際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
KEBANGKITAN DI SEKTOR KESEHATAN PASCA KENAIKAN BBM

       Pemerintah akhir bulan ini berencana akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) mencapai 30% sebagai akibat lonjakan beban subsidi APBN seiring kenaikan
harga minyak dunia yang menembus batas psikologis diatas 120 dollar U$/barel.
Skenario kompensasi yang akan dikembangkan pemerintah meski diragukan
keefektifannya oleh banyak pihak yaitu dengan membuat program pemberian Bantuan
Langsung Tunai (BLT) plus berupa uang sebesar Rp. 100 ribu/orang dan bantuan
beberapa bahan pokok bagi masyarakat miskin (maskin).
       Selain kekhawatiran munculnya keruwetan dari skema kompensasi melalui
program BLT plus kelihatannya pemerintah juga akan makin dipusingkan berbagai
kendala. Akibat keterbatasan data sasaran maskin yang sudah lama terjadi telah memaksa
pemerintah untuk menggunakan basis data tahun 2005 yaitu sebesar 19,1 juta keluarga.
Proses verifikasi data maskin dan penyiapan infrastuktur lain yang terkesan molor justeru
telah menjadi stimulus utama naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang tentu makin
membebani masyarakat. Imbas dari kenaikan BBM ini pada gilirannya juga akan
mempengaruhi seluruh sektor kehidupan termasuk didalamnya adalah sektor kesehatan.

Keruwetan Di Sektor Kesehatan
        Khusus di sektor kesehatan sejumlah keruwetan pasca kenaikan harga BBM
nampaknya juga perlu kita waspadai. Banyak faktor atau alasan yang bisa memperparah
keruwetan tersebut antara lain: Pertama, rata-rata tingkat inflasi barang dan jasa dalam
industri kesehatan selama ini memang relatif lebih tinggi dibandingkan sektor lain
bahkan dalam keadaan normal biasanya selalu diatas dua digit. Selain itu siklus
kenaikan harga obat dan bahan medis yang sebagian besar bahan bakunya masih diimpor
ternyata bisa mencapai lebih dari tiga kali dalam setahun.
        Kedua, keengganan pemerintah menggarap sisi demand dari sektor kesehatan
selama ini akan mempersulit munculnya intervensi kebijakan diluar dari sisi supply.
Pemerintah memang punya kewajiban untuk dapat menjaga keseimbangan demand-
supply sektor kesehatan secara terus menerus minimal melalui mekanisme pemberian
susbidi tarif pelayanan kesehatan. Kerumitan akan semakin nyata manakala terjadi
peningkatan risko sakit akibat makin rendahnya kualitas hidup masyarakat pasca
kenaikan BBM yang kemudian secara simultan berefek pada peningkatan demand
masyarakat. Pada saat yang sama pemerintah tidak mungkin membuat kebijakan
pengurangan subsidi tarif pelayanan kesehatan disebabkan daya beli masyarakat justeru
makin menurun.
        Ketiga, dalam skala mikro masih terjadi supply induced demand yaitu demand
dan utilisasi pelayanan kesehatan yang terjadi bukan semata berlandaskan kebutuhan riil
masyarakat melainkan diprovokasi sekaligus dieksploitasi oleh ulah nakal dari sebagian
para pemberi layanan. Dampak lebih lanjut dari moral hazard tersebut akan menyebabkan
kekronisan fenomena pemborosan biaya dan pengenaan tarif pelayanan yang makin tidak
terkendali serta irasional.
        Keempat, masih terjadinya miskonsepsi tentang arti pemenuhan hak asasi rakyat
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas sesuai amanat
konstitusi. Fenomena ini dapat mudah terlihat dengan masih maraknya kebijakan populis
khususnya penggratisan biaya kesehatan yang malah cenderung bisa menyesatkan dan
terkesan membodohi masyarakat.
        Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat subsidi pemerintah dalam pelayanan
kesehatan selama ini lebih sering dinikmati masyarakat mampu di perkotaan yang jelas
memiliki akses ke sarana pelayanan yang lebih baik. Pada umumnya penggratisan
tersebut hanya terbatas untuk paket pelayanan tertentu di puskesmas atau perawatan di
kelas III RS. Sedangkan untuk jenis pelayanan kesehatan yang mahal dan lama yang
justeru sangat dibutuhkan subsidinya seringkali malah tidak masuk dalam paket. Disisi
lain kondisi ini makin diperparah dengan masih lemahnya komitmen dan terbatasnya
anggaran jaminan kesehatan khususnya bagi maskin diluar kuota program jamkesmas
yang hampir pasti akan menjadi kelompok paling rentan dan paling cepat terkena imbas
pasca kenaikan BBM.

Momentum Kebangkitan
       Paling tidak pemerintah perlu sangat serius dan fokus mengatasi kerentanan dan
keresahan yang pasti makin menggejala setelah diterapkannya kenaikan BBM. Pada fase
awal harus segera ada pengalokasian anggaran dari dana kompensasi BBM yang lebih
jelas dan memadai terutama untuk pembiayaan bagi masyarakat miskin yang saat ini
belum tercover program jamkesmas. Tentu saja pemerintah masih perlu mengantisipasi
akan bertambahnya jumlah maskin baru akibat terpuruknya sektor usaha/perekonomian
yang berimbas pada pemecatan sebagian tenaga kerjanya.
       Sifat dan tingkat inflasi disektor kesehatan yang umumnya memang lebih tinggi
perlu diimbangi dan dikendali dengan peningkatan efisiensi pembiayaan maupun
pencegahan kebocoran anggaran secara lebih ketat bahkan mulai dari unit pelayanan
terdepan. Investasi secara cerdas pada sisi demand bukan hanya pada sisi suppy
kesehatan sebaiknya lebih dikedepankan daripada hanya mengusung mission imposible
penggratisan biaya yang malah melahirkan paradoks baru berupa kemanjaan dan ketidak
mandirian masyarakat. Hal ini berarti perlu agenda lebih serius untuk pemberdayaan dan
kemitraan khususnya dengan masyarakat maupun swasta termasuk upaya sharing risiko
pembiayaan di sektor kesehatan. Sehingga sebagai konsekuensinya pengembangan skema
jaminan pemeliharaan kesehatan yang bersifat universal dan lebih berkeadilan sosial
dirasa makin relevan untuk segera diimplementasikan.
       Bagaimanapun juga kebijakan pengurangan subsidi BBM dengan segala
akibatnya mau tidak mau harus dihadapi pemerintah maupun masyarakat luas. Banyak
yang mesti kita siapkan bahkan kita korbankan, namun paling tidak dengan krisis ini kita
masih berharap bisa dijadikan sebagai momentum bagi lahirnya kebangkitan
pemerintahan yang lebih bersih sekaligus handarbeni terhadap nasib getir rakyatnya.
Pembuktiannya adalah manakala semua pemimpinnya telah benar-benar secara serius
mau bertanggung jawab dan mampu memanfaatkan setiap sen dana kompensasi BBM
sepenuhnya demi kesejahteraan rakyatnya. Karena sekalipun rakyat untuk kesekian kali
masih sanggup bersabar menghadapi krisis ini, semata semua itu dilakukan demi
membela kebangkitan harkat dan martabat bangsa dan negaranya yang telah dirintis dan
dikobarkan sejak seabad tahun yang lalu. Oleh karena itu kedepan hanya pemimpin yang
teramat bodohlah yang sampai hati mencederai kepercayaan dan pengorbanan luar biasa
yang telah diberikan oleh rakyat.
(Sutopo Patria Jati)
Implikasi pasca kenaikan bbm di sektor kesehatan

More Related Content

Implikasi pasca kenaikan bbm di sektor kesehatan

  • 1. KEBANGKITAN DI SEKTOR KESEHATAN PASCA KENAIKAN BBM Pemerintah akhir bulan ini berencana akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai 30% sebagai akibat lonjakan beban subsidi APBN seiring kenaikan harga minyak dunia yang menembus batas psikologis diatas 120 dollar U$/barel. Skenario kompensasi yang akan dikembangkan pemerintah meski diragukan keefektifannya oleh banyak pihak yaitu dengan membuat program pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) plus berupa uang sebesar Rp. 100 ribu/orang dan bantuan beberapa bahan pokok bagi masyarakat miskin (maskin). Selain kekhawatiran munculnya keruwetan dari skema kompensasi melalui program BLT plus kelihatannya pemerintah juga akan makin dipusingkan berbagai kendala. Akibat keterbatasan data sasaran maskin yang sudah lama terjadi telah memaksa pemerintah untuk menggunakan basis data tahun 2005 yaitu sebesar 19,1 juta keluarga. Proses verifikasi data maskin dan penyiapan infrastuktur lain yang terkesan molor justeru telah menjadi stimulus utama naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang tentu makin membebani masyarakat. Imbas dari kenaikan BBM ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi seluruh sektor kehidupan termasuk didalamnya adalah sektor kesehatan. Keruwetan Di Sektor Kesehatan Khusus di sektor kesehatan sejumlah keruwetan pasca kenaikan harga BBM nampaknya juga perlu kita waspadai. Banyak faktor atau alasan yang bisa memperparah keruwetan tersebut antara lain: Pertama, rata-rata tingkat inflasi barang dan jasa dalam industri kesehatan selama ini memang relatif lebih tinggi dibandingkan sektor lain bahkan dalam keadaan normal biasanya selalu diatas dua digit. Selain itu siklus kenaikan harga obat dan bahan medis yang sebagian besar bahan bakunya masih diimpor ternyata bisa mencapai lebih dari tiga kali dalam setahun. Kedua, keengganan pemerintah menggarap sisi demand dari sektor kesehatan selama ini akan mempersulit munculnya intervensi kebijakan diluar dari sisi supply. Pemerintah memang punya kewajiban untuk dapat menjaga keseimbangan demand- supply sektor kesehatan secara terus menerus minimal melalui mekanisme pemberian susbidi tarif pelayanan kesehatan. Kerumitan akan semakin nyata manakala terjadi peningkatan risko sakit akibat makin rendahnya kualitas hidup masyarakat pasca kenaikan BBM yang kemudian secara simultan berefek pada peningkatan demand masyarakat. Pada saat yang sama pemerintah tidak mungkin membuat kebijakan pengurangan subsidi tarif pelayanan kesehatan disebabkan daya beli masyarakat justeru makin menurun. Ketiga, dalam skala mikro masih terjadi supply induced demand yaitu demand dan utilisasi pelayanan kesehatan yang terjadi bukan semata berlandaskan kebutuhan riil masyarakat melainkan diprovokasi sekaligus dieksploitasi oleh ulah nakal dari sebagian para pemberi layanan. Dampak lebih lanjut dari moral hazard tersebut akan menyebabkan kekronisan fenomena pemborosan biaya dan pengenaan tarif pelayanan yang makin tidak terkendali serta irasional. Keempat, masih terjadinya miskonsepsi tentang arti pemenuhan hak asasi rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas sesuai amanat konstitusi. Fenomena ini dapat mudah terlihat dengan masih maraknya kebijakan populis
  • 2. khususnya penggratisan biaya kesehatan yang malah cenderung bisa menyesatkan dan terkesan membodohi masyarakat. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat subsidi pemerintah dalam pelayanan kesehatan selama ini lebih sering dinikmati masyarakat mampu di perkotaan yang jelas memiliki akses ke sarana pelayanan yang lebih baik. Pada umumnya penggratisan tersebut hanya terbatas untuk paket pelayanan tertentu di puskesmas atau perawatan di kelas III RS. Sedangkan untuk jenis pelayanan kesehatan yang mahal dan lama yang justeru sangat dibutuhkan subsidinya seringkali malah tidak masuk dalam paket. Disisi lain kondisi ini makin diperparah dengan masih lemahnya komitmen dan terbatasnya anggaran jaminan kesehatan khususnya bagi maskin diluar kuota program jamkesmas yang hampir pasti akan menjadi kelompok paling rentan dan paling cepat terkena imbas pasca kenaikan BBM. Momentum Kebangkitan Paling tidak pemerintah perlu sangat serius dan fokus mengatasi kerentanan dan keresahan yang pasti makin menggejala setelah diterapkannya kenaikan BBM. Pada fase awal harus segera ada pengalokasian anggaran dari dana kompensasi BBM yang lebih jelas dan memadai terutama untuk pembiayaan bagi masyarakat miskin yang saat ini belum tercover program jamkesmas. Tentu saja pemerintah masih perlu mengantisipasi akan bertambahnya jumlah maskin baru akibat terpuruknya sektor usaha/perekonomian yang berimbas pada pemecatan sebagian tenaga kerjanya. Sifat dan tingkat inflasi disektor kesehatan yang umumnya memang lebih tinggi perlu diimbangi dan dikendali dengan peningkatan efisiensi pembiayaan maupun pencegahan kebocoran anggaran secara lebih ketat bahkan mulai dari unit pelayanan terdepan. Investasi secara cerdas pada sisi demand bukan hanya pada sisi suppy kesehatan sebaiknya lebih dikedepankan daripada hanya mengusung mission imposible penggratisan biaya yang malah melahirkan paradoks baru berupa kemanjaan dan ketidak mandirian masyarakat. Hal ini berarti perlu agenda lebih serius untuk pemberdayaan dan kemitraan khususnya dengan masyarakat maupun swasta termasuk upaya sharing risiko pembiayaan di sektor kesehatan. Sehingga sebagai konsekuensinya pengembangan skema jaminan pemeliharaan kesehatan yang bersifat universal dan lebih berkeadilan sosial dirasa makin relevan untuk segera diimplementasikan. Bagaimanapun juga kebijakan pengurangan subsidi BBM dengan segala akibatnya mau tidak mau harus dihadapi pemerintah maupun masyarakat luas. Banyak yang mesti kita siapkan bahkan kita korbankan, namun paling tidak dengan krisis ini kita masih berharap bisa dijadikan sebagai momentum bagi lahirnya kebangkitan pemerintahan yang lebih bersih sekaligus handarbeni terhadap nasib getir rakyatnya. Pembuktiannya adalah manakala semua pemimpinnya telah benar-benar secara serius mau bertanggung jawab dan mampu memanfaatkan setiap sen dana kompensasi BBM sepenuhnya demi kesejahteraan rakyatnya. Karena sekalipun rakyat untuk kesekian kali masih sanggup bersabar menghadapi krisis ini, semata semua itu dilakukan demi membela kebangkitan harkat dan martabat bangsa dan negaranya yang telah dirintis dan dikobarkan sejak seabad tahun yang lalu. Oleh karena itu kedepan hanya pemimpin yang teramat bodohlah yang sampai hati mencederai kepercayaan dan pengorbanan luar biasa yang telah diberikan oleh rakyat. (Sutopo Patria Jati)