ºÝºÝߣ

ºÝºÝߣShare a Scribd company logo
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 1
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
Analisa Lahan Kritis Sub DAS Riam Kanan DAS Barito
Kabupaten Banjar Kalimantan Tengah
Sismanto
Staf pengajar Program Studi Diploma Teknik Sipil FTSP ITS
Email : sismantosis@ce.its.ac.id
ABSTRAK
Fenomena kejadian banjir, tanah longsor, dan kekeringan serta pencemaran kualitas
air beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan pada sub Das Riam Kanan
kabupaten banjar, merupakan indikasi adanya kerusakan lahan. Upaya Konservasi
DAS harus dilakukan tetapi timbul pertanyaan dari mana upaya tersebut harus
dimulai. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut, cara yang
dilakukan adalah dengan mengintepretasi peta citra Aster, mengalisa tingkat erosi,
dan mengklasifikasi lahan kritis. Hasil yang diperoleh dari analisa ini menunjukkan
bahwa 43% Sub DAS Riam Kanan merupakan lahan kritis dengan erosi total 150,93
ton/Ha/tahun. Untuk mengembalikan pada fungsi DAS semula perlu tahapan upaya
konservasi, 30% harus dilakukan dalam jangka pendek, 32% harus dilakukan pada
jangka menengah dan sisanya bisa dilakukan pada jangka panjang.
Kata kunci : DAS Barito, Sub DAS Riam Kanan, Erosi, lahan kritis
1. PENDAHULUAN.
Sub DAS Riam Kanan merupakan salah satu
bagian dari DAS Barito Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan. Fenomena kejadian
banjir, tanah longsor, dan kekeringan serta
pencemaran kualitas air beberapa tahun
terakhir menunjukkan peningkatan, hal ini
mengindikasikan telah terjadi gangguan
keseimbangan siklus hidrologi didaerah
aliran sungai. Untuk itu, maka pada pada
tanggal 28 April 2005 Pesiden RI
mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan
Penyelamatan Air (GN-KPA) yang bertujuan
untuk mengembalikan keseimbangan siklus
hidrologi pada DAS sehingga keandalan
sumber-sumber air baik kuantitas maupun
kualitas airnya dapat terkendali.
Agar GNKPA dapat berjalan sesuai dengan
harapan semua pihak maka upaya konservasi
DAS harus diawali dengan penetapan daerah
kritis yang nantinya digunakan sebagai
acuan untuk penetapan daerah daerah
prioritas.
Maksud dari kajian ini adalah untuk
menetapkan daerah daerah kritis yang
nantinya dapat digunakan sebagai dasar
perencanaan dalam upaya memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi
Sub DAS sebagai ekosistim alam yang
berperan dalam pengaturan siklus
hidrologis. Kekritisan lahan pada suatu DAS
merupakan suatu kondisi yang ditunjukkan
oleh rendahnya kesuburan tanah karena
lapisan tanah atas (top soil) telah hilang,
lapisan ini sebagai media bagi micro flora
dan micro fauna. Hilangnya lapisan tanah
atas sebagian besar disebabkan oleh erosi,
sehingga untuk melihat kekritisan suatu
lahan dapat pula ditunjukkan oleh besarnya
erosi yang terjadi.
2. RUMUSAN MASALAH
Sub DAS Riam Kanan telah diindikasikan
sebagai DAS Kritis yang perlu penanganan
konservasi, untuk upaya itu perlu diketahui
terlebih dahulu hal hal sebagai berikut :
a. Berapa besar erosi yang terjadi
b. wilayah bagian mana saja yang perlu
mendapatkan penanganan konservasi
pada jangka pendek, mengengah, dan
jangka panjang.
3. METODOLOGI
3.1. Interpretasi foto satelit
Secara umum metodologi yang digunakan
untuk menjawab permasalahan tersebut
adalah dengan langkah langkah sebagai
berikut :
a. Pengumpulan data sekunder yang
diambil instansi instansi terkait dan dari
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 2
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
0 %
10 %
20 %
30 %
40 %
50 %
60 %
70 %
80 %
90 %
100 %
Refleksi/PentulanGelombang
Panjang Gelombang
5 μ 6 μ 7 μ 8 μ 9 μ 10 μ 11 μ 12 μ 13 μ dst
Panjang Gelombang
Tanah
Air
studi studi terdahulu, dilanjutkan
dengan orientasi lapangan.
b. Pengadaan dan Analisa peta Citra
Satelite dengan menggunakan aplikasi
Arc View.
c. Analisa dan perhitungan Erosi Lahan.
d. Penetapan dan rangking prioritas
daerah Kritis.
Kegiatan pengumpulan data dibagi dalam 2
tahap, yaitu : (1) pengumpulan data awal
dan (2) pengumpulan data lanjutan.
Pengumpulan data awal dilakukan untuk
mendapatkan gambaran awal tentang
kondisi DAS. Secara umum data yang
diperlukan dalam pekerjaan ini adalah :
• peta rupa bumi,
• data curah hujan,
• peta geologi,
• Data/Peta Tata Guna Lahan
Citra Satelit adalah suatu gambar rekaman
kondisi permukaan bumi yang di ambil dari
sensor yang dibawa oleh satelit. Orbit satelit
ini berada diluar angkasa ± 950 km dari
permukaan bumi dan dapat merekam
kembali setiap 16 km untuk daerah yang
sama.
Umumnya citra satelit yang digunakan untuk
mendukung studi adalah jenis citra satelit
TM (Thematic Mapper). Akan tetapi mulai
tahun 2004 citra satelit TM tidak dapat
diadakan, sebagai penggantinya mulai tahun
2005 telah diorbitkan citra satelit TERRA
ASTER dengan spesifikasi sebagai berikut,
Jenis Citra :TERRA ASTER
Jenis Data : Data Digital dan Hard Copy
Path / Row :118/66
Tahun : 2008
Band :1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9
Resolusi :15 m s/d 30 m
Liputan awan : max 10%
Analisa Citra satelit dilakukan dengan cara
interpretasi foto satelit yang dimassudkan
untuk :
• Penetapan luas tutupan lahan
• Penetapan luas lahan kritis
• Penetapan kemiringan lereng
• Penetapan bentuk lahan (land form)
• Identifikasi sumber-sumber air
3.1.1. Penetapan luas tutupan lahan
Luas tutupan lahan pada DAS di
interpretasikan dengan cara:
1. Menyiapkan citra satelit dalam bentuk
hard copy skala 1 : 250.000.
2. Melakukan delineasi objek tutupan
lahan secara visual dengan bentuan alat
loupe (kaca pembesar).
3. Melakukan cross check dengan kunci
interpretasi (sampel interpretasi yang
diperoleh de lapangan) guna perbaikan
delineasi tutupan lahan.
4. hasil delineasi tutupan lahan tersebut
ditransfer / dipindah kedalam peta
dasar yang diperoleh dari Peta Rupa
Bumi skala 1 : 25.000 dengan metode
adjusment / penyesuaian.
5. Kemudian diatas peta skala 1 : 25.000
tersebut dilakukan perhitungan luasnya
dengan bantuan alat planimeter.
3.1.2. Penetapan luas lahan kritis
Fenomena untuk penetapan lahan kritis
sebagaimana dijelaskan dalam pendekatan
studi tersebut dimuka adalah bahwa lahan
kritis ditentukan dari paduan beberapa
faktor antara lain Topografi, Intensitas
hujan, Penutup lahan, Kepekaan lahan, dan
Budaya manusia
Grafik Karakteristik Spektrum Band Citra
Terra Aster
Guna menginterpretasikan luas lahan kritis
antara lain caranya sebagai berikut :
1. Menyiapkan citra satelit dalam bentuk
hard copy skala 1 : 250.000
2. Disamping sitra satelit tersebut juga
disiapkan :
• Peta RBI skala 1 : 25.000
• Peta tanah skala 1 : 50.000
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 3
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
• Peta isohyet atau peta poligon
Theissen
3. Kemudian dilakukan klarifikasi data
topografi yang diwakili oleh
besarnya kemiringan lereng.
Disamping itu data tanah juga di
klarifikasikan menurut LPT Dep. Pertanian
sebagai berikut :
• Tanah aluvial, glei, planosol
Hidromorf kelabu, lateril
diklarifikasikan tidak peka terhadap
erosi
• Latosol diklarifikasikan agak peka
terhadap erosi
• Brown Forest Soil, Non Classic
Brown, Mediteran diklarifikasikan
kurang peka terhadap erosi
• Andosol, laterit, grumusol, podsol
dan podsolid diklarifikasikan peka
terhadap erosi.
• Regosol, litosol, organosol, rluzina
diklarifikasikan peka terhadap
erosim.
• Data intensitas hujan (mm/hari)
diklarifikasikan sebagai berikut :
o 0 – 13,6 : sangat rendah
o 13,6 – 20,7 : rendah
o 20,7 – 27,7 : sedang
o 27,7 – 34,8 : tinggi
o > 34,8 % : sangat tinggi
4. Hasil klarifikasi data faktor tersebut
diatas (topografi, intensitas hujan,
penutup lahan, kepekaan tanah dan
budaya manusia) dalam hal ini
digunakan untuk membantu
delineasi klasifikasi masing-masing
faktor tersebut pada citra satelit
aster dengan prinsip sebagai berikut
:
• Makin curam topografinya,
klasifikasinya semakin kritis
lahannya
• Makin besar intensitas curah
hujannya klasifikasinya semakin
kritis
• Semakin terang vegetasi penutup
lahannya (kecuali sawah-sawah dan
pemukiman) semakin besar tingkat
kekritisan lahannya.
• Semakin peka jenis tanahnya,
klasifikasinya semakin besar tingkat
kekritisan lahannya.
• Semakin padat penduduknya,
klasifikasinya semakin besar tingkat
kekritisan lahannya.
5. Dari delineasi klasifikasi masing-masing
faktor kemudian di super impose untuk
mendapatkan sub delineasi. Tingkat
kekritisan lahan dalam hal ini klasifikasi
lahan kritis dibedakan dengan :
• Erosi asngat berat
• Erosi berat
• Erosi sedang
• Erosi ringan
• Hampir tidak ada erosi
6. Kemudian data klasifikasi lahan kritis
ini ditranfer kedalam peta dasar RBI
skala 1 : 25.000 akan diperoleh peta
lahan kritis.
7. Dari peta lahan kritis tersebut masing-
masing klasifikasi dihitung luasnya
dengan alat planimeter, sehingga akan
mendapatkan angka luas lahan kritis
secara akurat karena peta RBI telah
mempunyai angka koordinat yang
bergeoreferensi.
3.1.3. Penetapan kemiringan lereng
Cara interpretasi kemiringan lereng pada
citra satelit Aster dalam hal ini kadang harus
berbenturan dengan data peta RBI skala 1 :
25.000. Pada prinsipnya kemiringan lereng
dapat dihitung dari kerapatan kontur pada
peta RBI. Semakin rapat garis konturnya
disini dapat diasumsikan semakin curam
lerengnya.
Klasifikasi lereng yang telah diutarakan
tersebut didasarkan pada asumsi :
Tg α = 1
α = 450
Slope = 100 %
3.1.4. Penetapan bentuk lereng
Cara interpretasi citra satelit Terra Aster
untuk mengetahui penyebaran bentuk lahan
(land form) yaitu dengan :
• Melihat kenampakan tiga dimensi
pada peta
• Membedakan pola aliran sungai dan
bentuk percabangan anak-anak
sungainya
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 4
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
• Berbatuan dengan peta kemiringan
lereng yang telah dibuat
Kemudian hasil delineasi land form pada
citra satelit ditransfer kedalam peta dasar
RBI dan seterusnya dihitung luasnya dengan
planimeter.
3.2. Analisa Erosi Lahan
Untuk mengetahui tingkat kekritisan suatu
DAS, salah satu indikatornya adalah
besarnya erosi yang terjadi pada DAS
tersebut. Dari sekian banyak rumusan yang
dapat dipergunakan untuk memprediksi
besarnya erosi, model yang dikembangkan
oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang
biasa dikenal dengan the Universal Soil Loss
Equation (USLE) merupakan metode yang
paling populer dan banyak digunakan untuk
memprediksi besarnya erosi. USLE adalah
suatu model erosi yang dirancang untuk
memprediksi rata-rata erosi jangka panjang
dari erosi lembar (sheet erosion) termasuk
di dalamnya erosi alur (rill erosion) pada
suatu keadaan tertentu. Erosi yang terjadi
selanjutnya dihitung pada masing-masing
unit lahan, dilajutkan dengan perhitungan
laju rata-rata erosi dari suatu bidang tanah
tertentu.
Persamaan yang dipergunakan
mengelompokkan berbagai parameter fisik
(dan pengelolaan) yang mempengaruhi laju
erosi ke dalam enam parameter utama.
Persamaan USLE yang diusulkan adalah
sebagai berikut:
dimana:
A = adalah banyaknya tanah yang
tererosi dalam [ton per hektar per
tahun].
R = adalah faktor curah hujan dan aliran
permukaaan (erosivitas hujan), yaitu
jumlah satuan indeks erosi hujan.
K = adalah faktor erodibilitas tanah,
yaitu laju erosi per indeks erosi
hujan (R) untuk suatu tanah yang
didapat dari petak percobaan
standar, yaitu petak percobaan yang
panjangnya 72,6 ft (22,1 m) dan
terletak pada lereng 9 % tanpa
tanaman.
L = adalah faktor panjang lereng, yaitu
perbandingan antara besarnya erosi
dari tanah dengan suatu panjang
lereng tertentu terhadap erosi dari
tanah dengan panjang lereng 72,6 ft
(22,1 m) di bawah keadaan yang
identik.
S = adalah faktor kecuraman lereng,
yaitu perbandingan antara besarnya
erosi yang terjadi dari suatu bidang
tanah dengan kecuraman lereng
tertentu, terhadap besarnya erosi
dari tanah dengan lereng 9 % di
bawah keadaan yang identik.
C = adalah faktor vegetasi penutup
tanah dan pengelolaan tanaman,
yaitu perbandingan antara besarnya
erosi dari suatu bidang tanah dengan
vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman tertentu terhadap besarnya
erosi dari tanah yang identik tanpa
tanaman.
P = adalah faktor tindakan-tindakan
khusus konservasi tanah, yaitu
perbandingan antara besarnya erosi
dari tanah yang diberi perlakukan
tindakan konservasi khusus.
Dengan memasukkan parameter-parameter
R, K, LS, P dan C dalam rumus USLE, dapat
diprediksi besarnya erosi tanah yang terjadi;
parameter-parameter tersebut dapat
diperoleh dari literatur (Kironoto dan
Yulistiyanto, 2000). Besarnya erosi yang
terjadi dapat memberikan gambaran tingkat
erosi (kekritisan) yang terjadi pada suatu
DAS, apakah dalam tingkatan yang
membahayakan atau belum.
Erosivitas hujan dapat dihitung dengan
ditentukan dengan persamaan Bols (1978).
Sedangkan faktor erodibilitas tanah, K,
adalah nilai kuantitatif yang telah
didefenisikan pada pembahasan terdahulu
yang dapat diperoleh dari percobaan
lapangan. Jika tidak terdapat data
lapangan, maka nilai K dapat dihitung
dengan menggunakan nomogram seperti
tercantum pada Gambar F.8 atau dengan
mempergunakan persamaan berikut :
100 K = 1,292 [2,1 M1,14 (10-4)(12 – a) +
3,25 (b – 2) + 2,5(c – 3)]
dimana
A = R K L S C P
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 5
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
M = persentase fraksi pasir sangat halus
dan fraksi debu (diameter 0,1 – 0,05
mm dan 0,05 –0,02 mm) × (100 –
persentase fraksi lempung),
a = persentase bahan organik,
b = kode struktur tanah yang
dipergunakan dalam klasifikasi tanah
(Tabel 1), dan
c = kode klas permeabilitas profil tanah
(Tabel 2).
Tabel 1: Kode Struktur tanah
Kelas Struktur Tanah
(Ukuran Diameter)
Kode
(b)
Granuler sangat halus (< 1 mm) 1
Granuler halus (1 s/d 2 mm) 2
Granuler sedang (2 s/d 10 mm) 3
Blok, blocky, plat, masif 4
Tabel 2: Kode Permeabilitas Profil tanah
Kelas
Permeabilitas
Kecepatan
(cm/jam)
Kode
(c)
Sangat lambat < 0,5 6
Lambat 0,5 − 2,0 5
Lambat s/d sedang 2,0 − 6,3 4
Sedang 6,3 − 12,7 3
Parameter penentu kekritisan lahan
berdasarkan SK Dirjen RRL No.041
/Kpts/V/1998 meliputi :
• kondisi tutupan vegetasi
• kemiringan lereng
• tingkat bahaya erosi dan singkapan
batuan (outcrop), dan
• kondisi pengelolaan, produktivitas dan
manajemen
Klasifikasi dari masing masing penentu dapat
dilihat pada tabel 3 sampai 6.
Penentuan lahan kritis dalam suatu DAS atau
Sub DAS dilakukan dengan pemodelan
spasial menggunakan perangkat lunak GIS.
Metode yang digunakan untuk perolehan
data ini adalah overlay dengan cara skoring
untuk penentuan tingkat kekritisan suatu
lahan.
Tabel 3: Klasifikasi tutupan lahan
Tabel 4: Klasifikasi Kemiringan lereng
Tabel 5: Klasifikasi Erosi
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 6
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
Tabel 6: Klasifikasi Produktivitas
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Konstruksi DEM dan aplikasinya
Konstruksi DEM (Digital Elevation Model)
yang disediakan pada beberapa modul di
berbagai perangkat lunak GIS pada dasarnya
menggunakan formula matematis yang
hampir sama. Metode yang paling umum
digunakan adalah metode linear gridding
yaitu cara untuk menginterpolasi data
ketinggian (baik berupa garis maupun titik )
kemudian dikonversi menjadi format raster
yang hasil akhirnya berupa piksel atau cell
grid.
Data DEM merupakan data spasial yang
berisi nilai ketinggian, dari data DEM ini
dapat diekstraksi menjadi beberapa turunan
data spasial lain seperti contour
reconditioning. Data DEM yang dihasilkan
pada penelitian ini dihasilkan dari data
kontur digital RBI skala 1:25,000 yang
memiliki interval 12,5m. Pembangunan data
ini dilakukan dengan menggunakan ArcView
3.2 (ekstensi spatial analyis 2.0). Model
seperti ini sudah banyak dikembangkan pada
perangkat lunak pengolah data GIS lainnya.
Data DEM SRTM yang dapat diperoleh secara
gratis melalui akses internet ke NASA
memiliki resolusi 90 m. Hasil pengukuran
ketelitian akurasi vertikal untuk data DEM
SRTM ini menunjukkan kesalahan sekitar 18-
25m, sedangkan pada data kontur RBI skala
1:25,000 dari BAKOSURTANAL, kesalahan
vertikalnya < 5 m, sehingga DEM yang
digunakan untuk analisis adalah DEM yang
dikontruksi dari data RBI digital 1:25,000.
Hasil pengolahan DEM ini dapat dilihat pada
gambar 2 berikut,
Gambar 2:
Perbandingan Hasil DEM dari RBI 1:25.000
(kiri) dan dari SRTM resolusi 90m (kanan)
4.2. Ekstraksi Data Kemiringan Lereng
Seperti telah dijelaskan pada bagian
metodologi bahwa data lereng yang
dihasilkan pada kegiatan ini merupakan
suatu produk dari aplikasi otomatis
perangkat lunak GIS ArcView 3.2 melalui
fasilitas ekstensi Spatial Analysis. Kelebihan
utama dari tools ini adalah pengguna dapat
menentukan klas lereng secara fleksibel
sesuai peruntukannya. Hal ini dikarenakan
format data yang digunakan sebagai bahan
analisa adalah format grid (sel raster).
Nantinya data ini harus dikonversi kembali
ke format vektor agar dapat dianalisa
bersamaan dengan data-data (pemodelan
spasial).
Klas kemiringan lereng yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari 5 klas tetapi
guna mempertajam analisa kawasan
selanjutnya maka klas lereng dikelompokkan
menjadi 6 klas yaitu Klas I-datar (0-3º), Klas
II-landai (3-8º), Klas III-bergelombang (8-
15º), Klas IV-agak curam (15-25º), Klas V-
curam (25-40º), dan Klas VI-sangat curam
(>40º).
Hasil analisa kemiringan lereng untuk areal
Sub DAS Riam Kanan tersaji dalam tabel 7
berikut:
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 7
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
Tabel 7: Hasil analisa kemiringan lereng
No. Kelas Kemiringan Luas Prosentase
(%) (km2
)
1 I 0-3 575.3931 49.69
2 II 3-8 130.3448 11.26
3 III 8-15 199.8813 17.26
4 IV 15-25 5.2907 0.46
5 V 25-45 169.0990 14.60
6 VI >45 77.9512 6.73
1157.9600 100.00Total
4.3. Ekstraksi Data Tutupan Lahan
Ekstraksi data tutupan lahan ini sepenuhnya
bertumpu pada interpretasi visual citra
ASTER. Data spasial yang digunakan sevagai
bahan analisa adalah data citra satelit
ASTER perekaman tahun 2007.
Untuk menghasilkan komposit warna asli
(true color) pada citra ASTER dilakukan
operasi matematis dengan menerapkan
formulasi RGB: band2, (3 x band1 + band3) /
4, band1 yang hasilnya seperti tampak pada
gambar 3 dan hasil selengkapnya dapat
dilihat pada gambar 4. Berdasarkan hasil
liputan citra ini dapat dihitung luas masing
masing jenis tutupan lahan seperti
ditunjukkan pada tabel 8.
Gambar 3: Kenampakan citra ASTER RGB 321
Gambar 4. Tutupan lahan hasil liputan Citra
ASTER
Tabel 8. Luas tutupan lahan dari citra aster
2008
No. Jenis Tutupan Lahan Luas Prosentase
(km2
)
1 Belukar 206.9647 17.873
2 Danau 46.5316 4.018
3 Hutan 509.9396 44.038
4 Kebun Produktif 114.9329 9.925
5 Ladang/Tegalan 162.5119 14.034
6 Pemukiman 43.1860 3.729
7 Rawa 0.0953 0.008
8 Sawah Tadah Hujan 0.2554 0.022
9 Sawah 64.8900 5.604
10 Sungai Lebar 8.6524 0.747
1157.9600 100.000Total
Jika luas tutupan lahan tahun 2008 ini
dibandingkan dengan luas tutupan lahan
pada tahun 2006 yang dihasilkan dari olahan
peta RBI (tabel.9) hanya ada sedikit
perubahan.
Tabel 9. Luas tutupan lahan tahun 2006
No. Jenis Tutupan Lahan Luas Prosentase
(km2
)
1 Belukar 207.7872 17.944
2 Danau 46.7719 4.039
3 Hutan 509.5131 44.001
4 Kebun 118.5519 10.238
5 Ladang/Tegalan 163.4670 14.117
6 Pemukiman 31.0015 2.677
7 Rawa 0.0954 0.008
8 Sawah Tadah Hujan 0.2557 0.022
9 Sawah 74.3172 6.418
10 Sungai Lebar 6.0562 0.523
1157.9600 100.000Total
4.4. Daerah Tangkapan Air (DTA)
Pengolahan DEM-DTM digunakan untuk
mendapatkan peta kontur dalam format grid
dari peta topografi digital dengan skala
1:25.000. Kemudian dari DEM dalam format
grid tersebut akan didapatkan peta jaringan
sungai sintetik. Setelah peta jaringan sungai
sintetik terbentuk maka dapat digunakan
dalam penentuan peta batasan DAS (model
DAS). Dengan pemodelan batasan DAS
beserta jaringan sungai sintetiknya, maka
akan didapatkan karakteristik fisik daerah
yang berupa arah aliran (flow direction),
panjang aliran (flow lenght) dari upstream
DAS sampai outlet, dan kemiringan lereng
(slope). Dengan kata lain dari proses DEM-
DTM juga untuk penentuan faktor panjang
dan kemiringan lereng (LS) yang nantinya
digunakan dalam penentuan besarnya laju
erosi.
Hasil analisa ini menunjukkan bahwa Sub
DAS Riam Kanan yang luasnya 1.157,96 Km2
terbagi menjadi 27 Sub DAS Mikro. Gambar 5
menunjukkan pembagian sub DAS mikro
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 8
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
Riam Kanan dan tabel 10 menunjukkan luas
masing masing sub DAS Mikro tersebut.
Gambar 5: Pembagian Sub DAS Miro
Tabel 10: Luas Sub DAS Mikro Riam Kanan
No
Luas 
(Km2)
No
Luas 
(Km2)
No Luas (Km2)
1 49.08        10 5.57          19 18.74      
2 15.51        11 15.34        20 40.10      
3 15.39        12 26.18        21 40.38      
4 45.16        13 25.74        22 29.30      
5 26.95        14 58.42        23 281.53    
6 18.60        15 17.81        24 37.30      
7 46.50        16 21.26        25 42.76      
8 19.13        17 56.84        26 85.04      
9 39.85        18 57.84        27 21.64      
1,157.96Luas Total DAS
4.5. Kemiringan Lereng
Klas kemiringan lereng yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari 5 klas tetapi
guna mempertajam analisa kawasan
selanjutnya maka klas lereng yang dibagi
menjadi 6 klas yaitu Klas I-datar (0-3º), Klas
II-landai (3-8º), Klas III-bergelombang (8-
15º), Klas IV-agak curam (15-25º), Klas V-
curam (25-40º), dan Klas VI-sangat curam
(>40º).
Hasil analisa kemiringan lereng untuk areal
Sub DAS Riam Kanan tersaji dalam tabel 11
dan gambar 6 berikut:
Tabel 11: Kemiringan lereng
No. Kelas Kemiringan Luas Prosentase
(%) (km2
)
1 I 0-3 575.3931 49.69
2 II 3-8 130.3448 11.26
3 III 8-15 199.8813 17.26
4 IV 15-25 5.2907 0.46
5 V 25-45 169.0990 14.60
6 VI >45 77.9512 6.73
1157.9600 100.00Total
Gambar 6: Pembagian kemiringan lereng
4.6. Indeks Erosivitas
Indeks erosivitas hujan (R) didefinisikan
sebagai jumlah satuan indeks erosi hujan
dalam setahun. Nilai R yang merupakan daya
rusak hujan, dapat ditentukan dengan
persamaan Bols (1978) dalam Suripin
(2002:72)
526,0
max
474.0211,1
30 ..119,6 PNPEI b
−
=
dengan :
EI30 = Indeks erosi hujan bulanan (KJ/ha)
Pb = Curah hujan bulanan (cm)
N = Jumlah hari hujan per bulan
Pmax = Hujan maksimum harian (24 jam)
dalam bulan yang bersangkutan
(cm)
Tabel 12: Erosivitas lahan 15 tahun terakhir
Tahun Erosivitas Tahun Erosivitas Tahun Erosivitas
1992 1,761.00     1997 1,242.68     2002 1,132.95         
1993 3,089.67     1998 1,559.52     2003 4,131.17         
1994 1,345.33     1999 1,070.33     2004 2,172.82         
1995 1,874.74     2000 1,441.14     2005 2,130.19         
1996 1,310.23     2001 356.23        2006 1,562.40         
26,180.40      
1,745.36         
Total Indeks Erosivitas 
Rata rata
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 9
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
4.7. Indeks Erodibilitas Tanah (K)
Penentuan nilai indeks erodibilitas tanah (K)
terhadap jenis tanah dilakukan dengan
menggunakan peta jenis tanah dari Dinas
Kehutanan seperti terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7: Erodibilatas Lahan
4.8. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tingkat bahaya erosi merupakan suatu
perkiraan jumlah tanah hilang maksimum
yang akan terjadi pada sebidang lahan.
Dalam pelaksanaan program konservasi
tanah salah satu informasi penting yang
harus diketahui adalah tingkat bahaya erosi
(TBE). Penentuan TBE, menggunakan
pendekatan tebal solum tanah ( Dirjen RLKT
Departemen Kehutanan. Makin dangkal
solum tanahnya, berarti makin sedikit
tanahnya yang tererosi, sehingga TBEnya
sudah cukup besar meskipun tanah yang
hilang belum terlalu besar (Hardjowigeno,
2003: 203). Pada Tabel 12. disajikan
penilaian TBE berdasarkan atas tebal solum
tanah dan besarnya laju erosi. Berdasarkan
analisa tingkat bahaya erosi (TBE) tersebut,
dapat diketahui bahwa 19.862 % lahan di sub
DAS Riam Kanan mengalami tingkat bahaya
erosi yang sangat berat.
Tabel 12: Tingkat Bahaya Erosi
No. TBE Luas Prosentase
(km2
)
1 Sangat Ringan 79.730 6.885
2 Ringan 245.684 21.217
3 Sedang 174.240 15.047
4 Berat 381.069 32.909
5 Sangat Berat 229.995 19.862
6 No TBE 47.243 4.080
1157.960 100.000Jumlah
4.9. Kekritisan Lahan dan Laju Erosi
Kekritisan lahan adalah suatu lahan yang
keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga
lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara
baik sesuai dengan peruntukannya baik
sebagai media produksi maupun sebagai
media tata air. Lahan yang tergolong kritis
tersebut dapat berupa: (a) tanah gundul
yang tidak bervegetasi sama sekali; (b)
ladang alang-alang atau tanah yang
ditumbuhi semak belukar yang tidak
produktif; (c) areal berbatu-batu, berjurang
atau berparit sebagai akibat erosi tanah; (d)
tanah yang kedalaman solumnya sudah tipis
sehingga tanaman tidak dapat tumbuh
dengan baik; (e) tanah yang tingkat erosinya
melebihi erosi yang diijinkan. Tabel 13
menunjukkan sebaran kekritisan lahan di
Sub DAS Riam Kanan, dari tabel ini terlihat
bahwa lahan kritis pada daerah ini lebih dari
43% atau dapat dikatakan bahwa hampir
setengah lahan sub DAS Riam telah menjadi
kritis.
Tabel 14 menunjukkan total dan laju erosi
pada setiuap sub DAS Mikro, dari tabel ini
terlihat bahwa ada beberapa sub Das Mikro
yang memiliki laju erosi yang sangat tinggi
yaitu sub DAS mikro 27, 4, 26.
Tabel 13: Keritisan Lahan Sub DAS Riam
Kanan
No. Kekritisan Luas Prosentase
(km2
)
1 Potensial Kritis 325.413 28.102
2 Semi Kritis 300.529 25.953
3 Kritis 308.728 26.661
4 Sangat Kritis 176.046 15.203
5 Tidak Kritis 47.243 4.080
1157.960 100.000Jumlah
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 10
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
Tabel 14: Total erosi disetiap Sub DAS Mikro
No Luas (Km2)
Erosi
(ton/th)
Laju Erosi
(mm/th)
1 49.08 183,081.63 2.33
2 15.51 128,131.84 5.16
3 15.39 332,985.61 13.52
4 45.16 2,316,617.80 32.06
5 26.95 132,571.86 3.07
6 18.60 25,701.73 0.86
7 46.50 1,020,299.47 13.71
8 19.13 288,177.41 9.42
9 39.85 322,060.06 5.05
10 5.57 170,509.16 19.13
11 15.34 266,504.92 10.86
12 26.18 599,013.20 14.30
13 25.74 76,748.76 1.86
14 58.42 422,830.55 4.52
15 17.81 126,109.27 4.43
16 21.26 284,922.10 8.38
17 56.84 389,710.53 4.29
18 57.84 664,906.54 7.18
19 18.74 184,828.91 6.16
20 40.10 364,217.84 5.68
21 40.38 1,042,689.09 16.14
22 29.30 132,066.60 2.82
23 281.53 932,597.97 2.07
24 37.30 62,544.70 1.05
25 42.76 1,361,700.69 19.90
26 85.04 4,288,764.86 31.52
27 21.64 1,357,085.69 39.19
17,477,378.79 284.68Total
4.10. Rencana Upaya Tindak Lanjut
Berdasarkan uraian uraian dimuka terutama
tentang tingkat laju Erosi, maka pada Sub
DAS Riam Kanan perlu dikelompokkan
menjadi 3 tahap penanganan yaitu jangka
pendek, menengah, dan panjang. Tabel 15
menunjukkan pembagian Sub DAS Mikro yang
harus ditindak lanjuti sesuai dengan jangka
waktu masing masing.
Untuk menetapkan urutan prioritas tentunya
diperlukan kajian lebih lanjut yang
menyangkut tentang dampak yang
ditimbulkan. Sebesar apapun erosi / yang
terjadi tetapi jika tidak berdampak pada
lingkungan termasuk sosial masyarakat maka
prioritas penanganan menjadi urutan
terakhir.
Tabel 15: Jangka waktu upaya tindak
Lanjut.
Jangka lanjutan
Pendek 3 4 7 10 11 12 21 25 26 27
Menengah 2 5 8 9 14 15 16 17 18 19 20
Panjang 1 6 13 22 23 24
Nomer Sub DAS Mikro Riam Kanan
Gambar 8: Tingkat Kekritisan Lahan
5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa analisa yang telah
dilakukan maka kekritisan lahan Sub DAS
Riam Kanan dapat disimpulkan sebagai
berikut :
• Erosi pada Sub DAS Riam Kanan sebesar
150,9322 ton/Ha/tahun dengan laju
erosi rata rata sebesar 9,43 mm/thn.
• Hampir 50% lahan pada Sub DAS Riam
Kanan merupakan daerah kritis yang
terbagai menjadi 2 yaitu sangat kritis
(176,046 Ha) dan kritis (308,728 Ha).
• Agar sub DAS Riam Kanan tidak menjadi
lebih parah maka harus ditangai secara
bertahap, 30% harus ditangani pada
jangka pendek, 32% masuk dalam
menengah dan 38% cukup ditangani
pada jangka panjang.
• Untuk menetapkan prioritas dan cara
penanganan perlu dikaji lebih lanjut
tentang dampak yang ditimbulkan di
masing masing sud Das Mikro.
Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 11
Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X
6. DAFTAR ACUAN
Puser Bumi, PT ( 2008 ), Laporan Sela Studi
Konservasi Sub DAS Riam Kanan, Balai
Wilayah Sungai Kalimantan II Dirjen SDA
Dep. PU.
Kirkby,MJ (1980), Soil Erosian, John Wiley &
Sons. Ltd, Chichiester.
Dent, D and Young, A (1981), Soil Survey
and Land Evaluation, George Allen &
Unwin, London.
Ananto Kusuma Seta (1987), Konservasi
sumber daya Tanah dan Air, Kalam
Mulia, Jakarta
Kartasaputro (2000), Teknologi Konservasi
Tanah & Air,Rineka Cipta, Jakarta

More Related Content

Analisa Lahan Kritis Sub DAS Riam Kanan Barito Kabupaten Banjar Kalimantan Tengah

  • 1. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 1 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X Analisa Lahan Kritis Sub DAS Riam Kanan DAS Barito Kabupaten Banjar Kalimantan Tengah Sismanto Staf pengajar Program Studi Diploma Teknik Sipil FTSP ITS Email : sismantosis@ce.its.ac.id ABSTRAK Fenomena kejadian banjir, tanah longsor, dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan pada sub Das Riam Kanan kabupaten banjar, merupakan indikasi adanya kerusakan lahan. Upaya Konservasi DAS harus dilakukan tetapi timbul pertanyaan dari mana upaya tersebut harus dimulai. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut, cara yang dilakukan adalah dengan mengintepretasi peta citra Aster, mengalisa tingkat erosi, dan mengklasifikasi lahan kritis. Hasil yang diperoleh dari analisa ini menunjukkan bahwa 43% Sub DAS Riam Kanan merupakan lahan kritis dengan erosi total 150,93 ton/Ha/tahun. Untuk mengembalikan pada fungsi DAS semula perlu tahapan upaya konservasi, 30% harus dilakukan dalam jangka pendek, 32% harus dilakukan pada jangka menengah dan sisanya bisa dilakukan pada jangka panjang. Kata kunci : DAS Barito, Sub DAS Riam Kanan, Erosi, lahan kritis 1. PENDAHULUAN. Sub DAS Riam Kanan merupakan salah satu bagian dari DAS Barito Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Fenomena kejadian banjir, tanah longsor, dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, hal ini mengindikasikan telah terjadi gangguan keseimbangan siklus hidrologi didaerah aliran sungai. Untuk itu, maka pada pada tanggal 28 April 2005 Pesiden RI mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada DAS sehingga keandalan sumber-sumber air baik kuantitas maupun kualitas airnya dapat terkendali. Agar GNKPA dapat berjalan sesuai dengan harapan semua pihak maka upaya konservasi DAS harus diawali dengan penetapan daerah kritis yang nantinya digunakan sebagai acuan untuk penetapan daerah daerah prioritas. Maksud dari kajian ini adalah untuk menetapkan daerah daerah kritis yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar perencanaan dalam upaya memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi Sub DAS sebagai ekosistim alam yang berperan dalam pengaturan siklus hidrologis. Kekritisan lahan pada suatu DAS merupakan suatu kondisi yang ditunjukkan oleh rendahnya kesuburan tanah karena lapisan tanah atas (top soil) telah hilang, lapisan ini sebagai media bagi micro flora dan micro fauna. Hilangnya lapisan tanah atas sebagian besar disebabkan oleh erosi, sehingga untuk melihat kekritisan suatu lahan dapat pula ditunjukkan oleh besarnya erosi yang terjadi. 2. RUMUSAN MASALAH Sub DAS Riam Kanan telah diindikasikan sebagai DAS Kritis yang perlu penanganan konservasi, untuk upaya itu perlu diketahui terlebih dahulu hal hal sebagai berikut : a. Berapa besar erosi yang terjadi b. wilayah bagian mana saja yang perlu mendapatkan penanganan konservasi pada jangka pendek, mengengah, dan jangka panjang. 3. METODOLOGI 3.1. Interpretasi foto satelit Secara umum metodologi yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah dengan langkah langkah sebagai berikut : a. Pengumpulan data sekunder yang diambil instansi instansi terkait dan dari
  • 2. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 2 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X 0 % 10 % 20 % 30 % 40 % 50 % 60 % 70 % 80 % 90 % 100 % Refleksi/PentulanGelombang Panjang Gelombang 5 μ 6 μ 7 μ 8 μ 9 μ 10 μ 11 μ 12 μ 13 μ dst Panjang Gelombang Tanah Air studi studi terdahulu, dilanjutkan dengan orientasi lapangan. b. Pengadaan dan Analisa peta Citra Satelite dengan menggunakan aplikasi Arc View. c. Analisa dan perhitungan Erosi Lahan. d. Penetapan dan rangking prioritas daerah Kritis. Kegiatan pengumpulan data dibagi dalam 2 tahap, yaitu : (1) pengumpulan data awal dan (2) pengumpulan data lanjutan. Pengumpulan data awal dilakukan untuk mendapatkan gambaran awal tentang kondisi DAS. Secara umum data yang diperlukan dalam pekerjaan ini adalah : • peta rupa bumi, • data curah hujan, • peta geologi, • Data/Peta Tata Guna Lahan Citra Satelit adalah suatu gambar rekaman kondisi permukaan bumi yang di ambil dari sensor yang dibawa oleh satelit. Orbit satelit ini berada diluar angkasa ± 950 km dari permukaan bumi dan dapat merekam kembali setiap 16 km untuk daerah yang sama. Umumnya citra satelit yang digunakan untuk mendukung studi adalah jenis citra satelit TM (Thematic Mapper). Akan tetapi mulai tahun 2004 citra satelit TM tidak dapat diadakan, sebagai penggantinya mulai tahun 2005 telah diorbitkan citra satelit TERRA ASTER dengan spesifikasi sebagai berikut, Jenis Citra :TERRA ASTER Jenis Data : Data Digital dan Hard Copy Path / Row :118/66 Tahun : 2008 Band :1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 Resolusi :15 m s/d 30 m Liputan awan : max 10% Analisa Citra satelit dilakukan dengan cara interpretasi foto satelit yang dimassudkan untuk : • Penetapan luas tutupan lahan • Penetapan luas lahan kritis • Penetapan kemiringan lereng • Penetapan bentuk lahan (land form) • Identifikasi sumber-sumber air 3.1.1. Penetapan luas tutupan lahan Luas tutupan lahan pada DAS di interpretasikan dengan cara: 1. Menyiapkan citra satelit dalam bentuk hard copy skala 1 : 250.000. 2. Melakukan delineasi objek tutupan lahan secara visual dengan bentuan alat loupe (kaca pembesar). 3. Melakukan cross check dengan kunci interpretasi (sampel interpretasi yang diperoleh de lapangan) guna perbaikan delineasi tutupan lahan. 4. hasil delineasi tutupan lahan tersebut ditransfer / dipindah kedalam peta dasar yang diperoleh dari Peta Rupa Bumi skala 1 : 25.000 dengan metode adjusment / penyesuaian. 5. Kemudian diatas peta skala 1 : 25.000 tersebut dilakukan perhitungan luasnya dengan bantuan alat planimeter. 3.1.2. Penetapan luas lahan kritis Fenomena untuk penetapan lahan kritis sebagaimana dijelaskan dalam pendekatan studi tersebut dimuka adalah bahwa lahan kritis ditentukan dari paduan beberapa faktor antara lain Topografi, Intensitas hujan, Penutup lahan, Kepekaan lahan, dan Budaya manusia Grafik Karakteristik Spektrum Band Citra Terra Aster Guna menginterpretasikan luas lahan kritis antara lain caranya sebagai berikut : 1. Menyiapkan citra satelit dalam bentuk hard copy skala 1 : 250.000 2. Disamping sitra satelit tersebut juga disiapkan : • Peta RBI skala 1 : 25.000 • Peta tanah skala 1 : 50.000
  • 3. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 3 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X • Peta isohyet atau peta poligon Theissen 3. Kemudian dilakukan klarifikasi data topografi yang diwakili oleh besarnya kemiringan lereng. Disamping itu data tanah juga di klarifikasikan menurut LPT Dep. Pertanian sebagai berikut : • Tanah aluvial, glei, planosol Hidromorf kelabu, lateril diklarifikasikan tidak peka terhadap erosi • Latosol diklarifikasikan agak peka terhadap erosi • Brown Forest Soil, Non Classic Brown, Mediteran diklarifikasikan kurang peka terhadap erosi • Andosol, laterit, grumusol, podsol dan podsolid diklarifikasikan peka terhadap erosi. • Regosol, litosol, organosol, rluzina diklarifikasikan peka terhadap erosim. • Data intensitas hujan (mm/hari) diklarifikasikan sebagai berikut : o 0 – 13,6 : sangat rendah o 13,6 – 20,7 : rendah o 20,7 – 27,7 : sedang o 27,7 – 34,8 : tinggi o > 34,8 % : sangat tinggi 4. Hasil klarifikasi data faktor tersebut diatas (topografi, intensitas hujan, penutup lahan, kepekaan tanah dan budaya manusia) dalam hal ini digunakan untuk membantu delineasi klasifikasi masing-masing faktor tersebut pada citra satelit aster dengan prinsip sebagai berikut : • Makin curam topografinya, klasifikasinya semakin kritis lahannya • Makin besar intensitas curah hujannya klasifikasinya semakin kritis • Semakin terang vegetasi penutup lahannya (kecuali sawah-sawah dan pemukiman) semakin besar tingkat kekritisan lahannya. • Semakin peka jenis tanahnya, klasifikasinya semakin besar tingkat kekritisan lahannya. • Semakin padat penduduknya, klasifikasinya semakin besar tingkat kekritisan lahannya. 5. Dari delineasi klasifikasi masing-masing faktor kemudian di super impose untuk mendapatkan sub delineasi. Tingkat kekritisan lahan dalam hal ini klasifikasi lahan kritis dibedakan dengan : • Erosi asngat berat • Erosi berat • Erosi sedang • Erosi ringan • Hampir tidak ada erosi 6. Kemudian data klasifikasi lahan kritis ini ditranfer kedalam peta dasar RBI skala 1 : 25.000 akan diperoleh peta lahan kritis. 7. Dari peta lahan kritis tersebut masing- masing klasifikasi dihitung luasnya dengan alat planimeter, sehingga akan mendapatkan angka luas lahan kritis secara akurat karena peta RBI telah mempunyai angka koordinat yang bergeoreferensi. 3.1.3. Penetapan kemiringan lereng Cara interpretasi kemiringan lereng pada citra satelit Aster dalam hal ini kadang harus berbenturan dengan data peta RBI skala 1 : 25.000. Pada prinsipnya kemiringan lereng dapat dihitung dari kerapatan kontur pada peta RBI. Semakin rapat garis konturnya disini dapat diasumsikan semakin curam lerengnya. Klasifikasi lereng yang telah diutarakan tersebut didasarkan pada asumsi : Tg α = 1 α = 450 Slope = 100 % 3.1.4. Penetapan bentuk lereng Cara interpretasi citra satelit Terra Aster untuk mengetahui penyebaran bentuk lahan (land form) yaitu dengan : • Melihat kenampakan tiga dimensi pada peta • Membedakan pola aliran sungai dan bentuk percabangan anak-anak sungainya
  • 4. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 4 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X • Berbatuan dengan peta kemiringan lereng yang telah dibuat Kemudian hasil delineasi land form pada citra satelit ditransfer kedalam peta dasar RBI dan seterusnya dihitung luasnya dengan planimeter. 3.2. Analisa Erosi Lahan Untuk mengetahui tingkat kekritisan suatu DAS, salah satu indikatornya adalah besarnya erosi yang terjadi pada DAS tersebut. Dari sekian banyak rumusan yang dapat dipergunakan untuk memprediksi besarnya erosi, model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang biasa dikenal dengan the Universal Soil Loss Equation (USLE) merupakan metode yang paling populer dan banyak digunakan untuk memprediksi besarnya erosi. USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion) termasuk di dalamnya erosi alur (rill erosion) pada suatu keadaan tertentu. Erosi yang terjadi selanjutnya dihitung pada masing-masing unit lahan, dilajutkan dengan perhitungan laju rata-rata erosi dari suatu bidang tanah tertentu. Persamaan yang dipergunakan mengelompokkan berbagai parameter fisik (dan pengelolaan) yang mempengaruhi laju erosi ke dalam enam parameter utama. Persamaan USLE yang diusulkan adalah sebagai berikut: dimana: A = adalah banyaknya tanah yang tererosi dalam [ton per hektar per tahun]. R = adalah faktor curah hujan dan aliran permukaaan (erosivitas hujan), yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan. K = adalah faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 72,6 ft (22,1 m) dan terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman. L = adalah faktor panjang lereng, yaitu perbandingan antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 ft (22,1 m) di bawah keadaan yang identik. S = adalah faktor kecuraman lereng, yaitu perbandingan antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu bidang tanah dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik. C = adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu perbandingan antara besarnya erosi dari suatu bidang tanah dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman. P = adalah faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu perbandingan antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakukan tindakan konservasi khusus. Dengan memasukkan parameter-parameter R, K, LS, P dan C dalam rumus USLE, dapat diprediksi besarnya erosi tanah yang terjadi; parameter-parameter tersebut dapat diperoleh dari literatur (Kironoto dan Yulistiyanto, 2000). Besarnya erosi yang terjadi dapat memberikan gambaran tingkat erosi (kekritisan) yang terjadi pada suatu DAS, apakah dalam tingkatan yang membahayakan atau belum. Erosivitas hujan dapat dihitung dengan ditentukan dengan persamaan Bols (1978). Sedangkan faktor erodibilitas tanah, K, adalah nilai kuantitatif yang telah didefenisikan pada pembahasan terdahulu yang dapat diperoleh dari percobaan lapangan. Jika tidak terdapat data lapangan, maka nilai K dapat dihitung dengan menggunakan nomogram seperti tercantum pada Gambar F.8 atau dengan mempergunakan persamaan berikut : 100 K = 1,292 [2,1 M1,14 (10-4)(12 – a) + 3,25 (b – 2) + 2,5(c – 3)] dimana A = R K L S C P
  • 5. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 5 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X M = persentase fraksi pasir sangat halus dan fraksi debu (diameter 0,1 – 0,05 mm dan 0,05 –0,02 mm) × (100 – persentase fraksi lempung), a = persentase bahan organik, b = kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah (Tabel 1), dan c = kode klas permeabilitas profil tanah (Tabel 2). Tabel 1: Kode Struktur tanah Kelas Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Kode (b) Granuler sangat halus (< 1 mm) 1 Granuler halus (1 s/d 2 mm) 2 Granuler sedang (2 s/d 10 mm) 3 Blok, blocky, plat, masif 4 Tabel 2: Kode Permeabilitas Profil tanah Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode (c) Sangat lambat < 0,5 6 Lambat 0,5 − 2,0 5 Lambat s/d sedang 2,0 − 6,3 4 Sedang 6,3 − 12,7 3 Parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No.041 /Kpts/V/1998 meliputi : • kondisi tutupan vegetasi • kemiringan lereng • tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop), dan • kondisi pengelolaan, produktivitas dan manajemen Klasifikasi dari masing masing penentu dapat dilihat pada tabel 3 sampai 6. Penentuan lahan kritis dalam suatu DAS atau Sub DAS dilakukan dengan pemodelan spasial menggunakan perangkat lunak GIS. Metode yang digunakan untuk perolehan data ini adalah overlay dengan cara skoring untuk penentuan tingkat kekritisan suatu lahan. Tabel 3: Klasifikasi tutupan lahan Tabel 4: Klasifikasi Kemiringan lereng Tabel 5: Klasifikasi Erosi
  • 6. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 6 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X Tabel 6: Klasifikasi Produktivitas 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Konstruksi DEM dan aplikasinya Konstruksi DEM (Digital Elevation Model) yang disediakan pada beberapa modul di berbagai perangkat lunak GIS pada dasarnya menggunakan formula matematis yang hampir sama. Metode yang paling umum digunakan adalah metode linear gridding yaitu cara untuk menginterpolasi data ketinggian (baik berupa garis maupun titik ) kemudian dikonversi menjadi format raster yang hasil akhirnya berupa piksel atau cell grid. Data DEM merupakan data spasial yang berisi nilai ketinggian, dari data DEM ini dapat diekstraksi menjadi beberapa turunan data spasial lain seperti contour reconditioning. Data DEM yang dihasilkan pada penelitian ini dihasilkan dari data kontur digital RBI skala 1:25,000 yang memiliki interval 12,5m. Pembangunan data ini dilakukan dengan menggunakan ArcView 3.2 (ekstensi spatial analyis 2.0). Model seperti ini sudah banyak dikembangkan pada perangkat lunak pengolah data GIS lainnya. Data DEM SRTM yang dapat diperoleh secara gratis melalui akses internet ke NASA memiliki resolusi 90 m. Hasil pengukuran ketelitian akurasi vertikal untuk data DEM SRTM ini menunjukkan kesalahan sekitar 18- 25m, sedangkan pada data kontur RBI skala 1:25,000 dari BAKOSURTANAL, kesalahan vertikalnya < 5 m, sehingga DEM yang digunakan untuk analisis adalah DEM yang dikontruksi dari data RBI digital 1:25,000. Hasil pengolahan DEM ini dapat dilihat pada gambar 2 berikut, Gambar 2: Perbandingan Hasil DEM dari RBI 1:25.000 (kiri) dan dari SRTM resolusi 90m (kanan) 4.2. Ekstraksi Data Kemiringan Lereng Seperti telah dijelaskan pada bagian metodologi bahwa data lereng yang dihasilkan pada kegiatan ini merupakan suatu produk dari aplikasi otomatis perangkat lunak GIS ArcView 3.2 melalui fasilitas ekstensi Spatial Analysis. Kelebihan utama dari tools ini adalah pengguna dapat menentukan klas lereng secara fleksibel sesuai peruntukannya. Hal ini dikarenakan format data yang digunakan sebagai bahan analisa adalah format grid (sel raster). Nantinya data ini harus dikonversi kembali ke format vektor agar dapat dianalisa bersamaan dengan data-data (pemodelan spasial). Klas kemiringan lereng yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 5 klas tetapi guna mempertajam analisa kawasan selanjutnya maka klas lereng dikelompokkan menjadi 6 klas yaitu Klas I-datar (0-3º), Klas II-landai (3-8º), Klas III-bergelombang (8- 15º), Klas IV-agak curam (15-25º), Klas V- curam (25-40º), dan Klas VI-sangat curam (>40º). Hasil analisa kemiringan lereng untuk areal Sub DAS Riam Kanan tersaji dalam tabel 7 berikut:
  • 7. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 7 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X Tabel 7: Hasil analisa kemiringan lereng No. Kelas Kemiringan Luas Prosentase (%) (km2 ) 1 I 0-3 575.3931 49.69 2 II 3-8 130.3448 11.26 3 III 8-15 199.8813 17.26 4 IV 15-25 5.2907 0.46 5 V 25-45 169.0990 14.60 6 VI >45 77.9512 6.73 1157.9600 100.00Total 4.3. Ekstraksi Data Tutupan Lahan Ekstraksi data tutupan lahan ini sepenuhnya bertumpu pada interpretasi visual citra ASTER. Data spasial yang digunakan sevagai bahan analisa adalah data citra satelit ASTER perekaman tahun 2007. Untuk menghasilkan komposit warna asli (true color) pada citra ASTER dilakukan operasi matematis dengan menerapkan formulasi RGB: band2, (3 x band1 + band3) / 4, band1 yang hasilnya seperti tampak pada gambar 3 dan hasil selengkapnya dapat dilihat pada gambar 4. Berdasarkan hasil liputan citra ini dapat dihitung luas masing masing jenis tutupan lahan seperti ditunjukkan pada tabel 8. Gambar 3: Kenampakan citra ASTER RGB 321 Gambar 4. Tutupan lahan hasil liputan Citra ASTER Tabel 8. Luas tutupan lahan dari citra aster 2008 No. Jenis Tutupan Lahan Luas Prosentase (km2 ) 1 Belukar 206.9647 17.873 2 Danau 46.5316 4.018 3 Hutan 509.9396 44.038 4 Kebun Produktif 114.9329 9.925 5 Ladang/Tegalan 162.5119 14.034 6 Pemukiman 43.1860 3.729 7 Rawa 0.0953 0.008 8 Sawah Tadah Hujan 0.2554 0.022 9 Sawah 64.8900 5.604 10 Sungai Lebar 8.6524 0.747 1157.9600 100.000Total Jika luas tutupan lahan tahun 2008 ini dibandingkan dengan luas tutupan lahan pada tahun 2006 yang dihasilkan dari olahan peta RBI (tabel.9) hanya ada sedikit perubahan. Tabel 9. Luas tutupan lahan tahun 2006 No. Jenis Tutupan Lahan Luas Prosentase (km2 ) 1 Belukar 207.7872 17.944 2 Danau 46.7719 4.039 3 Hutan 509.5131 44.001 4 Kebun 118.5519 10.238 5 Ladang/Tegalan 163.4670 14.117 6 Pemukiman 31.0015 2.677 7 Rawa 0.0954 0.008 8 Sawah Tadah Hujan 0.2557 0.022 9 Sawah 74.3172 6.418 10 Sungai Lebar 6.0562 0.523 1157.9600 100.000Total 4.4. Daerah Tangkapan Air (DTA) Pengolahan DEM-DTM digunakan untuk mendapatkan peta kontur dalam format grid dari peta topografi digital dengan skala 1:25.000. Kemudian dari DEM dalam format grid tersebut akan didapatkan peta jaringan sungai sintetik. Setelah peta jaringan sungai sintetik terbentuk maka dapat digunakan dalam penentuan peta batasan DAS (model DAS). Dengan pemodelan batasan DAS beserta jaringan sungai sintetiknya, maka akan didapatkan karakteristik fisik daerah yang berupa arah aliran (flow direction), panjang aliran (flow lenght) dari upstream DAS sampai outlet, dan kemiringan lereng (slope). Dengan kata lain dari proses DEM- DTM juga untuk penentuan faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) yang nantinya digunakan dalam penentuan besarnya laju erosi. Hasil analisa ini menunjukkan bahwa Sub DAS Riam Kanan yang luasnya 1.157,96 Km2 terbagi menjadi 27 Sub DAS Mikro. Gambar 5 menunjukkan pembagian sub DAS mikro
  • 8. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 8 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X Riam Kanan dan tabel 10 menunjukkan luas masing masing sub DAS Mikro tersebut. Gambar 5: Pembagian Sub DAS Miro Tabel 10: Luas Sub DAS Mikro Riam Kanan No Luas  (Km2) No Luas  (Km2) No Luas (Km2) 1 49.08        10 5.57          19 18.74       2 15.51        11 15.34        20 40.10       3 15.39        12 26.18        21 40.38       4 45.16        13 25.74        22 29.30       5 26.95        14 58.42        23 281.53     6 18.60        15 17.81        24 37.30       7 46.50        16 21.26        25 42.76       8 19.13        17 56.84        26 85.04       9 39.85        18 57.84        27 21.64       1,157.96Luas Total DAS 4.5. Kemiringan Lereng Klas kemiringan lereng yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 5 klas tetapi guna mempertajam analisa kawasan selanjutnya maka klas lereng yang dibagi menjadi 6 klas yaitu Klas I-datar (0-3º), Klas II-landai (3-8º), Klas III-bergelombang (8- 15º), Klas IV-agak curam (15-25º), Klas V- curam (25-40º), dan Klas VI-sangat curam (>40º). Hasil analisa kemiringan lereng untuk areal Sub DAS Riam Kanan tersaji dalam tabel 11 dan gambar 6 berikut: Tabel 11: Kemiringan lereng No. Kelas Kemiringan Luas Prosentase (%) (km2 ) 1 I 0-3 575.3931 49.69 2 II 3-8 130.3448 11.26 3 III 8-15 199.8813 17.26 4 IV 15-25 5.2907 0.46 5 V 25-45 169.0990 14.60 6 VI >45 77.9512 6.73 1157.9600 100.00Total Gambar 6: Pembagian kemiringan lereng 4.6. Indeks Erosivitas Indeks erosivitas hujan (R) didefinisikan sebagai jumlah satuan indeks erosi hujan dalam setahun. Nilai R yang merupakan daya rusak hujan, dapat ditentukan dengan persamaan Bols (1978) dalam Suripin (2002:72) 526,0 max 474.0211,1 30 ..119,6 PNPEI b − = dengan : EI30 = Indeks erosi hujan bulanan (KJ/ha) Pb = Curah hujan bulanan (cm) N = Jumlah hari hujan per bulan Pmax = Hujan maksimum harian (24 jam) dalam bulan yang bersangkutan (cm) Tabel 12: Erosivitas lahan 15 tahun terakhir Tahun Erosivitas Tahun Erosivitas Tahun Erosivitas 1992 1,761.00     1997 1,242.68     2002 1,132.95          1993 3,089.67     1998 1,559.52     2003 4,131.17          1994 1,345.33     1999 1,070.33     2004 2,172.82          1995 1,874.74     2000 1,441.14     2005 2,130.19          1996 1,310.23     2001 356.23        2006 1,562.40          26,180.40       1,745.36          Total Indeks Erosivitas  Rata rata
  • 9. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 9 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X 4.7. Indeks Erodibilitas Tanah (K) Penentuan nilai indeks erodibilitas tanah (K) terhadap jenis tanah dilakukan dengan menggunakan peta jenis tanah dari Dinas Kehutanan seperti terlihat pada Gambar 7. Gambar 7: Erodibilatas Lahan 4.8. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Tingkat bahaya erosi merupakan suatu perkiraan jumlah tanah hilang maksimum yang akan terjadi pada sebidang lahan. Dalam pelaksanaan program konservasi tanah salah satu informasi penting yang harus diketahui adalah tingkat bahaya erosi (TBE). Penentuan TBE, menggunakan pendekatan tebal solum tanah ( Dirjen RLKT Departemen Kehutanan. Makin dangkal solum tanahnya, berarti makin sedikit tanahnya yang tererosi, sehingga TBEnya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar (Hardjowigeno, 2003: 203). Pada Tabel 12. disajikan penilaian TBE berdasarkan atas tebal solum tanah dan besarnya laju erosi. Berdasarkan analisa tingkat bahaya erosi (TBE) tersebut, dapat diketahui bahwa 19.862 % lahan di sub DAS Riam Kanan mengalami tingkat bahaya erosi yang sangat berat. Tabel 12: Tingkat Bahaya Erosi No. TBE Luas Prosentase (km2 ) 1 Sangat Ringan 79.730 6.885 2 Ringan 245.684 21.217 3 Sedang 174.240 15.047 4 Berat 381.069 32.909 5 Sangat Berat 229.995 19.862 6 No TBE 47.243 4.080 1157.960 100.000Jumlah 4.9. Kekritisan Lahan dan Laju Erosi Kekritisan lahan adalah suatu lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Lahan yang tergolong kritis tersebut dapat berupa: (a) tanah gundul yang tidak bervegetasi sama sekali; (b) ladang alang-alang atau tanah yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif; (c) areal berbatu-batu, berjurang atau berparit sebagai akibat erosi tanah; (d) tanah yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik; (e) tanah yang tingkat erosinya melebihi erosi yang diijinkan. Tabel 13 menunjukkan sebaran kekritisan lahan di Sub DAS Riam Kanan, dari tabel ini terlihat bahwa lahan kritis pada daerah ini lebih dari 43% atau dapat dikatakan bahwa hampir setengah lahan sub DAS Riam telah menjadi kritis. Tabel 14 menunjukkan total dan laju erosi pada setiuap sub DAS Mikro, dari tabel ini terlihat bahwa ada beberapa sub Das Mikro yang memiliki laju erosi yang sangat tinggi yaitu sub DAS mikro 27, 4, 26. Tabel 13: Keritisan Lahan Sub DAS Riam Kanan No. Kekritisan Luas Prosentase (km2 ) 1 Potensial Kritis 325.413 28.102 2 Semi Kritis 300.529 25.953 3 Kritis 308.728 26.661 4 Sangat Kritis 176.046 15.203 5 Tidak Kritis 47.243 4.080 1157.960 100.000Jumlah
  • 10. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil TerkiniHalaman 10 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X Tabel 14: Total erosi disetiap Sub DAS Mikro No Luas (Km2) Erosi (ton/th) Laju Erosi (mm/th) 1 49.08 183,081.63 2.33 2 15.51 128,131.84 5.16 3 15.39 332,985.61 13.52 4 45.16 2,316,617.80 32.06 5 26.95 132,571.86 3.07 6 18.60 25,701.73 0.86 7 46.50 1,020,299.47 13.71 8 19.13 288,177.41 9.42 9 39.85 322,060.06 5.05 10 5.57 170,509.16 19.13 11 15.34 266,504.92 10.86 12 26.18 599,013.20 14.30 13 25.74 76,748.76 1.86 14 58.42 422,830.55 4.52 15 17.81 126,109.27 4.43 16 21.26 284,922.10 8.38 17 56.84 389,710.53 4.29 18 57.84 664,906.54 7.18 19 18.74 184,828.91 6.16 20 40.10 364,217.84 5.68 21 40.38 1,042,689.09 16.14 22 29.30 132,066.60 2.82 23 281.53 932,597.97 2.07 24 37.30 62,544.70 1.05 25 42.76 1,361,700.69 19.90 26 85.04 4,288,764.86 31.52 27 21.64 1,357,085.69 39.19 17,477,378.79 284.68Total 4.10. Rencana Upaya Tindak Lanjut Berdasarkan uraian uraian dimuka terutama tentang tingkat laju Erosi, maka pada Sub DAS Riam Kanan perlu dikelompokkan menjadi 3 tahap penanganan yaitu jangka pendek, menengah, dan panjang. Tabel 15 menunjukkan pembagian Sub DAS Mikro yang harus ditindak lanjuti sesuai dengan jangka waktu masing masing. Untuk menetapkan urutan prioritas tentunya diperlukan kajian lebih lanjut yang menyangkut tentang dampak yang ditimbulkan. Sebesar apapun erosi / yang terjadi tetapi jika tidak berdampak pada lingkungan termasuk sosial masyarakat maka prioritas penanganan menjadi urutan terakhir. Tabel 15: Jangka waktu upaya tindak Lanjut. Jangka lanjutan Pendek 3 4 7 10 11 12 21 25 26 27 Menengah 2 5 8 9 14 15 16 17 18 19 20 Panjang 1 6 13 22 23 24 Nomer Sub DAS Mikro Riam Kanan Gambar 8: Tingkat Kekritisan Lahan 5. KESIMPULAN Berdasarkan analisa analisa yang telah dilakukan maka kekritisan lahan Sub DAS Riam Kanan dapat disimpulkan sebagai berikut : • Erosi pada Sub DAS Riam Kanan sebesar 150,9322 ton/Ha/tahun dengan laju erosi rata rata sebesar 9,43 mm/thn. • Hampir 50% lahan pada Sub DAS Riam Kanan merupakan daerah kritis yang terbagai menjadi 2 yaitu sangat kritis (176,046 Ha) dan kritis (308,728 Ha). • Agar sub DAS Riam Kanan tidak menjadi lebih parah maka harus ditangai secara bertahap, 30% harus ditangani pada jangka pendek, 32% masuk dalam menengah dan 38% cukup ditangani pada jangka panjang. • Untuk menetapkan prioritas dan cara penanganan perlu dikaji lebih lanjut tentang dampak yang ditimbulkan di masing masing sud Das Mikro.
  • 11. Volume 6, Nomor 1, Pebruari 2009 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 11 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X 6. DAFTAR ACUAN Puser Bumi, PT ( 2008 ), Laporan Sela Studi Konservasi Sub DAS Riam Kanan, Balai Wilayah Sungai Kalimantan II Dirjen SDA Dep. PU. Kirkby,MJ (1980), Soil Erosian, John Wiley & Sons. Ltd, Chichiester. Dent, D and Young, A (1981), Soil Survey and Land Evaluation, George Allen & Unwin, London. Ananto Kusuma Seta (1987), Konservasi sumber daya Tanah dan Air, Kalam Mulia, Jakarta Kartasaputro (2000), Teknologi Konservasi Tanah & Air,Rineka Cipta, Jakarta