Dokumen tersebut membahas hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa. Ia menjelaskan bahwa IQ bukan satu-satunya faktor yang menentukan prestasi belajar, tetapi kecerdasan emosional juga berperan penting dan dapat melengkapi IQ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa SMA Negeri 1 Susukan.
1 of 5
Download to read offline
More Related Content
A
1. PENGARUH
A. Latar belakang masalah
Rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, merupakan salah
satu dari permasalahan pendidikan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, baik dengan
pengembangan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran,
sarana pendidikan serta perbaikan manajemen sekolah. Dengan berbagai usaha ini ternyata
belum juga menunjukan peningkatan yang signifikan.
Pendidikan menurut UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka
pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif
sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil
dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih
prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting,
karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari
2. belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa
dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk
mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga
dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan
penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui
sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah:
Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di
dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-
kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak
orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus
memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial
yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar
yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah
kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan
penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan
objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang
tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa
yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif
rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih
3. prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya
faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi.
Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi
kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya
adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri
sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati
serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat
berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang
disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan
antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002).
Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model
pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan
emotional intelligence siswa .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis
otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa
penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat
menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir,
mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas,
khususnya dalam kalangan remaja
(Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami
keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti
4. pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada
menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak
orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini
menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang
mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai
dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan
hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa
kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with
intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion
and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati
dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan
akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis,
rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan
dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan
emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di
atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka
cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak
mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus
5. asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ
rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Pada penelitian ini, penulis mengunakan sampel pada SMA Negeri 1 Susukan, yang
berada pada peringkat 16 se-DKI, berdasarkan nilai rata-rata nilai ulangan umum murni cawu 2
kelas II tahun ajaran 2001/2002.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri siswa sebagai salah satu faktor
penting untuk meraih prestasi akademik, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik
untuk meneliti :Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar pada Siswa
Kelas II SMU Lab School Jakarta Timur.
METODE PENELITIAN
Peneltian yang digunakan adalah penelitian expostfacto jenis correlation study pendekatan
kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Susukan pada siswa kelas XI IPS tahun
ajaran 2014/2015. Penelitian dilaksanakan selama 1 bulan yakni pada bulan November 2014.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA N 1 Susukan Kabupaten Cirebon
sebanyak 280 siswa. Sampel yang diambil sebanyak 80 siswa dengan teknik Simple Random
Sampling. Data dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Uji persaratan analisis menggunakan
uji normalitas dan uji homogenitas. Metode analisis yang digunakan adalah product moment,
Kendall Tau dan Koefisien Konkordansi Kendall (Kendall W.)
Hasil Penelitian dan Pembahasan