Dokumen tersebut merangkum konsep konflik organisasi, termasuk pendefinisian konflik, pandangan tentang konflik, jenis-jenis konflik, faktor penyebab, dan penanganannya. Konflik didefinisikan sebagai proses yang dimulai ketika satu pihak merasa negatif dipengaruhi oleh pihak lain. Ada tiga pandangan konflik yakni tradisional, hubungan manusia, dan interaksionis. Konflik dibedakan berdasarkan
1 of 9
Download to read offline
More Related Content
Change Management and Handling Conflict
1. Resume: Konflik di Dalam Organisasi
Oleh:
Dian Kurniawati 111400257
TELKOM ECONOMICS AND BUSINESS SCHOOL
TELKOM UNIVERSITY
BANDUNG
2013
2. 1. Pengertian Konflik
Konflik merupakan suatu proses diawali ketika satu pihak merasa bahwa pihak lain telah
mempengaruhi secara negative, atau akan segera mempengaruhi secara negative, sesuatu
yang menjadi perhatian pihak lain.
2. Transaksi dalam Pandangan tentang Konflik Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict
Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk
meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
a. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan
irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi
yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan
kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di
dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak
dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan
pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan
sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja
organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk
melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
c. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung
mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan
suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi
statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut
pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara
berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat,
kritis – diri, dan kreatif.
3. 3. Perbandingan Konflik Tugas, Konflik Hubungan , dan Konflik Proses
Gibson dkk (2004: 252-253) menjelaskan adanya tiga hal yang merangsang konflik
dalam hubungan antar anggota dalam suatu kelompok yakni:
a. Konflik Tugas: konflik yang terjadi antara isi dan tujuan kerja
b. Konflik Hubungan : konflik yang terjadi karena hubungan antar personal.
c. Konflik Proses: konflik yang berhubungan dengan bagaimana pekerjaan dijalankan.
4. JENIS –JENIS KONFLIK
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk
membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian
atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional
Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan
kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah
konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman (1989:393)
membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1) Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika
seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas
yang melebihi batas kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan
kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang
lain.
3) Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups).
Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia
bekerja.
4. 4) Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the
same organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki
tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika
tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi
lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in
different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari
anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan
yang dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi
seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan
yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki
kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan,
atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya
memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai
penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu
peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga
klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang
membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan
destructive conflict.
5. 5. Proses Konflik
TAHAP I : POTENSI PERTENTANGAN DAN KETIDAKSELARASAN
Tahap pertama adalah munculnya kondisi yang member peluang terciptanya konflik.
Kondisi-kondisi tersebut juga bisa dianggap sebagai sebab atau sumber konflik.
Kategori umumnya antara lain :
- Komunikasi
- Strukur
- variabel-variabel pribadi
TAHAP II : KOGNISI DAN PERSONALISASI
Tahap ini penting karena dalam tahap inilah biasanya isu-isu konflik didefinisikan. Pada
tahap ini pula para pihak memutuskan konflik itu tentang apa.
Konflik yang dipersepsi adalah kesadaran oleh satu atau lebih pihak akan adanya
kondisi-kondisi yang menciptakan peluang munculnya konflik.
Konflik yang dirasakan adalah keterlibatan dalam sebuah konflik yang menciptakan
kecemasan, ketegangan, frustasi atau rasa bermusuhan.
TAHAP III : MAKSUD
Maksud adalah keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu. Banyak konflik semakin
rumit karena salah satu pihak salah dalam memahami maksud pihak lain.
Di sisi lain, biasanya ada perbedaan yang besar antara maksud dan perilaku, sehingga
perilaku tidak selalu mencerminkan secara akurat maksud seseorang.
6. TAHAP IV : PERILAKU
Pada tahap inilah konflik mulai terlihat jelas. Tahap perilaku ini meliputi pernyataan,
aksi, dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku konflik ini
biasanya merupakan upaya untuk menyampaikan maksud dari masing-masing pihak.
TAHAP V : AKIBAT
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan
konsekuensi. Konsekuensi atau akibat ini bisa saja bersifat fungsional atau disfungsional.
Dikatakan bersifat fungsional ketika konflik tersebut justru menghasilkan perbaikan
kinerja kelompok, sedangkan disfungsional adalah ketika konflik tersebut menjadi
penghambat kinerja kelompok.
6. Penanganan Konflik
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam
penanganan konflik :
a. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di
atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu
membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan
pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-lose
7. solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi
konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan
bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas
kepentingan bawahan.
b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi
tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah
menunda konflik yang terjadi. Situasi menang kalah terjadi lagi disini.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk
mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa
terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah
satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan
tersebut.
c. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri
agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga
sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa
kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan
pihak tersebut.
Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal
yang utama di sini yaitu :
d. Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut
sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama.
Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan
situasi menang-menang (win-win solution).
8. e. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja sama.
Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing
tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar
pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.
7. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar - belakanginya
(antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya
konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah
- pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak
cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap
komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:
ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan
kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi
merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya
konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang
menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu
yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu
9. yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan
para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam
kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan
(perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka
merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah
menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari
dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak
yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan
sebagainya.