Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Terjadi banyak kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam sektor sumber daya alam dan agraria di Indonesia yang menyebabkan kerugian negara besar dan konflik agraria. Dokumen ini merekomendasikan pelaksanaan reforma agraria dan pemberantasan korupsi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2. Latar Belakang
Jika dasar penerimaan negara dan investasi bersandarkan
SDA tidak mengherankan jika episentrum korupsi ada di
SDA.
Penyuapan Bupati Buol dalam penerbitan HGU,
terungkapnya kasus penerbitan sertifikat HGB oleh BPN di
Hambalang, penyuapan Kepala SKK-Migas, korupsi
kehutanan Gub. Riau, penggelapan pajak oleh Asian Agri
dll.
Pendek kata, menyuap izin, merampas tanah secara brutal
dan menggelapkan pajak dalam proses operasinya adalah
wajah buruk industri di bidang agraria dan kekayaan alam
nasional.
3. Mengapa?
Politik hukum SDA kita pro pemodal besar.
Terdapat 632 peraturan agraria yang tumpang tindih. Di sisi lain, masalah
utama secara teknis implementatif adalah terjadinya tumpang tindih hukum
dan peraturan. Sedikitnya terdapat 17 Undang-Undang yang tumpang tindih;
48 Peraturan Presiden; 22 Keputusan Presiden, 4 Instruksi Presiden, dan 496
Peraturan/Keputusan/Surat Edaran dan Instruksi Menteri Negara/Kepala BPN
yang mengatur soal agraria.
Tumpang tindih tersebut dapat dikelompokkan: Tidak singkronnya peraturan
hukum yang mengatur sumber agraria atau SDA dimana hukum yang lebih
tinggi. Dan Disharmoni peraturan sejajar. Akibatnya, terdapat berbagai macam
kementerian/lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengatur
pengelolaan SDA tanpa saling koordinasi bisa mengeluarkan kebijakan yang
tumpang tindih terhadap sebuah lokasi. Hal ini diperburuk dengan perilaku
aparat birokrasi kita yang dominan berwatak sebagai pemburu rente ekonomi.
Sesungguhnya tumpang tindih hukum ini telah disadari dalam Tap MPR
No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Kesimpulan: Tidak ada land governance system di Indonesia
4. Pembangunan dan SDA
Pembangunan selama ini telah membuat sebagian besar
masyarakat khususnya petani semakin miskin dan
kehilangan assetnya, sementara akses mereka terhadap
SDA juga semakin kecil
Apakah ada pencuri dalam pembangunan tersebut?
Apakah pencurian tersebut berkaitan dengan sebuah
perilaku korupsi? Selanjutnya, apakah pemberantasan
korupsi selama ini, atau sekurang-kurangnya jika korupsi
diberantas habis maka keadilan sosial akan tegak?
Alm Ong Hok Ham yang mengatakan bahwa Pemerintah
Hindia Belanda sesungguhnya adalah pemerintahan yang
bersih dari korupsi.
5. Kejahatan dan Dugaan Korupsi SDA
Ekspansi perusahaan perkebunan khususnya sawit
memperlihatkan bahwa arealnya berasal dari konversi
kawasan hutan.
Secara normatif, proses awalnya membutuhkan izin
prinsip dari kementerian kehutanan dan izin lokasi dari
pemda. Khusus yang terakhir ini membutuhkan perubahan
perubahan perda tata ruang. Mengapa hal tersebut begitu
mudah ketika untuk perusahaan, sementara begitu sulit
untuk masyarakat.
Padahal, banyak areal HPK (Hutan Produksi Konversi)
bukanlah areal kosong. Sebagian besar di lapangan telah
digarap masyarakat.
6. Lanjt
Pembiaran perkebunan dan bahkan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di
dalam kawasan hutan bahkan hutan lindung. contoh: PT Sawita
Ledong Jaya di Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara adalah
salah satu contoh perusahaan sawit yang berada di dalam
kawasan hutan lindung dan belum ditindak hingga sekarang dan
dinyatakan oleh Baplan.
Menurut Kemenhut dan BPN, setidaknya terdapat 1.5 juta hektar
perkebunan sawit semacam Sawita ini di dalam kawasan hutan.
Bisa dibayangkan berapa kerugian Negara yang terjadi akibat
pembiaran ini. Anehnya, perusahaan tersebut terus saja bisa
beroperasi. Bahkan pemerintah melakukan upaya pemutihan
areal tersebut dengan mencoba memasukkan peraturan bahwa
Sawit adalah jenis tanaman kehutanan.
7. Lanjt
Luas konsesi HTI di dalam kawasan hutan tidak sesuai dengan
luasan SK izin. Pemetaan yang dilakukan oleh Jaringan Kerja
Pemetaan Partisipatif (JKPP), KPA dan Persatuan Petani Jambi
(PPJ) pada lokasi izin HTI PT. WKS di Jambi memperlihatkan
bahwa luasan lahan HTI di lima kabupaten di Jambi telah
merambah jauh diluar peta lokasi SK yang diberikan oleh
Kementerian Kehutanan.
Areal HTI di Tanjung Jabung Barat juga ditemukan dalam areal
APL (Areal Peruntukan Lain) dan juga kawasan di luar kawasan
hutan yang kemudian dibuat perda untuk dimasukkan kedalam
kawasan hutan.
Hampir semua perusahaan HTI tidak membangun tanaman
kehidupan bersama masyarakat seluas 5 persen dari arealnya,
namun tidak ada penindakan bagi perusahaan yang
mengabaikan
8. Lanjt
Pemberian izin HTI, pertambangan dan bahkan
konversi untuk perusahaan perkebunan berada di atas
pulau-pulau kecil yang terlarang untuk investasi skala
besar SDA menurut Menurut UU 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang telah direvisi pada tahun 2013.
Contoh PT. RAPP mendapatkan izin pembangunan
HTI di Pulau Padang di Kabupaten Meranti Provinsi
Kepulauan Riau. Akhirnya masyarakat memprotes
dengan melakukan aksi jahit mulut di depan DPR
selama sebulan tahun 2011.
9. Lanjt
Manipulasi ganti kerugian perkebunan PTPN.
Contoh: Di PTPN VII Cinta Manis, dahulu tanah-
tanah tersebut adalah tanah perkebunan dan garapan
penduduk desa.
Salah orang, salah ukuran, dan salah harga adalah
modus utama dalam proses ganti kerugian.
10. Lanjt.
HGU tidak sesuai luas kebun. Menurut Izin Lokasi dan Izin Usaha
Perkebunan, PTPN VII Unit Cinta Manis mempunyai luas 20.500
hektar. Anehnya, menurut BPN Sumatera Selatan, perkebunan ini
hanya mempunyai sertifikat HGU seluas 6.500 hektar.
Perilaku bahwa luasan HGU perkebunan lebih kecil dari luasan
perkebunan yang diusahakan memang lazim dilakukan oleh
perusahaan. Dengan iklim korporasi yang buruk, sisa luas tanah yang
tidak ber-HGU dengan mudah dapat dipakai dalam proses
mempertahankan jabatan, menutupi target produksi yang tidak
tercapai dalam kebun yang ber-HGU, dan bancakan pejabat
perkebunan guna lobby politik, sumbangan parpol, preman dan lain
sebagainya.
Tanah yang tidak ber-HGU bisa juga dijadikan lokasi program-
program pemerintah seperti Revitalisasi Kebun, Tebu Rakyat
Intensifikasi dll. Mudah saja dilakukan, sebab KTP buruh kebun harian
lepas bisa dipakai seolah-olah pemilik lahan tersebut dalam proposal
ke pemerintah.
11. Lanjt
Penggunaan untuk Tanah KSO. Penerima HGU
wajib mengusahakan tanahnya sendiri, wilayah Kerja
Sama Operasional (KSO) dengan pihak ketiga adalah
titik rawan korupsi.
Contoh nyata dari kasus ini misalnya pada Kerjsama
Operasi (KSO) antara PTPN II dengan Koperasi NB
dan CV BM dalam pengelolaan Kebun Limau Mungkur
seluas 922 hektar. Dalam kerjasama pada tahun 2009,
pihak Koperasi NB dan CV BM yang dimiliki oleh
organisasi kepemudaan tersebut hanya diwajibkan
menyetor 120 ton TBS sawit per bulan.
12. Lanjt
Penyalahgunaan Wewenang Penerbitan HGU. Menurut
peraturan PP 41/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai
atas Tanah menyebutkan bahwa setiap proses penerbitan
SK hak-hak tersebut haruslah melalui proses yang baik dan
tidak ada klaim pihak lain atau konflik di atas tanah yang
akan diterbitkan HGU, HGB atau HP. Namun, pada
penerbitan HGU di PTPN II di Sei Mencirim Deli Serdang,
PTPN IX di Sambirejo Sragen, PTPN VIII di Perkebunan
Bunisari Lendra - Garut, dll memperlihatkan bahwa HGU
tetap terbit di atas tanah-tanah garapan bahkan beberapa
diantaranya terdapat sertifikat hak milik masyarakat di
atasnya.
13. Lanjt
Pemerasan dan penggelapan ganti kerugian BPLS-Lapindo.
Pemerintah membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS)/ Perpres 48/2008.
Pemerintah melalui BPLS menetapkan bahwa harga pembelian adalah;
Harga Rumah dan Bangunan Rp. 1,5 juta per meter, Tanah
Kering/Pekarangan dibeli Rp. 1 juta per meter dan Tanah Sawah 120
ribu per meter.
Selisih dari harga yang jauh tersebut yang telah membuat banyak
oknum menarik pungutan kepada rakyat. Pendeknya, ada oknum-
oknum dari badan ini, pemerintah desa, dan BPN yang memungut fee
dari warga, bahkan disertai ancaman jika tidak memberi fee, maka
tanahnya akan ditetapkan sebagai tanah sawah.
Selanjutnya, ditemukan laporan dari warga, tanah-tanah yang dibeli
BPLS juga selalu berkurang ukurannya. Dokumen pembelian
melampirkan sertifikat/girik yang melampirkan ukuran lama.
Tanah -tanah fasum dan fasos juga dijual kepada BPLS.
14. Lanjt
Penyalahgunaan peraturan tanah terlantar, Menurut
PP 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar.
Nampaknya tanah-tanah yang seharusnya
mendapatkan SK Penetapan Tanah Terlantar berjalan
tersendat-sendat. Bahkan, beberapa perusahaan yang
telah dilaporkan oleh Kanwil provinsi untuk
ditetapkan sebagai tanah terlantar tidak dilakukan
oleh BPN Pusat dan direkomendasikan diperpanjang
HGU-nya.
15. Kerugian Negara
Menurut Kemenhut menyebutkan potensi kerugian negara
akibat izin pelepasan kawasan hutan di 7 Provinsi di
Indonesia yaitu (Kalbar, Kaltim, Kalteng, Jambi, Riau dan
Sultra) diprediksi merugikan negara hampir Rp 273 triliun.
Kerugian negara tersebut timbul akibat pembukaan 727
Unit Perkebunan dan 1722 unit pertambangan yang dinilai
bermasalah. Dari jumlah kerugian negara yang terjadi,
Kalimantan Tengah merupakan yang terbesar yaitu Rp 158
triliun (Partnership dan KPA 2011).
BPN tahun 2010 pernah melakukan penghitungan tentang
potensi kerugian negara akibat penelantaran tanah
mencapai 170 T
16. Konflik Agraria
Pada tahun 2013, KPA
mencatat 369 kejadian
konflik yang merampas
1.281.660.09 ha, dan korban
langsung 139.874 KK.
Terjadi kenaikan 86% dari
2012 yaitu 198 konflik
963.411,2 ha . Korban: 156
petani tertangkap, 55
terluka, 3 3 dies.
21 30
239
130
Victims 2013
n…
17. Potret Konflik Agraria pada Rezim
SBY
0.00
200,000.00
400,000.00
600,000.00
800,000.00
1,000,000.00
1,200,000.00
1,400,000.00
2009 2010 2011 2012 2013
Agrarian Conflicts in Indonesia 2009-2013
areal of conflic in hectares
number of victims (house hold)
18. Konflik Agraria Berdasarkan Sektor
2013
180 38 9 105 31 6
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Number of Conflicts
Plantation
Mining
Coastal n Marine
Development of Infrastructure
Forest
other
20. Kelompok yang Terlibat
199
84
43
24 19
0
50
100
150
200
250
communities VS
private
companies
communities VS
state own
companies
communities VS
government
project
communities VS
communities
Communities VS
Police/Army
Parties in Conflicts
communities VS private companies
communities VS state own companies
communities VS government project
communities VS communities
Communities VS Police/Army
21. Rekomendasi
Pelaksanaan Reforma Agraria untuk menyelesaikan
ketimpangan, konflik agraria.
Dalam hal terkait KPK, penyelesaian konflik dan
pemberantasan korupsi untuk mengembalikan asset
rakyat yang tercuri melalui skema pelaksanaan
reforma agraria.