1. 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia memiliki kebudayaannya masing - masing, dan masing -
masing manusia tersebut mewujudkan kebudayaannya dalam bentuk ide - ide,
gagasan, nilai - nilai, norma - norma, peraturan - peraturan yang ada pada
masyarakat, dan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat, serta benda - benda hasil karya manusia ( Koentjaraningrat,
1990 : 186 - 187 ). Wujud dari kebudayaan yang diungkapkan tersebut terdapat
juga di dalam sistem religi ( kepercayaan ) yang ada pada setiap masyarakat, dan
juga merupakan kenyataan hidup dari masyarakat yang tidak dapat dipisahkan.
Kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat merupakan alat
pengatur dan memberi arahan kepada setiap tindakan, prilaku dan karya manusia
yang menghasilkan benda - benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada pada
masyarakat juga mempengaruhi pola - pola perbuatannya, bahkan juga cara
berpikir dari setiap masyarakat.
Manusia adalah makhluk berbudaya dan budaya manusia penuh dengan
simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan
simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau
mengikuti pola - pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Simbol
merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang terkandung sebuah makna yang
dapat menjelaskan kebudayaan dari manusia. Geertz ( 1992 ) berpendapat bahwa,
Universitas Sumatera Utara
2. 11
hal - hal yang berhubungan dengan simbol yang dikenal oleh masyarakat yang
bersangkutan sehingga untuk mengetahui kebudayaan dari masyarakat dapat
dilihat dari simbol yang mereka gunakan, dan makna harus dicari dalam fenomena
budaya. Sehingga untuk memahami makna yang terdapat di dalam simbol, harus
mengetahui terlebih dahulu tentang pengetahuan dan pemahaman dari masyarakat
mengenai simbol - simbol kebudayan yang mereka wujudkan di dalam tingkah
laku dan perbuatannya.
Di lain pihak Turner ( Winangun, 1990 : 19 ) berpendapat bahwa, Simbol
adalah unit ( bagian ) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah
laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari
struktur khusus dalam konteks ritual. Selain itu Turner juga menyatakan bahwa
tindakan ritual itu banyak mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga
harus diarahkan pada simbol - simbol ritual tersebut. Berdasarkan pernyataan
Turner tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari
ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam
upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian - bagian terkecil ritual
pun perlu mendapat perhatian, seperti : sesajen, mantra, dan lain -lain.
Sesajen merupakan sesajian - sesajian yang berbentuk benda, makanan,
binatang, bunga, dan lain - lain yang dipersembahkan ( diberi ) sebagai tanda
penghormatan atau rasa syukur kepada Tuhan, dewa, roh nenek moyang, mahluk
halus yang dianggap dapat mendatangkan keberuntungan, menolak kesialan dan
rasa syukur terhadap semua yang terjadi di masyarakat dengan berbagai macam
ritual religi ( Suyono, 1985 : 358 ). Sesajen juga salah satu bentuk objek atau
Universitas Sumatera Utara
3. 12
peristiwa ritual yang terdapat dalam sebuah religi. Sesajen dapat memberitahukan
tanda kepada seseorang dalam tingkah laku ritual.
Sesajen merupakan warisan budaya tradisional yang biasa dilakukan untuk
memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat ( pohon, batu,
persimpangan, dan lain - lain ) yang mereka yakini dapat mendatangkan
keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti : Upacara menjelang panen yang
mereka persembahkan kepada Dewi Sri ( dewi padi dan kesuburan ) yang masih
dipraktekkan di sebagian daerah Jawa. Upacara nglarung ( membuang kesialan )
ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai
selatan pulau Jawa tepatnya di tepian Samudera Indonesia ( Mustafid,
www.makna-sesajen.htm ). Sesajen memiliki nilai yang sangat sakral bagi
pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, Tujuan dari pemberian
sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan di
tempat - tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang tinggi.
Prosesi tersebut telah terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan sudah berasal dari
nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran - pemikiran yang
religius. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan
atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi. Saat ini orang beranggapan bahwa
menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol
dan makna di dalam sesajen yang harus dipelajari.
Agama Hindu merupakan salah satu agama yang menyatu dengan
kebudayan suku bangsa. Sehingga agama Hindu melebur dengan kebudayaan
lokal yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda - beda. Agama Hindu
Universitas Sumatera Utara
4. 13
menggunakan sesajen di dalam melakukan kegiatan religinya. Sepertinya sesajen
yang terdapat pada Hindu, merupakan kewajiban yang tidak dapat ditiadakan.
Sesajen dan Hindu sudah menjadi satu kesatuan yang utuh, Sehingga setiap
penganut agama Hindu di manapun berada dalam melaksanakan kegiatan
religinya menggunakan sesajen. Akan tetapi agama yang di luar Hindu
menganggap pemberian sesajen kepada Tuhan ataupun kepercayaan terhadap
sesuatu ( roh leluhur, mahluk halus, dan lain - lain ) dianggap tidak masuk akal
dan kolot.
India merupakan tempat asal dan menjadi pusat agama Hindu berada.
Agama Hindu yang ada di India dan yang beretnis Tamil yang ada di Indonesia
tidak begitu mononjol dalam mempergunakan sesajen dalam kegiatan religinya,
tetapi lebih menonjolkan tatwa 1
. Namun masih menggunakan sesajen, adapun
sesajen ( persembahan ) yang digunakan oleh agama Hindu di India adalah berupa
salah satu persembahan yang bersifat satvik yaitu bunga, buah dan masakan yang
bersifat vegetarian. Bahkan makanan yang disantap bersama di Kuil atau di rumah
setelah acara persembahyangan juga vegetarian ( Hira D Ghindawani,
www.printnews.php.htm ).
Penganut agama Hindu yang ada di Bali menggunakan kata banten untuk
menyebutkan sesajen yang mereka gunakan. Hindu Bali dan Jawa sangat
menonjolkan tatwa dan upakara2
( sesajen persembahan ). Di dalam kegiatan
upacara religi Hindu Bali dan Jawa selain menggunakan sesajen yang bersifat
1
Tatwa adalah Mantra - mantra dan lagu - lagu pujian yang terdapat pada Agama
Hindu.
2
Upakara adalah sebutan sesajen yang digunakan oleh agama Hindu secara
umum
Universitas Sumatera Utara
5. 14
satvik juga menggunakan sesajen dalam bentuk hewani yaitu sapi, kambing,
ayam, dan lain - lain. Penganut agama Hindu yang ada di Bali memberikan
sesajen kepada dewa, roh para leluhur, dan roh jahat melalui upacara religi.
Sesajen terdiri dari makanan, buah - buahan, bunga, dan lain - lain. Sesajen
tersebut dibentuk dan dirangkai sedemikian rupa sehingga kelihatan menarik,
sebagai persembahan yang akan diberikan kepada dewa dan roh. Peletakan
sesajen disesuaikan dengan tujuan dan fungsinya. Sesajen untuk para dewa dan
roh leluhur yang lebih tinggi, sesajen harus diatur sedemikian rupa agar menarik
dan diletakkan di altar yang tinggi. Sedang sesajen untuk roh - roh jahat
diletakkan di bagian dasar. Sesajen yang diberikan untuk para roh jahat berisi
daging mentah. Pemberian sesajen tersebut adalah pemberian terbaik sebagai
pernyataan terima kasih kepada para dewa, dan membujuk roh jahat agar tidak
mengganggu keharmonisan kehidupan manusia (Made Mariana,
www.HinduIndiaVSHinduIndonesia(Bali)«Kebenaran…Kedamaian..Keindahan.h
tm ).
Sesajen yang digunakan sebagai persembahan pada agama Hindu Bali
memiliki arti simbolis yang kuat. Oleh karena itu, persiapan sesajen merupakan
bagian dari bentuk seni tradisi yang penting yang berlaku di Bali. Salah satu
bentuk dan jenis sesajen yang mereka gunakan adalah bentuk kerucut yang terbuat
dari nasi secara keseluruhan yang dimasukkan dalam sesajen, merupakan lambang
dari gunung yang garis dasarnya terhubung dengan alam dunia bawah tanah,
dunia bagian tengah dan dunia bagian atas, dan merupakan simbol dari
keseluruhan ruang dan sumber kehidupan di bumi ( www.sesajen.php.htm ).
Universitas Sumatera Utara
6. 15
Penganut agama Hindu yang ada di Jawa khususnya sekitar Gunung Bromo,
setiap tahunnya mengadakan upacara kasodo ( www.Umat Hindu Mulai Upacara
Kasodo Lempar Sesajen ke Gunung Bromo.htm ). Upacara diadakan pada tengah
malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan
Kasodo ( Kesepuluh ) menurut penanggalan Jawa. Dari desa, masyarakat berjalan
menuju kawah Gunung Bromo dan menebarkan sesajen berupa buah - buahan,
tanam - tanaman, yang berasal dari lahan pertanian serta ternak. Umat agama
Hindu Jawa menganggap upacara kasodo dengan menebarkan sesajen ke dalam
kawah Gunung Bromo akan memberi berkah kesuburan bagi tanah mereka.
Etnis Karo yang ada di Sumatera Utara, belum begitu lama menjadi
penganut agama Hindu yaitu sekitar tahun 1972. Sehingga etnis Karo dapat
dikatakan masih baru mengenal Hindu dibandingkan etnis - etnis lainnya yang ada
di Indonesia. Pada waktu 1985 diresmikannya Parisada Hindu Dharma Karo
(PHDK) dan etnis Karo mejadi pemeluk agama Hindu yang terbesar di Indonesia
setelah Bali. Jumlah etnis Karo yang menjadi penganut agama Hindu tercatat
5.000 anggota dan 5.000 simpatisan ( Juara Ginting, 2009 ). Sebelum agama
Hindu ada pada etnis Karo, etnis Karo sudah menggunakan sesajen pada kegiatan
religi tradisionalnya. Karena pada saat itu, etnis Karo masih menganut agama
perbegu atau pemena 3
. Jenis sesajen yang digunakan berupa bunga, air, buah -
buahan ( jeruk, apel, dan lain - lain ), makanan, hewan berupa ayam yang
dipersembahkan kepada Tuhan, roh nenek moyang dan mahluk halus melalui
3
Perbegu atau pemena merupakan sebutan bagi penganut kepercayaan tradisional
Karo sebelum masuknya agama modren.
Universitas Sumatera Utara
7. 16
berbagai upacara religi yaitu erpangir ku lau, ndilo tendi 4
dan lain - lain dengan
perantara guru sibaso 5
. Hal tersebut dilakukan dengan maksud tujuan ucapan
terima kasih kepada Tuhan, menghindari mala petaka yang mungkin terjadi,
menyembuhkan suatu penyakit, mencapai maksud tujuan tertentu ( Darwan prinst,
2008 : 242 ).
Seperti yang dijelaskan di atas sesajen sangat erat kaitannya dengan Hindu.
Walaupun setiap etnis menjadi penganut agama Hindu, namun jenis dan bentuk
sesajen, cara persembahan sesajen, serta makna sesajen berbeda. Dengan
memahami arti pentingnya sesajen tersebut, maka sangat perlu dilakukan kejian -
kajian mengenai makna sesajen. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
menggambarkan makna sesajen pada etnis Karo setelah menjadi penganut agama
Hindu.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dari
penelitian ini dapat digolongkan menjadi 3 ( tiga ) pertanyaan yaitu :
1. Bagaimanakah bentuk dan jenis sesajen yang terdapat pada penganut agama
Hindu etnis Karo ?
4
Erpangir ku lau adalah upacara pembersihan tubuh untuk mencapai maksud
tujuan tertentu yang dilakukan pada air yang mengalir.
Ndilo tendi adalah upacara religi untuk memanggil roh seseorang yang pergi
meninggalkan tubuhnya, dengan upacara ini diharapkan roh yang yang telah
pergi tersebut dapat kembali lagi keasalnya seperti semula. Dapat juga upacara
ini berfungsi untuk memanggil roh nenek moyang dengan menggunakan media
Guru sibaso.
5
Guru Sibaso adalah nama yang diberikan oleh Etnis Karo kepada seorang dukun
yang dianggap memiliki kekuatan megik dan ilmu sakti.
Universitas Sumatera Utara
8. 17
2. Bagaimana cara persembahan sesajen ?
3. Apakah makna sesajen bagi penganut agama Hindu etnis Karo ?
1.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lau Rakit, yang terletak di Kecamatan
STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi
penelitian di daerah tersebut, karena daerah tersebut terdapat penganut agama
Hindu etnis Karo yang berjumlah 85 jiwa.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dilakukannya penelitian ini dengan tujuan untuk menggambarkan
(deskripsi) secara mendalam mengenai bentuk dan jenis sesajen, tata cara
persembahan sesajen, serta makna sesajen pada penganut agama Hindu etnis Karo
di Desa Lau Rakit. Sesajen merupakan salah satu bagian yang sangat penting di
dalam melakukan upacara agama Hindu khususnya yang beretniskan Karo.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dan
memperkaya literatur pengetahuan ilmu Antropologi khususnya dalam bidang
budaya. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi etnis Karo, lembaga
keagamaan ( khususnya Hindu ) dan lembaga pemerintahan, agar dapat
melestarikan dan memelihara kebudayaan yang ada pada etnis Karo sendiri.
Universitas Sumatera Utara
9. 18
1.5 Tinjauan Pustaka
Pada kepercayaan tradisional etnis Karo mengunakan kata ercibal untuk
menyebutkan sesajian dan persembahan yang mereka gunakan. Akan tetapi pada
penganut agama Hindu etnis Karo menyebutkan sesajen sebagai persembahan
atau sesajian kepada Tuhan, dewa, dan roh leluhur. Penganut agama Hindu etnis
Karo menganggap ercibal yang dilakukan etnis Karo pada tempo dulu,
merupakan persembahan yang diberikan kepada roh yang telah meninggal saja.
Sedangkan pada penganut agama Hindu etnis Karo tidak hanya memberikan
persembahan dan sesajian kepada roh yang telah meninggal saja, tetapi juga
memberikan sajian kepada Tuhan, dewa, roh leluhur dengan berbagai macam
kegiatan upacara religi keagamaan, namun tidak melupakan kebiasaan - kebiasaan
yang ada pada etnis Karo sendiri. Dengan demikian penganut agama Hindu etnis
Karo menyebutkan sesajen sebagai persembahan dan sajian yang mereka
gunakan.
Setiap masyarakat memiliki beraneka ragam kepercayaan ( Religi ) yang
menjadi keyakinannya. Setiap kepercayaan dan keyakinannya tersebut
diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari - hari. Menurut E. Durkheim
(Koentjaraningrat, 2005 : 201), unsur - unsur dari kepercayaan ( Religi ) yang
terdapat pada masyarakat adalah :
1. Emosi keagamaan ( getaran jiwa ) yang menyebabkan bahwa manusia
didorong untuk berperilaku keagamaan.
Emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu saat
dapat menghinggapi seorang manusia. Getaran jiwa seperti itu ada
Universitas Sumatera Utara
10. 19
kalanya hanya berlangsung beberapa detik saja. Emosi keagamaan
tersebutlah yang mendorong orang berperilaku serba religi. Emosi
keagamaan disebabkan karena manusia takut menghadapi berbagai
krisis dalam hidupnya, manusia tidak mampu menjelaskan berbagai
gejala dengan akalnya, percaya akan adanya kekuatan sakti dalam
alam. Emosi keagamaan inilah yang menyebabkan timbulnya sifat
keramat dari setiap perilaku manusia.
2. Sistem Kepercayaan.
Setiap manusia sadar bahwa selain dunia nyata ini, ada suatu alam
dunia yang tidak tampak olehnya dan berada diluar batas akalnya.
Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia yang tidak
tampak ( gaib ) tersebut dihuni oleh berbagi mahluk dan kekuatan
yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara - cara biasa, dan
karena itu dunia yang tidak tampak tersebut sering ditakuti oleh
manusia. Mahluk dan kekuatan yang menghuni dunia yang tidak
tampak tersebut adalah dewa - dewa yang baik maupun yang jahat,
mahluk - mahluk halus ( para leluhur, hantu, dan lain - lain ) yang
bersifat baik ataupun jahat dan kekuatan sakti yang dapat bermanfaat
bagi manusia maupun yang dapat membawa bencana.
3. Sitem Upacara Religi
Sistem upacara religi mengandung empat komponen yaitu
a. Tempat upacara.
b. Saat upacara.
Universitas Sumatera Utara
11. 20
c. Benda - benda dan alat - alat upacara.
d. Orang - orang yang melakukan dan memimpin upacara.
4. Kelompok Keagamaan ( Religi) .
Kelompok keagamaan adalah kesatuan kemasyarakatan yang
mengkonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi berserta sistem
upacara keagamaannya. Adapun kesatuan - kesatuan kemasyarakatan
yang menjadi pusat dari religi dalam kenyataan kehidupan sosial, bisa
berupa empat tipe yaitu keluarga inti sebagai kelompok keagamaan,
kelompok kekerabatan unilineal sebagai kelompok keagamaan,
komunitas sebagai kelompok keagamaan dan perkumpulan -
perkumpulan khusus sebagai kelompok keagamaan.
Sesajen merupakan salah satu kepercayaan yang terdapat pada agama Hindu
yang diberikan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur ( nenek moyang ), dan lain - lain
yang dilakukan dengan berbagai macam kegiatan upacara ritual religi. Suwardi
Endraswara (www.Studi Religi dan Ritual-Antro « TeguhIman Prasetya.htm)
berpendapat bahwa sesajen yang diberikan kepada Tuhan, dewa, roh nenek
moyang, dan lain - lain, kadang - kadang memang kurang masuk akal. Namun
demikian, bagi pendukung budaya yang bersangkutan yang dipentingkan adalah
sikap dasar spiritual yang berbau emosi religi, bukan logika. Karena itu, dalam
tradisi sesajen biasanya terdapat upacara berupa sesaji sebagai bentuk
persembahan atau pengorbanan kepada mahluk spiritual yang kadang - kadang
sulit diterima nalar. Hal ini semua sebagai perwujudtan bakti mahluk kepada
Universitas Sumatera Utara
12. 21
kekuatan supranatural. Selain itu, ritual pemberian sesajen menurutnya
mempunyai fungsi bagi setiap masyarakat yaitu :
1. Mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat
kunci dan nilai utama kebudayaan. Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau
integrasi.
2. Ritual menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi,
khususnya nafsu - nafsu negatif.
3. Ritual akan mampu melepaskan tekanan - tekanan sosial.
Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut Robertson Smith ( dalam
Koentjaraningrat, 1990 : 68 ) memiliki fungsi sebagai aktivitas untuk mendorong
rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai komunitas istimewa.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan kepercayaan
adalah ritus atau upacara. Menurutnya, upacara religi akan bersifat kosong, tak
bermakna, apabila tingkah laku manusia didalamnya didasarkan pada akal
rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal
yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tertinggi yang menurutnya
tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian
musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan
maut.
Sehubungan dengan hal tersebut, Van ball ( Koentjaraningrat, 1993 : 42 )
menyatakan bahwa sesajian adalah pemberian kepada dewa dan mahluk halus
dalam dunia gaib yang mana pada umumnya mempunyai fungsi sebagai
pemberian. Marcel Mauss ( Suparlan, 1992 ) berpendapat pemberian dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
13. 22
interaksi sosial ialah sebagai lambang pengukuhan suatu hubungan antara si
pemberi dan penerima. Kemudian lebih dikukuhkan lagi dengan pemberian
balasan dan pemberian ini melibatkan kelompok - kelompok dan masyarakat yang
bersangkutan secara menyeluruh. Pemberian sesajen kepada Tuhan, dewa, dan roh
halus merupakan sebuah hadiah yang mempunyai tujuan yang lebih baik untuk
membeli perdamaian.
Berkorban merupakan suatu perbuatan membunuh binatang yang
dikorbankan. Binatang korban tersebut dijadikan sebagai sesajen, secara upacara.
Jalan pikiran yang ada di belakang perbuatan serupa itu ada banyak. Kadang -
kadang ada maksud bahwa binatang yang dibunuh itu disajikan kepada dewa -
dewa, tetapi biasanya dalam perbuatan - perbuatan upacara seperti itu orang
sendirilah yang akan memakan binatang yang dikorbankan itu, dan bukan dewa-
dewa. Dalam hal ini binatang yang dibunuh itu rupanya dianggap dari lambang
dewa - dewa atau leluhur. Dengan makan binatang korban tadi, orang akan
memasukkan dewa kedalam dirinya sendiri. Kadang - kadang ada pula suatu jalan
pemikiran lain dibelakang upacara berkorban itu. Binatang yang dibunuh
dianggap sebagai tempat dosa orang dan segala hal yang menyebabkan kesedihan
dan kesengsaraan manusia dapat dibuang. Dengan membunuh binatang, segala
dosa manusia untuk sementara telah dibersihan terhadap dosa dan kesengsaraan
dalam masyarakat ( Koentjaraningrat, 1992 : 263 ).
Munurut Koentjaraningrat ( 1992 : 262 ) memberikan sesajen meliputi
perbuatan - perbuatan upacara yang biasanya diterangkan sebagai perbuatan -
perbuatan untuk menyajikan makanan, benda - benda, atau sebagainya kepada
Universitas Sumatera Utara
14. 23
dewa - dewa, roh - roh nenek moyang, atau mahluk halus lainya. Pada banyak
upacara sesajen, dewa diberi makanan yang oleh manusia dianggap lezat, seolah-
olah dewa - dewa atau roh itu mempunyai kegemaran yang sama dengan manusia.
Dalam upacara sesajen, api dan air sering mempunyai peranan yang penting.
Sesajen dilempar kedalam api atau air ( sungai, laut ), dengan demikian akan
sampai kepada dewa - dewa. Seringkali dari persembahan sesajen kepada para
leluhur hanya merupakan lambang saja. Sajian diletakkan ditempat - tempat
keramat, dan dengan demikian rasa dari makanan tersebut akan sampai kepada
tujuannya, atau para leluhur hanya datang untuk menghirup saja. Seringkali kita
lihat bahwa upacara pemberian itu dikerjakan oleh sipelaku tanpa kesadaran akan
kepentingan para leluhur. Upacara menjadi perbuatan kebiasaan, dan dianggap
seolah - olah suatu aktifitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa yang
diinginkan.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, pada saat menghidangkan sesajen,
Tuhan, dewa, mahluk halus dianggap akan datang untuk menikmati sesajian.
Kehadiran Tuhan, dewa, mahluk halus diserap dalam bentuk benda - benda
lambang ( Hendropuspito, 1983 ) dengan dua cara yaitu :
1. Kehadiran Tuhan, dewa, mahluk halus, secara spontan.
Tuhan, dewa, mahluk halus sendiri yang hadir dalam lambang yang dipilih-
Nya.
2. Secara dimohon
Tuhan, dewa, maluk halus hadir dalam benda ( lambang ) atau manusia
karena dimohon. Tuhan, dewa, maluk halus dimohon turun dan mengambil
Universitas Sumatera Utara
15. 24
tempat dan bentuk dalam suatu lambang, sehingga dapat bergaul dengan
manusia.
Ada dua macam permohonan ialah invokasi magis dan invokasi religius. Invokasi
magis mendasarkan kekudusan kepada kekuatan gaib seseorang ( Dukun ).
Sehingga kekudusan benda lambang bervariasi intensitasnya menurut gradasi
kekudusan sipemohon. Bentuk invokasi magis adalah kutukan, jampi - jampi, dan
lain - lain. Invokasi religius mengandalkan kekuatan pada Tuhan, dewa, mahluk
halus sendiri serta kerelaannya untuk turun pada lambang. Tuhan dimohon, bukan
dipaksa. Bentuk - bentuk invokasi religius adalah doa, sembahyang, nyayian.
Salah satu usaha yang dominan pengaruhnya dalam pengukuhan nilai - nilai
ajaran dan sekaligus untuk menunjukkan nilai - nilai keagamaan dan kepercayaan
dalam mentransformasikannya adalah dalam melalui simbol - simbol pada setiap
upacara. Simbol dalam hal ini yaitu lambang - lambang dari bentuk pemikiran dari
perbuatan yang dimaksud dalam agama ( religi ). Pada umumnya setiap upacara
religi merupakan rangkaian perangkat lambang - lambang berupa benda atau
materi, kegiatan - kegiatan dan isyarat - isyarat yang penggunaannya dilakukan
secara simbolis yang dapat ditangkap dan diinterprestasikan oleh orang - orang
yang terlibat langsung ataupun oleh para pengamat. Simbol - simbol yang mereka
gunakan tersebut berfungsi untuk menertibkan tata cara upacara. Suatu simbol
atau lambang merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan hal tertentu atau
menggantikan sesuatu yang mungkin merupakan tanggapan dari situasi tertentu.
Reaksi terhadap lambang tergantung kepada pengakuan adanya hubungan sesuatu
yang digantikan lambang tersebut ( Su’ib, 1992 : 9 ).
Universitas Sumatera Utara
16. 25
Clifford Geertz ( 1992 : 149 - 150 ) melihat simbol sebagai lambang
kebudayaan yang dijadikan kendaraan budaya, dalam mengirimkan simbol -
simbol sebagai makna dan cara berkomunikasi di mana orang harus melihat,
merasakan, dan berpikir tentang sesuatu. Selain itu, Clifford Geertz mengartikan
simbol - simbol yang bertindak adalah simbol yang ada di alam pola pikir
manusia, dan bagaimana mereka membentuk cara orang berpikir dan
berkomunikasi tentang sesuatu, bagaimana mereka mempengaruhi kepribadian
dan hubungan sosial. Sedangkan Menurut Spradley ( 1997 : 121 ) simbol adalah
objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah
suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah
mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.
Di dalam upacara religi yang menggunakan sesajen terdapat berbagai
macam bentuk lambang - lambang yang digunakan sebagai simbol. Untuk dapat
menangkap makna simbol yang tersembunyi dari sesajen, menurut Vitor Tuner
(Winangun, 1990 : 19) ada 3 cara yang dapat dilakukan, yaitu :
1. Multivokal artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal,
pribadi, dan atau fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna simbol
ritual.
2. Polarisasi simbol karena simbol memiliki banyak arti sering ada arti simbol
yang bertentangan.
3. Unifikasi artinya memiliki arti terpisah.
Universitas Sumatera Utara
17. 26
1.6 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi
(menggambarkan) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan metode
penelitian deskripsi kualitatif, maka akan dapat menggambarkan secara mendalam
makna sesajen sebagi salah satu bagian yang sangat penting pada setiap upacara
religi Hindu, khususnya yang beretnis Karo.
Agar dapat menggambarkan ( mendiskripsikan ) makna sesajen yang
terdapat pada penganut agama Hindu etnis Karo, maka dibutuhkan informasi yang
lengkap, sehingga dibutuhkan alat pengumpulan data.
Adapun alat yang digunakan dalam penggumpulan data dalam penelitian ini
adalah :
1. Data Primer
Data primer adalah salah satu data yang diperoleh dari observasi
(pengamatan) dan wawancara lapangan.
- Observasi ( pengamatan )
Observasi yang digunakan adalah observasi pastisipasi yaitu dengan cara
berada dalam setiap aktifitas, dan turut serta mengikuti dan mengamati
segala kegiatan penganut agama Hindu pada masyarakat yang beretnis
Karo dalam hal mengunakan sesajen. Dengan cara tersebut peneliti dapat
memperoleh informasi lengkap dan kongrit. Dari hasil pengamatan atau
observasi, peneliti lalu menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan.
Universitas Sumatera Utara
18. 27
- Wawancara Lapangan
Wawancara lapangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam dengan di bantu pedoman wawancara ( interview
guide ). Dengan menggunakan wawancara mendalam, maka akan dapat
memperoleh segala informasi yang dibutuhkan secara lengkap mengenai
sesajen yang digunakan oleh penganut agama Hindu etnis Karo.
Adapun informan yang digunakan dan diwawancarai dalam penelitian
ini adalah
a. Informan Pangkal
Informan pangkal yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang
yang memiliki pengetahuan tentang sesajen yang digunakan oleh
penganut agama Hindu pada etnis Karo dan digunakan sebagai
informasi awal. Adapun informan pangkal tersebut adalah pemuka
adat, kepala desa setempat.
b. Informan Pokok ( kunci )
Informan pokok yang akan digunakan adalah orang yang paham dan
mengerti benar mengenai masalah penelitian yang akan dilakukan
yaitu makna sesajen bagi penganut agama Hindu etnis Karo. Adapun
informan pokok tersebut adalah pemimpin umat Hindu, pengurus
pura, umat Hindu.
c. Informan Biasa
Informan biasa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
orang yang akan dimintai dan memberikan informasi mengenai
Universitas Sumatera Utara
19. 28
masalah penelitian yang dilakukan yaitu penduduk Desa Lau Rakit
yang pernah melihat atau mengetahui tentang sesajen yang
digunakan oleh penganut agama Hindu, ataupun penduduk setempat.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi yang ada
pada kepala desa, buku kepustakaan, artikel, surat kabar, jurnal, internet,
dan lain - lain. Data sekunder tersebut digunakan sebagai pelengkap dan
penyempurna hasil dari obserfasi dan wawancara.
1.7 Analisa Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif. Data yang telah terkumpul dan diperoleh melalui metode penelitian
akan dipilah - pilah dan diorganisasikan kedalam konsep - konsep, tema, serta
nilai - nilai budaya yang ada pada penganut agama Hindu etnis Karo mengenai
makna sesajen. Setelah data diorganisasikan, maka akan di cari hubungan -
hubungan yang saling keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya.
Dari hasil tersebut akan ditemukan kognitif penganut agama Hindu etnis Karo
terhadap makna sesajen yang digunakan. Hasil dari analisis data yang telah
dilakukan akan disusun secara sistematis.
Tahap akhir analisis data yang akan dilakukan adalah membaca kembali
hasil analisis yang telah dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap
makna sesajen. Dari hasil keseluruhannya di tulis secara deskripsi kedalam sebuah
laporan penelitian ( Skripsi ).
Universitas Sumatera Utara