Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Pelayanan air minum di Indonesia masih belum memadai dan PDAM belum mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya.
2. PDAM selama ini kurang antisipatif terhadap perkembangan bisnis air minum seperti AMDK dan bisnis terkait lainnya.
3. Diperlukan landasan filosofis baru tentang pengelolaan sumber daya air dan peran negara serta swasta untuk meningkatkan pel
1 of 4
Download to read offline
More Related Content
QUO VADIS LAYANAN SUPLAI AIR MINUM (Kontan, 8 April 2015)
1. QUO VADIS LAYANAN AIR MINUM
Oleh Helsi Dinafitri
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan UU RI No 7 tahun 2004
tentang Sumber Daya Air. Lalu, mampukah negara mengefektifkan
pelayanan suplai air minum bagi rakyat, yang justru setiap hari
berjuang mendapatkan pelayanan atau harus membayar mahal
untuk mendapatkan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)
akibat keterbatasan pelayanan PDAM?
Pembatalan tersebut seharusnya dapat dipahami sebagai perubahan ke suatu arah
baru dalam pelayanan air minum, selain juga bentuk penolakan terhadap paham
neoliberalis yang menjadi promotor kehadiran UU No. 7 2004. Padahal, pada saat yang
sama negara sebenarnya dihadapkan pada keterbatasan menyediakan anggaraan bagi
pembangunan air minum. Misalnya, hingga 2019 dibutuhkan dana sebesar Rp 274,80
triliun, sedangkan negara hanya mampu menyediakan Rp 90,70 triliun atau sekitar
30%nya saja melalui APBN (Kompas 28 januari 2015).
Menarik dari kenyataan tersebut, sebenarnya suatu arah baru dalam pelayanan air
minum hanya dapat dimulai dari menjawab pertanyaan mendasar model ekonomi apa
yang cocok bagi Indonesia. Akan tetapi, tulisan ini bukan untuk membahas sebuah
model ekonomi dimaksud, melainkan lebih merupakan percikan pemikiran sebagai
refleksi terhadap apa yang sudah dilakukan selama ini dalam bisnis suplai air minum di
Tanah Air sampai dengan dihapusnya UU no 7 tahun 2004. Artinya, apa pun pilihan
model ekonomi yang ditempuh, yang terpenting adalah mengetahui titik lemah mana
yang harus diperbaiki.
40 Tahun Tanpa Antisipasi
Pelayanan PDAM Secara nasional, belum bisa mengejar rekan-rekan sesama
ASEAN. Tingkat pelayanan suplai air minum kita masih sekitar 55 % jauh di bawah
Vietnam (70%), Myanmar (84%), Filipina (82%), Thailand (85%), Singapura (100%). Belum
lagi kita bicara produk PDAM yang ketinggalan zaman karena sangat tidak praktis
sehingga berdampak pada kemahalan. Betapa tidak, untuk diminum harus lebih
dahulu memasaknya yang berarti perlu waktu, sementara gas yang digunakan untuk
memasak mahal pula.
Kondisi ini, telah membuka peluang berkembang pesatnya bisnis AMDK selama
40 tahun terakhir. Memang, bisnis AMDK jauh lebih menguntungkan daripada bisnis
2. PDAM itu sendiri (Helsi Dinafitri, Kontan: 23 September 2013). Jelas ini menunjukkan
ketidakmampuan PDAM mengantisipasi bisnis air AMDK maupun air isi ulang. Dalam
kurun 40 tahun terakhir, PDAM terus berbisnis dalam mindset business as usual,
bermain di jalur air perpipaan.
DI sinilah, sebenarnya mindset bisnis yang mumpuni harus hadir dalam
pengelolaan PDAM. PDAM harus ringkas, fleksibel, lincah untuk mampu mengantisipasi
model bisnis dan arah bisnis yang berubah. Kealpaan mengantisipasi 40 tahun bisnis
AMDK adalah pelajaran yang harus diambil hikmahnya. Antisipasi bisnis ke depan
seharusnya tertuang dalam Master Plan suplai air minum nasional, agar PDAM mampu
menyiapkan regulasi, menyiapkan SDM, dan segala sesuatunya dengan dukungan nyata
dari Pemerintah
Selama ini bisnis PDAM dan bisnis AMDK tidak saling nyambung. Padahal, bisnis
ini sama-sama bisnis air minum. Akibatnya sekarang, bisnis PDAM boleh dikatakan
bukan lagi bisnis air minum tetapi lebih banyak menjadi bisnis air cuci dan air mandi.
Seharusnya bisa dikawinkan. Keuntungan di bisnis AMDK, misalnya, bisa menjadi salah
satu penopang bagi peningkatan pelayanan suplai air bagi masyarakat bila keduanya
saling menyambung.
Selain alpa di bisnis air kemasan, terdapat beberapa contoh lainnya, seperti
bisnis pengolahan air baku. Dalam pengelolaan air baku, pemerintah menyiapkan kerja
sama dengan swasta dalam skema Sistem Pelayanan Air Minum (SPAM). Salah satu
proyek SPAM saat ini adalah Instalasi Pengolahan Air (IPA) Jatiluhur berkapasitas total
nantinya 15.000 liter per detik, IPA terbesar di Indonesia nantinya. Padahal PDAM sejak
dulu mengelola sendiri IPA-nya dan mengolah sendiri air bakunya. Banyak tenaga ahli
PDAM dalam mengelola IPA dan mengolah air baku menjadi air yang siap didistribusikan
ke masyarakat. Kecenderungan Ini akan menjadi potential lost bagi PDAM, karena
PDAM harus membeli air dari IPA SPAM, padahal ia memiliki kapabilitas SDM.
Di Jakarta, terdapat proyek Jakarta Great Giant Wall setali tiga uang. Di kawasan
ini akan terdapat waduk air baku. Tetapi belum jelas apakah ini akan dikelola oleh
PDAM JAYA, atau oleh pihak lain. Sejauh ini, PDAM DKI Jakarta hanya legal untuk
menyuplai air melalui master meter untuk kawasan tersebut. Seberapa besar potential
bisnisnya bagi PDAM JAYA tidak jelas dari awal.
Belum lagi kita bicara bisnis recycle water, air PDAM sendiri pun setelah dipakai
kini di-recycle oleh berbagai gedung-gedung tinggi, tanpa ada upaya PDAM
memfasilitasi pembangunan sistem recycle water pada gedung-gedung tersebut untuk
pertumbuhan bisnisnya sendiri. Juga, ada bisnis air filter reverse osmosis dengan
mengolah air laut menjadi air minum atas insiatif swasta itu sendiri.
3. Bisnis air minum akan terus tumbuh secara pasti. Kita belum bicara potensi air
laut sebagai sumber air bersih dan air minum sebagai bagian dari ekonomi maritim.
Bisnis maritim akan terus membutuhkan air, baik air dari sumber air laut maupun
bukan. Kita perlu banyak air untuk memenuhi kebutuhan air perkapalan, pelabuhan,
produk-produk kelautan dalam skala luas dan besar nantinya.
Belum lagi bila kita bicara keharusan pemerintah memfasilitasi suplai air di
Nusantara dengan cakupan hingga pelosok dengan harga terjangkau. Lebih dari 17.000
pulau-pulau kita membutuhkan air bersih dan air minum. Potensi pariwisatanya pun di
masa depan akan membutuhkan banyak suplai air. Ini kita belum bicara bahwa air
adalah emas biru masa depan karena keterbatasan sumber air tawar.
Tidak mungkin semua itu bisa tercapai dengan sebatas model bisnis PDAM
sekarang yang mengurus air perpipaan saja dengan produk boros dan tak praktis,
karena harus dimasak karena memang cuma layak untuk mandi dan cuci.
LANDASAN FILOSOFIS
Sekadar refleksi saja, kealpaan negara dalam membangun model ekonomi
dengan dukungan penuh telah berdampak pada kealpaan PDAM mengantisipasi model
bisnisnya sendiri. Ketiadaan model ekonomi ini adalah dampak dari absennya
penjabaran landasan filosofis Keadilan Sosial dalam Pancasila serta UUD 1945
khususnya pasal 33 yang ingin memastikan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Swasta dan negara sesungguh bukanlah suatu yang harus dipertentangkan,
mengingat kebutuhan anggaran yang luar biasa besar. Harus ada ruang bagi keduanya
untuk bertemu untuk saling memberi peran. Kita membutuhkan filosofi negara yang
diterjemahkan kemudian ke dalam landasan strategi dan operasional untuk bidang air.
Upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat sesungguhnya terletak pada kemauan keras
bangsa dalam memperkaya rakyat dengan kekuatan-kekuatan yang ada. Di antara
kekuatan itu adalah kekuatan swasta.
Menoleh ke Singapura, jelas negara itu menunjukkan suatu komitmen tegas
menegakkan perusahaan negara yang terus berkembang sehingga dianggap
menyempitkan peran swasta. Jelas Singapura bukan Indonesia. Dengan prototipe model
bisnis BUMN Indonesia di masa lalu, model bisnis PDAM di masa lalu terbukti malahan
membebani pemerintah dan rakyat. Pencabutan UU No 7 tahun 2004 bukanlah tanda
kita akan kembali ke mobel bisnis BUMN dan PDAM di sama lalu.***