際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Allah Tuhan semua agama

Bada tahmid wa shalawat,

Ikhwah fillah rahimakumullah,

Welcome to the Jungle, kok Jungle? Memang menjadi tidak ada apa-apa ketika
kita bisa menyesuaikan diri dengan hutan, atau kita terbiasa mendengar bahwa
ada orang yang bahkan tinggal di hutan atau kata hutan kita fahami hanya
sebagai salah satu kata ganti dalam kosakata kita sebagai tempat atau habitat.
Tapi disisi lain kita juga harus pandai menjaga perasaan orang lain ketika ada
sebagian orang yang tidak nyaman disetarakan dengan binatang, hanya karena
kita bilang selamat datang di hutan. Lantas bagaimana bila ketersinggungan ini
kemudian didramatisir, dan dibahasakan sebagai pelecehan derajat martabat,
padahal tidak lebih hanya sekedar penyetaraan ke-mahluk-kan di mata Al Khaliq.

Saya ingat kisah sekelompok orang, yang diajak oleh seorang pengelola yayasan
pemerhati ke sebuah kebun binatang dan oleh tour guidenya mereka ditinggal
sebentar dengan seekor hewan jinak untuk mereka jadikan obyek wisata. Satu
persatu dari mereka membahas kekaguman mereka terhadap binatang yang unik
ini. Selama ini mereka hanya mendengar tentang binatang, dan belum pernah
sekalipun memperhatikan dengan indera sendiri. Tak lama tour guidepun datang
dan merekapun istirahat karena memang datang ke Kebun Binatangpun sudah
agak kesiangan. Mulai terdengar orang pertama membuka topik obrolan pengisi
waktu tentang kekaguman pada binatang tadi. Yang pertama bilang: Lucu ya,
hewan tadi kecil banget dan ketika kupegang dia diam saja, Apanya yang diam,
aku pegang dia bergerak terus, lagian bukan kecil, tipis tepatnya, kata orang
kedua. Orang ketiga tak kalah testimoni: Wah kalian ini gimana, lha wong saya
sendiri merasakan sendiri dia itu besar dan kulitnya kasar, Kalian ini semua
salah, dia itu kaya pohon kelapa, tapi kecil, sahut yang lain. Ga, aku pegang dia
lebar tebal dan empuk ... dan akhirnya semua orang di kelompok itu ngotot
dengan pendiriannya masing  masing bahwa pengalaman pribadinya yang paling
benar dan tak lama ketika tour guide mereka mengajak untuk jalan lagi mereka
tanya hampir berbarengan: Mbak, yang tadi itu binatang apa ya?, dengan
santai gadis cantik ini menjawab GAJAH, mari pak, bu, kita berangkat, jangan
lupa tongkat dan kacamatanya jangan sampai ketinggalan dan 7 orang buta
itupun melanjutkan wisatanya kembali.

Moral of the story is: Bila kita tidak melihat segala sesuatunya secara mujmal,
menyeluruh, integral, terpadu, lengkap, komperehensif atau istilah sekarang
Holistik, maka bersiaplah masuk ke jurang kebenaran yang hanya 1/7. Artinya,
kebenaran yang kita fahami tentu menjadi sangat beragam sesuai dengan
referensi dan pengalaman. Ketika kita tidak mau menyatukan persepsi bahwa
kebutaan kita terhadap rabaan gajah, akan menyesatkan semuanya, dan
herannya ini sering terjadi di kalangan kita, tidak hanya sebagian besar bangsa
kita tercinta, Indonesia, namun juga hampir seluruh umat manusia. Semua
merasa perlu mendahulukan prioritas, yang satu bilang ini dulu, tapi yang lain
bilang bidang lain yang lebih perlu didahulukan. Mari kita tertawa bersama
dengan penuh kesadaran bahwa kita tak ubahnya dengan 7 orang buta itu, ketika
memang kita berpendirian kuat tentang perspektif kebenaran Sebenar benarnya
benar.

Perbedaan Pendapat, mari kita budayakan, agar kita senantiasa bisa harmonis
dalam perbedaan, ibarat 6 dawai gitar. Bayangkan kalo 6 senarnya bunyinya
sama, Senar satu sampai Senar enam, ngaku Do semua. Cuma dua
kemungkinannya, salah Stem senar atau semua senar itu baru diinterogasi sama
Polisi.
Sesungguhnya kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, sedang sudut
pandangnya silahkan saja mau dilihat dari sebelah mana dengan kacamata apa,
dan dari jarak berapa. Konsep ketuhanan semua ajaran agama sejatinya sama,
menuju kepada satu Tuhan. Berhenti sampai kepada tahapan judul, ana setuju
sama JIL-nya Ulil Abshar Abdala dengan tulisan di Homepage  Websitenya, La
ilaha ilallah artinya Tiada tuhan selain Allah, Tuhan semua agama. Kok begitu?!
Ini penjelasannya:

Dari beberapa perbincangan yang ana lakukan dengan begitu banyak umat
beragama, dan dari beberapa literatur, ana temukan bahwa konsep ketuhanan
semua ajaran agama adalah sama. Mari kita perhatikan satu persatu:

Kita mulai dari saudara langit kita Nashoro, dalam kemurnian ajaran mereka
mengajarkan ketauhidan, mitsal dalam Kitab Ulangan pasal 6 ayat 4 & 5, Dialah
Allah yang Esa, Kasihilah keesaan Allah dengan dengan segenap hatimu dan
segenap fikiranmu Apalagi kalo bukan Tauhid? (bahwa ada pergeseran nilai
ketuhanan oleh Paulus sang Perusak Aqidah Umat itu kita bahas lain kali kalo ada
yang tertarik bahasan Kristologi) Taoisme dibawa oleh Tao Te Cing yang pernah
mengalami stagnan dalam pencariannya disaksikan para muridnya, mengaku ada
kekuatan besar yang menguasai diluar kekuatan dirinya, tapi Tao sendiri tidak
tahu siapa namanya. Apalagi kalo bukan Tauhid? Isme Kong Hu Cu diusung oleh
Kong Fu Tse yang sejatinya juga punya Tuhan, berawal dengan konsep Tauhid,
tapi dengan keterbatasan pemahaman dan pengembangan serta penyesuaian
penyampaian, maka Dewi Kwan Im, juga Kwan Kong ditambah beberapa nama
lain sebagai para dewa malahan jadi sesembahan, ini hanya akibat sebuah
pelencengan ajaran oleh pemeluknya. Budha tidak diajarkan oleh Sidharta Budha
Gautama yang melakukan pencarian sebagaimana Rasulullah Ibrahim AS, tapi dia
menjadi Budha yang dijadikan contoh hidup yang membumi, mudah difahami dan
di ikuti, istilah mereka maitri karuna dan Budha juga punya Tuhan yang agak
susah difahami bahkan terlalu rumit karena ghaib, diperparah oleh
keberadaannya yang tak tersentuh manusia kasat mata di Nirvana (surga) sana.
Apalagi kalo bukan Tauhid? Hindu meski punya konsep Trimurti, Hyang Brahma
yang menciptakan alam semesta ini, The Creator. Hyang Wisnu, Dewa yang
berkuasa atas pemeliharaan semesta alam, dan terakhir adalah Hyang Siwa yang
punya Job Description sebagai The Demolition God, perusak, penghancur. Namun
ketika mereka melakukan mepuspa mereka mempersembahkan kebaikan dalam
bentuk apapun, doa dan sesaji hanya kepada Sang Hyang Widi Wasa. Apa kalo
bukan Tauhid?

Maka ketika kita mendengar kata sembahyang, (pernah ana bahas disini) asalnya
adalah Sembah & Hyang artinya nyembah Dewa, maka asal kata bahasa
Indonesia (sanskerta) untuk Tuhan adalah Tuh Hyang artinya Kepala Dewa, sama
dengan rajanya raja - Al Malikul Mulk cuma beda terminologi. Di Jepang, mereka
juga punya semangat Mujahid yakni Bushido, Nilai Bushi bila dipaparkan panjang
lebar akan bermakna sama dengan Jihad, maka Bushido sejajar dengan Mujahid.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa sejatinya Allah yang satu yang selama ini
kita sembah, (mohon maaf) sudah lebih dahulu disembah oleh mereka, dan
antum semua ga usah marah dengan cara mereka menamakan Allah kita itu
dengan Elloi, Ilahi, Gohonzon, God, Yehova, Tuh Hyang, dan lain lain. Justru kita
harus marah kepada diri sendiri mengapa selama ini kita menutup diri dan
ekslusif terhadap mereka yang butuh informasi tentang Allah yang sebenarnya
dalam konsep Al Islam.

Di Cina, di Jepang, di India, di Eropa bahkan di semua benua masing  masing
punya keterbatasan pemahaman, hanya saja kita belum tuntas mensyiarkan
Islam kepada mereka, makanya pemahaman mereka menjadi seperti itu.
Kalaupun sudah ada syiar Islam disana, mungkin metodologinya (Fiqh Dakwah)
perlu pembenahan, sehingga Islam akan berkembang dikalangan mereka sendiri.
Dan justru mendoakan saudara kita di kelompok Jamaah Tabligh agar mereka
istiqomah, karena jasa mereka-merakalah banyak orang mengenal Islam. Apakah
harus dengan cara seperti itu saja memperkenalkan islam? Tentu ga hitam putih
begitu, itu kan hanya salah satu pendekatan Fiqh Dakwah, karena bila kita minta
mereka memberikan dalil hadits khuruj 3 hari, mereka akan jujur mengaku tidak
ada. Bahwa nilai Jihad jadi agak dijadikan prioritas belakangan dalam kelompok
ini, itu ekses bentukan Feodalisme Inggris yang tidak menghendaki mereka
(Muslim) di India, Pakistan, Bangladesh berjihad melawan penjajahan, seperti
dicontohkan Tuanku Imam Bonjol, Cut Nya Dien, Pangeran Diponegoro, Patimura,
Sisingamangaraja, Panglima Besar Sudirman dan sederetan nama Mujahid dan
Mujahidah yang sengaja tidak diperkenalkan sebagai Dai atau Mubaligh. Tapi
lebih diperkenalkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Lagi lagi pengebirian
Indahnya Nilai Perjuangan Islam.

Inilah perlunya membaca dan mencari berbagai macam ilmu, baik filsafat
maupun hal yang sesat, supaya kita tidak ikut sesat, dan bisa faham falsafah
hidup. Agar tidak seperti katak dalam tempurung, dan berkembang menjadi
Global Player, dimanapun kita berada, kita selalu jadi solusi, sebagaimana
Rasulullah SAW dan Islam, SOLUTIF. Sebagian dari kita merasa cukup nyaman
dengan analogi rasional, sebagian lagi nikmat berkutat dengan syariat, kelompok
lain asyik masyuk dengan tariqat. Ibarat makan di Warung Padang masa kini
yang lengkap, kita tidak harus makan yang pedas-pedas ketika kita terpaksa
masuk kesana, karena ada menu Ayam Goreng, Sop, Perkedel, bahkan Oreg
Tempe ala Warteg juga siap makan disana, yang penting kita sama  sama
kenyang dan bisa makan bersama dengan saudara kita, bukan makanannya yang
penting, makan bersamanya yang jauh lebih penting. Dan ana tidak pernah liat
ada sekelompok orang makan bareng di Warung Padang, yang satu ngotot
mengharuskan semuanya makan rendang, kalo ngga, Ga usah makan!

Ketika telah sampai pemahaman kita pada tahapan holistik, akan sangat
memudahkan kita untuk melihat dari berbagai segi, memahami dan menghargai
betapa orang berbeda pola pikir, menilai dari berbagai sudut pandang, intinya
menjadi bijak karena lebih dulu tahu bukan masalah lebih cerdas atau lebih pinter
dari siapapun. Ini yang memang susah dicapai karena kecenderungan manusia
kata Pakar Psikologi Modern - Douglas Mc Gregor mengarah ke Manusia X, agak
susah keluar dari comfort zone (zona nyaman). Bagaimana mengaplikasikan itu
semua? Susah dong? ya susah kalo ga pernah dimulai, dan ga tahu mulai dari
mana. Kalo boleh pinjam istilah George Bush di Ground Zero, ...mereka tidak
akan pernah bisa menghancurkan Fondasi kita... maka kita bisa meletakkan
semuanya dengan penuh kehati-hatian di atas Fondasi Keimanan yang benar,
yang bersih tanpa kontaminasi. Masalahnya untuk bersihin fondasi kita sering
malas, karena merasa sudah bersih. Nah ini sejatinya persoalan alias esensi dari
pemikiran dasar Iblis sudah ada di kepala kita. Lihat bagaimana sikap Iblis, ketika
diperintah Allah untuk bersujud kepada Kemuliaan Nabi Adam AS? Iblis menolak
dengan statement: Saya lebih baik dari dia, esensi inilah yang ada ketika kita
menolak keberadaan pendapat orang lain, Nauduzu billahi min dzalik.

Ikhwah fillah, bicara soal kebenaran yang Maha Benar, kita harus masuk kepada
tahap akhir yakni bertemu dengan Sang Maha Benar, prosesnya lewat mati dulu,
dikubur, tunggu sampai kiamat, baru kemudian nanti kita akan dibangkitkan,
dihisab, dan ditimbang, baru kemudian sesuai ponten yang kita punya,
diserahkan kepada para pecinta duniawi, atau dijebloskan dalam kesulitan
pencapaian Syurga. Untuk itu maka, mau tidak mau kita harus belajar mengenali
air mana yang bener untuk wudlu yang bener supaya shalat kita bener, dan
diterima bener oleh sang Maha Bener. Kenapa? soalnya yang dijadikan fondasi
pertama kali dihisab adalah Shalatnya, jika baik shalatnya, maka baik semuanya,
begitu sebaliknya. Soal Yakin dan Percaya, bagaimana kita mengimani Allah dan
RasulNya, mari sama-sama kita perhatikan sejauh mana Iman kita terhadap Allah
dan RasulNya? Waduh, jauh panggang dari api kalo kita mau niru Rasul SAW
sebagai contoh hidup yang membumi, tapi sekali lagi bukan berarti lantas kita ga
mencontoh beliau karena tingkat kesulitan atau tepatnya kemalasan dan
keengganan kita merubah diri. Allah akan menilai prosesnya bukan hasil
akhirnya, karena Dia yang punya kuasa atas segala hasil akhir. Bab Amal Shalih?
sampai hari ini banyak yang tidak tahu kegiatan mana atau aktifitas apa yang
sudah jadi amal shalih, karena masih sering ada pamrih ketika bersikap dan
kerap rusak keikhlasan karena perilaku individu yang dijadikan patokan.
Bukannya kembali kepada Ridho Allah jadi orientasi awal dan akhir. Astaghfirullah
al adzim.

Dalam rangka tawa shaubil haq watawa shaubish shobr ini, mari kita senantiasa
saling rekatkan jalinan ukhuwah, apapun faham kita, siapapun imam mahzab
kita, apapun partai kita, blok manapun kita tinggal, dengan tingkat pendidikan
setinggi apapun kita, dan sejauh apapun pemahaman berbagai ilmu yang kita
punya, karena di yaumil akhir nanti, kita punya harapan yang sama akan
kebahagiaan kekal abadi tanpa akhir. Bahwa ada yang mampir ke Neraka sebagai
prosedur pembersihan hingga suci untuk kelayakan Jannah, mari kita hadapi
sebagai sebuah resiko dari semua amaliah kita selama ini yang sering tamb辿ng
(bandel) terhadap apa yang dipagarkan kepada kita.

Wallahu alambish showab

Abu Rizqy Al Jambary

More Related Content

Allah tuhan semua agama (kebenaran)

  • 1. Allah Tuhan semua agama Bada tahmid wa shalawat, Ikhwah fillah rahimakumullah, Welcome to the Jungle, kok Jungle? Memang menjadi tidak ada apa-apa ketika kita bisa menyesuaikan diri dengan hutan, atau kita terbiasa mendengar bahwa ada orang yang bahkan tinggal di hutan atau kata hutan kita fahami hanya sebagai salah satu kata ganti dalam kosakata kita sebagai tempat atau habitat. Tapi disisi lain kita juga harus pandai menjaga perasaan orang lain ketika ada sebagian orang yang tidak nyaman disetarakan dengan binatang, hanya karena kita bilang selamat datang di hutan. Lantas bagaimana bila ketersinggungan ini kemudian didramatisir, dan dibahasakan sebagai pelecehan derajat martabat, padahal tidak lebih hanya sekedar penyetaraan ke-mahluk-kan di mata Al Khaliq. Saya ingat kisah sekelompok orang, yang diajak oleh seorang pengelola yayasan pemerhati ke sebuah kebun binatang dan oleh tour guidenya mereka ditinggal sebentar dengan seekor hewan jinak untuk mereka jadikan obyek wisata. Satu persatu dari mereka membahas kekaguman mereka terhadap binatang yang unik ini. Selama ini mereka hanya mendengar tentang binatang, dan belum pernah sekalipun memperhatikan dengan indera sendiri. Tak lama tour guidepun datang dan merekapun istirahat karena memang datang ke Kebun Binatangpun sudah agak kesiangan. Mulai terdengar orang pertama membuka topik obrolan pengisi waktu tentang kekaguman pada binatang tadi. Yang pertama bilang: Lucu ya, hewan tadi kecil banget dan ketika kupegang dia diam saja, Apanya yang diam, aku pegang dia bergerak terus, lagian bukan kecil, tipis tepatnya, kata orang kedua. Orang ketiga tak kalah testimoni: Wah kalian ini gimana, lha wong saya sendiri merasakan sendiri dia itu besar dan kulitnya kasar, Kalian ini semua salah, dia itu kaya pohon kelapa, tapi kecil, sahut yang lain. Ga, aku pegang dia lebar tebal dan empuk ... dan akhirnya semua orang di kelompok itu ngotot dengan pendiriannya masing masing bahwa pengalaman pribadinya yang paling benar dan tak lama ketika tour guide mereka mengajak untuk jalan lagi mereka tanya hampir berbarengan: Mbak, yang tadi itu binatang apa ya?, dengan santai gadis cantik ini menjawab GAJAH, mari pak, bu, kita berangkat, jangan lupa tongkat dan kacamatanya jangan sampai ketinggalan dan 7 orang buta itupun melanjutkan wisatanya kembali. Moral of the story is: Bila kita tidak melihat segala sesuatunya secara mujmal, menyeluruh, integral, terpadu, lengkap, komperehensif atau istilah sekarang Holistik, maka bersiaplah masuk ke jurang kebenaran yang hanya 1/7. Artinya, kebenaran yang kita fahami tentu menjadi sangat beragam sesuai dengan referensi dan pengalaman. Ketika kita tidak mau menyatukan persepsi bahwa kebutaan kita terhadap rabaan gajah, akan menyesatkan semuanya, dan herannya ini sering terjadi di kalangan kita, tidak hanya sebagian besar bangsa kita tercinta, Indonesia, namun juga hampir seluruh umat manusia. Semua merasa perlu mendahulukan prioritas, yang satu bilang ini dulu, tapi yang lain bilang bidang lain yang lebih perlu didahulukan. Mari kita tertawa bersama dengan penuh kesadaran bahwa kita tak ubahnya dengan 7 orang buta itu, ketika memang kita berpendirian kuat tentang perspektif kebenaran Sebenar benarnya benar. Perbedaan Pendapat, mari kita budayakan, agar kita senantiasa bisa harmonis dalam perbedaan, ibarat 6 dawai gitar. Bayangkan kalo 6 senarnya bunyinya sama, Senar satu sampai Senar enam, ngaku Do semua. Cuma dua kemungkinannya, salah Stem senar atau semua senar itu baru diinterogasi sama Polisi.
  • 2. Sesungguhnya kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, sedang sudut pandangnya silahkan saja mau dilihat dari sebelah mana dengan kacamata apa, dan dari jarak berapa. Konsep ketuhanan semua ajaran agama sejatinya sama, menuju kepada satu Tuhan. Berhenti sampai kepada tahapan judul, ana setuju sama JIL-nya Ulil Abshar Abdala dengan tulisan di Homepage Websitenya, La ilaha ilallah artinya Tiada tuhan selain Allah, Tuhan semua agama. Kok begitu?! Ini penjelasannya: Dari beberapa perbincangan yang ana lakukan dengan begitu banyak umat beragama, dan dari beberapa literatur, ana temukan bahwa konsep ketuhanan semua ajaran agama adalah sama. Mari kita perhatikan satu persatu: Kita mulai dari saudara langit kita Nashoro, dalam kemurnian ajaran mereka mengajarkan ketauhidan, mitsal dalam Kitab Ulangan pasal 6 ayat 4 & 5, Dialah Allah yang Esa, Kasihilah keesaan Allah dengan dengan segenap hatimu dan segenap fikiranmu Apalagi kalo bukan Tauhid? (bahwa ada pergeseran nilai ketuhanan oleh Paulus sang Perusak Aqidah Umat itu kita bahas lain kali kalo ada yang tertarik bahasan Kristologi) Taoisme dibawa oleh Tao Te Cing yang pernah mengalami stagnan dalam pencariannya disaksikan para muridnya, mengaku ada kekuatan besar yang menguasai diluar kekuatan dirinya, tapi Tao sendiri tidak tahu siapa namanya. Apalagi kalo bukan Tauhid? Isme Kong Hu Cu diusung oleh Kong Fu Tse yang sejatinya juga punya Tuhan, berawal dengan konsep Tauhid, tapi dengan keterbatasan pemahaman dan pengembangan serta penyesuaian penyampaian, maka Dewi Kwan Im, juga Kwan Kong ditambah beberapa nama lain sebagai para dewa malahan jadi sesembahan, ini hanya akibat sebuah pelencengan ajaran oleh pemeluknya. Budha tidak diajarkan oleh Sidharta Budha Gautama yang melakukan pencarian sebagaimana Rasulullah Ibrahim AS, tapi dia menjadi Budha yang dijadikan contoh hidup yang membumi, mudah difahami dan di ikuti, istilah mereka maitri karuna dan Budha juga punya Tuhan yang agak susah difahami bahkan terlalu rumit karena ghaib, diperparah oleh keberadaannya yang tak tersentuh manusia kasat mata di Nirvana (surga) sana. Apalagi kalo bukan Tauhid? Hindu meski punya konsep Trimurti, Hyang Brahma yang menciptakan alam semesta ini, The Creator. Hyang Wisnu, Dewa yang berkuasa atas pemeliharaan semesta alam, dan terakhir adalah Hyang Siwa yang punya Job Description sebagai The Demolition God, perusak, penghancur. Namun ketika mereka melakukan mepuspa mereka mempersembahkan kebaikan dalam bentuk apapun, doa dan sesaji hanya kepada Sang Hyang Widi Wasa. Apa kalo bukan Tauhid? Maka ketika kita mendengar kata sembahyang, (pernah ana bahas disini) asalnya adalah Sembah & Hyang artinya nyembah Dewa, maka asal kata bahasa Indonesia (sanskerta) untuk Tuhan adalah Tuh Hyang artinya Kepala Dewa, sama dengan rajanya raja - Al Malikul Mulk cuma beda terminologi. Di Jepang, mereka juga punya semangat Mujahid yakni Bushido, Nilai Bushi bila dipaparkan panjang lebar akan bermakna sama dengan Jihad, maka Bushido sejajar dengan Mujahid. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa sejatinya Allah yang satu yang selama ini kita sembah, (mohon maaf) sudah lebih dahulu disembah oleh mereka, dan antum semua ga usah marah dengan cara mereka menamakan Allah kita itu dengan Elloi, Ilahi, Gohonzon, God, Yehova, Tuh Hyang, dan lain lain. Justru kita harus marah kepada diri sendiri mengapa selama ini kita menutup diri dan ekslusif terhadap mereka yang butuh informasi tentang Allah yang sebenarnya dalam konsep Al Islam. Di Cina, di Jepang, di India, di Eropa bahkan di semua benua masing masing punya keterbatasan pemahaman, hanya saja kita belum tuntas mensyiarkan Islam kepada mereka, makanya pemahaman mereka menjadi seperti itu.
  • 3. Kalaupun sudah ada syiar Islam disana, mungkin metodologinya (Fiqh Dakwah) perlu pembenahan, sehingga Islam akan berkembang dikalangan mereka sendiri. Dan justru mendoakan saudara kita di kelompok Jamaah Tabligh agar mereka istiqomah, karena jasa mereka-merakalah banyak orang mengenal Islam. Apakah harus dengan cara seperti itu saja memperkenalkan islam? Tentu ga hitam putih begitu, itu kan hanya salah satu pendekatan Fiqh Dakwah, karena bila kita minta mereka memberikan dalil hadits khuruj 3 hari, mereka akan jujur mengaku tidak ada. Bahwa nilai Jihad jadi agak dijadikan prioritas belakangan dalam kelompok ini, itu ekses bentukan Feodalisme Inggris yang tidak menghendaki mereka (Muslim) di India, Pakistan, Bangladesh berjihad melawan penjajahan, seperti dicontohkan Tuanku Imam Bonjol, Cut Nya Dien, Pangeran Diponegoro, Patimura, Sisingamangaraja, Panglima Besar Sudirman dan sederetan nama Mujahid dan Mujahidah yang sengaja tidak diperkenalkan sebagai Dai atau Mubaligh. Tapi lebih diperkenalkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Lagi lagi pengebirian Indahnya Nilai Perjuangan Islam. Inilah perlunya membaca dan mencari berbagai macam ilmu, baik filsafat maupun hal yang sesat, supaya kita tidak ikut sesat, dan bisa faham falsafah hidup. Agar tidak seperti katak dalam tempurung, dan berkembang menjadi Global Player, dimanapun kita berada, kita selalu jadi solusi, sebagaimana Rasulullah SAW dan Islam, SOLUTIF. Sebagian dari kita merasa cukup nyaman dengan analogi rasional, sebagian lagi nikmat berkutat dengan syariat, kelompok lain asyik masyuk dengan tariqat. Ibarat makan di Warung Padang masa kini yang lengkap, kita tidak harus makan yang pedas-pedas ketika kita terpaksa masuk kesana, karena ada menu Ayam Goreng, Sop, Perkedel, bahkan Oreg Tempe ala Warteg juga siap makan disana, yang penting kita sama sama kenyang dan bisa makan bersama dengan saudara kita, bukan makanannya yang penting, makan bersamanya yang jauh lebih penting. Dan ana tidak pernah liat ada sekelompok orang makan bareng di Warung Padang, yang satu ngotot mengharuskan semuanya makan rendang, kalo ngga, Ga usah makan! Ketika telah sampai pemahaman kita pada tahapan holistik, akan sangat memudahkan kita untuk melihat dari berbagai segi, memahami dan menghargai betapa orang berbeda pola pikir, menilai dari berbagai sudut pandang, intinya menjadi bijak karena lebih dulu tahu bukan masalah lebih cerdas atau lebih pinter dari siapapun. Ini yang memang susah dicapai karena kecenderungan manusia kata Pakar Psikologi Modern - Douglas Mc Gregor mengarah ke Manusia X, agak susah keluar dari comfort zone (zona nyaman). Bagaimana mengaplikasikan itu semua? Susah dong? ya susah kalo ga pernah dimulai, dan ga tahu mulai dari mana. Kalo boleh pinjam istilah George Bush di Ground Zero, ...mereka tidak akan pernah bisa menghancurkan Fondasi kita... maka kita bisa meletakkan semuanya dengan penuh kehati-hatian di atas Fondasi Keimanan yang benar, yang bersih tanpa kontaminasi. Masalahnya untuk bersihin fondasi kita sering malas, karena merasa sudah bersih. Nah ini sejatinya persoalan alias esensi dari pemikiran dasar Iblis sudah ada di kepala kita. Lihat bagaimana sikap Iblis, ketika diperintah Allah untuk bersujud kepada Kemuliaan Nabi Adam AS? Iblis menolak dengan statement: Saya lebih baik dari dia, esensi inilah yang ada ketika kita menolak keberadaan pendapat orang lain, Nauduzu billahi min dzalik. Ikhwah fillah, bicara soal kebenaran yang Maha Benar, kita harus masuk kepada tahap akhir yakni bertemu dengan Sang Maha Benar, prosesnya lewat mati dulu, dikubur, tunggu sampai kiamat, baru kemudian nanti kita akan dibangkitkan, dihisab, dan ditimbang, baru kemudian sesuai ponten yang kita punya, diserahkan kepada para pecinta duniawi, atau dijebloskan dalam kesulitan pencapaian Syurga. Untuk itu maka, mau tidak mau kita harus belajar mengenali air mana yang bener untuk wudlu yang bener supaya shalat kita bener, dan diterima bener oleh sang Maha Bener. Kenapa? soalnya yang dijadikan fondasi
  • 4. pertama kali dihisab adalah Shalatnya, jika baik shalatnya, maka baik semuanya, begitu sebaliknya. Soal Yakin dan Percaya, bagaimana kita mengimani Allah dan RasulNya, mari sama-sama kita perhatikan sejauh mana Iman kita terhadap Allah dan RasulNya? Waduh, jauh panggang dari api kalo kita mau niru Rasul SAW sebagai contoh hidup yang membumi, tapi sekali lagi bukan berarti lantas kita ga mencontoh beliau karena tingkat kesulitan atau tepatnya kemalasan dan keengganan kita merubah diri. Allah akan menilai prosesnya bukan hasil akhirnya, karena Dia yang punya kuasa atas segala hasil akhir. Bab Amal Shalih? sampai hari ini banyak yang tidak tahu kegiatan mana atau aktifitas apa yang sudah jadi amal shalih, karena masih sering ada pamrih ketika bersikap dan kerap rusak keikhlasan karena perilaku individu yang dijadikan patokan. Bukannya kembali kepada Ridho Allah jadi orientasi awal dan akhir. Astaghfirullah al adzim. Dalam rangka tawa shaubil haq watawa shaubish shobr ini, mari kita senantiasa saling rekatkan jalinan ukhuwah, apapun faham kita, siapapun imam mahzab kita, apapun partai kita, blok manapun kita tinggal, dengan tingkat pendidikan setinggi apapun kita, dan sejauh apapun pemahaman berbagai ilmu yang kita punya, karena di yaumil akhir nanti, kita punya harapan yang sama akan kebahagiaan kekal abadi tanpa akhir. Bahwa ada yang mampir ke Neraka sebagai prosedur pembersihan hingga suci untuk kelayakan Jannah, mari kita hadapi sebagai sebuah resiko dari semua amaliah kita selama ini yang sering tamb辿ng (bandel) terhadap apa yang dipagarkan kepada kita. Wallahu alambish showab Abu Rizqy Al Jambary