1. JUST IN TIME
(MASIH - UPAYA MEWUJUDKAN REFORMASI BIROKRASI DI PENGADILAN)
Nurul Hakim, L.Dj.
(Kepala Sub Bagian Umum PTA Bandung)
Pemandangan aktifitas konsumen berbelanja di The Super Giant Supermarket di Rockville, Maryland 1964
(Sumber : http://www. sixties.twoday.net/stories/super-giant-supermarket)
Berkunjunglah sesekali ke super-market agak lama. Perhatikan kesibukan para pekerja
di supermarket dan lihatlah rak-rak lemari dagangan yang selalu penuh. Bahkan pada
saat pengunjung yang membeli barang di supermarket itu berjubel, barang-barang
dagangan selalu rapih berjejer di rak-rak dagangan.
Rak dagangan itu tidak pernah menegcewakan pembeli. Begitu pembeli membutuhkan
untuk memilih, barang dagangan sudah terpampang. Rak dagangan itu seperti sedang
mengatakan ¡°Apapun yang Anda butuhkan, kami siap melayani Anda tanpa telat sedikit
pun¡±.
Fenomena ini sering kita lihat, sayangnya kita
menganggap itu biasa-biasa saja. Namun bagi seorang
pengusaha mobil Jepang, Taiichi Ohno (Toyota
Manufacturing), pemandangan itu pernah dilihatnya pada
tahun 1960-an yang kemudian dikembangkan oleh Taiichi
Ohno menjadi sistem manajemen fabrikasi modern yang
digunakan oleh perusahaan-perusahaan terbaik yang ada
di Jepang, sejak awal tahun 1970-an --- Dan fenomena ini
memberinya inspirasi tentang bagaimana mengatur
pekerjaan yang cepat dan tepat. Ia namakan temuannya
2. itu dengan nama ¡°just-in-time¡± atau semua berdasar pada waktu, atau sediakan
berdasarkan waktunya.
Ini metaforma? (Sekedar mengingatkan bagi yang sudah membaca THE BROKEN
WINDOWS / Bagi yang belum baca, Metaforma menurut Hernowo adalah Metaforma
adalah melakukan peloncatan satu pola ke pola yang lain).
Sekali lagi metaforma? Ya Taiichi Ohno Toyota melakukan ¡°metaforma¡±, pola dari
kegiatan para pekerja di supermarket menjadi pola di pabrik mobilnya. Akhirnya ia
memutuskan perubahan alur pekerjaan di pabriknya, pekerjaan dari awal sampai akhir
dibuat dalam satu ruangan yang berjejer. Pekerjaan satu selesai, langsung diambil oleh
pekerjaan tahap kedua, kemudian dialirkan lagi dan seterusnya. Pada sisi lain, semua
pekerja dikondisikan untuk terus mengerjakan tugasnya tanpa harus menunggu
kebutuhan.
Just in Time mengajari kita untuk bekerja seperti pelayan di supermarket. Terus
memeriksa barang yang sudah kosong dari rak-rak yang berjejer, lalu mengisinya
kembali dengan sigap tanpa peduli apakah ada yang mau membelinya atau tidak.
Kemudian kasir terus-menerus duduk di mejanya untuk menunggu pembeli, tanpa
peduli apakah ada pembeli datang atau tidak. Semuanya siap di tempat, bekerja
bersama detik-demi detik yang bergerak, bersama waktu.
Hasilnya? Pada supermarket tidak pernah terdengar teriakan, ¡°Ambilin barang ini!¡± atau
¡°Eh, barang di rak kesekian kosong, cepat isi!¡±. Semuanya berjalan dengan baik, tak ada
suara kecuali suara pembeli yang sedang menikmati barang-barang yang sudah terjajar
rapi.
Bagaimana dengan pekerjaan kita?
Dapatkah kita melakukan just-in-time?
Pastilah kita bukan pekerja supermarket --- karena tak ada barang yang harus terus-
menerus dijajarkan di rak-rak toko. Namun prinsip pekerjaannya sama, yakni pekerjaan
dari tahap pertama menentukan pekerjaan selanjutnya yang pada akhirnya menentukan
tujuan reformasi birokrasi MA: putusan yang cepat dan tepat --- Karena itu, (1) Lakukan
pekerjaan kita tepat waktu secara cepat, karena ada yang menunggu; (2) Alirkan
pekerjaan kita ke tahap berikutnya, karena putusan harus segera dibuat; (3) Periksa
kemungkinan adanya kealpaan, karena sedikit kealpaan akan mengakibatkan kekacauan
besar (ingat the broken windows), (4) Waktu demi waktu sama dengan selesainya
pekerjaan satu tahap demi satu tahap.
3. Semuanya telah dilakukan para pekerja supermarket dan membuat para pembeli
merasa puas pada supermarket itu. Kita pun sama, bila kita melakukan pekerjaan secara
just in time, minimal dua hasil yang ingin dicapai Mahkamah Agung, yakni (1) kebutuhan
dan kepuasan pengguna keadilan, dan (2) kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada
pengadilan.
Just in time, itu saja yang harus kita lakukan!