3. Ada pernyataan kuat bahwa telah terjadi distori etika dan
pelanggaran kemanusiaan yang hebat di Papua. Martabat
manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban dan
kebudayaan sampai mata rantai penghidupan jelas dilanggar. Itu
adalah fakta keteledoran pemerintah yang sangat berat karena
selama ini bersikap underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan
yang menyatakan mendapatkan kesejahteraan dengan
intensifikasi nyatanya gagal.
Ironisnya, dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja
sejak Juli untuk menuntut hak normatifnya soal diskriminasi gaji,
namun dua kali pula harus beradu otot. Keuntungan ekonomi
yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi
lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus
memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran
hukum dan HAM.
4. Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN)
memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah
termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini
diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan
Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi
bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN
berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah
karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem
kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkitTanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta
Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk
pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU MuaraTawar dan PLTGU
Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik
masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak
mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum
terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana
contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
6. Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di
Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang
berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat).
Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk
membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak
Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis
produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua
supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak
memasarkan produk dari Indomie.
7. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya
bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam
mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam
batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.Tetapi bila kadar
nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan
lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional
tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. SedangkanTaiwan
bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan diTaiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
9. Aksi kesewenag-wenangan perusahaan terhadap karyawan di Sukoharjo
kembali terjadi. Kali ini dialami Singgih Susilo, warga Kecamatan Pasar
Kliwon Solo. Ia yang sudah bekerja selama 11 tahun, mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak oleh perusahaan Dimasari
Teknik,Telukan, Grogol tanpa mendapatkan pesangon sepersen pun.
Saya menjadi korban PHK sepihak oleh perusahaan tanpa adanya alasan
yang jelas dan tidak mendapatkan pesangon. Padahal saya sudah
bekerja selama 11 tahun, ujar Singgih saat ditemui di DPRD Sukoharjo.
Dituturkannya, masalah bermula saat ia memperjuangkan delapan
karyawan yang belum digaji sesuai UMK 2011 ke perusahaan. Namun
respons yang diharapkan justru di luar dugaan. Sebab, perusahaan
langsung memutasi Singgih dari sebelumnya bekerja sebagai office boy
(OB) ke bagian divisi di luar perusahaan. Setelah itu, ia dua kali dimutasi
ke bagian yang tidak sesuai dengan keahliannya.