[Ringkasan]
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan formalin pada ikan asin di pasar tradisional Kota Semarang dan mempelajari faktor perilaku penjualnya.
2. Hasil uji laboratorium menunjukkan 9 dari 41 sampel ikan asin mengandung formalin.
3. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap penjual terhadap praktik penjualan ikan asin ber
1 of 22
Download to read offline
More Related Content
Ikan asin
1. 1
Info Artikel Abstrak
Sejarah Artikel:
Diterima April 2013
Keywords: Formaldehide; Salted Fish; Seller Behavior
Disetujui April 2013
Dipublikasikan Mei 2013
Ikan asin berformalin banyak beredar di pasaran, termasuk pasar tradisional. Kandungan
formalin dalam makanan dapat menjadi racun bagi tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi dan mengetahui faktor perilaku penjual di pasar tradisional Kota
Semarang. Jenis penelitian ini adalah explanatory research, menggunakan metode survei
dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah penjual ikan asin
yang ada di 11 pasar tradisional Kota Semarang yang berjumlah 37 orang. Sampel
menggunakan metode total sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner.
Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi-square dengan
= 0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah 9 dari 41 sampel ikan asin yang diuji
positif mengandung formalin, tidak ada hubungan antara pengetahuan (p = 0,873), serta
sikap (p = 0,391) terhadap praktik penjualan ikan asin berformalin di pasar tradisional
Kota Semarang. Perlu adanya pengawasan rutin terhadap peredaran ikan asin berformalin
di pasar tradisional Kota Semarang dari dinas terkait. Bagi penjual ikan asin, perlu adanya
penyuluhan tentang formalin dan keamanan pangan. Bagi masyarakat, perlu diberikan
informasi tentang keamanan makanan yang dikonsumsi.
Abstract
Formaldehide in salted fish has been spread in the market, include at
traditional market. Formaldehide which been mixed in food could be
toxic for our body. The purpose of this study is to identificate and to
know about behavioral factors of salted fish seller at traditional
market of Semarang City. This study is explanatory research, which
use survey method by cross sectional plan. The population is 37
salted fish seller at 11 traditional market of Semarang City. Sample
use total sampling method. The instrument of the study is using
2. 2
questionnaire. Tha data analysis was done univariantly and
bivariantly (using chi square test with = 0,05). The conclusion of this
study is 9 (21,9%) from 41 sample of salted fish content
formaldehide, knowledge (p = 0,873) and attitude (p = 0,391) do not
relate to practice of salted fish selling in traditional market of
Semarang City. This suggestion of this study for Food and Drug
Administration and Market Departement Semarang City is need
periodic control at traditional market. Suggestion for salted fish
sellers are need counseling about formaldehide and food safety. For
customer, is given some informations about food safety.
息 2013 Universitas Negeri
Semarang
Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: tristya.putri@gmail.com
ISSN 2252-6528
4. 4
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
PENDAHULUAN
Ikan yang telah mati cepat sekali membusuk dibandingkan dengan daging sapi, buah,
ataupun sayuran, daging ikan lebih cepat mengalami proses kemunduran mutu (proses
pembusukan). Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroba (jasad renik) yang terdapat dalam
seluruh lapisan daging ikan, terutama bagian insang, isi perut, dan kulit (lendir). Salah satu
cara untuk menghindari pembusukan adalah dengan penggaraman. Penggaraman
merupakan cara pengawetan yang praktis sekaligus efektif dan efisien untuk ikan-ikan
yang ukuran dan jenisnya tidak seragam. Ikan hasil penggaraman disebut dengan ikan asin
(Abbas Siregar Djariah, 2004: 9-12).
Meskipun ikan asin sangat memasyarakat, ternyata
pengetahuan masyarakat mengenai ikan asin yang aman dan baik untuk
dikonsumsi masih kurang. Yang paling ramai dibicarakan di media massa akhir- akhir ini
adalah keracunan makanan karena penggunaan zat kimia berbahaya, seperti formalin dan
boraks dalam makanan. Formalin yang dicampurkan pada makanan dapat menjadi racun
bagi tubuh karena sebenarnya bukan merupakan bahan tambahan makanan (Sri Hastuti,
2010: 132, Nurheti Yuliarti, 2007:
3).
Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722 Tahun 1988,
penggunaan formalin dilarang digunakan dalam makanan. Namun, dalam kenyataannya
masih ada sekelompok masyarakat yang memanfaatkan formalin sebagai pengawet
makanan, termasuk produk-produk perikanan dan peternakan. Formalin dipilih karena
harganya murah, mudah didapat, pemakaiannya pun tidak sulit, dan dapat
menjaga bobot ikan asin sehingga sangat diminati sebagai pengawet oleh produsen pangan
yang tidak bertanggung jawab. Hasil survei dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan
sejumlah produk pangan menggunakan formalin sebagai pengawet
5. 5
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
(Abdul Rohman dan Sumantri, 2007: 260,
Hardoko dkk, 2006: 1, Sri Yuliani, 2007: 2).
Penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia (2010), penggunaan
formalin pada ikan dan hasil laut menempati peringkat teratas. Yakni, 66% dari total 786
sampel. Sementara, mi basah menempati posisi kedua dengan 57%. Tahu dan bakso
berada di urutan berikutnya yakni 16% dan 15%. Penelitian yang dilakukan oleh Putut
Har Riyadi dkk (2005: 30), juga menunjukkan bukti penggunaan bahan tambahan
makanan (food additive) ilegal (formalin dan peroksida) pada penanganan dan
pengolahan produk ikan segar dan ikan asin di 6 (enam) lokasi penelitian (Tegal,
Pekalongan, Semarang, Pati, Rembang, dan Bantul).
Keberadaan formalin dalam makanan juga ditemukan oleh Balai Besar Pengawas
Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya data pada tahun 2008 yakni dari 1151 sampel
makanan yang diuji terdapat 22 (1,92%) sampel yang mengandung formalin. Di tahun
2009, jumlah pangan yang mengandung formalin sebanyak
62 (3,34%) dari 1847 sampel yang diuji. Sedangkan, pada tahun 2010 sebanyak 48
(37,5%) dari 128 sampel makanan teridentifikasi mengandung formalin, termasuk 1
sampel ikan asin (BBPOM Semarang, 2008: 31, 2009: 55, 2010).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Fauziah (2006) menunjukkan bahwa dari 24
sampel ikan asin di Pasar Johar Kota Semarang terdapat 5 sampel yang mengandung
formalin. Pada penelitian uji kualitatif yang dilakukan oleh Suwahono, dkk. (2009 dalam
Sri Hastuti, 2010: 134), sampel ikan asin dari Kendal negatif sedangkan sampel ikan asin
dari Jrakah, Jawa Tengah, memberikan reaksi positif yaitu terbentuk cincin ungu setelah
sampel yang telah dilarutkan dalam FeCl3 0,5 % dialiri H2SO4 pekat. Sedangkan,
berdasarkan studi pendahuluan di Pasar Karangayu Kota Semarang, terdapat 1 sampel
ikan asin yang positif mengandung formalin dari 4 sampel yang diuji.
Dalam penggunaan formalin pada ikan asin terdapat faktor perilaku yang
mempengaruhi. Berkaitan dengan perilaku, beberapa hal yang mempengaruhi adalah
pengetahuan dan sikap. Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting dalam
terbentuknya tindakan seseorang. Sikap merupakan komponen yang penting dalam
melakukan tindakan (Soekidjo Notoatmojo, 2007: 143).
Dari hasil penelitian Fiona, dkk (2008) di TPI Tambak Lorok Semarang, tingkat
pengetahuan produsen yang baik sebesar 11 orang (78,6%) dan yang berpengetahuan
sedang 3 orang (21,4%). Sikap responden yang bersikap mendukung sebanyak 5 orang
6. 6
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
(35,7%) dan yang bersikap tidak mendukung sebanyak 9 orang (64,3%). Pada penelitian
Fauziah (2006), faktor yang berpengaruh terhadap penjualan ikan asin di Pasar Johar salah
satunya adalah pengetahuan pedagang tentang formalin yang masih rendah.
Ikan asin banyak dijual di pasar ikan, pasar tradisional, maupun pasar modern. Ikan
asin juga banyak dijual di pasar tradisional yang ada di Kota Semarang. Pasar tradisional
di Kota Semarang berjumlah 47 pasar yang terbagi menjadi 6 wilayah yaitu, Wilayah I
Johar, Wilayah II Karimata, Wilayah III Bulu, Wilayah IV Karangayu, Wilayah V
Peterongan, dan Wilayah VI Mrican. Jumlah pedagang ikan asin pada tiap pasar
tradisional berbeda antara pasar satu dengan pasar lainnya dan ikan asin yang dijual juga
beragam dengan harga yang bervariasi.
Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi tentang keamanan
pangan kepada masyarakat, khususnya mengenai penggunaan formalin pada ikan asin
yang dijual di pasar tradisional Kota Semarang.
7. 7
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan cross sectional.
Identifikasi kandungan formalin dalam ikan asin dilakukan secara kualitatif di Balai
Laboratorium Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan Laboratorium Biokimia Jurusan
Biologi UNNES. Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap penjual ikan
asin tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM) dan penggunaan formalin pada ikan asin.
Pengambilan sampel untuk uji laboratorium menggunakan metode purposive.
Sampel ikan asin yang diambil adalah ikan asin yang diduga mengandung formalin
dengan ciri- ciri berwarna putih-bersih dan kaku. Sampel ikan asin yang diambil
sebanyak 100 gram dengan cara membeli ikan asin dari masing- masing penjual.
Pengambilan sampel penelitian menggunakan metode Total Sampling yang berjumlah 37
penjual ikan asin di pasar tradisional Kota Semarang. Sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah penjual yang hanya menjual ikan asin saja dengan berbagai jenis
ikan asin dan penjual yang memiliki kios sendiri. Teknik pengambilan data dengan
menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya, data diolah dengan
menggunakan SPSS 16 (menggunakan uji chi square dengan uji alternatif uji Fisher dan
Kolmogorov Smirnov = 0,05)
8. 8
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian, diperoleh data yang meliputi 1) gambaran umum responden;
2) profil penggunaan formalin pada ikan asin; 3) hubungan antara pengetahuan tentang
BTM dan penggunaan formalin pada ikan asin terhadap praktik penjualan ikan asin
berformalin di pasar tradisional Kota Semarang; 4) hubungan antara sikap tentang
penggunaan formalin pada ikan asin terhadap praktik penjualan ikan asin berformalin di
pasar tradisional Kota Semarang.
Gambaran Umum Responden
Responden dalam penelitian ini sebanyak
37 orang dari 11 pasar tradisional di Kota Semarang. Data responden yang
dikumpulkan
meliputi asal pasar, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Secara lengkap, gambaran
data
responden disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Asal Pasar, Jenis Kelamin, dan Tingkat
PendidikanKarakteristik Responden
Jumlah(Orang) Prosentase(%)
Asal Pasar:
Bulu 3 8,1%
Sampangan 2 5,5%
Purwogondo 5 13,5%
Peterongan 3 8,1%
Jatingaleh 3 8,1%
Karangayu 4 10,8%
Mijen 4 10,8%
Gunungpati 4 10,8%
Pedurungan 3 8,1%
Gayamsari 3 8,1%
Mrican 3 8,1%
Jumlah 37 100%
Jenis Kelamin:
Laki-laki 3 8,1%
Perempuan 34 91,9%
Jumlah 37 100%
Tingkat Pendidikan:
Tidak Tamat SD 20 54,1%
SD 7 18,9%
SMP 3 8,1%
SMA 7 18.9%
Perguruan Tinggi 0 0%
Jumlah 37 100%
9. 9
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
Penelitian ini dilakukan pada 11 pasar tradisional yang ada di Kota Semarang, yaitu
Asal Pasar Jenis Ikan Asin Hasil Uji Laboratorium
Layur Negatif
Bulu
PetekTiga waja NegatifPositif
Tiga waja Negatif
Layur Negatif
Sampangan
Jambal rotiTeri PositifPositif
Layur Negatif
Teri Negatif
Purwogondo Layur Negatif
Tiga waja Negatif
Petek Negatif
Layur Negatif
Peterongan
PetekTeri NegatifNegatif
Tiga waja Negatif
Jatingaleh
Tiga wajaTeri NegatifPositif
Petek Negatif
Layur Positif
Teri Positif
Karangayu
Layur Positif
Petek Negatif
Tiga waja Negatif
Layur Positif
Mijen
Petek Negatif
Tiga waja Negatif
Teri Negatif
Layur Negatif
Gunungpati
Petek Negatif
Layur Positif
Teri Negatif
Layur Negatif
Pedurungan Petek Negatif
Tiga waja Negatif
Layur Negatif
Gayamsari Layur Negatif
Tiga waja Negatif
Layur Negatif
Mrican Petek Negatif
Tiga waja Negatif
10. 1
0
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
Pasar Bulu, Pasar Sampangan, Pasar Purwogondo, Pasar Peterongan, Pasar Jatingaleh,
Pasar Karangayu, Pasar Mijen, Pasar Gunungpati, Pasar Pedurungan, Pasar Gayamsari,
dan Pasar Mrican. Responden dalam penelitian ini adalah para penjual ikan asin yang
berjumlah 37 orang pada 11 pasar tersebut. Data primer dikumpulkan dengan
menggunakan kuesioner yang dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi
langsung untuk mengetahui kandungan formalin yang ada dalam ikan asin dengan uji
laboratorium.
Dari Tabel 1, pada umumnya penjual ikan asin terdistribusi hampir merata pada
semua pasar. Responden terbanyak dalam penelitian berada di Pasar Purwogondo (13,5%),
sedangkan responden paling sedikit berada di Pasar Sampangan (5,5%). Responden
sebagian besar adalah perempuan (91,9%). Tingkat pendidikan didominasi lebih dari
separuh (54,1%) adalah tidak tamat SD.
n pada Ikan Asin
Tabel 2. Profil Penggunaan Formalin pada Ikan Asin di Pasar Tradisional Kota Semarang
11. 1
1
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
Sampel ikan asin yang diuji kandungan formalinnya adalah jenis ikan layur, teri,
tiga waja, petek, dan jambal roti. Uji laboratorium untuk mengetahui kandungan formalin
dalam ikan asin dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan
Laboratorium Biokimia Jurusan Biologi UNNES. Sedangkan, sampel ikan asin yang
diambil adalah sebanyak 41 sampel dari 11 pasar tradisional di Kota Semarang.
Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa terdapat ikan asin yang positif mengandung
formalin yaitu jenis ikan teri, layur, jambal roti, dan tiga waja. Dan, dapat dilihat juga
pasar tradisional yang menjual ikan asin berformalin. Dari 11 pasar tradisional di Kota
Semarang, 6 pasar menjual ikan asin berformalin yaitu Pasar Bulu, Sampangan,
Jatingaleh, Karangayu, Mijen, dan Gunungpati. Sedangkan, 5 pasar tidak menjual ikan
asin berformalin yaitu Pasar Purwogondo, Peterongan, Pedurungan, Gayamsari, dan
Mrican.
Hal ini menunjukkan bahwa ikan asin berformalin masih beredar di pasar
tradisional, termasuk pasar tradisional yang ada di Kota Semarang. Berdasarkan uji
laboratorium terhadap kandungan formalin pada ikan asin yang telah dilakukan,
diketahui bahwa 9 (21,9%) dari 41 sampel ikan asin yang diambil mengandung formalin.
Hal ini menunjukkan bahwa ikan asin berformalin masih beredar di pasar tradisional,
termasuk pasar tradisional yang ada di Kota Semarang yaitu Pasar Bulu, Sampangan,
Jatingaleh, Karangayu, Mijen, dan Gunungpati. Ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan Suwahono dkk. (2009 dalam Sri Hastuti, 2010: 134) bahwa sampel ikan asin
yang diambil di Pasar Jrakah juga menunjukkan hasil positif mengandung formalin.
Selain itu, penelitian yang telah dilakukan di Pasar Johar oleh Fauziah (2006) terhadap 24
sampel ikan asin, diketahui bahwa 5 sampel ikan asin yang diuji juga mengandung
formalin.
Ikan asin berformalin tidak hanya terdapat di pasar tradisional Kota Semarang,
tetapi juga di pasar tradisional Madura (Pasar Kamal, Socah, Bangkalan, Sampang) dan
Jakarta
12. 1
2
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
(Pasar Jatinegara, Kebayoran Lama, Kramat Jati, Palmerah) dengan kandungan formalin
yang berbeda-beda pada tiap pasar yang diteliti. Kandungan formalin paling tinggi pada
pasar tradisional di Madura yaitu terdapat di Pasar Bangkalan dengan kadar formalin
sebesar 49,26 mg/kg. Sedangkan, kandungan formalin paling tinggi untuk pasar
tradisonal yang ada di Jakarta adalah Pasar Palmerah dengan kadar formalin mencapai
107, 98 mg/kg (Sri Hastuti, 2010: 133-134).
Menurut International Programme on Chemical Safety (IPCS), lembaga khusus
dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada
keselamatan penggunaan bahan kimiawi, secara umum ambang batas aman di dalam
tubuh adalah 1 miligram per liter. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh
dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari (I
Made Kawi Sukayada, 2006: 11). Berdasarkan standar Eropa, kandungan formalin yang
masuk dalam tubuh tidak boleh melebihi 660 ppm (1000 ppm setara 1 mg/liter).
Sementara itu, berdasarkan hasil uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada
pemakaian secara terus-menerus (Recommended
Dietary Daily Allowances/RDDA) untuk formalin sebesar
0,2 miligram per kilogram berat badan. Misalnya berat badan seseorang 50 kilogram,
maka tubuh orang tersebut masih bisa mentoleransi sebesar 50 dikali 0,2 yaitu 10
miligram formalin
secara terus-menerus (Sri Hastuti, 2010: 136). Meskipun demikian,
penggunaan formalin dalam makanan telah dilarang oleh pemerintah
dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/88
tentang bahan tambahan makanan (Nurheti Yuliarti, 2007: 10). Penggunaan
formalin dalam makanan dilarang karena dapat menimbulkan efek bagi
kesehatan. Efek dari bahan makanan berformalin baru terasa beberapa
tahun kemudian. Kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh dapat
menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik
(menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen
13. 1
3
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
(menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengonsumsinya akan
muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang
disebabkan adanya kegagalan peredaran darah (Wisnu Cahyadi, 2006: 234, I Made Kawi
Sukayada, 2006: 11).
Usia anak, khususnya bayi dan balita, adalah salah satu yang rentan untuk
mengalami gangguan akibat formalin. Pada usia anak, usus imatur (belum sempurna)
atau sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan bahan berbahaya masuk ke dalam tubuh dan sulit untuk dikeluarkan.
Namun, pada orang dewasa relatif dampaknya dapat ditekan oleh sistem tubuh (Blair et.
al, 1987 dalam Sri Hastuti, 2010: 135).
Penggunaan formalin pada ikan asin dilakukan oleh produsen ikan asin.
Penggunaan formalin ini bertujuan agar ikan tidak ditumbuhi jamur dan lebih awet.
Pemakaian formalin juga dipercaya dapat mempercepat proses pengeringan dan membuat
tampilan fisik tidak cepat rusak. Selain itu, penggunaan formalin juga bertujuan untuk
meningkatkan rendemen ikan asin. Pembuatan ikan asin dengan garam tanpa
penambahan formalin menghasilkan rendemen sekitar 40%, sedangkan ikan asin
dengan penambahan
14. 1
4
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
formalin rendemennya meningkat menjadi 75% (Sri Hastuti, 2010: 134,
Tri Dewanti Widyaningsih dan Erni Sofia Murtini, 2006: 6). Ada
beberapa kemungkinan belum ditaatinya Peraturan Menteri Kesehatan RI No
722/Menkes/Per/88. Pertama, peraturan tersebut belum diketahui oleh produsen
yang masih tergolong tradisional. Kedua, belum adanya mekanisme kontrol yang baik
dari lembaga yang berwenang dalam pengawasan makanan. Ketiga, masih kurangnya
pembinaan terhadap produsen. Keempat, produsen sengaja menambahkan
formalin untuk mencapai keuntungan maksimal (Aryetti. dkk, 1996: 36).
Maraknya penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan sebagian juga
dikarenakan ketidaktahuan konsumen (I Made Kawi
Sukayada, 2006: 7).
Hubungan antara Pengetahuan Penjual Ikan Asin tentang BTM dan Penggunaan
Formalin pada Ikan Asin terhadap Praktik Penjualan Ikan Asin Berformalin di
Pasar Tradisional Kota Semarang Hasil uji Kolmogorov-Smirnov dari data penelitian
tentang hubungan antara pengetahuan tentang BTM dan penggunaan
formalin pada ikan asin terhadap praktik penjualan ikan asin berformalin di pasar
tradisional Kota Semarang adalah sebagai
berikut:
Tabel 3. Uji Hubungan antara Pengetahuan Penjual Ikan Asin tentang BTM dan
Penggunaan Formalin pada Ikan Asin terhadap Praktik Penjualan Ikan Asin Berformalin
di Pasar Tradisional Kota Semarang
Hasil analisis yang diperoleh dari uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa
nilai p value 0,873 (>留=0,05), sehingga Ho diterima
Praktik
No Variabel
TidakMenjual
Menjual Total p
F F
1 Kurang 25 5 30
2 Pengetahuan Cukup 4 2 6 0,873
3 Baik 0 1 1
Total 29 8 37
15. 1
5
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
dan Ha ditolak yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang BTM dan
penggunaan formalin pada ikan asin terhadap
16. 1
6
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
praktik penjualan ikan asin berformalin di pasar tradisional Kota Semarang.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasa, dan peraba. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2007: 139).
Sebagian besar responden penelitian tidak mengetahui tentang Bahan Tambahan
Makanan (BTM) dan penggunaan formalin pada ikan asin. Ini terlihat dari tingkat
pengetahuan mereka yang sebagian besar adalah kurang (81,1%). Responden dengan
tingkat pengetahuan kurang, kebanyakan dari mereka tidak melakukan praktik menjual
ikan asin berformalin di pasar tradisional (25 orang). Sedangkan, responden dengan
tingkat pengetahuan baik, diketahui melakukan praktik penjualan ikan asin berformalin
di pasar tradisional (1 orang). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan yang
dimiliki oleh responden berbanding terbalik dengan praktik penjualan ikan asin
berformalin di pasar tradisional Kota Semarang. Oleh karena itu, dalam pengujian
hipotesis yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan
dengan praktik penjualan ikan asin berformalin di pasar tradisional Kota Semarang.
Penelitian yang dilakukan oleh Fiona Yuniati .dkk (2008) pada produsen ikan asin di TPI
Tambak Lorok Semarang juga menujukkan bahwa tingkat pengetahuan produsen
berbanding terbalik dengan praktik pembuatan ikan asin berformalin. Responden
dengan
17. 1
7
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
tingkat pengetahuan yang baik sebesar 11 orang (78,6%) diketahui melakukan praktik
pembuatan ikan asin berformalin. Hal ini berdasarkan dari uji laboratorium yang
dilakukan dan diketahui 11 (78,6%) dari 14 sampel ikan asin yang diuji mengandung
formalin.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pemilihan ikan asin yang akan
dijual di pasar tradisional dilakukan pada saat membeli di tengkulak. Mereka memilih
ikan asin yang berwarna agak kecoklatan karena berkualitas lebih bagus daripada ikan
asin yang berwarna putih. Meskipun, sebagian besar dari responden tidak mengetahui
bagaimana ciri-ciri ikan asin yang mengandung formalin, namun secara tidak langsung
mereka memiliki pengetahuan tentang hal tersebut yang tidak mereka sadari.
Sedangkan, responden dengan tingkat pengetahuan baik dan melakukan praktik
penjualan ikan asin berformalin disebabkan oleh pengetahuan konsumen yang kurang
tentang ikan asin berformalin. Konsumen mengaku lebih menyukai tampilan ikan asin
yang terlihat putih bersih dan awet. Padahal, itu merupakan salah satu ciri ikan asin
yang mengandung formalin. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
maraknya penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan sebagian juga
dikarenakan ketidaktahuan konsumen. Perilaku konsumen menginginkan produk
pangan yang awet dan harganya murah, serta dikarenakan sulitnya membedakan produk
pangan yang tercemar formalin secara kasat mata (I Made Kawi Sukayada, 2006: 7).
Hubungan antara Sikap Penjual Ikan Asin tentang Penggunaan Formalin pada
Ikan Asin terhadap Praktik Penjualan Ikan Asin Berformalin di Pasar Tradisional
Kota Semarang
18. 1
8
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
Tabel 4. Uji Hubungan antara Sikap Penjual Ikan Asin tentang Penggunaan Formalin
pada Ikan Asin terhadap Praktik Penjualan Ikan Asin Berformalin di Pasar Tradisional
Kota Semarang
Tabel 4 menujukkan hasil analisis yang diperoleh dari uji Fisher diketahui bahwa
nilai p value 0,391 (>留=0,05), sehingga Ho diterima dan Ha ditolak yang artinya tidak
ada hubungan antara sikap tentang penggunaan formalin pada ikan asin terhadap praktik
penjualan ikan asin berformalin di pasar tradisional Kota Semarang.
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan
sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap itu
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang
terbuka (Soekidjo Notoatmodjo, 2007: 144).
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, para responden setuju bahwa
formalin bukan merupakan pengawet yang aman untuk makanan dan pemerintah perlu
melarang peredaran formalin di pasaran. Namun, sikap para responden ini berbanding
terbalik dengan praktik yang dilakukan. Hal ini dapat diketahui dengan masih dijualnya
ikan asin yang mengandung formalin di pasar tradisional Kota Semarang. Responden
dengan kategori sikap positif dengan praktik menjual ikan asin berformalin sebanyak 7
orang, sedangkan responden dengan kategori sikap negatif dengan praktik menjual ikan
asin berformalin sebanyak 1 orang. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
Praktik
No Variabel
TidakMenjual
Menjual Total p
F F
1
Sikap
Negatif 10 1 11
0,3912 Positif 19 7 26
Total 29 8 37
19. 1
9
Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
antara sikap tentang penggunaan formalin pada ikan asin terhadap praktik penjualan
ikan asin berformalin di pasar tradisional Kota Semarang. Penelitian yang dilakukan
oleh Fiona Yuniati
.dkk (2008) juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dan sikap produsen dengan keberadaan formalin pada ikan asin di TPI
Tambak Lorok Semarang Utara.
Perbedaan antara sikap dan praktik dari responden dapat disebabkan oleh adanya
suatu reaksi tertutup responden terhadap peneliti sehingga informasi yang didapat
kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Para responden bersikap positif
untuk menutupi praktik penjualan ikan asin berformalin yang dilakukannya.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa 9 (21,9%) dari 41 sampel ikan
asin yang diuji positif mengandung formalin. Praktik penjualan ikan asin berformalin
terdapat pada Pasar Bulu, Sampangan, Jatingaleh, Karangayu, Mijen, dan Gunungpati.
Jenis ikan asin yang mengandung formalin antara lain ikan teri, layur, jambal roti, dan
tiga waja. Tidak ada hubungan antara pengetahuan penjual ikan asin tentang Bahan
Tambahan Makanan (BTM) dan penggunaan formalin pada ikan asin terhadap praktik
penjualan ikan asin berformalin di pasar tradisional Kota Semarang. Tidak ada
hubungan antara sikap penjual ikan asin tentang penggunaan formalin pada ikan asin
terhadap
20. Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
10
praktik penjualan ikan asin berformalin di pasar tradisional Kota Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Siregar Djariah, 2004, Ikan Asin, Yogyakarta: Kanisius.
Abdul Rohman dan Sumantri 2007, Analisis Makanan, Yogyakarta: Gajah Mada
University
Press.
Aryetti, Awareh D. E Untayana, Eti Rohaeti, 2006, Uji Formaldehida dalam Tahu di
Kotamadya Bogor, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1297 2738.pdf, diakses
tanggal 22 Desember 2011.
Badan POM RI, 2008, Laporan Tahunan 2008 Balai Besar POM Semarang, Semarang:
Badan POM.
, 2009, Laporan Tahunan 2009 Balai Besar POM Semarang, Semarang:
Badan POM.
, 2010, Laporan Tahunan 2010 Balai Besar POM Semarang, Semarang:
Badan POM. Fauziah, 2006, Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Penjualan Ikan
Asin Berformalin di Kalangan Pedagang Ikan Asin di Pasar Johar Semarang Tahun
2006, Skripsi: Universitas
Diponegoro Semarang.
Fiona Yuniati, Mifbakhuddin, Wulandari Meikawati, 2008, Pengetahuan dan Sikap
Produsen Ikan Asin tentang Formalin dan Keberadaan Formalin pada Ikan Asin di
TPI Tambak Lorok Semarang,Skripsi: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Hardoko, J.A. Sumardi, dan Nurhafiva, 2006, Pengaruh Proses Presto terhadap
Kandungan Formalin pada Ikan Bandeng,
http://www.bbrp2b.kkp.go.id/publikasi/pros
iding/2008/brawijaya/PENGARUH%20%20P
ROSES%20PRESTO%20TERHADAP%20KAN
DUNGAN%20FORMALIN%20PADA%20I.pdf,
diakses tanggal 22 Desember 2011.
I Made Kawi Sukayada, 2006, Ada Apa dengan Formalin?, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Nurheti Yuliarti, 2007, Awas! Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan, Yogyakarta: Penerbit
CV Andi Offset.
21. Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
10
Soekidjo Notoatmodjo, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Sri Hastuti, 2010, Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid pada Ikan Asin di
Madura, Jurnal Agrointek Vol 4, No 2, Agustus 2010, hlm.
132-137.
22. Tristya Putri Zahra Habibah / Unnes Journalof PublicHealth 2 (3) (2013)
10
Sri Yuliani, Formalin dan Masalahnya, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Vol 29, No 5, 2007, hlm. 7-9.
Tri Dewanti Widyaningsih dan Erni Sofia Murtini, 2006, Alternatif Pengganti
Formalin, Surabaya: Trubus Agrisiana.
Wisnu Cahyadi, 2006, Bahan Tambahan Pangan,
Jakarta: Bumi Aksara