Cerita pendek ini menceritakan tentang seorang wanita yang mengalami gangguan tidur akibat ketakutan akan kembalinya pencuri yang telah mencuri lampu di halamannya berulang kali. Ia selalu berjaga sepanjang malam untuk menjaga lampu baru yang dipasang demi permintaan tetangganya.
1 of 12
More Related Content
Cerpen Pencuri Cahaya
1. pernah penulis ikut sertakan dalam
lomba cerpen yang diselenggarakan
oleh Lingkar Pena pada tahun 2005.
3. Suara kucing kawin menghentak lelap tidurku. Dalam gelap
aku meraba, mencari sapu lidi di dekat bantal di atas kepalaku.
Aku merasa lebih tenang setelah menemukannya. Tetapi
ketenangan itu hanya sesaat karena tiba-tiba kucing itu
mengerang, suaranya begitu keras dan menakutkanku, seolah
kucing itu berada dalam ruangan yang sama denganku.
Aku tahu ketakutanku berlebihan dan tak beralasan karena
tidak mungkin kucing itu menembus tembok atau pintu, kucing
itu tidak mungkin berpindah tempat seperti sulap.
Aku tidak tahu bagaimana cara meredam rasa takutku. Aku
bahkan sempat berpikir kucing itu bukan kucing biasa. Kucing
itu seperti melihat dan mengawasiku. Ia mengerang setiapkali
aku hendak berbaring lagi, sepertinya ia tidak mengijinkan aku
tidur.
4. Sepertinya kali ini pikiranku benar-benar kacau. Rasa takut yang
berlebihan selalu memunculkan pikiran-pikiran aneh di otakku. Dan hal
yang bisa membuatku takut dan sekaligus gila adalah bila berada dekat
kucing-kucing yang sedang kawin. Mungkin karena aku punya
kenangan yang buruk semasa kanak-kanak, aku pernah masuk rumah
sakit dan disuntik beberapa kali gara-gara seekor kucing yang sedang
birahi menabrak dan menggigit kakiku.
Aku merasa sedikit lega saat suasana malam kembali sunyi. Aku yakin
kucing-kucing itu telah pergi atau setidaknya sudah tenang dan tidak
membahayakan lagi.
Sunyi, bahkan sangat sunyi, hingga aku dapat mendengar suara detak
jarum jam dinding dan jam meja berebut saling mendahului. Aku juga
dapat mendengar suara langkah sandal jepit di luar begitu jelas seolah
begitu dekat, getar langkahnya bahkan sampai ke tembok rumah.
5. Bukkk!
Aku mengangkat wajah saat mendengar suara benda menghantam
tanah. Segaris pandanganku aku melihat bola lampu pijar lewat lubang
angin di atas pintu dan jendela. Bola lampu itu baru saja dipasang tadi
sore mengganti bola lampu yang hilang tiga hari yang lalu.
Mungkinkah suara bukkk itu suara orang yang meloncati tembok.
Mungkinkah pencuri itu datang lagi. Aku menarik nafas panjang
mencoba menenangkan diri dan berharap itu tidak terjadi, meski
akhirnya aku harus menghadapi kenyataan bahwa pencuri itu benar-
benar kembali.
Jantungku berdetak sangat kencang serasa meloncat dalam dadaku
ketika bola lampu menyala lebih terang dari yang sebelumnya.
Beberapa detik ada bayangan tangan yang menggapai bola lampu, lalu
lampu meredup pelan sampai akhirnya padam.
6. Aku ingin berlari menuju jendela agar bisa mengintip pencuri itu tapi
kakiku tak bisa bergerak. Untunglah aku tidak melakukannya, karena
akan sangat membahayakan bila pencuri itu tahu aku melihatnya.
Pencuri itu tidak mungkin takut, bisa saja ia marah dan menganggapku
menantangnya. Pencuri itu bisa berbuat nekat memecahkan kaca
jendela dan melukaiku.
Aku bergerak menuju jendela setelah yakin pencuri itu telah
meninggalkan halaman rumahku dan pergi jauh. Aku mengintip untuk
memastikan pencuri itu telah pergi dan aku tidak perlu takut lagi.
Teras dan halaman rumahku kini gelap, meski tidak benar-benar gelap
karena masih ada sedikit cahaya berasal dari lampu tetangga depan
rumah.
Aku tidak mengerti kenapa pencuri itu hanya mengambil lampu teras
rumahku. Apakah lampu yang ia curi tiga hari yang lalu sudah putus
hingga ia harus mencuri lagi. Ataukah itu semua cuma awal dari sebuah
rencana pencurian yang lebih besar.
7. Sejak kejadian malam itu, sebelum berangkat tidur aku memeriksa
semua semua pintu dan jendela lebih dari sekali. Meski telah naik ke
tempat tidur bila tiba-tiba aku ragu aku akan turun lagi untuk
memeriksa semuanya dan tak peduli untuk yang ke berapa kali.
Sejak kejadian pencurian lampu yang beruntun itu, tidur malamku tidak
pernah nyenyak. Aku bisa terbangun oleh gangguan suara sekecil
apapun. Aku bisa terbangun karena suara kucing mengeong, suara
pintu pagar disenggol tikus atau suara saruk-saruk langkah penjual
makanan yang berkeliling dengan gerobaknya.
Bukan hanya itu, setiap jam dua dini hari aku selalu terjaga seolah
berada pada hari dan jam sama saat terjadinya pencurian. Seperti malam
itu, meski telah seminggu berlalu aku masih terbangun dan ketakutan di
tengah malam. Aku duduk gelisah sambil memeluk lutut dan
selimutku.
8. Mendengar suara motor meraung malam itu membuatku merasa
lebih tenang. Sungguh aku takut jika mendengar suara kucing
kawin yang mengerang, atau suara nafas anjing berlarian persis
di sebelah tembok rumahku, atau suara anjing melolong dari
tempat yang jauh, karena keberadaan kedua binatang itu di
tengah malam seringkali merupakan pertanda bahaya dan
membuatku gelisah.
Aku segera melihat keluar, menyibak kelambu jendela ketika mendengar
pintu pagar tetangga sebelah seperti digoyang-goyang. Saat itu aku
melihat sebuah becak dan pengemudinya berhenti di depan pagar
tetanggaku, serta dua laki-laki yang berdiri sambil bersandar pada pintu
pagar.
Aku tidak mengenal mereka, tetapi sepertinya mereka bukan orang baik-
baik, apalagi jam dua malam berada di depan pagar orang, sebuah
pemandangan yang janggal.
9. Jantungku berdetak kencang, kaget dan takut, saat menyadari salah satu
dari mereka menoleh ke arahku. Aku segera menutup korden dan
menyembunyikan wajahku, meski aku yakin mereka tidak bisa
melihatku karena tidak ada cahaya yang jatuh dan terpantul dari
wajahku.
Beberapa menit kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Mereka
mungkin penjahat, mereka mungkin pencuri, tapi aku tidak yakin
mereka yang mencuri lampu. Aku hafal dengan hentakan langkah
pencuri lampu itu.
Malam-malam berikutnya aku masih berjaga meski tidak tahu apa yang
kujaga. Aku tidak memiliki apa-apa kecuali diriku, ibuku, dan beberapa
tagihan hutang yang belum kami lunasi.
Aku terus berjaga. Aku tetap berjaga, karena hanya dengan cara itu aku
bisa merasa tenang. Ada ketakutan yang tak bisa kujelaskan setiap kali
teringat peristiwa pencurian lampu yang ke lima malam itu. Ketakutan
itulah yang sulit kulepaskan dari perasaanku hingga akhirnya
kuputuskan menghadapi rasa takut itu.
10. Setiap kali aku terjaga di tengah malam aku selalu melihat
keluar, melihat kegelapan, melihat kesunyian, melihat segala hal
yang dapat kulihat, melihat dan merasakan dengan
tanganku, pintu, jendela, tembok hingga aku merasa yakin aku aman
berada di dalamnya.
Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya aku baru tidur satu jam ketika
orang lain sibuk mengawali hari dengan berangkat kerja, atau anak-
anak yang berangkat ke sekolah. Aku bangun untuk membuatkan
sarapan pagi untuk aku dan ibu, sebelum aku memandikan ibu.
Setelah selesai mengurus ibu aku kerja di kamarku. Aku tidak
tahu apakah yang kulakukan pantas disebut pekerjaan. Aku
melukis setiap hari tapi tidak menghasilkan uang. Untuk biaya
hidup dan makan seringkali aku terpaksa mengemis pada
saudara atau teman.
11. Pagi itu aku hendak menggendong ibu masuk rumah setelah berjemur
matahari pagi, ketika Pak RT datang dan meminta waktuku untuk
membahas masalah lampu. Beliau memintaku memasang penerangan di
teras rumah, karena banyak keluhan warga yang merasa takut setiap
kali melintas depan rumahku karena gelap dan terkesan angker. Pak RT
juga mengkuatirkan halaman rumahku yang luas, rimbun dan gelap
akan menjadi tempat persembunyian pencuri sebelum ataupun sesudah
mereka melakukan aksi kejahatan.
Saat itulah aku terpaksa menjelaskan alasanku tidak memasang lampu.
Aku menceritakan peristiwa pencurian lampu yang kualami dua kali
dalam selang waktu tiga hari dan lima kali dalam waktu satu tahun ini.
Kukatakan aku tak mampu membeli lampu lagi.
Pak RT memintaku memasang lampu dan berjanji akan mencari jalan
keluar masalah jika pencuri itu datang lagi.
12. Pagi itu aku memasang lampu pijar sumbangan RT. Malam harinya aku
nyalakan lampu itu. Teras rumahku pun kembali bercahaya, tetapi
cahaya itu justru membuatku was-was karena akan mengundang
perhatian pencuri itu lagi. Pencuri itu pasti akan datang lagi karena tahu
aku perempuan penakut dan tak akan berani menghadapinya.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berjaga demi lampu pijar itu. Malam
berikutnya dan malam-malam berikutnya, aku benar-benar tak bisa
tidur. Sepanjang malam aku duduk dan memeluk tongkat kayu yang
kupersiapkan untuk melawan pencuri itu.
Banyak orang yang menganggapku gila karena tidak tidur demi sebuah
lampu. Mungkin aku memang gila. Bagiku ini bukan hanya
tentang lampu, tetapi tentang cahaya, dan aku tak mau
seorang pun mencuri cahaya itu dariku.
Surabaya, 2005