際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Bab 1 Efisiensi Energi
Sejalan dengan berkembangnya perekonomian dan industri mendorong meningkatnya
kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia. Selain itu, makin
berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak dan gas bumi,
yang sampai saat ini masih merupakan komponen utama penghasil energi, maka disadari
pentingnya penghematan energi.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ESDM terdapat empat sektor
utama pengguna energi, yaitu sektor industri dengan pangsa 44,2%, berikutnya adalah
transportasi 40,6%, diikuti rumah tangga sebesar 11,4% dan sektor komersial sebesar
3,7%.
Menurut data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 adalah
sebesar 5,9% dan mengalami penurunan pada kisaran 5.4-5.8% di 2015
(http://www.infobanknews.com). Penurunan pertumbuhan perekonomian tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pelemahan ekonomi China sebagai kekuatan
eknomi kedua dunia, kelesuan ekonomi dan embargo terhadap Rusia serta penurunan
harga komoditas dunia dipasar internasional. Sementara populasi penduduk Indonesia
mencapai 241 juta jiwa pada tahun 2014 (BPS, 2014).
Bersamaan dengan meningkatnya populasi penduduk dan pergerakan pertumbuhan
ekonomi maka secara langsung akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan akan energi
akibat bertambahnya jumlah rumah, beragam bangunan komersial serta industri. Jika
diasumsikan rata-rata pertumbuhan kebutuhan energi listrik adalah sebesar 7% per tahun
selama kurun waktu 30 tahun, maka konsumsi listrik di sektor rumah tangga akan
meningkat dari 21,52 Gwh (gigawatt hour) di tahun 2000 menjadi sekitar 444,53 Gwh pada
tahun 2030 (http://www.esdm.go.id). Terdapat empat sektor utama pengguna energi,
yaitu sektor industri 44.2%, diikuti tranportasi 40,6%, kemudian rumah tangga 11,4% dan
yang terakhir sektor komersial sebesar 3,7%.
. Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 1982 tertanggal 7
April 1982, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tentang Konservasi
Energi. Inpres ini terutama ditujukan terhadap pencahayaan gedung, AC, peralatan dan
perlengkapan kantor yang menggunakan listrik, dan kendaraan dinas.
Sementara pada saat yang bersamaan, kemampuan penyediaan listrik oleh negara melalui
PT. PLN (Persero) masih terbatas, bahkan terdapat indikasi bahwa kemampuan tersebut mulai
menurun. Salah satu penyebab penurunan kemampuan pemasokan tersebut adalah karena
sebagian besar pembangkit tenaga listrik yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) menggunakan bahan
bakar fosil, yaitu minyak atau batubara, sebagai sumber energi penggeraknya, sementara
ketersediaan bahan bakar fosil semakin menipis.
Krisis energi tersebut di atas akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
perekonomian dan industri nasional. Hal ini dapat dilihat dengan semakin buruknya kinerja
industri dikarenakan biaya produksi domestik yang meningkat dengan kenaikan harga BBM dan
energi listrik. Sementara itu tingkat konsumsi energi listrik perkapita nasional serta daya beli
ekonomi yang rendah, menyebabkan efisiensi dan nilai tambah yang dihasilkannya juga relatif
rendah. Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi memerlukan infrastruktur, teknologi dan know-
how mengenai sistem konversi dan konservasi, serta kebijakan dan manajemen energi yang
optimal.
Dampak lain dari krisis energi tersebut adalah akan diberlakukannya tarif dua kali lipat bagi
perusahaan atau industri disaat beban puncak, yang memang harganya lebih mahal. Ini merupakan
upaya mendorong pelanggan sektor industri untuk melakukan penghematan energi. Berdasarkan
hasil survei yang telah dilakukan, diperoleh indikasi yang menunjukkan peluang penghematan
energi disektor industri cukup besar, yaitu mencapai 10% sampai dengan 30%.
Dari beberapa kajian yang telah dilakukan, pakar energi telah melakukan kajian
penghematan energi, dan membaginya dalam 5 kategori yaitu:
a. Peninjauan ulang sistem teknis dan perbaikan arsitektur bangunan/pabrik.
b. Perbaikan prosedur operasional secara manual.
c. Perbaikan prosedur operasional secara otomatis.
d. Pemasangan penghemat listrik pada seluruh instalasi.
e. Perbaikan kualitas daya peralatan-peralatan pengguna listrik.
Salah satu hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa Indonesia tergolong negara
pengguna energi yang boros. Parameter yang digunakan untuk mengukur pemborosan energi
adalah elastisitas dan intensitas energi. Elastisitas energi adalah perbandingan antara
pertumbuhan konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi. Elastisitas energi Indonesia berada
pada kisaran 1,04  1,35 dalam kurun waktu 1985  2000, sementara negara-negara maju berada
pada kisaran 0,55  0,65 pada kurun waktu yang sama.
Sedangkan yang dimaksud dengan Intensitas Energi adalah perbandingan antara jumlah
konsumsi energi per pendapatan domestik bruto (PDB). Semakin efesien suatu negara dalam pola
konsumsi energi, intensitas energinya akan semakin kecil. Intensitas energi Indonesia mencapai
angka 400, empat kali lipat dibanding Jepang yang berada pada angka 100, sementara negara-
negara Amerika Utara berada pada angka 300, negara-negara Organization for Economics
Cooperation and Development (OECD) pada 200 dan Thailand pada 350.
Untuk mengimplementasikan penghematan energi sesuai dengan Kepres No. 10 tahun 2005,
sebaiknya keberhasilan negara lain seperti Jepang dan Thailand dalam melakukan penghematan
energi dengan pemberian insentif melalui bantuan audit energi pada sektor industri, patut ditiru.
Audit energi pada industri di Indonesia sudah sangat perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
peluang konservasi dan efisiensi dalam pemakaian energi di sektor industri. Sejalan dengan hal di
atas, PT. Miranti Konsultan Permai telah melakukan Audit Energi di PT Rajawali Nusindo, UPK.
Tanjungsari sebagai salah satu industri pengolahan kulit (kategori industry agro-kimia) yang telah
melakukan komitmen dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi .

More Related Content

Bab 1 efisiensi energi

  • 1. Bab 1 Efisiensi Energi Sejalan dengan berkembangnya perekonomian dan industri mendorong meningkatnya kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia. Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak dan gas bumi, yang sampai saat ini masih merupakan komponen utama penghasil energi, maka disadari pentingnya penghematan energi. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ESDM terdapat empat sektor utama pengguna energi, yaitu sektor industri dengan pangsa 44,2%, berikutnya adalah transportasi 40,6%, diikuti rumah tangga sebesar 11,4% dan sektor komersial sebesar 3,7%. Menurut data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 5,9% dan mengalami penurunan pada kisaran 5.4-5.8% di 2015 (http://www.infobanknews.com). Penurunan pertumbuhan perekonomian tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pelemahan ekonomi China sebagai kekuatan eknomi kedua dunia, kelesuan ekonomi dan embargo terhadap Rusia serta penurunan harga komoditas dunia dipasar internasional. Sementara populasi penduduk Indonesia mencapai 241 juta jiwa pada tahun 2014 (BPS, 2014). Bersamaan dengan meningkatnya populasi penduduk dan pergerakan pertumbuhan ekonomi maka secara langsung akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan akan energi akibat bertambahnya jumlah rumah, beragam bangunan komersial serta industri. Jika diasumsikan rata-rata pertumbuhan kebutuhan energi listrik adalah sebesar 7% per tahun selama kurun waktu 30 tahun, maka konsumsi listrik di sektor rumah tangga akan meningkat dari 21,52 Gwh (gigawatt hour) di tahun 2000 menjadi sekitar 444,53 Gwh pada tahun 2030 (http://www.esdm.go.id). Terdapat empat sektor utama pengguna energi,
  • 2. yaitu sektor industri 44.2%, diikuti tranportasi 40,6%, kemudian rumah tangga 11,4% dan yang terakhir sektor komersial sebesar 3,7%. . Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 1982 tertanggal 7 April 1982, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tentang Konservasi Energi. Inpres ini terutama ditujukan terhadap pencahayaan gedung, AC, peralatan dan perlengkapan kantor yang menggunakan listrik, dan kendaraan dinas. Sementara pada saat yang bersamaan, kemampuan penyediaan listrik oleh negara melalui PT. PLN (Persero) masih terbatas, bahkan terdapat indikasi bahwa kemampuan tersebut mulai menurun. Salah satu penyebab penurunan kemampuan pemasokan tersebut adalah karena sebagian besar pembangkit tenaga listrik yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) menggunakan bahan bakar fosil, yaitu minyak atau batubara, sebagai sumber energi penggeraknya, sementara ketersediaan bahan bakar fosil semakin menipis. Krisis energi tersebut di atas akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan perekonomian dan industri nasional. Hal ini dapat dilihat dengan semakin buruknya kinerja industri dikarenakan biaya produksi domestik yang meningkat dengan kenaikan harga BBM dan energi listrik. Sementara itu tingkat konsumsi energi listrik perkapita nasional serta daya beli ekonomi yang rendah, menyebabkan efisiensi dan nilai tambah yang dihasilkannya juga relatif rendah. Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi memerlukan infrastruktur, teknologi dan know- how mengenai sistem konversi dan konservasi, serta kebijakan dan manajemen energi yang optimal. Dampak lain dari krisis energi tersebut adalah akan diberlakukannya tarif dua kali lipat bagi perusahaan atau industri disaat beban puncak, yang memang harganya lebih mahal. Ini merupakan upaya mendorong pelanggan sektor industri untuk melakukan penghematan energi. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, diperoleh indikasi yang menunjukkan peluang penghematan energi disektor industri cukup besar, yaitu mencapai 10% sampai dengan 30%. Dari beberapa kajian yang telah dilakukan, pakar energi telah melakukan kajian penghematan energi, dan membaginya dalam 5 kategori yaitu: a. Peninjauan ulang sistem teknis dan perbaikan arsitektur bangunan/pabrik. b. Perbaikan prosedur operasional secara manual. c. Perbaikan prosedur operasional secara otomatis.
  • 3. d. Pemasangan penghemat listrik pada seluruh instalasi. e. Perbaikan kualitas daya peralatan-peralatan pengguna listrik. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa Indonesia tergolong negara pengguna energi yang boros. Parameter yang digunakan untuk mengukur pemborosan energi adalah elastisitas dan intensitas energi. Elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi. Elastisitas energi Indonesia berada pada kisaran 1,04 1,35 dalam kurun waktu 1985 2000, sementara negara-negara maju berada pada kisaran 0,55 0,65 pada kurun waktu yang sama. Sedangkan yang dimaksud dengan Intensitas Energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi per pendapatan domestik bruto (PDB). Semakin efesien suatu negara dalam pola konsumsi energi, intensitas energinya akan semakin kecil. Intensitas energi Indonesia mencapai angka 400, empat kali lipat dibanding Jepang yang berada pada angka 100, sementara negara- negara Amerika Utara berada pada angka 300, negara-negara Organization for Economics Cooperation and Development (OECD) pada 200 dan Thailand pada 350. Untuk mengimplementasikan penghematan energi sesuai dengan Kepres No. 10 tahun 2005, sebaiknya keberhasilan negara lain seperti Jepang dan Thailand dalam melakukan penghematan energi dengan pemberian insentif melalui bantuan audit energi pada sektor industri, patut ditiru. Audit energi pada industri di Indonesia sudah sangat perlu dilakukan untuk mengidentifikasi peluang konservasi dan efisiensi dalam pemakaian energi di sektor industri. Sejalan dengan hal di atas, PT. Miranti Konsultan Permai telah melakukan Audit Energi di PT Rajawali Nusindo, UPK. Tanjungsari sebagai salah satu industri pengolahan kulit (kategori industry agro-kimia) yang telah melakukan komitmen dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi .