1. Ada suatu fakta yang mengejutkan! Di Amerika Serikat, ketakutan berbicara di depan umum
menduduki rangking yang lebih tinggi dari pada takut kepada ketinggian. Berbicara di depan
umum bahkan dianggap lebih menakutkan dari pada kematian. Bagi kebanyakan orang,
berbicara di depan umum memang sangat menakutkan. Mereka tidak percaya diri untuk
berbicara di depan umum. Orang yang kesehariannya cerewet luar biasa, dan kalau berbicara
hampir-hampir tidak bisa dihentikan, dalam banyak kasus tidak mampu berbicara di depan
umum. Begitu menakutkankah berbicara di depan umum?
Banyak orang beranggapan bahwa kemampuan berbicara di depan umum adalah bakat
alam. Ada orang yang memang berbakat dan ada orang yang tidak berbakat. Orang-orang ini
beranggapan bahwa para pembicara terkenal sudah dari kecil pandai berbicara di depan
umum. Namun, fakta menunjukkan lain. Banyak pembicara hebat yang sebelumnya takut
berbicara di depan umum. Mereka menjadi hebat karena belajar serius, mengamati pembicara
sukses, mencobanya, dan belajar dari kegagalan maupun keberhasilan.
Tidak hanya sebagai pembicara, dalam kehidupan secara umum juga banyak orang sukses
karena mencoba, berusaha, dan belajar dari pengalamannya. Jadi di sini, tampaknya kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa untuk menjadi pembicara hebat kita bisa belajar. Nothing is
impossible. Every thing can be learned. Kalau begitu, untuk menjadi percaya diri juga bisa
dipelajari? Iya benar. Untuk itu, mari kita pelajari bagaimana supaya kita percaya diri (PeDe)
saat berbicara di depan umum.
Mengapa Tidak Pede?
Orang yang tidak pede adalah orang yang memiliki keyakinan bahwa mereka tidak akan
mampu mengerjakan dengan baik sesuatu yang mereka akan kerjakan, sedangkan kondisi
sebenarnya tidaklah seburuk itu. Mereka juga merasa bahwa mereka tidak tepat pada suatu
kondisi dan situasi tertentu. Dengan kata lain, orang yang tidak pedeadalah orang yang
menilai dirinya sendiri lebih rendah dari situasi sebenarnya (down grade, undermine). Jadi,
orang yang tidak pedetidak mampu secara objektif menilai dirinya sendiri.
Orang yang tidak pedebiasanya memiliki konsepsi yang keliru tentang diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan. Mereka melihat keberadaan manusia seperti mass production yang
manghasilkan produk dengan kualitas yang berbeda-beda. Ada kualitas 1 (kw1), kw2, dan
seterusnya, bahkan ada produk yang dianggap rusak (defect).
Pandangan ini jelas keliru. Manusia tercipta dengan keunikan sendiri-sendiri. Bisa saja
seseorang lebih unggul di satu sisi, tetapi tidak akan ada manusia yang unggul di segala hal.
Setiap manusia memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan manusia bisa menjadi
kekurangan, dan sebaliknya, kekurangannya bisa juga menjadi kelebihannya.
Kearifan manusia dalam memosisikan dirinya sendiri akan berdampak pada bagaimana
manusia memosisikan orang lain. Kalau diri sendiri adalah unik, maka perbedaan haruslah
dipandang sebagai keunikan pula. Orang lain juga memiliki keunikan sendiri. Manusia satu
dengan lainnya tidaklah harus sama, karena masing-masing memiliki keunikan sendiri. Nah,
kalau sudah begini, maka sudah tidak pada tempatnya lagi kita memandang orang lain serba
lebih dari kita, dan kita serba kurang dari mereka.
Yang ada adalah kita memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda, tidak harus sama
antara satu orang dengan orang lain. Jadi, tidak perlu kita melihat orang lain sebagai standar
2. tunggal. Boleh saja kita menempatkan orang lain sebagai benchmark (bandingan), namun itu
semua dalam kerangka tidak untuk menghakimi diri sendiri bahwa orang lain selalu lebih
baik dari kita.
Lingkungan juga harus kita terjemahkan dengan bijak. Tuhan menciptakan alam dan
seisinya untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan si A saja, atau si B saja.
Dengan demikian, tidak pada tempatnya kalau kita selalu menyalahkan lingkungan dan
keadaan sebagai kambing hitam atas kesalahan kita dalam menempatkan diri sendiri maupun
orang lain.
Keadaan tampaknya tidak memihak pada kita, itu kata-kata yang sering kita dengar
untuk menjustifikasi bahwa sudah pada tempatnyalah kalau kita tidak pedepada suatu
lingkungan tertentu. Ini keliru. Kitalah yang harus bisa mengendalikan lingkungan, bukan
kita yang dikendalikan oleh lingkungan. Hal ini bukan berarti lingkungan harus menuruti apa
saja yang kita mau. Bukan begitu. Ini berkaitan dengan bagaimana kita harus merespon
keadaan pada suatu lingkungan.
Sebagai contoh, seseorang dari golongan ekonomi lemah harus bekerja di suatu
lingkungan di mana hampir semua orang yang ada di sana adalah dari golongan ekonomi
kuat. Pada keadaan seperti ini orang yang tidak pedememiliki alasan untuk minder, sehingga
berikutnya semakin kuatlah ketidakpedean mereka. Tetapi, mungkin ada orang yang
merespon dengan cara lain. Saat seseorang yang miskin harus berada di lingkungan orang-
orang kaya, bisa saja orang miskin tersebut justru bersyukur mendapatkan kesempatan untuk
berada di antara orang-orang kaya.
Nah, di sinilah pentingnya kita mengasah kemampuan dalam menterjemahkan keadaan.
Yang jelas, hal ini bisa dilatih dan dipelajari. Suatu keadaan yang sama apabila diterjemahkan
dengan cara berbeda bisa menghasilkan hal yang berbeda pula.
Dalam suatu training untuk meningkatkan kepercayaan diri saya meminta semua peserta
menuliskan sebanyak-banyaknya hal-hal yang bisa dijadikan alasan yang jitu sehingga kita
tidak pede. Setelah peserta memiliki daftar alasan jitu sehingga kita layak untuk menjadi
tidak pede, para peserta saya minta untuk menerjemahkan hal tersebut dengan cara yang
berbeda sehingga yang sedianya menjadikan tidak pede agar diputar menjadi pede. Dan
hal tersebut saya minta untuk dilakukan terus-menerus kapan pun dan di mana pun saat kita
tidak pede.
Ini suatu keterampilan, sehingga semakin sering dan semakin terlatih kita dalam
melakukan hal tersebut, semakin kita memiliki amunisi alasan yang cukup agar kita menjadi
pede. Mau mencoba latihan ini? Silakan. Rasakan perubahannya. Selamat
mencoba.[ap](Bersambung).
* Agung Praptapa adalah seorang dosen, pengelola Program Pascasarjana Manajemen
di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga Direktur AP Consulting, yang
memberikan jasa konsultasi bisnis dan training di bidang personal and organizational
development. Alumni UNDIP, dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana ke
Amerika dan Australia, di University of Central Arkansas dan University of
Wollongong. Mengikuti training dan mempresentasikan karyanya di berbagai
universitas di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk di Ohio State University,
Kent State University, Harvard University, dan University of London. Kolumnis tetap
3. di andaluarbiasa.com. Tulisan ini untuk mendukung training Empowering Your
Confidence in Public Speaking. Website: www.praptapa.com, pos-el:
praptapa[at]yahoo[dot]com.