Tulisan ini membahas pelaksanaan program Dana Desa berdasarkan UU No. 6/2014 tentang desa. Program ini bertujuan untuk memberdayakan desa dengan mengalokasikan dana langsung ke desa, membentuk badan usaha milik desa, serta melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan melalui musyawarah desa. Tulisan ini juga menganalisis tantangan pelaksanaan program ini seperti keterlibatan elit desa dan masih lemahnya kap
1 of 11
Downloaded 24 times
More Related Content
Brief Note-23-2016-dana desa
1. Brief Note
Edisi 23, 2016
Membangun Desa Merawat Bangsa
Telaah Pelaksanaan UU no. 6/2014
2. hal 2 dari 11
Membangun Desa Merawat Bangsa
Telaah Pelaksanaan UU no. 6/2014
Riza Primahendra
Pengantar
UU no. 6/2014 tentang desa telah memasuki tahun kedua dan berbagai peraturan
pelaksanaan telah dikeluarkan serta uji coba untuk mengimplementasikan berbagai hal
yang diatur telah juga dilaksanakan. Dari berbagai aspek dari UU tentang desa salah
satu yang menarik perhatian banyak pihak dan memiliki implikasi yang luas adalah
alokasi dana dari pusat dan daerah langsung ke desa. Alokasi dana tersebut
diperuntukan melaksanakan berbagai program yang secara partisipatif dirumuskan dan
dikerjakan sendiri oleh rakyat desa. Mekanisme alokasi dan penggunaan dana tersebut
saat ini lebih dikenal dengan ‘Dana Desa’.
Didalam terminologi Dana Desa terkandung sebuah transformasi dalam melihat desa,
melaksanakan pembangunan, dan memberdayakan masyarakat. Transformasi ini dapat
mengakibatkan harapan maupun ketakutan yang berlebihan, disikapi dengan skeptis dan
apatis merujuk pada pengalaman berbagai program sebelumnya, ataupun menimbulkan
kontestasi dan persaingan untuk mendapatkan peran serta peluang yang lebih besar
dalam pelaksanaan di lapangan.
Tulisan pendek ini bermaksud memberikan catatan awal dari pelaksanaan program
Dana Desa dengan maksud dapat memberikan umpan balik yang diperlukan untuk
memperbaiki kebijakan, desain, maupun pengelolaan dari program. Butir-butir
pemikiran yang disampaikan merupakan refleksi pengalaman lapangan dari Amerta
yang terlibat dalam membantu beberapa desa memanfaatkan Dana Desa.
Mengapa Memulai Dari Desa?
Telah menjadi sebuah realita sosial bahwa desa merupakan kantong kemiskinan dan
terus mengalami marjinalisasi setidaknya melalui tiga hal, yaitu:
ï‚· Pengeringan sumber daya (resource drain). Desa merupakan daerah yang
memasok berbagai kebutuhan sumber daya untuk industri maupun kehidupan
penduduk perkotaan. Sumber daya tersebut berupa sumber daya alam seperti
kayu, mata air, bahan galian, dan semacamnya. Sumber daya lain yang dipasok
desa adalah sumber daya manusia sebagai buruh industri, pramuwisma, maupun
pekerjaan non skill lainnya.
ï‚· Pengeringan modal (capital drain). Meskipun pemerintah dan berbagai pihak
berupaya melakukan kapitalisasi di desa untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, dalam kenyataan modal-modal yang ada di desa melalui mekanisme
perbankan ditarik dari desa dan justru lebih banyak dipergunakan membiayai
kegiatan ekonomi dan belanja masyarakat perkotaan.
3. hal 3 dari 11
ï‚· Pengeringan talenta (talent drain). Talenta-talenta terbaik yang ada di desa pada
akhirnya akan meninggalkan desa dan mendapatkan pendidikan tinggi di kota
serta hampir seluruhnya juga mencari pekerjaan dan akhirnya tinggal di kota.
Tumbangnya orde baru sempat menumbuhkan harapan bahwa pemerataan
pembangunan akan semakin baik terutama dengan otonomi daerah yang dibawa oleh
orde reformasi. Realita yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir memperlihatkan
realita yang berbeda:
ï‚· Desentralisasi fiskal yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan daerah
(pedesaan) ternyata dipergunakan oleh elit daerah untuk memperbesar birokrasi
dan fasilitas serta infrastruktur ibukota kabupaten/kota/propinsi. Infrastruktur
pedesaan dan pertanian terabaikan.
ï‚· Program-program pembangunan dan pelayanan dasar untuk desa seperti PKK,
Karang Taruna, UPPKS, Posbumil, Posyandu, KUD, penyuluhan teknis (PPL,
PLKB, dsb) tidak terurus.
ï‚· Proses perencanaan pembangunan yang dikenal dengan Musrenbang tidak
mengatasi kesenjangan yang ada karena berbagai usulan dari desa dalam proses
di jenjang yang lebih tinggi tidak dapat dipantau dan dalam pelaksanaan, satu
tahun setelah diusulkan, menjadi program yang dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten/kota.
Program Dana Desa membuka ruang untuk melaksanakan koreksi terhadap praktek
pembangunan yang berlangsung sampai saat ini dengan menegaskan beberapa hal
sebagai berikut.
• Menempatkan desa sebagai ‘jantung’ dari kegiatan pembangunan. Kemajuan suatu
daerah akan ditentukan dengan seberapa maju desa-desa yang ada di daerah tersebut
berkembang.
• Melihat desa sebagai entitas sosial, ekonomi, dan politik yang perlu dihormati dan
diberdayakan. Proses melaksanakan revolusi mental sebagaimana dikumandangkan
oleh Kabinet Kerja harus dimulai dan bertumpu di desa.
• Melaksanakan prinsip subsidiaritas yang menegaskan berbagai hal dapat
dilaksanakan oleh entitas yang lebih operasional, entitas yang lebih tinggi tidak perlu
mengambil alih namun cukup mendukung dan memfasilitasi. Prinsip subsidiaritas
pada dasarnya juga yang menjadi prinsip dasar dilaksanakannya otonomi daerah.
• Membalik arah pengeringan (drain) yang dialami desa akan memiliki dampak
pengganda (multiplier effect) yang besar. Berkembangnya kegiatan off farm akan
menyebabkan nilai tambah terdistribusi secara lebih rata, selain itu perkembangan
usaha di desa akan menciptakan pasar bagi industri keuangan, memperluas dan
memperkuat basis pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja yang
sangat dibutuhkan bagi Indonesia yang sedang menuju pada puncak bonus
demografi.
• Memastikan kepentingan pembangunan desa tidak terpinggirkan oleh dinamika
birokrasi pemerintah daerah. Dengan alokasi yang jelas maka desa tidak lagi pihak
yang menunggu tetesan alokasi anggaran dan tersandera oleh tata kelola pengelola
program.
Perlu untuk menjadi catatan bersama untuk tidak bersikap romantis terhadap upaya
revitalisasi desa. Berbagai pengalaman lapangan memperlihatkan inisiatif pemberdayaan
desa seringkali mengalami kegagalan karena penolakan dari elit desa, baik itu elit adat,
4. hal 4 dari 11
elit ekonomi, maupun elit pemerintahan desa. Berbagai program yang sektoral dan tidak
berkelanjutan juga telah menyebabkan banyak penduduk desa menjadi bagian dari
‘mesin proyek’. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bersama untuk memastikan Dana
Desa terlaksana secara optimal.
Pendapatan dan Belanja Desa
Sebagai entitas ekonomi, desa perlu memiliki pendapatan yang akan dipergunakan
untuk membangun. Pendapatan desa selama ini tidak tersusun dalam satu sistem yang
komprehensif dan lebih dipengaruhi oleh berbagai proyek. Peraturan-peraturan tentang
Dana Desa telah menyusun ulang sistem keuangan desa yang jelas, transparan, dan
akuntabel.
Pendapatan desa bersumber dari tujuh hal yaitu: i) pendapatan asli desa, ii) alokasi
APBN yang ditetapkan setiap tahun dan berasal dari realokasi berbagai program berbasis
desa, iii) bagian dari pajak daerah dan retribusi daerah, iv) alokasi dana desa dengan
jumlah paling sedikit 10% dari dana perimbangan setelah dikurangi DAK, v) bantuan
keuangan dari APBD sesuai dengan kebijakan/program pemerintah daerah, vi) hibah
dan sumbangan pihak ketiga, dan vii) lain-lain pendapatan yang sah seperti hasil usaha
atau investasi dari BUM Des (badan usaha milik desa).
Salah satu terobosan dari sisi manajemen keuangan desa adalah diterapkannya
mekanisme satu pintu dimana ketujuh sumber pendapatan desa dikelola melalui
rekening desa. Dengan mekanisme satu pintu maka transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan dapat mulai diwujudkan.
Dari sisi pengeluaran, pemerintah telah menetapkan prioritas penggunaan dana desa
untuk tahun 2016. Prioritas tersebut dikelompokkan kedalam pembangunan desa dan
pemberdayaan masyarakat. Keputusan penggunaan dana desa akan ditentukan secara
5. hal 5 dari 11
partisipatif oleh penduduk desa dalam musyawarah desa. Untuk membantu proses
perumusan kegiatan dalam musyawarah desa juga secara konseptual telah dirumuskan
alternatif kegiatan untuk desa-desa dengan kondisi yang berbeda.
Lompatan besar yang dilakukan pemerintah dalam Dana Desa adalah mempersyaratkan
dokumen RPJM Des, RKP Des, dan APB Des untuk mencairkan Dana Desa.
Persyaratan ini harus dipastikan bukan formalitas tetapi sungguh menjadi acuan dari
usulan kegiatan desa. Satu hal yang dapat dipastikan, dokumen-dokumen tersebut masih
merupakan sesuatu yang belum banyak dikenal bagi tidak hanya masyarakat desa,
namun juga pemerintah desa, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang terkait di
pemerintah daerah. Namun bila penggunaan dana desa sungguh dapat diintegrasikan
dengan RPJM Des, RKP Des, dan APB Des maka desa dapat merumuskan secara
mandiri peta jalan (road map) pembangunan desa.
Kelembagaan ‘Dana Desa’
Untuk memastikan Dana Desa dapat dilaksanakan secara optimal, beberapa peraturan
yang mengatur aspek-aspek kelembagaan telah disusun. Empat hal yang perlu untuk
diperhatikan adalah musyawarah desa, BUM Des, pendampingan desa, serta
pemantauan & sanksi.
Musyawarah Desa. Musyawarah desa dirumuskan sebagai musyawarah antara BPD,
Pemdes, dan unsur masyarakat yang diseleneggarakan oleh BPD untuk menyepakati hal
yang bersifat strategis (penataan, perencanaan, kerja sama, rencana investasi yang
masuk, pembentukan BUM Desa, penambahan dan pelepasan aset, serta kejadian luar
biasa).
6. hal 6 dari 11
Musyawarah yang dilaksanakan minimal satu tahun sekali tersebut perlu dibedakan
dengan kegiatan serupa yang dilaksanakan untuk kepentingan Musrenbang maupun
PNPM. Beberapa perbedaan tersebut adalah:
• Dari aspek pelaksanaan
1. Dilaksanakan oleh Panitia Musyawarah Desa (Sekretaris BPD; selaku ketua,
anggota BPD, KPMD, unsur masyarakat, perangkat desa)
2. Didampingi SKPD terkait dan difasilitasi pemerintah desa;
3. Melibatkan unsur masyarakat lain, dan dilaksanakan secara partisipatif,
demokratis, transparan, akuntabel.
• Dari aspek agenda yang dibahas bersifat strategis bagi desa seperti:
1. Penetapan RPJM Des, perlu kajian keadaan desa, arah kebijakan sesuai visi misi
kades, prioritas kegiatan
2. Penetapan RKP Des
3. Penetapan APB Des
4. Kerja sama dengan pihak ketiga, hasilkan peraturan desa (perdes) sebagai dasar
kesepakatan kerja sama secara tertulis
5. Rencana investasi yang strategis (berdampak pada asset desa dan
kesejahteraan/kemiskinan masyarakat
6. Pembentukan BUM Des (organisasi pengelola, modal usaha, AD/ART)
Tiga agenda awal dibutuhkan untuk memproses dana desa pada tahun berjalan,
sementara agenda keempat dan kelima terkait dengan kegiatan BUM Des. Musyawarah
desa merupakan pondasi dasar dari Dana Desa. Disadari sepenuhnya bahwa
pelaksanaan musyawarah desa mendapatkan tantangan sikap apatis dari penduduk desa
sebagai dampak praktek proyek di desa selama ini. Musyawarah desa juga rentan untuk
didominasi dan diatur oleh elit desa seperti terjadi dalam forum-forum semacam.
BUM Des. BUM Des adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa
yang dipisahkan guna mengelola asset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Pembentukan BUM Des adalah hasil musyawarah desa yang diwujudkan dalam perdes.
Desain organisasi BUM Des dapat mengambil bentuk.
• Terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum. Dalam desain ini, BUM Des
berbentuk holding atau pengelola asset (asset management) dari beberapa unit usaha
berbadan hukum, PT ataupun koperasi, yang mempergunakan asset desa.
• Desain yang lain adalah BUM Des sebagai pemegang saham mayoritas dari lembaga
bisnis tunggal. Dalam kondisi ini dipersyaratkan BUM Des sebagai pemegang saham
mayoritas sehingga menjadi pengambil keputusan.
Untuk mengembangkan BUM Des membutuhkan pengondisian yang memadai karena
konsep dan praktik bisnis dengan desa sebagai pengelola asset atau memiliki badan
usaha belum banyak dilakukan. Beberapa pengalaman serupa sebelumnya justru terjadi
penyalahgunaan dan penggelapan asset desa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Terlebih bila jenis usaha yang akan dilakukan oleh BUM Des yaitu penyewaan,
perantara, produksi & dagang, dan keuangan, sebelumnya telah dilaksanakan oleh pihak
lain.
7. hal 7 dari 11
Perlu dijadikan pembelajaran pengalaman pengembangan koperasi unit desa (KUD),
setidaknya empat hal yang layak diperhatikan.
• Orientasi pada kuantitas badan hukum yang dibentuk membuat banyak KUD
pada masa lalu tidak memiliki kapasitas manajemen dan tata kelola yang
memadai.
• KUD menjadi target politik dari pemerintah sehingga tidak dilakukan proses
pengembangan sebagaimana mestinya yaitu membangun kesadaran dan
kesediaan penduduk desa untuk membentuk koperasi serta disediakan waktu
untuk berlatih.
• KUD juga pernah menjadi alat kekuasaan yang dipergunakan untuk mendukung
agenda dan kepentingan politik serta justru abai pada kepentingan anggota yaitu
penduduk desa
• Posisi didalam KUD sembat menjadi medan perebutan dari elit desa karena
dianggap dalam membuka peluang pada berbagai proyek di desa.
Pendampingan. Sebagai sebuah kebijakan pembangunan yang relatif baru, sejak awal
disadari bahwa Dana Desa membutuhkan pendampingan. Berdasarkan pengalaman
lapangan di 2015, kondisi pendampingan desa saat ini.
1. Pemda tidak memiliki dana untuk menyediakan pendamping dalam jumlah
memadai dan kualitas yang sesuai
2. Belum tersusun mekanisme kelembagaan untuk memastikan pendampingan berjalan
secara berkelanjutan
3. Pendampingan desa dalam konteks Dana Desa memiliki karakteristik yang berbeda
dengan program sebelumnya, namun karakteristik ini justru kurang diperhatikan
sehingga berdampak pada efektivitas pendampingan.
8. hal 8 dari 11
Terkait dengan ketersediaan dana, sebenarnya Pemda memiliki pendamping yang telah
menjadi ASN (aparat sipil negara), memang mereka memiliki latar teknis yang berbeda
seperti pendamping teknis pertanian, peternakan, penanganan bencana, keluarga
berencana (KB), dan sebagainya namun mereka dapat dilatih untuk menjadi
pendamping desa. Biaya pelatihan ulang cenderung lebih rendah daripada merekrut
pendamping baru.
Masalah lain dari pendampingan desa adalah menyederhanakan kualifikasi pendamping
sehingga banyak orang dengan berbagai latar direkrut menjadi pendamping tanpa
pelatihan yang memadai. Tiga hal yang perlu menjadi kualifikasi dasar pendamping
desa adalah:
• Pribadi pembelajar. Pendamping harus mampu secara cepat belajar topik dan
skill baru sesuai dengan kebutuhan lapangan
• Pelancar dialog. Pendamping harus mampu membangun dialog antar kelompok
di desa maupun antara desa dengan pemerintah maupun pelaku usaha yang akan
bekerja di desa.
• Pengembang kewirausahaan. Pendamping harus memiliki kewirausahaan dan
mampu menyebarkannya ke mereka yang didampingi.
Pemantauan & Sanksi. Sistem pemantauan dan sanksi telah dikembangkan oleh
pemerintah untuk memastikan Dana Desa tersalurkan tepat sasaran, tepat kegunaan,
dan tepat waktu. Pemantauan oleh pemerintah pusat diantaranya mencakup:
• Penerbitan peraturan bupati/ walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan
besaran Dana Desa setiap Desa;
• Penyaluran Dana Desa dari RKUD (rekening kas umum daerah) ke rekening kas
Desa;
• Laporan konsolidasi realisasi penyaluran dan penggunaan Dana Desa.
Kegiatan pemantauan tersebut diikuti oleh evaluasi pada pemda terdiri dari setidaknya
dua hal, yaitu:
• Penghitungan pembagian besaran Dana Desa setiap Desa oleh kabupaten/kota
• Realisasi penggunaan Dana Desa
Keterlambatan pemda dalam menerbitkan peraturan daerah yang diperlukan maupun
ketidakmampuan mengelola Dana Desa sehingga disalurkan, dipergunakan, dan
dipertanggung jawabkan sebagaimana mestinya akan memberikan dampak berupa
sanksi yang akan mempersulit pemda. Sanksi-sanksi tersebut dapat berupa:
• Penundaan DAU dan/atau DBH
• Pemotongan Dana Desa
• Penundaan penyaluran Dana Desa ke daerah
Memperhatikan sanksi yang dapat dikenakan, pemda didorong untuk melaksanakan
pemantauan. Ketika dalam pemantauan ditemukan SiLPA (sisa lebih perhitungan
anggaran) Dana Desa, yaitu selisih realisasi penerimaan dan belanja dalam satu tahun
anggaran, yang tidak wajar, kepala daerah perlu secepatnya:
• meminta penjelasan kepada kepala Desa mengenai SiLPA Dana Desa; dan
• meminta aparat fungsional untuk melakukan pemeriksaan
9. hal 9 dari 11
Catatan akhir
Dana Desa membuka peluang untuk melaksanakan pembangunan pada tataran akar
rumput. Namun untuk melaksanakan inisiatif ini, beberapa hal yang masih menjadi
tantangan.
• Sosialisasi: UU Desa dan kebijakan turunan belum tersosialisasikan dan dipahami
oleh penduduk desa dan aparat yang terkait. Bila diasumsikan setiap desa ada tiga
orang yang harus dilatih, yaitu kepala desa, ketua dan sekretaris BPD, maka ada
lebih dari 225,000 orang yang perlu mendapatkan sosialisasi, belum termasuk aparat
pemda.
• Kapasitas: Keterbatasan kapasitas aparat Pemda dan desa, termasuk BKD dan
masyarakat desa untuk melaksanakan fungsi secara optimal. Tanpa kapasitas yang
memadai perda yang dibutuhkan akan terlambat sehingga dana tidak tersalurkan.
Demikian juga di tingkat desa tidak mudah bagi penduduk desa merumuskan
dokumen yang menjadi prasyarat, terlibat dalam kegiatan swakelola kegiatan
pembangunan, dan pertanggungjawaban.
• Pendampingan: Belum tersedia pendamping dengan kualifikasi yang memadai untuk
melaksanakan proses musyawarah desa, perumusan dokumen, pelaksanaan
kegiatan, dan pelaporan secara partisipatif. Tanpa pendamping yang sesuai maka
program Dana Desa tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Bagi perusahaan, apa relevansi Dana Desa dengan kegiatan bisnis yang dilaksanakan?
Dana Desa memberi kesempatan perusahaan untuk:
i) membangun sinergi dengan pemerintah dalam program yang secara desain
dan kebijakan telah dirumuskan dengan baik,
ii) menghindari tumpang tindih kegiatan dengan menempatkan Dana Desa
sebagai pembiayaan utama pembangunan desa,
10. hal 10 dari 11
iii) mewujudkan mekanisme akuntabilitas kegiatan CSR seperti dipergunakannya
rekening desa sebagai mekanisme satu pintu pencatatan, serta mekanisme
pelaporan dan sanksi.
Mari membangun desa!
-----
Riza Primahendra adalah salah satu pendiri
AMERTA. Sejak 1999 terlibat dalam berbagai
kegiatan tanggung jawab sosial, pemberdayaan
masyarakat, pembangunan sosial, advokasi,
pengembangan kapasitas dan kelembagaan. Sejak
2002 telah memberikan konsultasi, pelatihan,
dan melakukan kajian untuk berbagai lembaga
pemerintah, lembaga bilateral dan multilateral, LSM, lembaga pendidikan,
lembaga kesehatan, dan perusahaan pada berbagai sektor.
Selama beberapa tahun terakhir berkarya dalam industri minyak dan gas dengan
menangani beragam fungsi seperti manajemen strategi, community development
& relation, government relation, land acquisition, business license & permit, PR &
communication, human resource, security management, workplace management,
WP&B, accounting & cost control.
Alamat kontak: rizaprimahendra@gmail.com
11. hal 11 dari 11
adalah jejaring para praktisi CSR yang mengembangkan metode dan
praktik terbaik CSR untuk mendukung berbagai organisasi dan
perusahaan mengembangkan CSR dan mewujudkan kinerja sosial yang
efektif dan berkelanjutan.
AMERTA mengembangkan kompetensi dalam:
ï‚· SOCIAL STUDY. Berbagai kajian dan penilaian seperti PRA (Participatory Rural Appraisal), PLA
(Participatory Learning Action), Baseline Study, Studi Dampak, Social Risk Assessment, SEAGA
(Socio-Economic & Gender Analysis), SLA (Sustainable Livelihood Analysis), HRIA (Human
Rights Impact Assessment) adalah kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai langkah awal
melaksanakan CSR.
ï‚· CSR PLANNING & PROGRAMMING. Perumusan rencana strategis dan program CSR
berbasis konteks social dan model bisnis adalah langkah lanjut yang dilaksanakan untuk
memastikan CSR dilaksanakan sebagai sebuah system manajemen.
ï‚· CSR PROJECT MANAGEMENT. Berbagai bentuk program dan kegiatan yang dilakukan oleh
organisasi dan perusahaan perlu didesain untuk memiliki dampak sosial. Microfinance& small
business development, community organizing& facilitation, behavior change & social marketing dan
advocacy adalah bentuk-bentuk CSR di lapangan.
ï‚· INDUSTRIAL RELATION & HR. Hubungan industrial dan SDM merupakan bagian dari CSR
internal perusahaan dan perlu dikelola secara sistematis dan strategis sehingga mendukung tujuan
bisnis.
Kantor:
Jl. PuloAsem Utara A 20
Kelurahan Jati, Pulo Gadung, Jakarta 13220, Indonesia
Ph: 62-21-29833288
www.amerta.id