2. Apa itu e-ASEAN?
ASEAN Economic Community seolah telah jargon yang sering kita temukan di media massa
dan juga di baliho-baliho yang dipasang di beberapa jalan di Jakarta. Benarkah ASEAN Economic
Ccommunity akan mampu mensejahterakan masyarakat di kawasan ASEAN?
Jika melihat beberapa dokumen tentang ASEAN Economic Ccommunity, nampaknya ASEAN
Economic Community tak lebih merupakan liberalisasi di tingkat regional. Sulit untuk tidak
mengatakan bahwa ini tahapan untuk meliberalisasikan ekonomi secara global. Untuk mempercepat
liberalisasi di tingkat ASEAN maka sektor telematika (telekomunikasi dan informatika) menjadi
sesuatu yang penting. Tak heran muncullah inisiatif yang bernama e-ASEAN. Dalam konteks
liberalisasi itulah inisiatif e-ASEAN dimunculkan.
Menurut buku yang diterbitkan Departemen Perdagangan dengan judul, Kesiapan Indonesia
Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN telah ada 12 Sektor Prioritas Integrasi (Priority Integration
Sectors/PIS) dalam ASEAN Economic Community. PIS sendiri adalah sektor-sektor yang dianggap
strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal dan berbasis produksi. e-ASEAN adalah salah
satu sektor yang masuk dalam PIS itu.
Apa itu Neoliberal?
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah apa itu neoliberal? Menurut Peneliti Pusat Studi
Ekonomi Kerakyatan UGM Revrisond Baswir, ekonomi neoliberal adalah bentuk baru liberalisme yang
pada dasarnya sangat memuliakan mekanisme pasar. Dalam sistem ekonomi neoliberal campur tangan
negara, walaupun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman
bekerjanya mekanisme pasar.
Sistem neoliberal itu pada akhirnya menempatkan negara hanya sebagai pelayan korporasi besar
daripada melindungi hak-hak warganya. Akibatnya hak warga negara dihilangkan digantikan hanya
sekedar hak konsumen dari produk-produk industri manufaktur dan jasa.
3. Dalam sebuah diskusi di Satudunia 28 Oktober 2010 lalu, peneliti ICT for Development dari
Manchester University Yanuar Nugroho mengatakan bahwa dalam neoliberalisme kepemilikan privat
tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi
laba privat. Singkatnya, dalam faham neoliberal, tidak cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang
lain selain pasar jelasnya.
Dari uraian di atas ada beberapa kata kunci tentang neoliberal; Pasar, Korporasi, Kepemilikan
Privat dan Negara. Dengan ketiga kata kunci tersebut, dapat mudah dipahami bahwa neoliberal adalah
sebuah tatanan ekonomi dan politik yang mendorong kepemilikan publik menjadi kepemilikan privat
sehingga dapat ditransaksikan dengan mekanisme pasar.
Peran negara diperlukan untuk menjamin terlaksananya perubahan kepemilikan dari publik ke
privat dan juga menjaga agar mekanisme pasar berjalan dalam transaksi kepemilikan privat tersebut.
Jika mekanisme pasar telah berjalan negara tidak perlu intervensi.
Dalam neoliberal sebisa mungkin dihilangkan paradigma adanya produk barang dan jasa yang
dinilai penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Karena paradigma itu akan mengundang
negara untuk turut campur di dalamnya guna menjamin pemenuhan warganya atas produk barang dan
jasa tersebut. Jika itu terjadi maka korporasi yang menjadi pelaku pasar tidak bisa mengambil untung
dari transaksi di pasar. Point penting lainnya adalah hak publik akan digeser secara berlahan hanya
menjadi hak konsumen.
e-ASEAN dan Penetrasi Neoliberal di Sektor Telematika
Dalam PIS, seperti yang ditulis dalam buku terbitan Departemen Perdagangan, disebutkan
bahwa e-ASEAN merupakan bagian dari sektor strtegis untuk diliberalisasi. Tentu saja bagi negara di
kawasan ASEAN yang sektor telematikanya sudah liberal, diharapkan semakin memperkuat penetrasi
liberalisasinya.
Agenda liberalisasi sektor telematika dalam inisiatif e-ASEAN ini semakin terungkap bila kita
4. mengunjungi web resmi sekretariat ASEAN (www.aseansec.org). Di web tersebut terdapat tulisan yang
berjudul The e-ASEAN Initiative. Dalam tulisan tersebut jelas diungkapkan bahwa salah satu tujuan dari
inisiatif e-ASEAN adalah untuk meliberalisasi perdagangan di sektor barang dan jasa ICT (information
and Communication Technology) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut TIK (Teknologi
Informasi dan Komunikasi) atau Telematika (Telekomunikasi dan Informatika).
Cengkraman Neoliberal di Sektor Telematika Indonesia
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah bagaimana cengkraman neoliberal di sektor telematika
Indonesia. Lantas apa hubungannya telematika dengan neoliberal? Muhammad Salahuddien, seorang
pakar internet dari ID-SRITTI (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure)
dalam sebuah diskusi dengan Satudunia di Jakarta, 20 Juli 2010, mengatakan bahwa di Indonesia
industry ICT adalah industri yang paling matang dan sepenuhnya liberal.
Dominasi sepenuhnya oleh market driver dan tehnology driver. Jadi peran pemerintah apalagi
masyarakat menjadi minimal, jelasnya, Kondisi industri komunikasi ini sudah sangat liberal,
sehingga ketika pemerintah ingin manjadikan milik publik menjadi sangat sulit,
Muhammad Salahuddien menambahkan bahwa satu-satunya peran masyarakat dalam ICT yang
tersisa adalah peran menjadi konsumen. Peran masayarakat lah yang sekarang ini masih sangat
kosong, kecuali berperan sebagai pembeli, tegasnya.
Binih-binih dari liberalisasi sektor telematika sejatinya mulai ditanam sejak Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto. Di era Orde Baru kita diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Tahun
1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perushaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal
Asing. Dalam PP itu disebutkan bahwa Penanaman modal bidang usaha telekomunikasi dapat
dilakukan oleh PMA patungan asalkan kepemilikan peserta Indonesia minimal 5%.
Menurut Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen
Perhubungan Indonesia pada tahun 1999, menyebutkan bahwa Pada tahun 1994 dan 1995 terjadi
5. penjualan saham BUMN di sektor telekomunikasi. Waktu itu saham PT Indosat menjual 35%
sahamnya dan PT. Telkom menjual 25%. Pada hakekatnya saat itulah dimulainya privatisasi di sektor
telekomunikasi.
Setelah Orde Baru tumbang di tahun 1998, liberalisasi di sektor telekomunikasi dinampakan
secara nyaris telanjang. Pada tahun 1999 diterbitkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 72
Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia.
KM Perhubungan No. 72/1999 menjadi penting dalam tonggak liberalisasi telematika di
Indonesia. Karena dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa KM 72 wajib digunakan sebagai
pedoman dalam menetapkan pengaturan dan penyelenggaraan Telkom nasional. Untuk kemudian KM
ini menjadi acuan dalam pembuatan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam KM 72 Tahun 1999 secara jelas mengadopsi paham
neoliberal. Dalam KM tersebut dituliskan bahwa Tujuan reformasi telekomunikasi antara lain adalah
mempersiapkan ekonomi Indonesia dalam menghadapi Globalisasi yang secara kongkret diwujudkan
dalam kesepakatan WTO, APEC dan AFTA dan melaksanakan liberalisasi telekomunikasi.
Wajah neoliberal semakin nampak dalam UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Dalam UU
itu disebutkan bahwa telah dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi badan usaha swasta nasional
maupun asing untuk menyelenggarakan usaha telekomunikasi di Indonesia. Dalam hubungan ini
kepada PT. Telkom telah diberikan izin oleh Pemerintah di samping menyelenggarakan telekomunikasi
untuk dalan negeri juga menyelenggarakan telekomunikasi untuk hubungan internasional. Sebaliknya
kepada PT. Indosat telah pula diberikan izin untuk menyelenggarakan telekomunikasi dalam negeri di
samping untuk hubungan internasional yang telah diselenggarakan sebelumnya. Untuk Badan Usaha
Swasta Nasional maupun asing telah diberikan izin untuk berkompetisi dalam layanan STBS (Sistem
Telekomunikasi Bergerak Seluler).
Untuk merespon perkembangan teknologi telematika pemerintah pun merancang RUU
Konvergensi Telematika. Saat artikel ini dibuat pemerintah sedang membahas RUU tersebut. Wajah
6. neoliberal semakin nampak dalam RUU Konvergensi Telematika ini.
Dalam penjelasan RUU Konvergensi Telematika secara gamblang disebutkan, bahwa salah satu
yang melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah Tekanan atau dorongan
untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat
hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar melalui forum-
forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market).
Padahal di dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F disebutkan bahwa Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya . Artinya, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan infrastruktur
telekomunikasi dan informatika (telematika) bagi rakyatnya
Liberalisasi dan Kesenjangan Akses Telematika
Bicaralah tentang hak konsumen, jangan bicara tentang hak publik. Itu sebuah ungkapan
yang tepat ketika sistem neoliberal telah menancap kuat di sebuah negeri. Apa bedanya hak konsumen
dan hak publik?
Hak konsumen muncul akibat transaksi ekonomi seseorang dengan sebuah perusahaan.
Sebelum ada hubungan transaksional tidak ada hak konsumen. Sedangkan hak publik muncul karena
sebuah kontrak politik warga negara dengan pemerintah. Negara memiliki kewajiban untuk
menghormati, menghargai, melindungi dan memenuhi hak warga negaranya. Sesuatu produk barang
dan jasa yang dinilai penting dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi hak warga negara yang
harus dipenuhui oleh pemerintah.
Dalam RUU Konvergensi Telematika yang dipaparkan dalam konsultasi publik pada 20
Oktober 2010 di Jakarta, pereduksian hak warga negara menjadi sekedar hak konsumen nampak jelas.
Hal itu nampak tidak adanya secara explisit pasal yang mengatur hak warga negara atas pelayanan
universal atas layanan telematika.
7. Di dalam Pasal 38 draft RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan mengenai kewajiban
negara untuk membangun pelayanan universal. Tapi di dalam RUU itu tidak disebutkan apa yang
menjadi hak warga negara bila kewajiban negara itu tidak dilaksanakan. Akibatnya, hak warga negara
untuk mendapatkan layanan dasar telematika ini akan mudah dilanggar dalam praktiknya.
Kewajiban pelayanan dasar telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar
masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan
telematika.
Karena konsekuensi dari liberalisasi telematika lebih mengutamakan penumpukan laba
perusahaan maka fokus pengembangan infrastruktur telematika pun berada di kawasan Indonesia Barat,
khususnya Pulau Jawa. Di kawasan Indoensia barat, khususnya Pulau Jawa, selain penduduknya relatif
banyak, juga pendapatan ekonominya relatif tinggi dibanding penduduk di kawasan Indonesia timur.
Artinya, penduduk di Indonesia Barat, khususnya Jawa sangat berpotensi menjadi konsumen telematika
dibandingkan pendududk di kawasan Indonesia timur.
Gambar 1. 際際滷 EXISTING fiber Optics
Akibatnya, penduduk di kawasan Indonesia timur tidak memiliki akses terhadap telematika.
8. Kondisi ini sering disebut sebagai sebuah kesenjangan digital. Ini sesuatu yang ironis, padahal di
kawasan Indonesia timur adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Ketiadaan akses telematika
ini bisa jadi yang menyebabkan pendapatan ekonomi penduduk di kawasan Indonesia Timur selalu
lebih rendah dibandingkan penduduk di kawasan Indonesia barat, terutama Pulau Jawa.
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada akhir 2004, seperti
ditulis www.iptek.net, menunjukan, bahwa sebanyak 75 persen pelanggan dan pengguna internet
berlokasi di Jakarta, 15 persen di Surabaya, 5 persen di daerah lain di pulau Jawa dan 5 persen sisanya
di propinsi lainnya.
Terkait dengan ketimpangan akses telematika, data terbaru terkait dengan ICT di Indonesia
ternyata tidak mengalami banyak perubahan. Data terbaru dari Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo), seperti yang ditulis dalam buku putih ICT tahun 2010 menyebutkan bahwa
sejak tahun 2007-2008, akses internet di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Pada tahun 2007, prosentase keluarga yang telah memiliki akses internet adalah 5,58%. Pada
tahun 2008 meningkat menjadi 8,56%. Namun peningkatan itu masih di dominasi dari wilayah Jawa
dan Indonesia bagian barat. Pada tahun 2007 misalnya, kawasan di Jawa, prosentase keluarga yang
memiliki akses internet sebesar 6,65%. Dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 9,95%.
Ketimpangan akses terhadap internet juga terlihat dalam pembangunan infrastruktur telematika
(telekomunikasi dan informatika). Sebanyak 65,2% infrastruktur backbone serat optik terkonsentrasi di
Jawa, kemudian diikuti oleh Sumatera (20,31%) dan Kalimantan (6,13%). Wilayah Indonesia timur
(Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) belum terjangkau infrastruktur ini.
Pengertian backbone sendiri adalah saluran atau koneksi berkecepatan tinggi yang menjadi
lintasan utama dalam sebuah jaringan. Kesejangan infrastruktur ini telah mengakibatkan terjadinya
kesenjangan akses telematika antar wilayah di Indonesia.
9. Kemana uang Mengalir di era Liberalisasi Telematika?
Sebuah survei yang dilakukan oleh aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah LSM
yang mendampingi warga miskin kota Jakarta menarik disimak. Menurut FAKTA, masyarkaat miskin
dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp 30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet
dan sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp.
190 ribu/bulan/KK pengeluaran warga miskin kota untuk belanja produk ICT.
Pengeluaran warga miskin kota untuk produk ICT itu ternyata hampir sama dengan pengeluaran
per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan per kapita per hari atau menurut Badan
Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Pada tahun 2010 GKM di
Jakarta mencapai Rp 213.487. Bahkan pengeluaran untuk belanja produk ICT warga miskin itu telah
melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau
Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Pada tahun 2010 GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682.
Pertanyaan berikutnya, tentu saja adalah kemana uang itu mengalir?
Seperti pernah ditulis oleh tempointeraktif bahwa Transaksi bisnis teknologi informasi (TI) pada
2007 diperkirakan mencapai Rp 2,2 triliun. Ketua Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki) Djarot
Subiantoro mengatakan rencana pemerintah melegalkan piranti lunak di setiap komputer di kantor
pemerintah mendorong peningkatan industri teknologi informasi.
Hipotesis analistis yang ditulis dalam sebuah blog oleh Idaman Andarmosoko, seorang pekerja
pengetahuan di kalangan NGOs menarik untuk disimak
10. Gambaran di atas nampak bahwa memang memang ada uang yang 'tercecer' di dalam negeri
dalam bisnis hardware ICT. Hal itu nampak pada diagram T1 dan turunannya serta T2 dan turunannya.
Lantas bagaimana dengan bisnis ICT di sektor lainnya? Mari kita lihat Ragaan yang dibuat oleh Idaman
Andarmosoko berikut ini.
12. Jika melihat ragaan 2 dan 3 ternyata hampir sama dengan ragaan 1 terkait dengan aliran uang
dalam bisnis hardware. Dalam ragaan 2 dan 3 dengan jelas memperlihatkan adanya aliran uang dari
dalam negeri keluar negeri, tepatnya ke perusahaan-perusahaan ICT internasional. Dalam Blognya,
Idaman menuliskan bahwa dalam kasus Filipina dan India kondisinya tidak seperti di atas. Artinya,
justru ada aliran dana dari luar ke dalam negeri dalam bisnis ICT. Namun, di Indonesia kondisnya
masih seperti dalam ragaan di atas. Adanya aliran uang dari dalam negeri (Indonesia) ke luar negeri.
Hipotesis bahwa begitu banyak aliran uang keluar negeri dalam bisnis ICT di era liberalisasi
telematika semakin mendekati kebenaran, bila kita melihat komposisi kepemilikan saham di bisnis ini.
PT Indosat misalnya, sahamnya 55,79% dikuasai oleh Qatar Telecom (QTel Asia) Pte. Ltd Qatar,
15,62% dikuasai oleh The Bank of New York Mellon Dr Amerika Serikat dan 14,29% dikuasai oleh
Negara Republik Indonesia)
Sementara itu, PT XL Axiata, sahamnya 66,69% dikuasai oleh Axiata Investments Sdn. Berhad
Malaysia dan 13,39% dikuasai oleh Emirates Telecommunications Corporation (Etisalat) Uni
Emirat Arab. Begitu pula PT Natrindo Telepon Seluler yang menjadi bagian dari Saudi Telecom
Company (STC) Saudi dan Maxis Communications Berhad (Maxis) Malaysia. Bahkan PT
Telkomsel sendiri, sahamnya 65% dikuasai oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) 35%
sahamnya dikuasai oleh Singapore Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile) Singapura.
Jika demikian halnya, bila kita membanggakan bahwa terjadi booming bisnis ICT di Indonesia,
itu artinya kita membanggakan adanya penghisapan uang dari dalam negeri ke luar negeri. Seperti
diungkapkan sebelumnya, bahwa revolusi digital telah mendorong munculnya konvergensi ICT.
Nah, dalam konteks inilah sejatinya inisiatif e-ASEAN ini menjadi sebuah pertanyaan besar.
Jika agenda e-ASEAN adalah liberalisasi sektor telamatika maka sudah dapat dipastikan itu akan
memperdalam penetrasi neoliberal di sektor telematika Indonesia. Dan jika demikian halnya maka
persoalan kesenjangan akses telematika dan penghisapan uang dari konsumen telematika Indonesia ke
luar negeri akan tetap dipertahankan.
13. Untuk mengatasi persoalan kesenjangan akses telematika misalnya, perlu campur tangan
negara. Tidak bisa persoalan itu selesai bila diserahkan kepada mekanisme pasar. Perusahaan-
perusahaan telematika tidak akan mau membangun infrastrukturnya di daerah pedalaman, terpencil dan
tidak menguntungkan secara ekonomi.
Begitu pula penghisapan uang dari konsumen Indonesia ke perusahaan-perusahaan
telekomunikasi asing. Perlu peran negara yang lebih besar untuk membalik atau minimal memperkecil
aliran uang dari dalam negeri ke perusahaan-perusahaan telekomunikasi asing itu. Kebijakan
liberalisasi telematika justru akan memperbesar aliran uang dari dalam negeri ke luar negeri.
Bahan Bacaan:
1. The e-ASEAN Initiative. http://www.aseansec.org/7659.htm
2. Yayasan Satudunia, Indepth Report-Refleksi Telematika 2010, Telematika di Bawah
Cengkraman Neoliberal., http://www.satudunia.net/content/indepth-report-refleksi-telematika-
2010-telematika-di-bawah-cengkraman-neoliberal
3. Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor 72 Tahun 1999 tentang Cetak Biru Kebijakan
Telekomunikasi Indonesia, tahun 1999
4. Perlunya Meninjau Ulang Liberalisasi Telematika. http://www.satuportal.net/content/perlunya-
meninjau-ulang-liberalisasi-telematika
5. RIM : Surveiller et marchandiser BlackBerry (2-selesai).
http://indoprogress.com/2011/01/24/rim-surveiller-et-marchandiser-blackberry-2-selesai/
6. Revolusi Digital dan Target MDGs. http://www.satuportal.net/content/revolusi-digital-dan-
target-mdgs
7. Manfaat Teknologi Nirkabel Bagi Masyarakat, http://www.pewarta-
indonesia.com/inspirasi/opini/3605-manfaat-teknologi-nirkabel-bagi-masyarakat.html
14. 8. Bank Dunia Akan Biayai ICT di Sekolah Indonesia, http://www.jurnalnet.com/konten.php?
nama=BeritaUtama&topik=5&id=14
9. Aliran Uang ICT: Indonesia Versus Global, http://idaman.multiply.com/journal/item/274
10. Brief Paper-RUU Konvergensi Telematika, http://www.satudunia.net/content/brief-paper-ruu-
konvergensi-telematika
11. Notulensi FGD Satudunia, Adopsi ICT di NGOs dan Dampaknya Bagi Masyarakat Rentan,
20 Juli 2010
12. Notulensi diskusi Satudunia, Tragedi Lumpur Lapindo, Menggagas Perlawanan di Dunia
Maya , 28 Oktober 2010.
13. Kertas Posisi Satudunia tentang ICT, http://www.satudunia.net/content/kertas-posisi-satudunia-
tentang-ict