1. Bullying , pemakluman agresi di masa
remaja
Menjelang pagi dan masih belum tidur, baru selese ngerjain tugas si sebenernya. Kebiasaan
produktivitas otak pada sepertiga malam gue baru ngerjain tugas dari jam setengah sebelas
malem. Gini kalo nugas nunggu mood dulu -___-
Tugas Psikologi Sosial gue bahas bullying niih. Ngomongin soal Bullying , gue pernah
ngalamin jadi korban , pernah jadi pelaku juga. Jaman SMA biasa laah labil. Jaman gue
masuk SMA awal, gue Cuma 2 orang cewek di kelas gue yang gak pake jilbab padahal
Islam.Abis itu gue sering banget di bully sama temen temen cowok sekelas gue karena itu.
Dibilangin jelek lah gue Islam tapi gak berjilbab, diomongin mulu, dimusuhin sama cowok
sekelas. Oiya emang waktu awal gue juga sempet ngajakin debat temen cowok gue sii, soal
bekal yg harus dibawa sekelas waktu ospek. Abis itu sekelas pada ikutan musuhin gue,
nganggep gue cewek galak . Yaa rasanya sakit laah digituin sama temen temen cowok
waktu itu. Perasaan gak diterima di lingkungan itu aja. Ngerasa gue salah apa sama mereka,
gue gak pernah ngapa ngapain kenapa gue diginiin.Setahun gue digituin sampe kelas naik
kelas 2 SMA , keadaan malah berbalik . Gue nemu temen temen gak cowok gak cewek
yang cocok sama nerima gue . Ada temen gue yg lucu banget laah tiap disuruh maju buat
ngerjain soal di papan tulis pasti garuk garuk kepala. Gue sama temen temen gue sering
banget kalo dia lagi maju suka niru niruin gaya dia. Malah katanya sempet abis itu dia nya
nangis. Tau laah dulu kalo diinget kalo udah sama geng jadi bandelnya MasyaAllah. Kalo
kata dosen gue kalo udah masuk di kelompok jadi depersonalisasi. Semacam peleburan
identitas personal dan digantikan identitas kelompok. Padahal harusnya gue tau kalo dibully
gitu rasanya gak enak, orang gue pernah ngalamin. Yaa gue tetep aja ngebully temen juga.
Gini kalo udah depersonalisasi kalo masuk kelompok.Lagian kalo gue ngerasaain yg dulunya
di bully pasti ada keinginan buat ngebully juga lhoo. Semacam balas dendam mungkin. Sadar
gak sadar sii. Tapi gue ngrasanya gitu.
2. Sedikit info soal bullying deh, yg lebih ilmiah daripada teori ngasal gue. Semoga ada
manfaatnya laaah buat yg pengen tau soal bullying . Coba sekalian
dengerin https://soundcloud.com/koala-indonesia/bullying-no-no-no Semacam soundtrack
buat dengerin post gue ini. Asli karya anak bangsa :)
Bullying , pemakluman agresi di masa remaja
Menurut Olweus (1993) pembulian adalah perilaku negatif yang mengakibatkan seseorang
dalam keadaan tidak nyaman atau terluka, dan biasanya terjadi berulang-ulang.Sementara
Liness (2008) mendefinisikan perilaku bullying sebagai intimidasi yang dilakukan oleh
individu atau kelompok baik secara fisik, psikologis, sosial, verbal atau emosional, yang
dilakukan secara terus menerus.
Bullying dibagi menjadi tiga macam, yaitu: bullying
fisik, bullying verbal, dan bullying mental atau psikologis (Sejiwa, 2008). Contoh perilaku
bullying fisik antara lain, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi,
memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan,
menghukum dengan cara push-up, dan menolak. Contoh bullying verbal antara lain, memaki,
menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki,
menebarkan gosip, memfitnah, menolak. Contoh bullying mental atau psikologis antara lain,
memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum,
mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat pesan pendek di telepon genggam atau e-mail,
memandang dengan pandangan merendahkan, memelototi, dan mencibir.
Bullying ini merupakan subkategori perilaku agresif yang buruk karena dilakukan secara
langsung, berulang-ulang, ditujukan kepada korban khusus yang tidak mampu mem-
pertahankan dirinya secara efektif (Lee, 2003). Perilaku bullying merupakan masalah sosial,
dan pendidikan yang serius yang mempengaruhi bagian substansial dari siswa sekolah.
Bullying tidak hanya mengakibatkan kerugian dan tekanan, tetapi juga mengakibatkan
gangguan emosi dan gangguan perkembangan yang dapat terjadi hingga remaja dan dewasa
pada anak yang menjadi korban (Ahmed & Braithwaite, 2004). Pelaku bullying juga
cenderung menjadi agresif dan melakukan tindakan kriminal ketika dewasa (Entenman,
Murnen, & Hendricks, 2005).
Bullying sendiri dapat terjadi dimana terjadi interaksi sosial antar manusia, antara lain di
sekolah ( school bullying) , kampus , tempat kerja ( workplace bullying) , dunia maya (cyber
3. bullying) , lingkungan politik (political bullying) , lingkungan militer (millitary bulying) dan
lingkungan masyarakat (preman, geng motor) . Bullying di sekolah yang sering sekali
dilupakan . Hal itu disebabkan sedikitnya korban yang melapor dan masih banyak anggapan
dari guru ataupun orang tua yang memaklumi perbuatan bully anak mereka. Padahal dampak
yang dirasakan para korban dan pelaku bully ini cukup serius untuk masa perkembangan
selanjutnya. Dalam jangka pendek bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman , takut
pergi ke sekolah, merasa terisolasi , dan rendahnya self esteem , depresi bahkan stress . Untuk
jangka panjang dapat menderita gangguan perilaku dan emosional.
Seperti yang diungkapkan (Prasetyo, 2011) dalam salah satu penanganannya mengenai pasien
hypnotherapy nya bahwa pasien mengalami fobia keramaian dan setelah ditilik kebelakang
hal tersebut ada kaitannya dengan kenangan bullying masa kecilnya. Selama masa kecil
pasien sering di di olok olok dan di ejek oleh teman teman yang mempunyai geng di
sekolah . Semenjak saat itu keramaian selalu mengingatkan pasien pada kejadian bullying
masa lalu. Hal tersebut jelas sangat mengganggu pencapaian pencapaian terbaik dalam
hidup, baik dalam studi, karir, hubungan sosial dan akhirnya kehidupan para korban bullying.
Banyak faktor yang menyebabkan anak akhirnya menjadi pelaku maupun korban bullying.
Salah satunya adalah rasa empati yang rendah , anak anak dengan rasa empati yang rendah
tinggi korelasinya dengan perilaku bullying . Remaja yang memiliki kemampuan berempati
yang tinggi memiliki kecenderungan berperilaku bullying yang rendah, sebaliknya remaja
yang memiliki kemampuan berempati yang rendah memiliki kecenderungan berperilaku
bullying yang tinggi (Wahyuni & M.G.Adiyanti) .
Selain itu faktor pengasuhan orang tua juga sangat berpengaruh terhadap perilaku bullying
pada remaja. Menurut (Pertiwi & Juneman, 2012) pola asuh otoriter menunjukkan
kecenderungan kegiatan anak menjadi pelaku pembulian sebagai kecenderungan perilaku
tertinggi.Kecenderungan perilaku terendah yang ditunjukkan oleh jenis pola asuh otoriter
adalah kecenderungan menjadi korban pembulian. Pola asuh otoriter yang mendidik anak
dengan cara yang kasar dan menghukum, serta kurangnya kehangatan dan kelekatan anak
terhadap orangtua, dan banyaknya konflik memungkinkan anak untuk bertindak serupa
terhadap temannya di sekolah karena meniru apa yang dilakukan oleh orangtua kepada
dirinya.
Teori belajar sosial juga telah menunjukkan bahwa dalam menampilkan perilaku mendidik
yang agresif dapat berfungsi sebagai model bagi anak-anaknya untuk melakukan pembulian
terhadap anak lainnya . Dalam penelitian longitudinalnya, Farrington (dalam Ahmed &
Braithwaite, 2004) menemukan bahwa remaja yang menjadi pelaku pembulian tidak hanya
cenderung tumbuh dewasa dengan menjadi orang tua yang melakukan penganiayaan, tetapi
juga memiliki anak yang memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku pembulian.
Patterson (dalam Georgiou, 2008) menyatakan bahwa sebenarnya perilaku pembulian dimulai
dari rumah. Anak-anak belajar untuk menjadi agresif (terkait dengan perilaku pembulian)
terhadap anak lainnya, terutama kepada anak yang lebih lemah dari diri mereka sendiri,
dengan mengamati bagaimana interaksi anggota keluarga mereka sehari-hari.
Selain itu, pola asuh permisif-memanjakan juga turut menghasilkan kecenderungan remaja
menjadi semata-mata pelaku pembulian. Penjelasannya adalah bahwa pola asuh permisif
memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan tindakan agresi pada orang lain (Sears,
dkk, dalam Georgiu, 2008). Orangtua dengan jenis pola asuh permisif tanpa disadari
berkomunikasi dengan anak-anak mereka bahwa perilaku agresif dapat diterima dengan tidak
menghukum anak mereka ketika anak mereka melakukan tindakan agresif pada orang lain
(Casas, Crick, Huddleston-Casas, Ostrov, Weigel, & Yeh, 2006).
Daftar Pustaka :
4. Ahmed, E. & Braithwaite, V. (2004). Bullying and victimization: cause for concern for both
families and schools. Social Psychology of Education 7, 3554.
Lee, S.S. (2009). School, parents, and peer factors in relation to hong kong studentsbullying.
International Journal of Adolescence and Youth, 15, 217 233.
Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Malden, MA:
Blackwell Publishing.
Pertiwi, M., & Juneman. (2012). SOSIOKONSEPSIA Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial No. 2. Vol. 17. PERAN POLA ASUH ORANGTUA DALAM
MENGEMBANGKAN REMAJA MENJADI, 117 - 240.
Prasetyo, A. B. (2011). El - Tarbawj Jurnal Pendidikan Islam No. 1. Vol. IV. Bullying di sekolah dan
dampaknya bagi masa depan anak, 19 - 26.
Sejiwa. (2008). Bullying: mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak. Jakarta:
Grasindo.
Wahyuni, S., & M.G.Adiyanti. (t.thn.). CORRELATION BETWEEN PERCEPTION
TOWARD PARENTS' AUTHORITARIAN PARENTING AND ABILITY TO EMPATHIZE
WITH, 106 - 118
5. Bullying
2.1.1. Perilaku Bullying
Ketertarikan masyarakat sosial mengenai perilaku bullying pertama kali dipelopori oleh
masyarakat Swedia pada akhir tahun 1960, kemudian, isu ini menyebar ke bangsa
Skandinavia lainnya (Olweus, 2003). Bangsa Skandianavia menggunakan kata mobbing
atau mobbning untuk menggambarkan perilaku yang terkait masalah bully (Olweus, 2003).
Kata tersebut sendiri mempunyai banyak arti, namun dalam bahasa Inggris sendiri, mob
diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang dikaitkan dengan kekerasan
(Heinemann, dalam Olweus 2003). Olweus (2003) sendiri menggunakan kata
pelaku/korban dan whipping boy dalam penelitiannya mengenai perilaku bully. Sekarang,
kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan perilaku bullying adalah peer abuse atau
peer harassment karena adanya kekerasan dalam perilaku yang ditimbulkan. Sekarang,
masyarakat lebih sering menggunakan kata bullying (Harris & Petrie, 2003)
Menurut Harris dan Petrie (2003) tidak ada yang bisa mendefinisikan secara pasti apa itu
perilaku bullying. Biasanya perilaku bullying terkait dengan perilaku ekstrim yang berkaitan
dengan kekerasan, namun tidak ada definisi yang spesifik mengenai bentuk perilaku ekstrim
yang dimaksud. Olweus (2003) mendefinisikan perilaku bullying sebagai perilaku negatif
yang dilakukan oleh satu orang atau lebih secara berulang. Perilaku negatif yang dimaksud
Olweus (2003) adalah perilaku yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain.
Perilaku negatif ini dapat juga perilaku verbal seperti ancaman, godaan, pemanggilan nama,
ataupun perilaku fisik seperti menendang, memukul, atau mendorong.
Definisi lain dari perilaku bullying adalah perilaku agressi dan manipulasi yang dilakukan
secara sadar oleh satu orang atau lebih terhadap oranglain atau kelompok lain (Sullivan,
2000). Perilaku bullying mempunyai beberapa karakteristik, menurut Sullivan (2000), yaitu:
1. Perilaku yang bersifat kekerasan.
2. Adanya kesenjangan kekuatan.
3. Terorganisir dan sistematis.
4. Perilaku yang berulang, terjadi dalam jangka waktu yang lama, terkadang terjadi
secara acak.
5. Pengalaman sebagai korban bully dapat menyebabkan luka secara fisik, maupun
secara psikologis.
Perilaku bullying bisa bermacam-macam bentuknya. Sullivan (2000) membagi perilaku
bullying ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu secara fisik, seperti menendang, mencakar,
mendorong, menjambak, memukul, merusak barang oranglain, dan bentuk perilaku kekerasan
fisik lainnya. Kedua perilaku bullying secara non-fisik yang dapat dibagi lagi ke dalam 2
(dua) bagian, yaitu secara verbal, dan non-verbal. Perilaku bullying non fisik secara verbal
dapat berupa mengucapkan kata-kata kasar, intimidasi, mengancam seseorang, menghina hal
yang berkaitan dengan ras, pemanggilan nama secara tidak sopan, menyebarkan kabar tidak
benar, dan perilaku lainnya. Sedangkan perilaku bullying non fisik secara non verbal dapat
berupa bahasa tubuh yang kasar, muka yang tidak bersahabat, (perilaku secara langsung),
merusak pertemanan, mengabaikan atau mengucilkan secara sengaja, mengirim surat tanpa
nama yang berisi kata-kata yang jahat (perilaku secara tidak langsung).
6. Sedangkan menurut Sejiwa (2008), maka terdapat adanya beberapa jenis bullying, yaitu:
1. Bullying Fisik
Jenis bullying yang terlihat oleh mata, siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan
fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contohnya antara lain memukul, menarik baju,
menjewer, menjambak, menendang, menyenggol dengan bahu, menghukum dengan
membersihkan WC, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak,
melempar dengan barang, menghukum dengan berlari lapangan, menghukum dengan cara
push up.
2. Bullying Verbal
Jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra pendengaran kita. Contoh
antara lain membentak, meledek, mencela, memaki maki, menghina, menjuluki, meneriaki,
mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah.
3. Bullying Mental Atau Psikologis
Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga kita
apabila tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan diluar
jangkauan pemantauan kita. Contohnya mencibir, mengucilkan, memandang sinis,
memelototi, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan,
meneror lewat pesan pendek, telepon genggam atau email, memandang yang merendahkan.
2.1.2 Penyebab Terjadinya Bullying
Menurut Ariesto (2009, dalam Mudjijanti 2011) dan Kholilah (2012), penyebab terjadinya
bullying antara lain :
1. Keluarga
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah, orang tua yang sering
menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan
permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik
yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika
tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan
belajar bahwa mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan
perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang. Dari sini anak
mengembangkan perilaku bullying.
1. Sekolah
7. Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku
bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi
terhadap anak lain. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah sering
memberikan masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak
membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama
anggota sekolah.
1. Faktor Kelompok Sebaya
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang
kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha
untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka
sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
2.1.3 Korban Bullying
Suatu penelitian yang dikemukakan oleh Borg (1999) dan kawan-kawannya mengupas hal
hal mengenai korban bullying (Harris & Petrie, 2003), antara lain:
1. Korban bullying cenderung rajin dalam hal akademis daripada pelaku.
2. Korban bullying menganggap alasan ia mendapat perilaku bully adalah karena nilai
akademis yang bagus.
3. Korban bullying lebih mudah cemas daripada teman-teman sebayanya.
4. Pengurangan jumlah korban bullying seiring kenaikan tingkat kelas.
5. Anak laki-laki cenderung mendapatkan perlakuan bullying secara langsung daripada
korban perempuan.
6. Anak perempuan yang menjadi korban umumnya dipandang sebagai anak yang
kurang atraktif.
7. Korban bullying, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hubungan yang
kurang erat dengan teman-teman sekelasnya.
Ada 3 tipe korban bullying (Stephenson & Smith, dalam Sulivan 2000 ; Olweus, dalam
Sullivan 2000), yaitu :
1. Korban bullying yang pasif
Ciri-cirinya adalah merasa cemas, rendahnya self-esteem dan kepercayaan diri, lemah secara
fisik, dan tidak populer di antara teman-temannya. Korban yang pasif ini biasanya tidak
berbuat apa-apa untuk membela dirinya.
2. Korban yang provokatif
Ciri-cirinya adalah secara fisik lebih kuat dibandingkan dengan korban bullying yang pasif,
selain itu mereka juga lebih aktif dibandingkan dengan korban bullying yang pasif, sulit
untuk berkonsentrasi, menyebabkan ketegangan, kekesalan dan memprovokasi teman
temannya untuk membelanya.
8. 3. Korban sekaligus pelaku bullying
Ciri-cirinya adalah mereka memprovokasi dan menghasut perilaku agresivitas pada orang
lain.
Olweus (2003) mendeskripsikan beberapa karakteristik individu yang berpotensi menjadi
korban perilaku bullying :
1. Berpotensi menjadi korban:
Mungkin mempunyai fisik yang lebih lemah daripada teman-teman sebayanya.
Mudah curiga, cemas, sensitif, pendiam, pasif, pemalu dan mudah menangis.
Mempunyai self esteem yang rendah, secara tidak langsung mereka memberikan
tanda bahwa mereka tidak berguna, menjadikan mereka target perilaku bullying.
Kesulitan untuk mendekatkan diri dengan teman-temannya.
Lebih mudah berhubungan dengan orang yang lebih tua, seperti orangtua di rumah
ataupun guru daripada dengan teman-temannya.
1. Berpotensi menjadi korban bullying yang profokatif.
Mempunyai temperamen yang tinggi, dan lebih mudah untuk melawan balik jika
mendapat perlakuan bullying.
Hiperaktif, sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai perilaku yang menjengkelkan.
Tidak disukai orangtua termasuk guru.
Mencoba untuk membullying anak yang lebih