際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
1
Menakar Independensi KPUD di NTT:
Catatan Reflektif-Transformatif
Sipri Jemalur
*
Peserta Sekolah Demokrasi Manggarai Barat
Proses penerimaan dan seleksi anggota KPU tingkat propinsi di NTT sedang berjalan
dengan mengacu pada UU no 15/ 2011 tentang penyelenggara Pemilu dan Peraturan KPU
No. 2 Tahun 2013 tentang seleksi anggota KPU Propinsi dan kabupaten/kota. Dengan
mengacu pada peraturan yang sama, proses seleksi anggota KPU di seluruh kabupaten di
NTT pun akan digelar setlah KPU melantik dan menetapkan anggota KPUD NTT. Dari segi
persyaratan administratif dan proses seleksi, baik calon anggota KPUD propinsi maupun
kabupaten relatif sama.
Bila ditinjau dari segi proses dan lamanya waktu, maka proses seleksinya berjalan
cukup lama karena melalui berbagai rangkaian tahapan baik dari segi verifikasi administratif
maupun dari segi materi yang akan diuji dan berlangsung secara ketat dan kompetitif.
Lamanya proses serta kompetitifnya persaingan tentu menimbulkan ekspektasi masyarakat
yang tinggi bahwa anggota KPUD yang dihasilkan nanti sangat berbobot, kompeten, dan
profesional serta berintegritas tinggi dan independen.
Independensi KPUD
KPU baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi dan kabupaten adalah lembaga
yang mandiri, dan indepen. Kemandirian dan independensi KPU inisecara normatif berarti
lembaga ini tidak bisa dipengaruhi oleh kepentingan dan pengaruh politik terutam partai
politik dan para politisi baik di tingkat pusat maupun di daerah. Karena itu, kemandirian dan
independensi ini sangat substansial dalam rangka memfasilitasi proses politik dan
demokratisasi di Indonesia secara keseluruhan. Pada titik ini KPU menjadi menjadi medium
yang tepat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memberikan legitimasi dan
kepercayaan politiknya terhadap calon dan partai politik yang mereka wakili. Independesni
2
Kpu memungkinkan dukungan dan pilihan politik rakyat bersifat obyektif dan adil, tidak
nyasar atau hilang.
Namun demikian, apakah KPU baik di propinsi dan kabupaten selama ini dan ke
depan benar-benar independen dan mandiri dan ebas dari pengaruh dan kepentingan
politik? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelisik dalam beberapa narasi berikut.
Pertama, dalam beberapa kasus di NTT persoalan dan konflik politik baik pemilihan DPR
maupun Pilkada di tingkat lokal sering terjadi dan melibatkan KPU baik secara persorangan
maupun secara kelembagaan di KPU. Kpu seringkali tidak kebal terhadap pengaruh dari
kekuatan politik terutama partai politik. Sebagai contoh adalah kasus pilkada kabupaten
Nagekeo yang melibatkan KPU secara kelembagaan dengan para kandidat bupati dan wakil
bupati. Sebagai akibatnya, tugas dan wewenang KPU Nagekeo akhirnya diambil alih oleh
KPU NTT sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, proses pembentukan tim seleksi KPU. Hal ini tampak dalam proses
penentuan anggota tim seleksi KPUD baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU no 13/ 2007, bahwa keanggotaan tim seleksi
KPUD propinsi terdiri dari lima orang dengan mekanisme sebagai berikut. Untuk tingkat
propinsi,tim seleksi terdiri dari satu orang yang dipilih dan dtentukan oleh Gubernur, dua
orang dipilih oleh DPRD propinsi dan dua orang yang ditentukan oleh KPU. Baik Gubernur
maupun DPRD Propinsi tentu memiliki pertimbangan dan motif politis tertentu untuk
menetapkan sesorang untuk menjadi tim seleksi. Demikian pun dalam proses untuk
menentukan tim seleksi di tingkat kabupaten/ kota. Hadirnya gubernur/ bupati maupun
DPRD dalam menentukan tim seleksi KPU secara tidak langsung adalah bentuk intervensi
politik.
Tidak independennya tim seleksi KPUD secara tidak langsung berimplikasi pada hasil
yang mereka kerjakan. Kepentingan politis para tim selski berpengaruh terhadap penentuan
anggota KPU yang dipilih. Hemat saya, munculnya berbagai konflik yang melibatkan KPU
baik dengan warga masyarakat, politisi maupu dengan partai politik terjadi karena KPU itu
sama sekali tidak bebas dan independent mulai dari proses pemilihan mereka oleh tim
seleksi.Lebih dari itu, dalam proses dan tugas mereka menyelenggarakan pemilu tidak
pernah bebas dan indepen karena sudah ada bibit dependensi sebelumnya. Hal itu
nampak dalam berbagai narasi sebagai berikut; penggelembungan surat suara,
penghilangan surat suara, memfasilitasi proses penggelapan suara. Narasi-narasi konflik
3
seperti ini ada yang sudah terbongkar ke publik, tetapi juga masih tersimpan begitu rapi di
masing-masing kelembagaaan dengan berbagai modus operandinya.
Munculnya persoalan dan praktek manipulasi ini berdampak pada beberapa hal.
Pertama, KPU secara internal gagal membuktikan dirinya bahwa ia adalah lembaga yang
independen dan mandiri. Kedua, KPU gagal memfasilitasi legitimasipolitik dan pilihan politik
rakyat. Warga masyarakat yang memberikan pilihan politik mereka kepada seorang
kandidat/calon misalnya dapat saja hilang dan beralih pada kandidat/calon lain yang sama
sekali tidak dikenali oleh pemilih. Ketiga, dengan demikian, KPU gagal untuk menjadi pilar
pengembangan demkorasi di tingkat loka dan secara tidak langsung ikut berpartisipasi
pembusukan bibit demokrasi di tingkat lokall. Keempat, tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap kinerja KPU akan semakin berkurang.
Kontrol Intensif Publik
Merujuk pada berbagai kasus yang melibatkan KPU dengan para kandidat yang
bertarung dalam pilkada seperti di Jawa Timur dan di Nagekeo, kita patut memberikan
apresiasi yang tinggi terhadap keputusan yang dibuat oleh Dewan kehormatan
penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Mahkamah konstitusi. DKPP akhirnya meloloskan Kofifah
Indarpariwnagsa sebagai kandidat pilgub jatim yang dianulir oleh KPU propinsi serta
memecat semua komisioner KPU Nagekeo. Ketegasan DKPP untuk menegakan aturan dan
kode etik penyelenggara Pemilu adalah sebuah gejala positif akan praktik dan mekanisme
politik di Indonesia.
Namun demikian, apakah DKPP mampu untuk mengontrol semua pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh penyelnggara pemilu di Indonesia yang jumlahnya begitu besar?
Berhadapan dengan persoalan yang besar dan luas seperti ini, hemat saya ada beberapa
langkah strategis yang ditempuh.
Pertama, kontrol yang intesif dan ketat terhadap lembaga penyelenggara pemilu
terutam Panwaslu dan bawaslu di daerah. Kontrol yang ketat dan intesif ini memungkin
penyelenggara pemilu secara internal dapat mengurangi berbagai praktik kecurangan dan
pelnggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU bahkan juga oleh Panwaslu. Kedua, kontrol
publik/ masyarakat secara luas. Idealnya kontrol publik oleh masyarakat ini difasilitasi oleh
KPU baik di tingkat kabupaten maupun oleh KPU propinsi. Ketiga, peran dan partisipasi
4
media masaa. Media massa memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis karena skop
pemberitaannya yang sangat luas. Pada titik ini media massa sangat diharapkan untuk
menjadi salah satu pilar untuk membentengi tumbuh dan berkembangnya sistem pemilu
yang benar-benar demokratis, obyektif, dan transpara.
Kita tentu berharap bahwa KPU baik di tingkat pusat propinsi dan kabupaten adalah
lembaga yang benar-benar independ dan mandiri sebagai sudah secara normatif ditegaskan
dalam UU No 15/2011 tentang penyelengga pemilu. KPU yang indepedent dan mandiri
membawa manfaat yang sama dan berimbang baik para pelaku politik maupun warga
masyarakat yang memberikan legitimasi politik kepada pelaku politik. Lebih dari itu, KPU
telah menjadi pilar untuk memfasilitasi proses demokratisasi di Indonesia dan juga di tingkat
lokal/ daerah.

More Related Content

ARTIKEL KPU

  • 1. 1 Menakar Independensi KPUD di NTT: Catatan Reflektif-Transformatif Sipri Jemalur * Peserta Sekolah Demokrasi Manggarai Barat Proses penerimaan dan seleksi anggota KPU tingkat propinsi di NTT sedang berjalan dengan mengacu pada UU no 15/ 2011 tentang penyelenggara Pemilu dan Peraturan KPU No. 2 Tahun 2013 tentang seleksi anggota KPU Propinsi dan kabupaten/kota. Dengan mengacu pada peraturan yang sama, proses seleksi anggota KPU di seluruh kabupaten di NTT pun akan digelar setlah KPU melantik dan menetapkan anggota KPUD NTT. Dari segi persyaratan administratif dan proses seleksi, baik calon anggota KPUD propinsi maupun kabupaten relatif sama. Bila ditinjau dari segi proses dan lamanya waktu, maka proses seleksinya berjalan cukup lama karena melalui berbagai rangkaian tahapan baik dari segi verifikasi administratif maupun dari segi materi yang akan diuji dan berlangsung secara ketat dan kompetitif. Lamanya proses serta kompetitifnya persaingan tentu menimbulkan ekspektasi masyarakat yang tinggi bahwa anggota KPUD yang dihasilkan nanti sangat berbobot, kompeten, dan profesional serta berintegritas tinggi dan independen. Independensi KPUD KPU baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi dan kabupaten adalah lembaga yang mandiri, dan indepen. Kemandirian dan independensi KPU inisecara normatif berarti lembaga ini tidak bisa dipengaruhi oleh kepentingan dan pengaruh politik terutam partai politik dan para politisi baik di tingkat pusat maupun di daerah. Karena itu, kemandirian dan independensi ini sangat substansial dalam rangka memfasilitasi proses politik dan demokratisasi di Indonesia secara keseluruhan. Pada titik ini KPU menjadi menjadi medium yang tepat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memberikan legitimasi dan kepercayaan politiknya terhadap calon dan partai politik yang mereka wakili. Independesni
  • 2. 2 Kpu memungkinkan dukungan dan pilihan politik rakyat bersifat obyektif dan adil, tidak nyasar atau hilang. Namun demikian, apakah KPU baik di propinsi dan kabupaten selama ini dan ke depan benar-benar independen dan mandiri dan ebas dari pengaruh dan kepentingan politik? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelisik dalam beberapa narasi berikut. Pertama, dalam beberapa kasus di NTT persoalan dan konflik politik baik pemilihan DPR maupun Pilkada di tingkat lokal sering terjadi dan melibatkan KPU baik secara persorangan maupun secara kelembagaan di KPU. Kpu seringkali tidak kebal terhadap pengaruh dari kekuatan politik terutama partai politik. Sebagai contoh adalah kasus pilkada kabupaten Nagekeo yang melibatkan KPU secara kelembagaan dengan para kandidat bupati dan wakil bupati. Sebagai akibatnya, tugas dan wewenang KPU Nagekeo akhirnya diambil alih oleh KPU NTT sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Kedua, proses pembentukan tim seleksi KPU. Hal ini tampak dalam proses penentuan anggota tim seleksi KPUD baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU no 13/ 2007, bahwa keanggotaan tim seleksi KPUD propinsi terdiri dari lima orang dengan mekanisme sebagai berikut. Untuk tingkat propinsi,tim seleksi terdiri dari satu orang yang dipilih dan dtentukan oleh Gubernur, dua orang dipilih oleh DPRD propinsi dan dua orang yang ditentukan oleh KPU. Baik Gubernur maupun DPRD Propinsi tentu memiliki pertimbangan dan motif politis tertentu untuk menetapkan sesorang untuk menjadi tim seleksi. Demikian pun dalam proses untuk menentukan tim seleksi di tingkat kabupaten/ kota. Hadirnya gubernur/ bupati maupun DPRD dalam menentukan tim seleksi KPU secara tidak langsung adalah bentuk intervensi politik. Tidak independennya tim seleksi KPUD secara tidak langsung berimplikasi pada hasil yang mereka kerjakan. Kepentingan politis para tim selski berpengaruh terhadap penentuan anggota KPU yang dipilih. Hemat saya, munculnya berbagai konflik yang melibatkan KPU baik dengan warga masyarakat, politisi maupu dengan partai politik terjadi karena KPU itu sama sekali tidak bebas dan independent mulai dari proses pemilihan mereka oleh tim seleksi.Lebih dari itu, dalam proses dan tugas mereka menyelenggarakan pemilu tidak pernah bebas dan indepen karena sudah ada bibit dependensi sebelumnya. Hal itu nampak dalam berbagai narasi sebagai berikut; penggelembungan surat suara, penghilangan surat suara, memfasilitasi proses penggelapan suara. Narasi-narasi konflik
  • 3. 3 seperti ini ada yang sudah terbongkar ke publik, tetapi juga masih tersimpan begitu rapi di masing-masing kelembagaaan dengan berbagai modus operandinya. Munculnya persoalan dan praktek manipulasi ini berdampak pada beberapa hal. Pertama, KPU secara internal gagal membuktikan dirinya bahwa ia adalah lembaga yang independen dan mandiri. Kedua, KPU gagal memfasilitasi legitimasipolitik dan pilihan politik rakyat. Warga masyarakat yang memberikan pilihan politik mereka kepada seorang kandidat/calon misalnya dapat saja hilang dan beralih pada kandidat/calon lain yang sama sekali tidak dikenali oleh pemilih. Ketiga, dengan demikian, KPU gagal untuk menjadi pilar pengembangan demkorasi di tingkat loka dan secara tidak langsung ikut berpartisipasi pembusukan bibit demokrasi di tingkat lokall. Keempat, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja KPU akan semakin berkurang. Kontrol Intensif Publik Merujuk pada berbagai kasus yang melibatkan KPU dengan para kandidat yang bertarung dalam pilkada seperti di Jawa Timur dan di Nagekeo, kita patut memberikan apresiasi yang tinggi terhadap keputusan yang dibuat oleh Dewan kehormatan penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Mahkamah konstitusi. DKPP akhirnya meloloskan Kofifah Indarpariwnagsa sebagai kandidat pilgub jatim yang dianulir oleh KPU propinsi serta memecat semua komisioner KPU Nagekeo. Ketegasan DKPP untuk menegakan aturan dan kode etik penyelenggara Pemilu adalah sebuah gejala positif akan praktik dan mekanisme politik di Indonesia. Namun demikian, apakah DKPP mampu untuk mengontrol semua pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelnggara pemilu di Indonesia yang jumlahnya begitu besar? Berhadapan dengan persoalan yang besar dan luas seperti ini, hemat saya ada beberapa langkah strategis yang ditempuh. Pertama, kontrol yang intesif dan ketat terhadap lembaga penyelenggara pemilu terutam Panwaslu dan bawaslu di daerah. Kontrol yang ketat dan intesif ini memungkin penyelenggara pemilu secara internal dapat mengurangi berbagai praktik kecurangan dan pelnggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU bahkan juga oleh Panwaslu. Kedua, kontrol publik/ masyarakat secara luas. Idealnya kontrol publik oleh masyarakat ini difasilitasi oleh KPU baik di tingkat kabupaten maupun oleh KPU propinsi. Ketiga, peran dan partisipasi
  • 4. 4 media masaa. Media massa memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis karena skop pemberitaannya yang sangat luas. Pada titik ini media massa sangat diharapkan untuk menjadi salah satu pilar untuk membentengi tumbuh dan berkembangnya sistem pemilu yang benar-benar demokratis, obyektif, dan transpara. Kita tentu berharap bahwa KPU baik di tingkat pusat propinsi dan kabupaten adalah lembaga yang benar-benar independ dan mandiri sebagai sudah secara normatif ditegaskan dalam UU No 15/2011 tentang penyelengga pemilu. KPU yang indepedent dan mandiri membawa manfaat yang sama dan berimbang baik para pelaku politik maupun warga masyarakat yang memberikan legitimasi politik kepada pelaku politik. Lebih dari itu, KPU telah menjadi pilar untuk memfasilitasi proses demokratisasi di Indonesia dan juga di tingkat lokal/ daerah.