際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Indepth Report


Membaca Inisiatif e-ASEAN




               oleh:
          Firdaus Cahyadi
Apa itu e-ASEAN?

       ASEAN Economic Community seolah telah jargon yang sering kita temukan di media massa

dan juga di baliho-baliho yang dipasang di beberapa jalan di Jakarta. Benarkah ASEAN Economic

Ccommunity akan mampu mensejahterakan masyarakat di kawasan ASEAN?

       Jika melihat beberapa dokumen tentang ASEAN Economic Ccommunity, nampaknya ASEAN

Economic Community tak lebih merupakan liberalisasi di tingkat regional. Sulit untuk tidak

mengatakan bahwa ini tahapan untuk meliberalisasikan ekonomi secara global. Untuk mempercepat

liberalisasi di tingkat ASEAN maka sektor telematika (telekomunikasi dan informatika) menjadi

sesuatu yang penting. Tak heran muncullah inisiatif yang bernama e-ASEAN. Dalam konteks

liberalisasi itulah inisiatif e-ASEAN dimunculkan.

       Menurut buku yang diterbitkan Departemen Perdagangan dengan judul, Kesiapan Indonesia

Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN telah ada 12 Sektor Prioritas Integrasi (Priority Integration

Sectors/PIS) dalam ASEAN Economic Community. PIS sendiri adalah sektor-sektor yang dianggap

strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. e-ASEAN adalah salah

satu sektor yang masuk dalam PIS itu.



Apa itu Neoliberal?

       Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah apa itu neoliberal? Menurut Peneliti Pusat Studi

Ekonomi Kerakyatan UGM Revrisond Baswir, ekonomi neoliberal adalah bentuk baru liberalisme yang

pada dasarnya sangat memuliakan mekanisme pasar. Dalam sistem ekonomi neoliberal campur tangan

negara, walaupun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman

bekerjanya mekanisme pasar.

       Sistem neoliberal itu pada akhirnya menempatkan negara hanya sebagai pelayan korporasi besar

daripada melindungi hak-hak warganya. Akibatnya hak warga negara dihilangkan digantikan hanya

sekedar hak konsumen dari produk-produk industri manufaktur dan jasa.
Dalam sebuah diskusi di Satudunia 28 Oktober 2010 lalu, peneliti ICT for Development dari

Manchester University Yanuar Nugroho mengatakan bahwa dalam neoliberalisme kepemilikan privat

tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi

laba privat. Singkatnya, dalam faham neoliberal, tidak cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang

lain selain pasar jelasnya.

       Dari uraian di atas ada beberapa kata kunci tentang neoliberal; Pasar, Korporasi, Kepemilikan

Privat dan Negara. Dengan ketiga kata kunci tersebut, dapat mudah dipahami bahwa neoliberal adalah

sebuah tatanan ekonomi dan politik yang mendorong kepemilikan publik menjadi kepemilikan privat

sehingga dapat ditransaksikan dengan mekanisme pasar.

       Peran negara diperlukan untuk menjamin terlaksananya perubahan kepemilikan dari publik ke

privat dan juga menjaga agar mekanisme pasar berjalan dalam transaksi kepemilikan privat tersebut.

Jika mekanisme pasar telah berjalan negara tidak perlu intervensi.

       Dalam neoliberal sebisa mungkin dihilangkan paradigma adanya produk barang dan jasa yang

dinilai penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Karena paradigma itu akan mengundang

negara untuk turut campur di dalamnya guna menjamin pemenuhan warganya atas produk barang dan

jasa tersebut. Jika itu terjadi maka korporasi yang menjadi pelaku pasar tidak bisa mengambil untung

dari transaksi di pasar. Point penting lainnya adalah hak publik akan digeser secara berlahan hanya

menjadi hak konsumen.



e-ASEAN dan Penetrasi Neoliberal di Sektor Telematika

       Dalam PIS, seperti yang ditulis dalam buku terbitan Departemen Perdagangan, disebutkan

bahwa e-ASEAN merupakan bagian dari sektor strtegis untuk diliberalisasi. Tentu saja bagi negara di

kawasan ASEAN yang sektor telematikanya sudah liberal, diharapkan semakin memperkuat penetrasi

liberalisasinya.

       Agenda liberalisasi sektor telematika dalam inisiatif e-ASEAN ini semakin terungkap bila kita
mengunjungi web resmi sekretariat ASEAN (www.aseansec.org). Di web tersebut terdapat tulisan yang

berjudul The e-ASEAN Initiative. Dalam tulisan tersebut jelas diungkapkan bahwa salah satu tujuan dari

inisiatif e-ASEAN adalah untuk meliberalisasi perdagangan di sektor barang dan jasa ICT (information

and Communication Technology) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut TIK (Teknologi

Informasi dan Komunikasi) atau Telematika (Telekomunikasi dan Informatika).



Cengkraman Neoliberal di Sektor Telematika Indonesia

       Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah bagaimana cengkraman neoliberal di sektor telematika

Indonesia. Lantas apa hubungannya telematika dengan neoliberal? Muhammad Salahuddien, seorang

pakar internet dari ID-SRITTI (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure)

dalam sebuah diskusi dengan Satudunia di Jakarta, 20 Juli 2010, mengatakan bahwa di Indonesia

industry ICT adalah industri yang paling matang dan sepenuhnya liberal.

       Dominasi sepenuhnya oleh market driver dan tehnology driver. Jadi peran pemerintah apalagi

masyarakat menjadi minimal, jelasnya, Kondisi industri komunikasi ini sudah sangat liberal,

sehingga ketika pemerintah ingin manjadikan milik publik menjadi sangat sulit,

       Muhammad Salahuddien menambahkan bahwa satu-satunya peran masyarakat dalam ICT yang

tersisa adalah peran menjadi konsumen. Peran masayarakat lah yang sekarang ini masih sangat

kosong, kecuali berperan sebagai pembeli, tegasnya.

       Binih-binih dari liberalisasi sektor telematika sejatinya mulai ditanam sejak Orde Baru di bawah

kepemimpinan Soeharto. Di era Orde Baru kita diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Tahun

1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perushaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal

Asing. Dalam PP itu disebutkan bahwa Penanaman modal bidang usaha telekomunikasi dapat

dilakukan oleh PMA patungan asalkan kepemilikan peserta Indonesia minimal 5%.

       Menurut Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen

Perhubungan Indonesia pada tahun 1999, menyebutkan bahwa Pada tahun 1994 dan 1995 terjadi
penjualan saham BUMN di sektor telekomunikasi. Waktu itu saham PT Indosat menjual 35%

sahamnya dan PT. Telkom menjual 25%. Pada hakekatnya saat itulah dimulainya privatisasi di sektor

telekomunikasi.

       Setelah Orde Baru tumbang di tahun 1998, liberalisasi di sektor telekomunikasi dinampakan

secara nyaris telanjang. Pada tahun 1999 diterbitkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 72

Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia.

       KM Perhubungan No. 72/1999 menjadi penting dalam tonggak liberalisasi telematika di

Indonesia. Karena dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa KM 72 wajib digunakan sebagai

pedoman dalam menetapkan pengaturan dan penyelenggaraan Telkom nasional. Untuk kemudian KM

ini menjadi acuan dalam pembuatan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

       Prinsip-prinsip yang tertuang dalam KM 72 Tahun 1999 secara jelas mengadopsi paham

neoliberal. Dalam KM tersebut dituliskan bahwa Tujuan reformasi telekomunikasi antara lain adalah

mempersiapkan ekonomi Indonesia dalam menghadapi Globalisasi yang secara kongkret diwujudkan

dalam kesepakatan WTO, APEC dan AFTA dan melaksanakan liberalisasi telekomunikasi.

       Wajah neoliberal semakin nampak dalam UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Dalam UU

itu disebutkan bahwa telah dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi badan usaha swasta nasional

maupun asing untuk menyelenggarakan usaha telekomunikasi di Indonesia. Dalam hubungan ini

kepada PT. Telkom telah diberikan izin oleh Pemerintah di samping menyelenggarakan telekomunikasi

untuk dalan negeri juga menyelenggarakan telekomunikasi untuk hubungan internasional. Sebaliknya

kepada PT. Indosat telah pula diberikan izin untuk menyelenggarakan telekomunikasi dalam negeri di

samping untuk hubungan internasional yang telah diselenggarakan sebelumnya. Untuk Badan Usaha

Swasta Nasional maupun asing telah diberikan izin untuk berkompetisi dalam layanan STBS (Sistem

Telekomunikasi Bergerak Seluler).

       Untuk merespon perkembangan teknologi telematika pemerintah pun merancang RUU

Konvergensi Telematika. Saat artikel ini dibuat pemerintah sedang membahas RUU tersebut. Wajah
neoliberal semakin nampak dalam RUU Konvergensi Telematika ini.

       Dalam penjelasan RUU Konvergensi Telematika secara gamblang disebutkan, bahwa salah satu

yang melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah Tekanan atau dorongan

untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat

hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar melalui forum-

forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market).

       Padahal di dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F disebutkan bahwa Setiap

orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosialnya . Artinya, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan infrastruktur

telekomunikasi dan informatika (telematika) bagi rakyatnya



Liberalisasi dan Kesenjangan Akses Telematika

       Bicaralah tentang hak konsumen, jangan bicara tentang hak publik. Itu sebuah ungkapan

yang tepat ketika sistem neoliberal telah menancap kuat di sebuah negeri. Apa bedanya hak konsumen

dan hak publik?

       Hak konsumen muncul akibat transaksi ekonomi seseorang dengan sebuah perusahaan.

Sebelum ada hubungan transaksional tidak ada hak konsumen. Sedangkan hak publik muncul karena

sebuah kontrak politik warga negara dengan pemerintah. Negara memiliki kewajiban untuk

menghormati, menghargai, melindungi dan memenuhi hak warga negaranya. Sesuatu produk barang

dan jasa yang dinilai penting dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi hak warga negara yang

harus dipenuhui oleh pemerintah.

       Dalam RUU Konvergensi Telematika yang dipaparkan dalam konsultasi publik pada 20

Oktober 2010 di Jakarta, pereduksian hak warga negara menjadi sekedar hak konsumen nampak jelas.

Hal itu nampak tidak adanya secara explisit pasal yang mengatur hak warga negara atas pelayanan

universal atas layanan telematika.
Di dalam Pasal 38 draft RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan mengenai kewajiban

negara untuk membangun pelayanan universal. Tapi di dalam RUU itu tidak disebutkan apa yang

menjadi hak warga negara bila kewajiban negara itu tidak dilaksanakan. Akibatnya, hak warga negara

untuk mendapatkan layanan dasar telematika ini akan mudah dilanggar dalam praktiknya.

       Kewajiban pelayanan dasar telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar

masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan

telematika.

       Karena konsekuensi dari liberalisasi telematika lebih mengutamakan penumpukan laba

perusahaan maka fokus pengembangan infrastruktur telematika pun berada di kawasan Indonesia Barat,

khususnya Pulau Jawa. Di kawasan Indoensia barat, khususnya Pulau Jawa, selain penduduknya relatif

banyak, juga pendapatan ekonominya relatif tinggi dibanding penduduk di kawasan Indonesia timur.

Artinya, penduduk di Indonesia Barat, khususnya Jawa sangat berpotensi menjadi konsumen telematika

dibandingkan pendududk di kawasan Indonesia timur.




                            Gambar 1. 際際滷 EXISTING fiber Optics



       Akibatnya, penduduk di kawasan Indonesia timur tidak memiliki akses terhadap telematika.
Kondisi ini sering disebut sebagai sebuah kesenjangan digital. Ini sesuatu yang ironis, padahal di

kawasan Indonesia timur adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Ketiadaan akses telematika

ini bisa jadi yang menyebabkan pendapatan ekonomi penduduk di kawasan Indonesia Timur selalu

lebih rendah dibandingkan penduduk di kawasan Indonesia barat, terutama Pulau Jawa.

       Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada akhir 2004, seperti

ditulis www.iptek.net, menunjukan, bahwa sebanyak 75 persen pelanggan dan pengguna internet

berlokasi di Jakarta, 15 persen di Surabaya, 5 persen di daerah lain di pulau Jawa dan 5 persen sisanya

di propinsi lainnya.

       Terkait dengan ketimpangan akses telematika, data terbaru terkait dengan ICT di Indonesia

ternyata tidak mengalami banyak perubahan. Data terbaru dari Kementerian Komunikasi dan

Informatika (Kominfo), seperti yang ditulis dalam buku putih ICT tahun 2010 menyebutkan bahwa

sejak tahun 2007-2008, akses internet di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi.

       Pada tahun 2007, prosentase keluarga yang telah memiliki akses internet adalah 5,58%. Pada

tahun 2008 meningkat menjadi 8,56%. Namun peningkatan itu masih di dominasi dari wilayah Jawa

dan Indonesia bagian barat. Pada tahun 2007 misalnya, kawasan di Jawa, prosentase keluarga yang

memiliki akses internet sebesar 6,65%. Dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 9,95%.

       Ketimpangan akses terhadap internet juga terlihat dalam pembangunan infrastruktur telematika

(telekomunikasi dan informatika). Sebanyak 65,2% infrastruktur backbone serat optik terkonsentrasi di

Jawa, kemudian diikuti oleh Sumatera (20,31%) dan Kalimantan (6,13%). Wilayah Indonesia timur

(Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) belum terjangkau infrastruktur ini.

       Pengertian backbone sendiri adalah saluran atau koneksi berkecepatan tinggi yang menjadi

lintasan utama dalam sebuah jaringan. Kesejangan infrastruktur ini telah mengakibatkan terjadinya

kesenjangan akses telematika antar wilayah di Indonesia.
Kemana uang Mengalir di era Liberalisasi Telematika?

       Sebuah survei yang dilakukan oleh aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah LSM

yang mendampingi warga miskin kota Jakarta menarik disimak. Menurut FAKTA, masyarkaat miskin

dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp 30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet

dan sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp.

190 ribu/bulan/KK pengeluaran warga miskin kota untuk belanja produk ICT.

       Pengeluaran warga miskin kota untuk produk ICT itu ternyata hampir sama dengan pengeluaran

per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan per kapita per hari atau menurut Badan

Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Pada tahun 2010 GKM di

Jakarta mencapai Rp 213.487. Bahkan pengeluaran untuk belanja produk ICT warga miskin itu telah

melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau

Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Pada tahun 2010 GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682.

Pertanyaan berikutnya, tentu saja adalah kemana uang itu mengalir?

       Seperti pernah ditulis oleh tempointeraktif bahwa Transaksi bisnis teknologi informasi (TI) pada

2007 diperkirakan mencapai Rp 2,2 triliun. Ketua Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki) Djarot

Subiantoro mengatakan rencana pemerintah melegalkan piranti lunak di setiap komputer di kantor

pemerintah mendorong peningkatan industri teknologi informasi.

       Hipotesis analistis yang ditulis dalam sebuah blog oleh Idaman Andarmosoko, seorang pekerja

pengetahuan di kalangan NGOs menarik untuk disimak
Gambaran di atas nampak bahwa memang memang ada uang yang 'tercecer' di dalam negeri

dalam bisnis hardware ICT. Hal itu nampak pada diagram T1 dan turunannya serta T2 dan turunannya.

Lantas bagaimana dengan bisnis ICT di sektor lainnya? Mari kita lihat Ragaan yang dibuat oleh Idaman

Andarmosoko berikut ini.
Indepth report membaca inisiatif e asean
Jika melihat ragaan 2 dan 3 ternyata hampir sama dengan ragaan 1 terkait dengan aliran uang

dalam bisnis hardware. Dalam ragaan 2 dan 3 dengan jelas memperlihatkan adanya aliran uang dari

dalam negeri keluar negeri, tepatnya ke perusahaan-perusahaan ICT internasional. Dalam Blognya,

Idaman menuliskan bahwa dalam kasus Filipina dan India kondisinya tidak seperti di atas. Artinya,

justru ada aliran dana dari luar ke dalam negeri dalam bisnis ICT. Namun, di Indonesia kondisnya

masih seperti dalam ragaan di atas. Adanya aliran uang dari dalam negeri (Indonesia) ke luar negeri.

       Hipotesis bahwa begitu banyak aliran uang keluar negeri dalam bisnis ICT di era liberalisasi

telematika semakin mendekati kebenaran, bila kita melihat komposisi kepemilikan saham di bisnis ini.

PT Indosat misalnya, sahamnya 55,79% dikuasai oleh Qatar Telecom (QTel Asia) Pte. Ltd  Qatar,

15,62% dikuasai oleh The Bank of New York Mellon Dr  Amerika Serikat dan 14,29% dikuasai oleh

Negara Republik Indonesia)

       Sementara itu, PT XL Axiata, sahamnya 66,69% dikuasai oleh Axiata Investments Sdn. Berhad

 Malaysia dan 13,39% dikuasai oleh Emirates Telecommunications Corporation (Etisalat)  Uni

Emirat Arab. Begitu pula PT Natrindo Telepon Seluler yang menjadi bagian dari Saudi Telecom

Company (STC)  Saudi dan Maxis Communications Berhad (Maxis)  Malaysia. Bahkan                       PT

Telkomsel sendiri, sahamnya 65% dikuasai oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) 35%

sahamnya dikuasai oleh Singapore Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile)  Singapura.

       Jika demikian halnya, bila kita membanggakan bahwa terjadi booming bisnis ICT di Indonesia,

itu artinya kita membanggakan adanya penghisapan uang dari dalam negeri ke luar negeri. Seperti

diungkapkan sebelumnya, bahwa revolusi digital telah mendorong munculnya konvergensi ICT.

       Nah, dalam konteks inilah sejatinya inisiatif e-ASEAN ini menjadi sebuah pertanyaan besar.

Jika agenda e-ASEAN adalah liberalisasi sektor telamatika maka sudah dapat dipastikan itu akan

memperdalam penetrasi neoliberal di sektor telematika Indonesia. Dan jika demikian halnya maka

persoalan kesenjangan akses telematika dan penghisapan uang dari konsumen telematika Indonesia ke

luar negeri akan tetap dipertahankan.
Untuk mengatasi persoalan kesenjangan akses telematika misalnya, perlu campur tangan

negara. Tidak bisa persoalan itu selesai bila diserahkan kepada mekanisme pasar. Perusahaan-

perusahaan telematika tidak akan mau membangun infrastrukturnya di daerah pedalaman, terpencil dan

tidak menguntungkan secara ekonomi.

       Begitu pula penghisapan uang dari konsumen Indonesia ke perusahaan-perusahaan

telekomunikasi asing. Perlu peran negara yang lebih besar untuk membalik atau minimal memperkecil

aliran uang dari dalam negeri ke perusahaan-perusahaan telekomunikasi asing itu. Kebijakan

liberalisasi telematika justru akan memperbesar aliran uang dari dalam negeri ke luar negeri.




Bahan Bacaan:

   1. The e-ASEAN Initiative. http://www.aseansec.org/7659.htm

   2. Yayasan Satudunia, Indepth Report-Refleksi Telematika 2010, Telematika di Bawah

       Cengkraman Neoliberal., http://www.satudunia.net/content/indepth-report-refleksi-telematika-

       2010-telematika-di-bawah-cengkraman-neoliberal

   3. Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 72 Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan

       Telekomunikasi Indonesia, tahun 1999

   4. Perlunya Meninjau Ulang Liberalisasi Telematika. http://www.satuportal.net/content/perlunya-

       meninjau-ulang-liberalisasi-telematika

   5. RIM            :       Surveiller        et    marchandiser         BlackBerry            (2-selesai).

       http://indoprogress.com/2011/01/24/rim-surveiller-et-marchandiser-blackberry-2-selesai/

   6. Revolusi Digital dan Target MDGs. http://www.satuportal.net/content/revolusi-digital-dan-

       target-mdgs

   7. Manfaat            Teknologi        Nirkabel   Bagi       Masyarakat,        http://www.pewarta-

       indonesia.com/inspirasi/opini/3605-manfaat-teknologi-nirkabel-bagi-masyarakat.html
8. Bank Dunia Akan Biayai ICT di Sekolah Indonesia, http://www.jurnalnet.com/konten.php?

   nama=BeritaUtama&topik=5&id=14

9. Aliran Uang ICT: Indonesia Versus Global, http://idaman.multiply.com/journal/item/274

10. Brief Paper-RUU Konvergensi Telematika, http://www.satudunia.net/content/brief-paper-ruu-

   konvergensi-telematika

11. Notulensi FGD Satudunia, Adopsi ICT di NGOs dan Dampaknya Bagi Masyarakat Rentan,

   20 Juli 2010

12. Notulensi diskusi Satudunia, Tragedi Lumpur Lapindo, Menggagas Perlawanan di Dunia

   Maya , 28 Oktober 2010.

13. Kertas Posisi Satudunia tentang ICT, http://www.satudunia.net/content/kertas-posisi-satudunia-

   tentang-ict

More Related Content

Indepth report membaca inisiatif e asean

  • 1. Indepth Report Membaca Inisiatif e-ASEAN oleh: Firdaus Cahyadi
  • 2. Apa itu e-ASEAN? ASEAN Economic Community seolah telah jargon yang sering kita temukan di media massa dan juga di baliho-baliho yang dipasang di beberapa jalan di Jakarta. Benarkah ASEAN Economic Ccommunity akan mampu mensejahterakan masyarakat di kawasan ASEAN? Jika melihat beberapa dokumen tentang ASEAN Economic Ccommunity, nampaknya ASEAN Economic Community tak lebih merupakan liberalisasi di tingkat regional. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa ini tahapan untuk meliberalisasikan ekonomi secara global. Untuk mempercepat liberalisasi di tingkat ASEAN maka sektor telematika (telekomunikasi dan informatika) menjadi sesuatu yang penting. Tak heran muncullah inisiatif yang bernama e-ASEAN. Dalam konteks liberalisasi itulah inisiatif e-ASEAN dimunculkan. Menurut buku yang diterbitkan Departemen Perdagangan dengan judul, Kesiapan Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN telah ada 12 Sektor Prioritas Integrasi (Priority Integration Sectors/PIS) dalam ASEAN Economic Community. PIS sendiri adalah sektor-sektor yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. e-ASEAN adalah salah satu sektor yang masuk dalam PIS itu. Apa itu Neoliberal? Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah apa itu neoliberal? Menurut Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Revrisond Baswir, ekonomi neoliberal adalah bentuk baru liberalisme yang pada dasarnya sangat memuliakan mekanisme pasar. Dalam sistem ekonomi neoliberal campur tangan negara, walaupun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Sistem neoliberal itu pada akhirnya menempatkan negara hanya sebagai pelayan korporasi besar daripada melindungi hak-hak warganya. Akibatnya hak warga negara dihilangkan digantikan hanya sekedar hak konsumen dari produk-produk industri manufaktur dan jasa.
  • 3. Dalam sebuah diskusi di Satudunia 28 Oktober 2010 lalu, peneliti ICT for Development dari Manchester University Yanuar Nugroho mengatakan bahwa dalam neoliberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat. Singkatnya, dalam faham neoliberal, tidak cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar jelasnya. Dari uraian di atas ada beberapa kata kunci tentang neoliberal; Pasar, Korporasi, Kepemilikan Privat dan Negara. Dengan ketiga kata kunci tersebut, dapat mudah dipahami bahwa neoliberal adalah sebuah tatanan ekonomi dan politik yang mendorong kepemilikan publik menjadi kepemilikan privat sehingga dapat ditransaksikan dengan mekanisme pasar. Peran negara diperlukan untuk menjamin terlaksananya perubahan kepemilikan dari publik ke privat dan juga menjaga agar mekanisme pasar berjalan dalam transaksi kepemilikan privat tersebut. Jika mekanisme pasar telah berjalan negara tidak perlu intervensi. Dalam neoliberal sebisa mungkin dihilangkan paradigma adanya produk barang dan jasa yang dinilai penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Karena paradigma itu akan mengundang negara untuk turut campur di dalamnya guna menjamin pemenuhan warganya atas produk barang dan jasa tersebut. Jika itu terjadi maka korporasi yang menjadi pelaku pasar tidak bisa mengambil untung dari transaksi di pasar. Point penting lainnya adalah hak publik akan digeser secara berlahan hanya menjadi hak konsumen. e-ASEAN dan Penetrasi Neoliberal di Sektor Telematika Dalam PIS, seperti yang ditulis dalam buku terbitan Departemen Perdagangan, disebutkan bahwa e-ASEAN merupakan bagian dari sektor strtegis untuk diliberalisasi. Tentu saja bagi negara di kawasan ASEAN yang sektor telematikanya sudah liberal, diharapkan semakin memperkuat penetrasi liberalisasinya. Agenda liberalisasi sektor telematika dalam inisiatif e-ASEAN ini semakin terungkap bila kita
  • 4. mengunjungi web resmi sekretariat ASEAN (www.aseansec.org). Di web tersebut terdapat tulisan yang berjudul The e-ASEAN Initiative. Dalam tulisan tersebut jelas diungkapkan bahwa salah satu tujuan dari inisiatif e-ASEAN adalah untuk meliberalisasi perdagangan di sektor barang dan jasa ICT (information and Communication Technology) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Cengkraman Neoliberal di Sektor Telematika Indonesia Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah bagaimana cengkraman neoliberal di sektor telematika Indonesia. Lantas apa hubungannya telematika dengan neoliberal? Muhammad Salahuddien, seorang pakar internet dari ID-SRITTI (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure) dalam sebuah diskusi dengan Satudunia di Jakarta, 20 Juli 2010, mengatakan bahwa di Indonesia industry ICT adalah industri yang paling matang dan sepenuhnya liberal. Dominasi sepenuhnya oleh market driver dan tehnology driver. Jadi peran pemerintah apalagi masyarakat menjadi minimal, jelasnya, Kondisi industri komunikasi ini sudah sangat liberal, sehingga ketika pemerintah ingin manjadikan milik publik menjadi sangat sulit, Muhammad Salahuddien menambahkan bahwa satu-satunya peran masyarakat dalam ICT yang tersisa adalah peran menjadi konsumen. Peran masayarakat lah yang sekarang ini masih sangat kosong, kecuali berperan sebagai pembeli, tegasnya. Binih-binih dari liberalisasi sektor telematika sejatinya mulai ditanam sejak Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Di era Orde Baru kita diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perushaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Dalam PP itu disebutkan bahwa Penanaman modal bidang usaha telekomunikasi dapat dilakukan oleh PMA patungan asalkan kepemilikan peserta Indonesia minimal 5%. Menurut Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Perhubungan Indonesia pada tahun 1999, menyebutkan bahwa Pada tahun 1994 dan 1995 terjadi
  • 5. penjualan saham BUMN di sektor telekomunikasi. Waktu itu saham PT Indosat menjual 35% sahamnya dan PT. Telkom menjual 25%. Pada hakekatnya saat itulah dimulainya privatisasi di sektor telekomunikasi. Setelah Orde Baru tumbang di tahun 1998, liberalisasi di sektor telekomunikasi dinampakan secara nyaris telanjang. Pada tahun 1999 diterbitkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 72 Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia. KM Perhubungan No. 72/1999 menjadi penting dalam tonggak liberalisasi telematika di Indonesia. Karena dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa KM 72 wajib digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan pengaturan dan penyelenggaraan Telkom nasional. Untuk kemudian KM ini menjadi acuan dalam pembuatan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam KM 72 Tahun 1999 secara jelas mengadopsi paham neoliberal. Dalam KM tersebut dituliskan bahwa Tujuan reformasi telekomunikasi antara lain adalah mempersiapkan ekonomi Indonesia dalam menghadapi Globalisasi yang secara kongkret diwujudkan dalam kesepakatan WTO, APEC dan AFTA dan melaksanakan liberalisasi telekomunikasi. Wajah neoliberal semakin nampak dalam UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Dalam UU itu disebutkan bahwa telah dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi badan usaha swasta nasional maupun asing untuk menyelenggarakan usaha telekomunikasi di Indonesia. Dalam hubungan ini kepada PT. Telkom telah diberikan izin oleh Pemerintah di samping menyelenggarakan telekomunikasi untuk dalan negeri juga menyelenggarakan telekomunikasi untuk hubungan internasional. Sebaliknya kepada PT. Indosat telah pula diberikan izin untuk menyelenggarakan telekomunikasi dalam negeri di samping untuk hubungan internasional yang telah diselenggarakan sebelumnya. Untuk Badan Usaha Swasta Nasional maupun asing telah diberikan izin untuk berkompetisi dalam layanan STBS (Sistem Telekomunikasi Bergerak Seluler). Untuk merespon perkembangan teknologi telematika pemerintah pun merancang RUU Konvergensi Telematika. Saat artikel ini dibuat pemerintah sedang membahas RUU tersebut. Wajah
  • 6. neoliberal semakin nampak dalam RUU Konvergensi Telematika ini. Dalam penjelasan RUU Konvergensi Telematika secara gamblang disebutkan, bahwa salah satu yang melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah Tekanan atau dorongan untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar melalui forum- forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market). Padahal di dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F disebutkan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya . Artinya, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan infrastruktur telekomunikasi dan informatika (telematika) bagi rakyatnya Liberalisasi dan Kesenjangan Akses Telematika Bicaralah tentang hak konsumen, jangan bicara tentang hak publik. Itu sebuah ungkapan yang tepat ketika sistem neoliberal telah menancap kuat di sebuah negeri. Apa bedanya hak konsumen dan hak publik? Hak konsumen muncul akibat transaksi ekonomi seseorang dengan sebuah perusahaan. Sebelum ada hubungan transaksional tidak ada hak konsumen. Sedangkan hak publik muncul karena sebuah kontrak politik warga negara dengan pemerintah. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, menghargai, melindungi dan memenuhi hak warga negaranya. Sesuatu produk barang dan jasa yang dinilai penting dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi hak warga negara yang harus dipenuhui oleh pemerintah. Dalam RUU Konvergensi Telematika yang dipaparkan dalam konsultasi publik pada 20 Oktober 2010 di Jakarta, pereduksian hak warga negara menjadi sekedar hak konsumen nampak jelas. Hal itu nampak tidak adanya secara explisit pasal yang mengatur hak warga negara atas pelayanan universal atas layanan telematika.
  • 7. Di dalam Pasal 38 draft RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan mengenai kewajiban negara untuk membangun pelayanan universal. Tapi di dalam RUU itu tidak disebutkan apa yang menjadi hak warga negara bila kewajiban negara itu tidak dilaksanakan. Akibatnya, hak warga negara untuk mendapatkan layanan dasar telematika ini akan mudah dilanggar dalam praktiknya. Kewajiban pelayanan dasar telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan telematika. Karena konsekuensi dari liberalisasi telematika lebih mengutamakan penumpukan laba perusahaan maka fokus pengembangan infrastruktur telematika pun berada di kawasan Indonesia Barat, khususnya Pulau Jawa. Di kawasan Indoensia barat, khususnya Pulau Jawa, selain penduduknya relatif banyak, juga pendapatan ekonominya relatif tinggi dibanding penduduk di kawasan Indonesia timur. Artinya, penduduk di Indonesia Barat, khususnya Jawa sangat berpotensi menjadi konsumen telematika dibandingkan pendududk di kawasan Indonesia timur. Gambar 1. 際際滷 EXISTING fiber Optics Akibatnya, penduduk di kawasan Indonesia timur tidak memiliki akses terhadap telematika.
  • 8. Kondisi ini sering disebut sebagai sebuah kesenjangan digital. Ini sesuatu yang ironis, padahal di kawasan Indonesia timur adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Ketiadaan akses telematika ini bisa jadi yang menyebabkan pendapatan ekonomi penduduk di kawasan Indonesia Timur selalu lebih rendah dibandingkan penduduk di kawasan Indonesia barat, terutama Pulau Jawa. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada akhir 2004, seperti ditulis www.iptek.net, menunjukan, bahwa sebanyak 75 persen pelanggan dan pengguna internet berlokasi di Jakarta, 15 persen di Surabaya, 5 persen di daerah lain di pulau Jawa dan 5 persen sisanya di propinsi lainnya. Terkait dengan ketimpangan akses telematika, data terbaru terkait dengan ICT di Indonesia ternyata tidak mengalami banyak perubahan. Data terbaru dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), seperti yang ditulis dalam buku putih ICT tahun 2010 menyebutkan bahwa sejak tahun 2007-2008, akses internet di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Pada tahun 2007, prosentase keluarga yang telah memiliki akses internet adalah 5,58%. Pada tahun 2008 meningkat menjadi 8,56%. Namun peningkatan itu masih di dominasi dari wilayah Jawa dan Indonesia bagian barat. Pada tahun 2007 misalnya, kawasan di Jawa, prosentase keluarga yang memiliki akses internet sebesar 6,65%. Dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 9,95%. Ketimpangan akses terhadap internet juga terlihat dalam pembangunan infrastruktur telematika (telekomunikasi dan informatika). Sebanyak 65,2% infrastruktur backbone serat optik terkonsentrasi di Jawa, kemudian diikuti oleh Sumatera (20,31%) dan Kalimantan (6,13%). Wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) belum terjangkau infrastruktur ini. Pengertian backbone sendiri adalah saluran atau koneksi berkecepatan tinggi yang menjadi lintasan utama dalam sebuah jaringan. Kesejangan infrastruktur ini telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan akses telematika antar wilayah di Indonesia.
  • 9. Kemana uang Mengalir di era Liberalisasi Telematika? Sebuah survei yang dilakukan oleh aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah LSM yang mendampingi warga miskin kota Jakarta menarik disimak. Menurut FAKTA, masyarkaat miskin dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp 30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet dan sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp. 190 ribu/bulan/KK pengeluaran warga miskin kota untuk belanja produk ICT. Pengeluaran warga miskin kota untuk produk ICT itu ternyata hampir sama dengan pengeluaran per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan per kapita per hari atau menurut Badan Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Pada tahun 2010 GKM di Jakarta mencapai Rp 213.487. Bahkan pengeluaran untuk belanja produk ICT warga miskin itu telah melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Pada tahun 2010 GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682. Pertanyaan berikutnya, tentu saja adalah kemana uang itu mengalir? Seperti pernah ditulis oleh tempointeraktif bahwa Transaksi bisnis teknologi informasi (TI) pada 2007 diperkirakan mencapai Rp 2,2 triliun. Ketua Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki) Djarot Subiantoro mengatakan rencana pemerintah melegalkan piranti lunak di setiap komputer di kantor pemerintah mendorong peningkatan industri teknologi informasi. Hipotesis analistis yang ditulis dalam sebuah blog oleh Idaman Andarmosoko, seorang pekerja pengetahuan di kalangan NGOs menarik untuk disimak
  • 10. Gambaran di atas nampak bahwa memang memang ada uang yang 'tercecer' di dalam negeri dalam bisnis hardware ICT. Hal itu nampak pada diagram T1 dan turunannya serta T2 dan turunannya. Lantas bagaimana dengan bisnis ICT di sektor lainnya? Mari kita lihat Ragaan yang dibuat oleh Idaman Andarmosoko berikut ini.
  • 12. Jika melihat ragaan 2 dan 3 ternyata hampir sama dengan ragaan 1 terkait dengan aliran uang dalam bisnis hardware. Dalam ragaan 2 dan 3 dengan jelas memperlihatkan adanya aliran uang dari dalam negeri keluar negeri, tepatnya ke perusahaan-perusahaan ICT internasional. Dalam Blognya, Idaman menuliskan bahwa dalam kasus Filipina dan India kondisinya tidak seperti di atas. Artinya, justru ada aliran dana dari luar ke dalam negeri dalam bisnis ICT. Namun, di Indonesia kondisnya masih seperti dalam ragaan di atas. Adanya aliran uang dari dalam negeri (Indonesia) ke luar negeri. Hipotesis bahwa begitu banyak aliran uang keluar negeri dalam bisnis ICT di era liberalisasi telematika semakin mendekati kebenaran, bila kita melihat komposisi kepemilikan saham di bisnis ini. PT Indosat misalnya, sahamnya 55,79% dikuasai oleh Qatar Telecom (QTel Asia) Pte. Ltd Qatar, 15,62% dikuasai oleh The Bank of New York Mellon Dr Amerika Serikat dan 14,29% dikuasai oleh Negara Republik Indonesia) Sementara itu, PT XL Axiata, sahamnya 66,69% dikuasai oleh Axiata Investments Sdn. Berhad Malaysia dan 13,39% dikuasai oleh Emirates Telecommunications Corporation (Etisalat) Uni Emirat Arab. Begitu pula PT Natrindo Telepon Seluler yang menjadi bagian dari Saudi Telecom Company (STC) Saudi dan Maxis Communications Berhad (Maxis) Malaysia. Bahkan PT Telkomsel sendiri, sahamnya 65% dikuasai oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) 35% sahamnya dikuasai oleh Singapore Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile) Singapura. Jika demikian halnya, bila kita membanggakan bahwa terjadi booming bisnis ICT di Indonesia, itu artinya kita membanggakan adanya penghisapan uang dari dalam negeri ke luar negeri. Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa revolusi digital telah mendorong munculnya konvergensi ICT. Nah, dalam konteks inilah sejatinya inisiatif e-ASEAN ini menjadi sebuah pertanyaan besar. Jika agenda e-ASEAN adalah liberalisasi sektor telamatika maka sudah dapat dipastikan itu akan memperdalam penetrasi neoliberal di sektor telematika Indonesia. Dan jika demikian halnya maka persoalan kesenjangan akses telematika dan penghisapan uang dari konsumen telematika Indonesia ke luar negeri akan tetap dipertahankan.
  • 13. Untuk mengatasi persoalan kesenjangan akses telematika misalnya, perlu campur tangan negara. Tidak bisa persoalan itu selesai bila diserahkan kepada mekanisme pasar. Perusahaan- perusahaan telematika tidak akan mau membangun infrastrukturnya di daerah pedalaman, terpencil dan tidak menguntungkan secara ekonomi. Begitu pula penghisapan uang dari konsumen Indonesia ke perusahaan-perusahaan telekomunikasi asing. Perlu peran negara yang lebih besar untuk membalik atau minimal memperkecil aliran uang dari dalam negeri ke perusahaan-perusahaan telekomunikasi asing itu. Kebijakan liberalisasi telematika justru akan memperbesar aliran uang dari dalam negeri ke luar negeri. Bahan Bacaan: 1. The e-ASEAN Initiative. http://www.aseansec.org/7659.htm 2. Yayasan Satudunia, Indepth Report-Refleksi Telematika 2010, Telematika di Bawah Cengkraman Neoliberal., http://www.satudunia.net/content/indepth-report-refleksi-telematika- 2010-telematika-di-bawah-cengkraman-neoliberal 3. Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 72 Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia, tahun 1999 4. Perlunya Meninjau Ulang Liberalisasi Telematika. http://www.satuportal.net/content/perlunya- meninjau-ulang-liberalisasi-telematika 5. RIM : Surveiller et marchandiser BlackBerry (2-selesai). http://indoprogress.com/2011/01/24/rim-surveiller-et-marchandiser-blackberry-2-selesai/ 6. Revolusi Digital dan Target MDGs. http://www.satuportal.net/content/revolusi-digital-dan- target-mdgs 7. Manfaat Teknologi Nirkabel Bagi Masyarakat, http://www.pewarta- indonesia.com/inspirasi/opini/3605-manfaat-teknologi-nirkabel-bagi-masyarakat.html
  • 14. 8. Bank Dunia Akan Biayai ICT di Sekolah Indonesia, http://www.jurnalnet.com/konten.php? nama=BeritaUtama&topik=5&id=14 9. Aliran Uang ICT: Indonesia Versus Global, http://idaman.multiply.com/journal/item/274 10. Brief Paper-RUU Konvergensi Telematika, http://www.satudunia.net/content/brief-paper-ruu- konvergensi-telematika 11. Notulensi FGD Satudunia, Adopsi ICT di NGOs dan Dampaknya Bagi Masyarakat Rentan, 20 Juli 2010 12. Notulensi diskusi Satudunia, Tragedi Lumpur Lapindo, Menggagas Perlawanan di Dunia Maya , 28 Oktober 2010. 13. Kertas Posisi Satudunia tentang ICT, http://www.satudunia.net/content/kertas-posisi-satudunia- tentang-ict