ºÝºÝߣ

ºÝºÝߣShare a Scribd company logo
BAB I
KONSEP DASAR
1
A. Pengertian
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu
rongga (rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al,
1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri
setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan
SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah
setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses
Inguinal merupakan kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri
setempat.
B. Penyebab / Faktor Predisposisi
Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara
lain:
1. Infeksi mikrobial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah
infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi
intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis
kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan
endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.
2
2. Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan
merusak jaringan.
3. Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan
merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses
radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan
kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya
pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan
mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah
infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
C. Gambaran Klinik
3
Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi
nyeri tekan. Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa
manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu
tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et al, 2000: 589).
Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas (lebih
dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka,
warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk,
menggigil atau demam (lebih dari 37,7o
C/100o
F) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).
D. Anatomi / Patologi
Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm,
panikulus adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping
epidermis dan dermis. Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia
tubuh, membungkus dengan lapisannya yang relatif tebal.
4
Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel
lemak, jaringan ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi
lemak (mikrolobuli, lobuli, pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa
jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa fibrosa) mengukuhkan subkutis baik
dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan bertindak sebagai jalan untuk
pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk folikel, rambut dan
kelenjar keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena-
vena besar (misalnya vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar
getah bening regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai
termoisolasi, depo energi (penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor
mekanik (lapisan pelindung dan lapisan penggeser antara korium dan fasia
tubuh).
Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat
pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi
makan kulit. Melalui aliran darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar
getah bening membuat zat anti. Maksudnya untuk melindungi tubuh dari
serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar
peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab. Bahan pelembab ini
sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan
kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh
yang berlebihan.
5
Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita
terdapat perubahan-perubahan berikut:
1. Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau
atropi.
2. Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis
jaringan lemak (akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan
lipogranuloma (makrofag/ lipofag atau pembentukan serabut), fibrosis
jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal)
3. Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu
panikulitis terutama dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam
septa jaringan ikat (panikulitis septal)
Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh
darah subkutan dan menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et
al, 1995: 256).
6
Gambar 3. Diagram Potongan Melintang Abses (EGC, 1995: 5)
Gambar 4. Anatomi Permukaan dari depan (khusunya inguinal) (Pearce, E.C, 2002:
32)
7
E. Proses Penyembuhan Luka
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000 : 397) mengemukakan
proses penyembuhan luka sebagai berikut:
1. Fase Inflamasi atau lag fase. Berlangsung sampai hari kelima. Akibat luka
terjadi perdarahan. Ikut keluar trombosit dan sel sel radang. Trombosit
mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam
amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus
dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.
Terjadi vasokontriksi dan proses penghentian perdarahan. Sel radang keluar
dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara
kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang meninggikan
permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema.
Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka
sehingga disebut fase tertinggal (lag fase)
8
2. Fase proliferasi atau fibroplasi. Berlangsung dari hari keenam sampai dengan
3 minggu. Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblas yang berasal
dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat
kolagen, yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin.
Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolagen yang akan
mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang,
fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru ; membentuk jaringan
kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.
3. Fase Remodelling atau fase resorpsi. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan
berakhir bila tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat,
tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal.
F. Patofisiologi
Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang
masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara
mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri
melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara
spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada
hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan
kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya
reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan
kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian
jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi.
9
Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya
merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan
merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan
akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran
darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan
kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood, J.C.E (1999:
246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat
endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada
temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi
(Guyton, A.C, 1995: 647-648).
10
Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada
peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir
ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai
mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan
ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal
terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran
darah yang menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas
vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan,
sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan
hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan
didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu
edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam
rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang
akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan
merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya
edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami
penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.
11
Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi
selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa
diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi
resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang
berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga
membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk
flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi
tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan
pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak.
Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan
berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi
fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase
inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses
yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989:
21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi
dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).
12

More Related Content

Askep abses

  • 2. A. Pengertian Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses Inguinal merupakan kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat. B. Penyebab / Faktor Predisposisi Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain: 1. Infeksi mikrobial Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. 2
  • 3. 2. Reaksi hipersentivitas Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. 3. Agen fisik Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite). 4. Bahan kimia iritan dan korosif Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang. 5. Nekrosis jaringan Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut. C. Gambaran Klinik 3
  • 4. Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri tekan. Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et al, 2000: 589). Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas (lebih dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka, warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil atau demam (lebih dari 37,7o C/100o F) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497). D. Anatomi / Patologi Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm, panikulus adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping epidermis dan dermis. Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia tubuh, membungkus dengan lapisannya yang relatif tebal. 4
  • 5. Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak, jaringan ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli, pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa fibrosa) mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan bertindak sebagai jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk folikel, rambut dan kelenjar keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena- vena besar (misalnya vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah bening regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi, depo energi (penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan lapisan penggeser antara korium dan fasia tubuh). Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan kulit. Melalui aliran darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah bening membuat zat anti. Maksudnya untuk melindungi tubuh dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab. Bahan pelembab ini sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan. 5
  • 6. Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat perubahan-perubahan berikut: 1. Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi. 2. Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan lemak (akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma (makrofag/ lipofag atau pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal) 3. Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis terutama dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat (panikulitis septal) Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah subkutan dan menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et al, 1995: 256). 6
  • 7. Gambar 3. Diagram Potongan Melintang Abses (EGC, 1995: 5) Gambar 4. Anatomi Permukaan dari depan (khusunya inguinal) (Pearce, E.C, 2002: 32) 7
  • 8. E. Proses Penyembuhan Luka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000 : 397) mengemukakan proses penyembuhan luka sebagai berikut: 1. Fase Inflamasi atau lag fase. Berlangsung sampai hari kelima. Akibat luka terjadi perdarahan. Ikut keluar trombosit dan sel sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Terjadi vasokontriksi dan proses penghentian perdarahan. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema. Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga disebut fase tertinggal (lag fase) 8
  • 9. 2. Fase proliferasi atau fibroplasi. Berlangsung dari hari keenam sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblas yang berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolagen, yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru ; membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi. 3. Fase Remodelling atau fase resorpsi. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal. F. Patofisiologi Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi. 9
  • 10. Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood, J.C.E (1999: 246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, A.C, 1995: 647-648). 10
  • 11. Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas. 11
  • 12. Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989: 21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94). 12