Dokumen tersebut membahas berbagai gaya penampilan dalam teater, mulai dari presentasional, representasional (realisme), hingga post-realistic. Gaya presentasional menampilkan pertunjukan secara langsung ke penonton dengan ekspresi yang diberagaskan. Gaya representasional berusaha menampilkan kehidupan secara nyata. Gaya post-realistic memperluas kreativitas dengan menggabungkan unsur-unsur berbeda seperti simbolisme, surealisme, ek
2. Gaya dapat didefinisikan sebagai corak ragam penampilan
sebuah
pertunjukan yang merupakan wujud ekspresi dari:
Cara pribadi sang pengarang lakon dalam
menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas
Konvensi atau aturan-aturan pementasan yang berlaku
pada masa lakon ditulis.
Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang
dipilih untuk menegaskan makna tertentu.
Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar
dibahagi ke dalam tiga gaya besar, yaitu presentasional,
representasional (realisme), dan
post-realistic (Mar Mc Tigue, 1992).
3. Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan gaya
ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional
memiliki ciri khas, pertunjukan dipersembahkan
khusus kepada penonton. Bentuk-bentuk teater
awal selalu menggunakan gaya ini karena
memang sajian pertunjukan mereka benar-benar
dipersembahkan kepada penonton. Yang
termasuk dalam gaya ini adalah :
Teater Klasik Yunani dan Romawi
Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional
Indonesia
Teater abad pertengahan
Commedia dellarte, teater abad 18
4. Unsur-unsur gaya presentasional adalah sebagai
berikut.
Para pemain bermain langsung di hadapan penonton.
Karya seni pemeranan yang ditampilkan oleh para
aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada
khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah,
gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada
penonton daripada antarpemain.
Gerak para pemain diperbesar (grand style),
menggunakan
Bicara menyamping (aside), dan banyak melakukan
soliloki
(wicara seorang diri).
Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara.
5. Beberapa lakon yang biasa dan dapat dipentaskan
dengan gaya presentasional, di antaranya adalah.
Romeo and Juliet, Piramus dan Thisbi, Raja
Lear, Machbeth
(William Shakespeare)
Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan (Moliere)
Oidipus (Sopokles)
Epos dan Roman Sejarah yang biasa dipentaskan
dalam teater
tradisonal Indonesia
7. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata
lampu dan tata panggung maju pesat sehingga para
seniman teater berusaha dengan keras untuk
mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas.
Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang
disebut representasional atau biasa disebut
realisme.
Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara
nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan
oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas
teater tetapi potongan cerita kehidupan yang
sesungguhnya.
Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton
yang menyaksikan.
Tata artistik diusahakan benar-benar
8. Gaya realisme sangat mempesona karena berbeda
sekali dengan gaya presentasional.
Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku
cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang
terjadi di atas pentas adalah kejadian
sesungguhnya.
Unsur-unsur gaya representasional adalah sebagai
berikut.
9. Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan
seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka
benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah
sebuah kenyataan.
Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai
pembatas
Imajiner antara penonton dan pemain.
Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan
soliloki sangat dibatasi.
Menggunakan bahasa sehari-hari.
10. Beberapa lakon yang biasa dan dapat
dipentaskan dengan gaya representasional, di
antaranya adalah:
Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang,
Pinangan
(Anton Chekov)
Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat
(Henrik Ibsen)
Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan,
Penggali Kapur
(Kirdjomuljo)
Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje)
11. Dalam perkembangannya gaya
representasional atau realisme ini melahirkan
gaya-gaya baru yang masih berada dalam
ruang lingkupnya yaitu; naturalisme, realisme
selektif, dan realisme sugestif
(MaryMcTigue, 1992)
12. Naturalisme merupakan sub gaya realisme yang
paling ekstrim.
Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yang
benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap
struktur tata panggung harus benar-benar mirip
seperti aslinya sehingga panggung merupakan
potret kehidupan sesungguhnya.
Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah,
juga percaya bahwa kondisi manusia amat
ditentukan oleh faktor lingkungan dan keturunan.
Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak
mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan
masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka
penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang
13. Realisme selektif, merupakan cabang gaya realisme yang memilih
atau menyeleksi detil tertentu dan digabungkan dengan unsur-unsur
simbolik dalam menyajikan keseluruhan tata ruang yang ada di atas
pentas. Misalnya, dinding, pintu, dan jendela dibuat seperti aslinya,
tetapi atap rumah hanya dtampilkan dalam bentuk kerangka.
Sedangkan dalam realisme sugestif menggunakan bagian-bagian dari
bangunan atau ruang yang dipilih dan ditampilkan secara mendetil
untuk memberikan gambaran sugestif bentuk keseluruhannya.
Misalnya, satu tiang ditampilkan untuk memberikan gambaran ruang
istana dengan bantuan tata lampu yang mendukung, selebihnya
adalah imajinasi.
15. Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan
banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari
batasan-batasan konvensi tertentu (presentasional
dan representasional) dan berusaha memperluas
cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon
mahupun penyutradaraan.
Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau
mengubah gaya realisme yang telah menjadi
konvensi pada masa itu.
Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam
mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi
artistiknya.
16. Banyak percobaan dilakukan sehingga pada masa
tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini
dikenal sebagai gaya teater eksperimen.
Meskipun pada saat ini banyak teater yang hadir
dengan gaya realisme tetapi kecenderungan untuk
melahirkan gaya baru masih saja lahir dari tangan-
tangan kreatif pekerja seni teater.
Banyak gaya yang dapat digolongkan dalam post-
realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh
dan banyak di antaranya yang tidak mampu
bertahan lama.
17. Unsur-unsur gaya post-realistic di antaranya, adalah.
Mengkombinasikan antara unsur presentasional dan
representasional.
Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan
terkadang
Berbicara langsung atau kontak dengan penonton.
Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan
beberapa
Idiom baru atau dengan bahasa slank.
18. SIMBOLISME
Gaya yang menggunakan simbol-simbol untuk
mengungkapkan makna lakon atau ekspresi dan emosi
tertentu.
Meskipun pada awalnya gaya ini muncul tahun 1180 di
Perancis, namun baru memegang peranan berarti pada
tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima
panca indera dan pemikiran rasional untuk memahami
kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan
karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka
kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara
logis pula.
Kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi itu
harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk
keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan
beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti seni rupa
(lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dan unsur seni
visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai teater
19. TEATRIKALISME
Teatrikalisme, mencuba menarik perhatian
penonton secara langsung dan menyadarkan
mereka bahwa yang mereka tonton adalah
pertunjukan teater dan bukan penggal cerita
kehidupan seperti 57 dalam gaya realisme.
Sengaja menghapus dinding keempat,
menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi
yang berganti-ganti di hadapan penonton.
20. SURELISME
Surealisme, sebuah gaya yang mendapat
pengaruh dari berkembangnya teori psikologi
Sigmund Freud dalam usahanya untuk
mengekspresikan dunia bawah sadar manusia
melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan
watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi
bebas gagasan.
Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah
dibawa ke alam lain atau dunia mimpi yang
terkadang muskil, tetapi hampir bisa dirasakan
dan pernah dialami oleh semua orang.
21. Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni
rupa pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis
Van Gogh dan Gauguin. Namun gerakan itu
kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain
termasuk teater.
Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh
sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah
satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu
gerakan teater, ia baru muncul tahun 1910 di
Jerman. Kejayaan pertama teater ekspresionisme
dicapai oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914
dengan dramanya Sang Anak.
Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun
1918 (pada saat Perang Dunia I) dan mulai merosot
tahun 1925.
22. ABSURDISME
Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon
yang seolah tidak memiliki kaitan rasional antara
peristiwa satu dengan yang lain, antara
percakapan satu dengan yang lain. Unsur -unsur
Surealisme dan Simbolisme digunakan
bersamaan dengan irrasionalitas untuk
memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup
manusia serta kepelikan komunikasi antar
sesama.
Drama-drama yang kini disebut absurd, pada
mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan
eksistensialisme adalah mencari arti eksistensi
atau ada.
23. Dua tokoh eksistensialis yang terkemuka adalah
Jean Paul Sartre (1905) dan Albert Camus
(1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan
Camus lebih banyak menekankan bentuk
absurditas dunia itu sendiri.
Objek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk
teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater
Absurd di antaranya, adalah Samuel Beckett,
Jean Genet, Harold Pinter, Edward Albee, dan
Eugene Ionesco.