1. Analisa Korupsi di Indonesia
Indonesia, sebuah negara yang kini menduduki peringkat empat negara terkorup di Asia. Dan
belum lama diberitakan meraih posisi ke 63 dalam Failed State Index 2012 atau indeks
negara gagal. Kegiatan korupsi di negeri ini memang sudah merajalela, mulai dari kaum akar
rumput hingga para petinggi negara pun tak sedikit yang terlibat kasus korupsi, selain kolusi
dan nepotisme. Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik dan turun temurun, bagi
banyak orang korupsi bukan lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum, melainkan suatu hal
yang lumrah. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak juga mampu memberantas
praktek ini, lembaga pemberantas korupsi KPK pun seolah tak mampu berbuat banyak.
Langkah langkahnya banyak menemui hambatan yang tak lain adalah upaya dari para
pelaku korupsi untuk menggagalkan eksistensi KPK.
Kondisi Hukum
1. Kondisi hukum yang multi tafsir membuka peluang korupsi dari berbagai pihak.
Dalam konteks desentralisasi dan diversifikasi korupsi, kondisi ini menyebabkan
makin tingginya yang diminta dalam tindak korupsi dan hasilnya tidak pasti.
2. Sangat banyak Undang-undang yang menunggu peraturan pelaksaannya. Padahal
undang-unadng itu sendiri masih mengandung inkonsistensi dan kurang
mempertimbangkan aspek kontekstual institusional, sosiologis, dan ekonomi. Karena
tidak realsitis, maka masyarakat terpaksa mencari jalan keluar dengan terlibat tindak
korupsi.
3. Mekanisme check balances dari prinsip trias politica tidak terjadi karena baik
eksekutif dan judiciary tidak punya mekanisme pengawasan yang jelas selain melalui
audit yang dilakukan eksekutif tapi harus ditindaklanjuti oleh judiciary. Legislative
tidak bernai bermain sebagai pengawas keduanya karena peluang dituduh korupsi
politik juga besar.
Perkembangan Pola
1. Korupsi semakin mahal ditanggung korban dan tidak pasti hasilnya
Korupsi dalam konteks transisi dalam konteks desentralisasi melonggarkan koordinasi antara
pelaku korupsi. Akibatnya biaya korupsi semakin mahal dan hasilnya tidak pasti. Seperti
pada wilayah legal dimana terjadi koordinasi yang lemah, begitu pula pada wilayah ilegal.
Satu pelaku korupsi mengetahui kelemahan institusi lain dan memanafatkan situasi tersebut,
akan tetapi satu sama lain tidak terdapat ikatan berdasarkan solidartas.
2. Extortion oleh agen pemerintah atau organisasi partai politik menjadi lebih merajalela
disbanding dalam bentuk sogok yang beresiko tinggi. Legalits dijadikan bagian penting dari
mekanisme korupsi.
4. Di era Orde Baru, korupsi dikaitkan dengan kegiatan produktif di sector bisnis sambil terus
mengukuhkan jaringan korupsi. Sekarang fenomena ini berkurang dimana sektor bisnis
merasa sukar untuk bermain dalam jaringan korupsi. Kalangan bisnis mendapart saingan dari
kegoatan ekonomi illegal yang merupakan hasil korupsi atau justru tindakan korupsi itu
sendiri. Dlam negara dengan masa transisi, sektor ekonomi ilegal membesar dan
menggerogoti kemampuan negara mengatur kebijakan pembangunan. Para pelaku bisnis legal
2. menyurutkan investasinya. Sektor illegal menggantikan penyediaan lapangan kerja, meskipun
bukan berarti mencipatakan kemakmuran.
Kultur Korupsi
1. Korupsi yang menjadi tata cara sehari-hari yang meluas menjadi perangkap etis bagi para
reformis potensial seperti aktivis dan mahasiswa.
2. Terdapat kaitan (yang mungkin tidak disadari) antara pelaku korupsi di lembaga negara
dengan unsur masyarakat yang seharusnya menjadi watch-dog seperti media massa,
lembaga riset dan universitas, organisasi kemasyakatan, dan asosiasi professional. Para
peneliti, misalnya, sering mendapat proyek dari lembaga negara,sehingga mengurangi daya
kritis mereka. Organisasi masyarakat sering menjadi komoditas politik yang berharga secara
finansial.
Politik dan Korupsi
1. Mekanisme perwakilan yang membuka peluang politik uang menghasilkan kandidat dan
para wakil yang menanggung hutang budi.
2. Jaringan korupsi diciptakan untuk mengurangi resiko.
4. Dukungan gerakan Anti Korupsi tidak pernah/tidak bisa menjadi alat mendapatkan
kredibilitas dan legitimasi politik.
Gerakan Anti Korupsi
1. Pola korupsi di tiap sektor ternyata saling berhubungan dengan sektor lainnya, tapi
penanganannya tidak fokus dan konsistes sesuai dengan kondisi Indonesia.
2. Badan yang khusus menangani korupsi, seperti Komisi Yudisial dan Komisi Ombudsman
terlalu terbatas wewenangnya, kurang sumber daya, dukungan politik, dan pertautan
kelembagaan. KPK bisa dikatakan cukup wewenang dan sumber daya relatif, namun masih
tergantung pada kualitas lembaga lain sebagai tenaga pelaksana. Lembaga ini juga sangat
kurang mendapat dukungan politik. Pertautan dengan lembaga lain juga belum memadai,
sesuatu yang membutuhkan kekuatan di luar KPK sendiri.
2. Mekanisme win-win solution ditawarkan pada para pembaharu, jika menolak akan
dilakukan serangan hukum dan legitimasi. Ini telah dialami KPK dan Komisi Yudisial.
1. Terdapat kesenjangan umum dalam program penanganan anti korupsi yaitu:
Kepemimpinan: para pejabat di tingkat atas lembaga-lembaga pemerintah jarang yang
bersatu pada, setidaknya hingga seluruh level satu hingga level tiga.
Jangkauan ke publik: Mekanisme transparansi dan pengawasan internal seringkali
terlalu banyak keterbatasan sehingga sukar diakses dan memadai sebagai alat kontrol
penegakan hukum dan publik.
Keberlanjutan Program: Proses refleksi atas program sangat lemah sehingga banyak
program berhenti begitu saja atau tidak efektif. Banyak program yang mengandalkan
individu pejabat publik yang dianggap progresif, atau agak progresif. Beberapa kasus
3. semacam ini terjadi pada pemerintahan di daerah, yang disebabkan kurangnya
dukungan sistem pada tingkat nsional.
Pelibatan masyarakat sipil seringkali terlalu mekanis dan kategoristis karena rumusan
ditingkat internasional. Pelibatan organisasi sosial menggunakan pendekatan elitis. Upaya
pendidikan penyadaran kultur anti korupsi serta pencarian organisasi masyarakat anti korupsi
masih ternatas sekali