mimetik, sesuai dengan aliran realisme.
  • 30. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 2. Harry Aveling Harry Aveling alias Swami Anand Haridas. Paling sedikit kehadiran tulisannya di Indonesia telah mendorong diadakannya Pengadilan Puisi, setidak-tidaknya menjadi sandaran bagi dakwaan Penuntut Umum, di Bandung pada tanggal 8 September 1974 Ia berada di Indonesia pada bulan Desember 1969 sampai Juni 1970.
  • 31. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 2. Harry Aveling Selama tinggal di Indonesia dan sesudahnya dia banyak menulis kritik sastra (terapan) dan esai tentang kesusastraan Indonesia Modern, di antaranya dimuat dalam majalah Horizon, Budaya Jaya, dan Basis Sebagian tulisannya itu kemudian dibukukan di bawah nama barunya Swami Anand Haridas, berjudul Sastra Indonesia: Terlibat atau Tidak? Diterbitkan oleh penerbit Kanisius Yogyakarta, 1986
  • 32. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 2. Harry Aveling Dalam sampul bukunya di atas, tertulis ia lahir di Sydney Australia 30 Maret 1942. Lulus dari Universitas Sydney tahun 1966, menurut pengakuannya ia mendapat gelar M.A. Di bidang kesusastraan Indonesia dan telah mengajar kesusastraan Indonesia sejak tahun 1963 Pernah berkunjung ke Indonesia dan Malaysia sebelum tahun 1969
  • 33. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 2. Harry Aveling Ia menerjemahkan karya-karya sastra Indonesiake dalam bahasa Inggris. Di antaranya adalah 1. Contemporary Indonesian Poetry (1975) 2. Rendra Ballads and Blues: Poems Translated from Indonesian 3. Kapai-kapai drama Arifin C. Noer (Moths, 1974 4. Ziarah novel Iwan Simatupang (The Pilgrim, 1975) dan Kooong (The Story of Pigeon) 5. Godlob kumpulan cerpen Danarto (Abracadabra, 1978)
  • 34. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 2. Harry Aveling Ia datang dari latar belakang tradisi kritik yang pragmatik, kurang emosional, cenderung ke arah sinisme dan sekaligus juga ke arah moral Inggris dan berlatar belakang pula praktik-praktik kritik yang didapatnya dari new criticism (karya sastra baru dari kaum New Critics) Corak dan jenis kritiknya bersifat akademik
  • 35. E. Para Kritikus Asing dalam Kesusastraan Indonesia Modern 3. Anthony H. Johns Ia datang dari latar belakang tradisi kritik yang pragmatik, kurang emosional, cenderung ke arah sinisme dan sekaligus juga ke arah moral Inggris dan berlatar belakang pula praktik-praktik kritik yang didapatnya dari new criticism (karya sastra baru dari kaum New Critics) Corak dan jenis kritiknya bersifat akademik