Konsep pendidikan Al-Ghazali memberikan penekanan pada pendidikan yang mengarahkan peserta didik untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan tujuan membentuk insan kamil. Guru diharapkan dapat memberikan teladan yang baik dan membimbing peserta didik secara bertahap, sedangkan kurikulum mencakup ilmu-ilmu agama dan kebudayaan yang diperbolehkan.
2. LATAR BELAKANG
Negeri- negeri muslim menghadapi masalah
keterbelakangan ekonomi dan pendidikan
Peristiwa ini juga terjadi pada masa hidup Al-
Ghazali
Konsep pendidikan Al-Ghazali sarat akan nilai-
nilai religious, filosofi, psikologi dan sosiologi
Kontraversi pemikiran Al-Ghazali
3. Tujuan pembahasan
Mendeskripsikan riwayat singkat Al-Ghazali
Menganalisis dan membandingkan konsep pendidikan Al-
Ghazali
Menemukan relevansi pemikiran al-Ghazali di era
sekarang
4. Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali yang lahir pada tahun 450 H (1058 M) di
Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat Thus di
Khurasan (Iran). Sebutan Al-Ghazali diambil dari kata
Ghazalah yakni nama kampung kelahiran Al-Ghazali.
Sebutan tesebut kadang-kadang di ucapkan dengan Al-
Ghazzali (dua z), istilah ini berakar kata pada Ghazal artinya
tukang pemintal benang sebab pekerjaan ayah Al-Ghazali
adalah memintal benang wool dan menjualnya di pasar.
5. Orang tuanya juga terkenal pencinta ilmu, Amat disayangkan ajalnya tidak
memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan
anaknya .
Sebelum meninggal ia masih sempat menitipkan Al-Ghazali bersama
saudaranya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi untuk dididik dan
dibimbingnya dengan baik
Tetapi karena warisan yang ditinggalkan untuk bekal hidup kedua anak itu
habis, dan sang sufi yang berkehidupan sangat sederhana tak mampu
memberi tambahan nafkah, maka sang sufi menyerahkan Al-Ghazali dan
adiknya ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para
muridnya.
6. Di kota Thus Al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj
seorang guru sufi kenamaan pada masa itu, dan disini pula
sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan
spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi seorang
ulama besar yang berpengaruh dalam perkembangan
pemikiran Islam. Menurut Mustofa (1999:215) pada masa
kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu di negerinya sendiri
pada Syeh Ahmad bin Muhammad Ar-Rasikani, kemudian
belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di Negeri Jurjan.
Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia
berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain.
7. Menteri Nizam Al-Muluk akhirnya melantik
Al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M,
sebagai guru besar (profesor) pada
perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di
kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian
mengajar di perguruan tinggi selama empat
tahun. Ia mendapat perhatian yang serius
dari para mahasiswa, baik yang datang dari
dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia
menjauhkan diri dari keramaian.
8. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali sebagai seorang yang ahli pikir Islam yang dalam
ilmunya banyak menulis buku-buku yang meliputi berbagai
lapangan ilmu pengetahuan, antara lain filsafat, ilmu kalam,
fiqh, tafsir, taSawuf, akhlak, dan otobiografinya. Di dalam
Mukkaddimah kitab Ihya Ulum ad-Din , Dr. Baedhowi
Tabhana yang dikutip oleh Zainuddin, dkk (1991:19-21),
menulis hasil karya-karya al-Ghazali yang disusun menurut
kelompok ilmu pengetahuan sebagai berikut:
9. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam
Maqasid al-Falasifah (Tujuan para filosof)
Tahaful al-Falasifah (Kerancuan para filosof)
Al-Iqtishad fi al-Itiqad (Moderasi dalam aqidah)
Al-Maqashidul Asna fi Maani Asmillah al-Husna (Arti nama-nama Allah
yang husna)
Faishatul Tafriqoh bainal Islam wa az-Zindiqi (Perbedaan antara Islam
dan Zindiq)
Al-Qishahul al-Muataqim (Jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)
Al-Mustadiri (Penjelasan-penjelasan)
Hujjatul Haq (Argumen yang benar)
Dll.
10. Kelompok Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih
1. Al-Bastih (Pembebasan yang mendalam)
2. Al-wasith (Perantara)
3. Al-wajiz (Surat-surat wasiat)
4. Khulashatul Mukhtashar (Intisar ringkasan karangan)
5. Al-Musthaf (Pilihan)
6. Al-Manqhul Adat (Adat kebisaaan)
7. Syifakhul alil fi Qiyas wa Talim (Penyembuhan yang baik
dalam qiyas dan talil)
8. Adz-Dzariah ila Makarimis Syariah (Jalan kepada
kemuliaan syariah
11. Kelompok Ilmu Tasawuf
Ihya Ulum ad-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
Mizanul Amal (Timbangan amal)
Kimiyaus Saadah (Kimia kabahagiaan)
Misykatul Anwar (Relung-relung cahaya)
Minhajul Abidin (Pedoman beribadah)
Al-Ain is fi Wahdah (Lembut-lembut dalam kesatuan)
Al-Qurbah Ilallahi Azza Wazzala (Mendekatkan diri kepada Allah)
Akhlak al-Abrar wan Najat minal Asrar (Akhlak yang luhur
menyelamatkan dari keburukan)
12. Kelompok Tafsir
Yaaquutut Tawil fi Tafsirit Tanzil
(Metodologi tawil di dalam tafsir yang
diturunkan)
Jawahir al-Quran (Rahasia yang
terkandung dalam al-Quran)
13. Konsep pendidikan
Proses internalisasi ilmu pengehuan dan pendidikan merupakan sarana utama
untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan taqarub ila al-Allah. Oleh
karena itu, pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri.
Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat.
Konsep pendidikan Al-Ghazali adalah setiap usaha transformasi nilai-nilai yang
sesuai dengan ajaran Islam dengan meletakkan al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai
sumber dan acuan utama
14. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan jangka pendek
Tujuan pendidikan jangka pendek yang dimaksud adalah mempersiapkan peserta
didik agar kelak di masa depannya mereka mampu melaksanakan tugas-tugas mulia
di dunia dan dengan itu mereka mampu mengeyam kebahagiaan dalam
kehidupannya di dunia. Dalam tujuan ini juga disinggung-singgung tentang pangkat,
kemegahan, penghormatan dan popularitas.
Berkenaan dengan tujuan jangka pendek, al-Ghazali menempatkan sebagai tujuan
sekunder yang harus direalisasikan
15. Tujuan jangka panjang
Maka tujuan jangka panjang pendidikan Islam
sebagai idealitas yang harus diwujudkan, menurut
al-Ghazali adalah membentuk setiap individu
peserta didik untuk menjadi insan kamil dan
berakhlak mulia agar setiap individu tersebut
mampu mengenal kapasitas dirinya sebagai
makhluk, sehingga ia dapat mendekatkan diri
kepada Allah.
16. Guru (pendidik)
al-Ghazali mempergunakan istilah
pendidikan dengan berbagai kata seperti:
al-Mualimin (guru), al-Mudarris
(pengajar) dan al-Walid (orang tua)
(Zainuddin, 1991: 50). Maka yang
dimaksud disini adalah orang yang
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
mengarahkan dan membimbing seseorang
(individu).
17. Kompentensi (kafaah) guru menurut Al-
Ghazali
Guru harus mempunyai sifat kasih saying
Guru melakukan aktifitasnya karena Allah
Guru mampu memberi nasehat yang baik
Guru mampu mengarahkan peserta didik ke hal-hal yang baik
Guru mengetahui tingkat nalar dan intelektual anak didiknya
Mampu menumbuhkan kegairahan anak didiknya
Mampu mengidentifikasi materi yang sesuai dengan usia peserta didik
Mampu memberikan teladan
18. Peserta Didik (siswa)
Al-Ghazali terhadap peserta didik (murid)
mempergunakan istilah, seperti al-Shoby
(kanak-kanak), al-Mualimin (pelajar), dan
Thalabul al-Ilmu (penuntut ilmu pengetahuan)
(Zainuddin, 1991: 64). Dengan demikian, yang
dimaksud dengan peserta didik (murid) adalah
manusia yang sedang mengalami pertumbuhan
dan perkembangan jasmani maupun rohani.
19. Untuk membentuk manusia yang sempurna (insan kamil), maka pola dasar
pendidikan akan berjalan di atas pola dasar fitrah diberikan Allah pada setiap
manusia. Sebab dengan pembinaan potensi psikologis (fitrah ) manusia dapat
diarahkan untuk menjadi manusia yang memiliki kepribadian. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Ghazali:
束Sesungguhnya seorang anak itu dengan jauharnya diciptakan Allah dapat
menerima kebaikan dan keburukan, dan hanya kedua orang tuanya yang akan dapat
menjadikan anak itu untuk cenderung pada salah satunya.損 (Zainuddin, 1991: 65)
Dengan memperhatikan pernyataan al-Ghazali di atas nampak bahwa pendidikannya
bernuansakan nativisme dalam arti bahwa potensi psikologi dapat membentuk
karakter seseorang, yang demikian itu bersifat alamiah atau manusia yang
mengandung kebijaksanaan dari keadilan khaliknya (H.M. Arifin, 2000:160).
20. Tugas dan kewajiban peserta didik
Mendahulukan kesucian jiwa.
Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang
guru.
Mengetahui kududukan ilmu pengetahuan.
21. Etika siswa dalam proses belajar
Belajar dengan niat ibadah dalam ranggka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari
peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlaq al-Karimah (Q.S al-Anam: 162; adz-
Dzaariyat: 56).
Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S. adh-Dhuhaa: 4).
Bersikap tawadlu (rendah diri) dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan.
Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (kongret) menuju
pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu fardlu ain menuju ilmu fardlu kifayah (Q.S. Fath: 9).
Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan
22. Kurikulum
Dalam Ihya Ulumuddin, bab ilmu, Al-Ghazali mendefinisikan ilmu religious (al-ulum
al-syariah) dengan definisi sebagai berikut: ilmu religious termasuk ilmu yang
23. Ilmu Syariyyah (religious)
1) Ilmu Ushul (ilmu pokok) diantarannya kitabullah,
sunnah rasul, ijma dan atsar sahabat.
2) Ilmu Furu (ilmu cabang) diantaranya ilmu fiqh, ilmu
hal ihwal hati, dan akhlak.
3) Ilmu Muqaddimah (ilmu pengantar) yaitu ilmu yang
dibutuhkan untuk mempelajari ilmu-ilmu ushul,
seperti ilmu lughah (bahasa) dan ilmu nahwu
(gramatikal).
4) Ilmu-ilmu Pelengkap, seperti yang berkaitan dengan al-
Quran, misalnya ilmu makharijul huruf wa alfazh dan
qiraat al-Quran.
24. Ilmu Aqliyyah (intelektualitas)
Ilmu-ilmu terpuji ( mahmudah), yaitu ilmu yang dibutuhkan
dalam hidup dan kehidupan serta pergaulan umat manusia
yang meliputi: pertanian, peternakan, pembangunan, tata
pemerintahan, pertukangan besi, dan lain sebagainya.
Ilmu yang diperbolehkan ( mubahat), yaitu ilmu kebudayaan
seperti: sejarah, puisi-puisi yang tidak mengandung unsur
yang berarti dan tidak merugikan.
Ilmu-ilmu tercela ( mazmumah ), yaitu ilmu pengetahuan
yang merugikan pemilik ataupun orang lain, seperti: ilmu
hitam/sihir
25. metode
Al-Ghazali mengakui memang metodenya belum sempurna,
dan harus diikuti dengan tindak lanjut secara gradual. Al-
Ghazali mengibaratkan metodologi pendidikannya ini
dengan metode dikte, di mana seseorang menebur benih
pada tanah untuk menanam. Sedangkan penyempurnaan
keyakinan dengan ajalan argumentasi diumpamakan sebagai
proses menyiram dan merabuknya.
26. Dalam persoalan-persoalan prinsip keagamaan,
metode pengajaran agama Al-Ghazali dimulai
dengan menghafal, lalu memahami, kemudian
mempercayai dan menerima. Selanjutnya penyajian
bukti-bukti argumentative untuk memperkuat ajaran
yang telah diterima.
27. rincian metode Al-Ghazali :
Hafalan
Pendidikan fitrah dan pembenahan instinct
Ganjaran dan hukuman
Sewaktu-waktu boleh menakuti-nakuti dan sedikit
mencela
28. kesimpulan
secara umum dapat disimpulkan bahwa; pertama, pemikiran
pendidikan Al-Ghazali mempresentasikan maksud dan tujuan manusia
untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kedua, konsep
pendidikan Al-Ghazali berbasis religious etis yang cenderung sufistik.
Ketiga, konsep pendidikan Al-Ghazali cukup realistis. Keempat,