1. Gereja dan Dunia Modern
Relevansinya bagi Gereja
Indonesia
Kentungan, 14 November 2013
2. Lahirnya GS
Kehadiran Skema tentang GS muncul dalam diskusi konsili tanggal
21-27 Januari 1963 ketika itu para Bapa Konsili dari Komisi
Gabungan (Komisi Teologi, Komisi tentang Gereja, dslb.) setuju
dengan pendapat Kardinal Suenes tentang Ecclesia ad extra dan
Ecclesia ad intra.
Ecclesia ad intra mengarah kepada dokumen Lumen Gentium (yang
kita kenal sekarang) dan Ecclesia ad extra mengarah kepada GS
(seperti sekarang ini). Yang terakhir ini mau melihat kehadiran
Gereja secara lebih pastoral, yakni bagaimana Gereja mewujudkan
diri di dalam dunia modern.
Skema ini kemudian dikenal sebagai Skema XVII dengan judul: De
praesentia Ecclesia in mundo hodierno. Disebut Skema XVII karena
skema itu berada pada urutan ke-17 dari seluruh daftar skema
konsili.
Namun kelemahan dasar dari skema XVII adalah: muatan teologis
dan pastoralnya sangat tipis.
3. Sambungan
Kemudian lahirlah Skema Malines yg juga dianggap belum
memenuhi syarat untuk sebuah dokumen
Pada tanggal 29 November 1963 oleh Komisi Gabungan dibentuklah
komisi khusus untuk membuat sebuah skema baru. Kelompok ini
menghasilkan skema baru yang disebut Skema XIII.
Setelah melalui pembahasan oleh para Bapa Konsili di Aula Konsili,
oleh Komisi Gabungan, Subkomisi (komisi khusus), diskusi di Arricia,
akhirnya tanggal 12 November 1965 Skema XIII itu menjadi textus
recognitus. Setelah dikoreksi lagi (bahkan juga mengalami
pemblokiran oleh 300 bapa konsili) akhirnya dalam pertemuan
konsili pada tanggal 6 Desember 1965 Skema ini diterima sebagai
Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam dunia kontemporer dan
pada tanggal 7 Desember konstitusi ini dipromulgasikan.
Ada 300 orang Bapa Konsili yang mengumpulkan tanda tangan
untuk memblokade skema ini. Alasan mereka karena skema ini
tidak berbicara apa-apa terhadap komunisme, perang, kemiskinan
dll.
4. Muatan GS
GS termasuk kategori konstitusi dan karenanya mempunyai daya
mengikat dan mengharuskan untuk ditaati karena berisi ajaranajaran pokok iman kristiani.
GS juga adalah satu-satunya konstitusi yang bersifat pastoral.
Pastoral berarti Gereja mau terlibat dalam realitas dan masalah
hidup yang ada di dunia ini.
Paus Yohanes XXIII memulainya dengan aggiornamento
(pembaharuan). Keterlibatan itu mesti dimulai dari pembaharuan
yang mesti terjadi di dalam tubuh Gereja itu dan Gereja harus
membuka jendela agar angin segar dapat masuk ke dalam Gereja.
Sejalan dengan itu, Gereja mesti pula memandang keluar dan
melihat realitas kehidupan sesama manusia sebagai realitas dirinya
juga. Semangat di atas kelak akan melahirkan konsepsi tentang
Gereja ad intra (ke dalam)dan Gereja ad extra (Keluar).
5. Gereja Ad Extra
Cara memandang diri Gereja juga menentukan cara beradanya di
tengah masyarakat. Maka Gereja merobak tata cara hidupnya
yang kaku dan membaharui dirinya dalam semangat
aggiornamento.
Gereja bukan lagi Gereja piramidal di mana uskup dan paus berada
di puncak melainkan Gereja itu adalah umat Allah. Yang ada di
puncak Gereja adalah Yesus Kristus yang disembah dan diagungkan.
Yang perlu digarisbawahi dalam eklesiologi ini adalah pembicaraan
mengenai awam. Untuk pertama kalinya konsili berbicara tentang
awam.
Awam bukan lagi warga Gereja kelas dua melainkan mereka
adalah bagian penting dalam kehidupan Gereja karena mereka
mesti menghadirkan Kristus di dalam dunia sekuler.
Sejalan dengan itu, Konsili Vatikan II menemukan dirinya bahwa
Gereja bukanlah komunitas yang terpisah dari dunia. Dia adalah
salah satu dari komunitas duniawi ini. Gereja tidak terpisah dari
dunia.
6. Gereja yang Memasyarakat
Salah satu kekhasan dari Gereja Konsili Vatikan II adalah evaluasi
terhadap dirinya yang berangkat dari sudut pandang dunia luar
(dunia profan).
Selama itu Gereja berkutat dengan masalahnya sendiri dan
sekarang Gereja membuka diri serta menerima masukan dari dunia
sekular. Pembukaan diri itu mengubah sudut pandang Gereja
sendiri: Gereja bersolider dengan masyarakat dan berdialog (terusmenerus) dengan masyarakat (GS 1, 40).
Gereja sadar bahwa masyarakat dengan segala harapan dan
permasalahannya merupakan tempat di mana Allah menyatakan
diriNya dan sungguh-sungguh hadir dalam realitas yang insani itu.
Maka penyataan diri Allah itu harus dicari dan ditanggapi dalam
terang iman. Inilah yang disebut tanda-tanda zaman oleh GS no 4.
7. Sambungan
Hubungan Gereja-masyarakat ditemukan oleh Gereja sendiri
sebagai elemen esensial di dalam konsep berdialog dengan dunia
yang memasukkan sosialitas sebagai kondisi dan kekayaan yang
dibawa oleh setiap orang, sebagai kemampuan untuk keluar dari
dirinya sendiri untuk bertemu dengan orang lain.
Dialog dengan dunia dimaksudkan demi kesejahteraan bersama.
Maka dialog itu harus brsifat mutualis: saling menguntungkan.
Kesejahteraan bersama mengimpikasikan juga seluruh
kebersamaan sosio-ekonomi-budaya-politik yang diambil dari
masyarakat.
Gereja mengerti bahwa solidaritas hadir di dalam suatu komunitas
sebagai suatu organisme moral atau hukum yang mempersatukan,
sambil menghormati martabat setiap individu dan menyandarkan
diri pada kehendak bebas semua anggota komunitas untuk bekerja
sama demi kebaikan bersama.
8. Masalah-Masalah Aktual
1.Keluarga. Keluarga adalah komunitas gerejani yang paling
kecil. Ia harus menghadirkan wajah Kristus sendiri di dalam
setiap gerak hidupnya. Karena itu cinta menjadi kunci
untuk keberadaan sebuah keluarga dan sekaligus dengan
cinta itu keluarga menjadi sakramen (tanda kehadiran Allah
sendiri) di dunia ini.
2.Politik: politik dipahami sebagai keikutsertaan setiap
warga negara di dalam kehidupan bersama untuk
menentukan masa dan kehidupan bersama. Kehidupan
bersama itu (bonum commune) adalah target hidup
bersama. Politik yang ideal adalah politik yang berdasarkan
keadilan dan kejujuran dari masing-masing warga untuk
berdampingan satu terhadap yang lain.
9. Sambungan
3. Ekonomi dipahami sebagai usaha manusia untuk produksi
rumah tangganya sendiri dalam rangka memenuhi kehidupan
manusia yang paling dasariah. Dalam pengelolaan rumah tangga,
biasanya bidang kehidupan dasariah kehidupan menjadi perhatian
utama, misalnya soal makan-minum, pakaian, rumah, kesehatan,
dll. Seseorang berusaha untuk bertahan hidup dalam setiap
keadaan apapun (struggle for existence).
Solidaritas bersama orang miskin adalah usaha kita (sebagai Gereja)
untuk menunjukkan solidaritas Kristus sendiri yang menyamakan
diri dengan orang miskin (bdk. Mt 25:31-46).
Fakta jelas berbicara bahwa orang dibuat menderita. Sebagai
contoh, 1 milyard orang memperoleh nafkah hanya 1$ sehari,
sementara 358 orang mengumpulkan modal pribadi seharga 762
milyard $ yang sama dengan pendapatan 2,35 milyard orang. Yang
mengerikan: setiap tahun uang yang dibelanjakan bagi kebutuhan
bedah kosmetik berjumlah 20 milyard $ dan setiap tahun naik 20%.
10. Sambungan
4. Budaya. Setiap orang lahir dalam budaya
tertentu karena ia ada dan dimasukkan ke dalam
budaya itu. Budaya adalah seluruh interaksi
manusia yang dengannya manusia dapat berada
dan berkembang sehingga tercipta masyarakat
yang makin manusiawi. Bahasa adalah unsur
budaya yang paling jelas mengungkapkan suatu
dinamikan kehidupan bersama. Pengabdian
terhadap cintakasih, keadilan dan kebenaran
adalah nilai budaya yang harus dikembangkan
terus-menerus untuk menjamin kontinuitas karya
keselamatan Allah.
11. Awam Indonesia dalam Sosial Politik
Gereja Indonesia berusaha membumikan keberadaannya di Indonesia
sebagai sebuah komunitas yang menawarkan nilai-nilai Kerajaan Allah.
Pembumian itu dilakukan dengan usaha karitatif seperti pelayanan di
bidang sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dll dan menawarkan nilai-nilai
keadilan, kedamaian dan cintakasih. Usaha ini justeru berhasil baik berkat
keberadaan orang-orang awam yang ideal seperti Ibu R.A. Soejadi
Sisrodiningrat Darmo Sapoetro, Adi Sucipto, Slamet Riyadi, Yos Sudarso,
I.J. Kasimo, Franz Seda, YB Sumarlin, dll.
Orang-orang awam lainnya terjun di dalam dunia politik dan turut
mempengaruhi perjalanan perpolitik Indonesia. Mereka berjuang
bersama Orang Indonesia lainnya.
Mgr. Albertus Soegijapranata bahkan rela memindahkan ibukota KAS ke
Yogyakarta untuk menunjukkan sikap solidaritas dengan perjuangan
Indonesia. Keberadaan mereka itu sedikit mencairkan suasana sehingga
Gereja diterima di tengah masyarakat Indonesia.
Pada Pemilu tahun 1955, Partai Katolik bahkan mendapat suara yang
cukup berarti karena didukung oleh orang non-Katolik. Artinya
keberadaan sudah mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia.