Tiga kalimat:
Budaya Jawa dipengaruhi agama Hindu, Buddha, dan Islam. Masyarakat Jawa menganut Islam Kejawen yang mencampur ajaran agama dengan tradisi dan kepercayaan lokal seperti roh, makhluk halus, dan makam keramat. Tradisi Jawa seperti ziarah makam dan upacara keagamaan menunjukkan pengaruh budaya dalam kehidupan keagamaan masyarakat.
Dokumen tersebut memberikan penjelasan mengenai penggunaan osiloskop sinar katod (OSK) dalam pengukuran voltan, frekuensi, dan sela masa gelombang elektrik. Dokumen tersebut menjelaskan prinsip kerja, komponen, dan cara pengendalian OSK serta contoh penggunaannya untuk mengukur voltan, frekuensi, dan sela masa gelombang.
Tiga hal penting dalam dokumen tersebut adalah (1) bersikap ikhlas dalam menuntut ilmu, (2) tekun berusaha dan bertawakal kepada Allah, dan (3) menjauhi perbuatan maksiat. Selain itu, dokumen tersebut juga menekankan pentingnya memilih teman yang soleh, banyak berzikir kepada Allah, menjaga kehormatan diri sendiri dan orang lain, serta mendapatkan doa dan keredaan dari ibu bapa.
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya tarbiyah Islamiyah bagi remaja muslim saat ini yang dianggap lemah secara moral, spiritual dan akademik. Tarbiyah Islamiyah dijelaskan sebagai pendidikan Islam yang berkelanjutan, membentuk kepribadian Islam secara menyeluruh dan bertahap untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi remaja seperti narkoba, pornografi dan prestasi akademik rendah.
Dokumen ini membahas tentang wudhu, termasuk rukun dan sunnah wudhu, dalil membasuh anggota wudhu dengan tangan kanan lebih dulu, hal-hal yang membatalkan wudhu, dan kasus seorang wanita yang tersentuh laki-laki bukan mahram ketika tawaf di Mekkah serta pendapat mazhab Syafi'i mengenai hal tersebut. Juga dibahas cara melaksanakan wudhu bagi jemaah haji menggunakan bot
Tamadun Hwang Ho / Hwang Ho Civilization sushiemilia
油
Tamadun Hwang Ho berkembang di lembah Sungai Hwang Ho (Sungai Kuning) di China utara sejak zaman Paleolitik hingga Dinasti Chou pada abad ke-3 SM. Tamadun ini mengamalkan pertanian, menubuhkan bandar-bandar seperti Anyang, dan mempunyai sistem pemerintahan berhierarki di bawah raja-raja Dinasti Shang dan Chou. Tamadun ini juga menyumbang kepada pembangunan sistem tulisan C
Jual beli adalah tukar menukar antara uang dan barang atau barang dengan barang untuk mendapatkan keuntungan. Jual beli dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan dibedakan menjadi mubah, wajib, sunnah, dan haram. Bank syariah menghindari riba dengan menggunakan produk seperti wadi'ah, mudarabah, dan murabahah.
Nota (ulum quran) pendidikan quran sunnah f4Unizzati
油
Ulum Quran merupakan satu gagasan ilmu yang mengkaji tentang Al-Quran dan perkara yang berkaitannya. Ia bermula sejak zaman Nabi Muhammad dengan turunnya wahyu, seterusnya dikumpul dan disatukan pada zaman khulafaur rasyidin. Perkembangan ilmu Ulum Quran terus berkembang sehingga zaman Abbasiyah dengan pembukuan bidang-bidang tertentu.
Dokumen tersebut membahas tentang asas moral menurut perspektif agama Konfusianisme. Terdapat lima konsep utama yaitu Ren (kemanusiaan), Li (kesusilaan), Yi (keadilan), Zhi (kebijaksanaan), dan Xin (layak dipercayai), yang menegaskan pentingnya kebaikan, ketertiban, tanggung jawab, kepercayaan, dan penghormatan antar manusia.
Upah merujuk kepada bayaran yang diberikan kepada seseorang atas kerja yang dilakukan. Islam menekankan hak pekerja menerima upah yang setimpal dengan kerja dan cukup untuk hidup. Majikan harus membayar upah tepat waktu, sedangkan pekerjaan yang dilarang menerima upah antara lain mengajar sihir atau melakukan ibadah bagi orang lain.
Umat Islam wajib menuntut ilmu, baik secara formal maupun tidak formal. Terdapat dua jenis ilmu yang perlu dipelajari, yaitu ilmu fardhu ain yang wajib dikuasai setiap Muslim, dan ilmu fardhu kifayah yang wajib dikuasai sebahagian umat Islam. Menuntut ilmu dipandang penting karena dapat mendekatkan diri kepada Allah dan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat.
Sepanjang kehidupan Nabi Muhammad SAW, dia dilahirkan yatim piatu, diasuh oleh berbagai pengasuh, menjadi pedagang yang terkenal, menikah dengan Khadijah yang membantu dakwahnya, dan sering bermeditasi di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama.
Makan binatang halal memberikan manfaat kesehatan dan keselamatan karena memenuhi syarat kebersihan. Binatang halal seperti sapi dan domba mengandung protein dan gizi yang baik untuk tubuh. Binatang haram seperti babi dan bangkai mengandung racun dan kuman yang membahayakan kesehatan.
Dokumen tersebut membahas tentang kepercayaan kejawen dalam sudut pandang agama Islam. Secara ringkas, dibahas mengenai pengertian kepercayaan, ritual, dan kejawen. Kemudian pengaruh kepercayaan kejawen terhadap agama Islam khususnya, serta contoh praktik ritual kejawen di Pulau Jawa seperti ritual pada bulan Muharram.
Tamadun Hwang Ho / Hwang Ho Civilization sushiemilia
油
Tamadun Hwang Ho berkembang di lembah Sungai Hwang Ho (Sungai Kuning) di China utara sejak zaman Paleolitik hingga Dinasti Chou pada abad ke-3 SM. Tamadun ini mengamalkan pertanian, menubuhkan bandar-bandar seperti Anyang, dan mempunyai sistem pemerintahan berhierarki di bawah raja-raja Dinasti Shang dan Chou. Tamadun ini juga menyumbang kepada pembangunan sistem tulisan C
Jual beli adalah tukar menukar antara uang dan barang atau barang dengan barang untuk mendapatkan keuntungan. Jual beli dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan dibedakan menjadi mubah, wajib, sunnah, dan haram. Bank syariah menghindari riba dengan menggunakan produk seperti wadi'ah, mudarabah, dan murabahah.
Nota (ulum quran) pendidikan quran sunnah f4Unizzati
油
Ulum Quran merupakan satu gagasan ilmu yang mengkaji tentang Al-Quran dan perkara yang berkaitannya. Ia bermula sejak zaman Nabi Muhammad dengan turunnya wahyu, seterusnya dikumpul dan disatukan pada zaman khulafaur rasyidin. Perkembangan ilmu Ulum Quran terus berkembang sehingga zaman Abbasiyah dengan pembukuan bidang-bidang tertentu.
Dokumen tersebut membahas tentang asas moral menurut perspektif agama Konfusianisme. Terdapat lima konsep utama yaitu Ren (kemanusiaan), Li (kesusilaan), Yi (keadilan), Zhi (kebijaksanaan), dan Xin (layak dipercayai), yang menegaskan pentingnya kebaikan, ketertiban, tanggung jawab, kepercayaan, dan penghormatan antar manusia.
Upah merujuk kepada bayaran yang diberikan kepada seseorang atas kerja yang dilakukan. Islam menekankan hak pekerja menerima upah yang setimpal dengan kerja dan cukup untuk hidup. Majikan harus membayar upah tepat waktu, sedangkan pekerjaan yang dilarang menerima upah antara lain mengajar sihir atau melakukan ibadah bagi orang lain.
Umat Islam wajib menuntut ilmu, baik secara formal maupun tidak formal. Terdapat dua jenis ilmu yang perlu dipelajari, yaitu ilmu fardhu ain yang wajib dikuasai setiap Muslim, dan ilmu fardhu kifayah yang wajib dikuasai sebahagian umat Islam. Menuntut ilmu dipandang penting karena dapat mendekatkan diri kepada Allah dan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat.
Sepanjang kehidupan Nabi Muhammad SAW, dia dilahirkan yatim piatu, diasuh oleh berbagai pengasuh, menjadi pedagang yang terkenal, menikah dengan Khadijah yang membantu dakwahnya, dan sering bermeditasi di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama.
Makan binatang halal memberikan manfaat kesehatan dan keselamatan karena memenuhi syarat kebersihan. Binatang halal seperti sapi dan domba mengandung protein dan gizi yang baik untuk tubuh. Binatang haram seperti babi dan bangkai mengandung racun dan kuman yang membahayakan kesehatan.
Dokumen tersebut membahas tentang kepercayaan kejawen dalam sudut pandang agama Islam. Secara ringkas, dibahas mengenai pengertian kepercayaan, ritual, dan kejawen. Kemudian pengaruh kepercayaan kejawen terhadap agama Islam khususnya, serta contoh praktik ritual kejawen di Pulau Jawa seperti ritual pada bulan Muharram.
Sejarah keberadaan islam di tanah jawaMuhamadRahul
油
Dokumen tersebut membahas sejarah masuk dan perkembangan Islam di Pulau Jawa. Islam mulai masuk ke Jawa pada abad ke-8 M melalui pedagang Gujarat dan Persia. Penyebarannya di Jawa dipimpin oleh Wali Songo pada abad ke-15-16 M melalui dakwah, pendidikan, dan penyerapan unsur budaya Jawa ke dalam Islam.
Dokumen tersebut membahas periode Jawa pra-Islam, meliputi masa pra-sejarah, Jawa/Kejawen, Hindu/Budha. Masa pra-sejarah dimulai sejak 3000 SM dan mata pencaharian penduduknya adalah pertanian dan peternakan. Pada masa Jawa/Kejawen berkembang kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian masuk pengaruh Hindu dan Budha sejak abad ke-1 M, diikuti berdirinya keraja
Kebudayaan Islam pada masa Pertengahan didominasi oleh tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Masing-masing kerajaan berjasa dalam mengembangkan seni, arsitektur, dan pendidikan Islam.
Agami Jawi adalah agama sinkretik Jawa yang menggabungkan unsur-unsur Islam, Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal Jawa. Agami Jawi lahir melalui proses panjang sinkretisme antara budaya Jawa dengan agama-agama yang masuk ke Jawa sejak abad ke-4. Meskipun penganutnya berkurang setelah puncaknya pada tahun 1960-an, unsur-unsur Agami Jawi masih mewarnai kehidupan keagamaan orang Jawa umumn
Tiga kalimat:
Pertama, analisis mengenai kasus Ahmadiyah berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang dari aqidah Islam karena mengangkat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kedua, Ahmadiyah juga dianggap menghina nabi-nabi sebelumnya dan memiliki kitab suci sendiri. Ketiga, Ahmadiyah mewajibkan iuran bagi pengikutnya yang dianggap melanggar sy
1. 1. ebudayaan Jawa masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa-Islam di
Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat
gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar
Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-
dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti
di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa,
yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.
Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-
doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak,
sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada
Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-
Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan
kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah
mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4)
mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya
kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot
dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub,
rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto,
1990: 144).
Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal
Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan
kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka tidak terbiasa
mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik
dengan ungkapan mereka: sedaya agami niku sae (semua agama itu baik). Ungkapan inilah
yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan,
terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya,
apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan
lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun
tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa
Ramadlan, zakat, dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313).
Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau
benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh
yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran
agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka
peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka
hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan
yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja
yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan
masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-
benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai
aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.
2. Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-
roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini
ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus
berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan
memberikan berbagai ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas
pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro
Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat
mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai
hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar
mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1995: 347).
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan
berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi
dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah,
masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat
tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.
Budaya Jawa dan Islam Kejawen
Penelitian Clifford Geertz (dalam Robertson, 1986: 182) membuktikan bahwa desa di Jawa
sama tuanya dengan orang Jawa. Evolusi desa di Jawa hingga mencapai bentuk seperti
sekarang ini pada masing-masing tahapnya telah ditata dan diekspresikan dengan suatu
sistem religius yang kurang lebih menyatu. Sebelum kedatangan agama Hindhu sekitar tahun
400 SM, tradisi keagamaan dari berbagai suku Melayu masih mengandung unsur-unsur
animisme. Setelah berabad-abad kemudian tradisi animisme di Jawa ini terbukti mampu
menyerap ke dalam unsur-unsur yang berasal dari Hindhu dan Islam yang datang belakangan
pada abad XV M. Jadi, menurut Geertz pada masa sekarang ini sistem keagamaan di
pedesaan Jawa pada umumnya terdiri dari suatu perpaduan yang seimbang dari unsur-unsur
animisme, Hindhu, dan Islam, suatu sinkretisme dasar yang merupakan tradisi rakyat yang
sesungguhnya, suatu substratum dasar dari peradabannya. Penelitian Geertz ini kemudian
memunculkan tiga golongan masyarakat Jawa, yaitu priyayi, santri, dan abangan yang
masing-masing mempunyai ciri-ciri keberagamaan yang berbeda.
Hasil temuan Geertz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagamaan masyarakat
Jawa, khususnya masyarakat Muslimnya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, ketika
masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang agama semakin mendalam,
mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme yang merupakan warisan dari
kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam dinamikanya dianggap sebagai budaya
yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain,
budaya yang berkembang di Jawa ikut mempengaruhi sikap keberagamaan masyarakatnya.
Sikap keberagamaan seperti ini tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga terjadi di
kalangan masyarakat kota, terutama kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan seperti
Yogyakarta, Solo (Surakarta), dan kota-kota lainnya. Dalam perkembangannya Yogyakarta
kemudian menjadi satu provinsi tersendiri di negara kita.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal
dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindhu-
Buddha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai
3. agama Islam (Koentjaraningrat, 1994: 312). Pada umumnya pemeluk agama ini adalah
masyarakat Muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena
adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen
sebenarnya bisa dikategorikan sebagai suatu budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam,
karena budaya ini masih menampilkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan ajaran
Islam, seperti percaya terhadap adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah Swt.
Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-
benda pusaka, dan makam para tokoh, yang dianggap dapat memberi berkah dalam
kehidupan seseorang.
Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam
kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam
kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur.
Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai
memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya (Koentjaraningrat,
1994: 105). Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada
masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-
makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon dan Jumah Kliwon untuk mencari
berkah.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-
hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai
budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari kenyataan
seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan
pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan. Mereka tidak pernah menganggap bahwa
kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin
yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar
baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain (Koentjaraningrat,
1994: 312).
Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa
yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan
yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu
mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial
yang sarat dengan nuansa keagamaan. Di Yogyakarta khususnya, momen Suran (peringatan
menyambut tahun baru Jawa yang sebenarnya juga merupakan tahun baru Islam) dan Mulud
(peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw.) dirayakan cukup meriah dengan berbagai
upacara keagamaan yang bernuansa kejawen. Dalam dua momen tersebut masyarakat Jawa,
terutama yang menganut Islam Kejawen (juga yang berasal dari penganut agama selain
Islam), secara rutin dan khidmat melakukan berbagai aktivitas yang bernuansa agama dan
budaya. Tradisi Suran banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah
dari Tuhan yang oleh masyarakat Yogyakarta disimbulkan Kanjeng Ratu Roro Kidul (Ratu
Pantai Selatan). Upacara besarnya diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta dan dipusatkan di
Parangkusuma (Parangtritis), yaitu di kawasan pantai selatan. Di tempat-tempat lain juga
dilakukan acara dengan model dan tujuan yang serupa. Mereka pada momen tersebut juga
mengadakan pentas seni dan budaya untuk menghibur masyarakat pada umumnya. Pada
momen Mulud masyarakat Yogyakarta mengadakan perayaan besar yang disebut Sekaten
yang dipusatkan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta. Perayaan ini juga bernuansa agama
dan budaya. Nuansa keagamaannya (khususnya Islam) terlihat pada acara Grebeg Mulud
yang bertepatan dengan peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw. yang dipusatkan di
4. Masjid Agung Kraton Ngayogyakarta dan alun-alun utara. Nuansa budaya juga tampak pada
acara Grebeg tersebut dengan banyaknya masyarakat yang berusaha mendapatkan berkah
dari perayaan tersebut, dan pada pentas seni serta Pasar Malam Sekaten yang berlangsung
selama kurang lebih empat puluh malam, mulai dari awal bulan Sapar dan berakhir pada
tanggal 12 Mulud.
Di samping dua momen besar tahunan tersebut masyarakat Jawa, terutama di Yogyakarta,
juga sering datang (berziarah) ke makam-makam (kuburan) yang dianggap suci (keramat)
pada malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon untuk mencari berkah. Di antara makam yang
sering menjadi tujuan utama dari aktivitas ziarah mereka adalah Makam Raja-raja atau
Makam Suci Imogiri dan makam-makam lain di Yogyakarta yang juga dianggap suci atau
keramat.
Perspektif Islam tentang Tradisi dan Budaya Jawa
Setelah dikaji secara singkat mengenai tradisi dan budaya Jawa dengan berbagai bentuknya
maka selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana tradisi dan budaya Jawa tersebut dalam
perspektif Islam. Sebelum mengkaji permasalahan ini lebih jauh, perlu dijelaskan secara
singkat karakteristik Islam yang memiliki ajaran yang sempurna, komprehensif, dan dinamis.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat keseluruhan
ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu dan memiliki
ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun.
Dengan kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk segala waktu dan tempat (shalihun
likulli zaman wa makan). Secara umum, ajaran-ajaran dasar Islam yang bersumberkan al-
Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu
aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah menyangkut ajaran-ajaran tentang keyakinan atau
keimanan; syariah menyangkut ajaran-ajaran tentang hukum-hukum yang terkait dengan
perbuatan orang mukallaf (orang Islam yang sudah dewasa); dan akhlak menyangkut ajaran-
ajaran tentang budi pekerti yang luhur (akhlak mulia). Ketiga kerangka dasar Islam ini
sebenarnya merupakan penjabaran dari beberapa ayat al-Quran (seperti QS. al-Nur (24): 55,
al-Tin (95): 6, dan al-Ashr (103): 3) dan satu hadis Nabi Muhammad Saw. yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Shahabat Umar bin Khaththab yang berisi tentang konsep
iman, islam, dan ihsan. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syariah merupakan
penjabaran dari konsep islam, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan.
Kedinamisan dan fleksibilitas Islam terlihat dalam ajaran-ajaran yang terkait dengan hukum
Islam (syariah). Hukum Islam mengatur dua bentuk hubungan, yaitu hubungan antara
manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antara manusia dengan sesamanya
(muamalah). Dalam bidang ibadah Allah dan Rasulullah sudah memberikan petunjuk yang
rinci, sehingga dalam bidang ini tidak bisa ditambah-tambah atau dikurangi, sementara dalam
bidang muamalah Allah dan Rasulullah hanya memberikan aturan yang global dan umum
yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh dan lebih rinci. Pada bidang yang
terakhir inilah dimungkinkan adanya pembaruan dan dinamika yang tinggi.
Dengan paparan singkat mengenai Islam di atas, maka dapat dijelaskan di sini bahwa masalah
tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang
aqidah dan syariah. Kalaupun ada yang terkait dengan bidang akhlak, hal itu tidak
dibicarakan dalam tulisan ini. Untuk melihat apakah tradisi dan budaya yang sudah mengakar
di tengah-tengah masyarakat Jawa itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, maka hal itu
5. dapat dikaji dengan mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan bidang
aqidah dan syariah. Sebab tradisi dan budaya Jawa seperti yang dijelaskan di atas
menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib
dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti
melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya
dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara.
Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat yang
memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua masyarakat Jawa meyakini
adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta serta yang
dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu
dicermati dalam hal ini adalah bagaimana mereka meyakini adanya Tuhan tersebut. Bagi
kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka
yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar.
Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa
bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan
(Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini
benda-benda tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka
seperti benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu
memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orang-orang
tertentu (dinamisme). Mereka juga meyakini ruh-ruh leluhur mereka memiliki kekuatan
ghaib, sehingga tidak jarang ruh-ruh mereka itu dimintai restu atau izin ketika mereka
melakukan sesuatu. Jelas sekali apa yang diyakini oleh masyarakat Jawa yang abangan ini
bertentangan dengan ajaran aqidah Islam yang mengharuskan meyakini Allah Yang Mahaesa.
Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah Swt. Orang yang meyakini ada tuhan
(yang seperti tuhan) selain Allah maka termasuk golongan orang-orang musyrik yang sangat
dibenci oleh Allah dan di akhirat kelak mereka diharamkan masuk ke surga dan tempatnya
yang paling layak adalah di neraka (QS. al-Maidah (5): 72). Perbuatan seperti itu dinamakan
perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah (QS. al-Nisa (4): 166).
Tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang lain yang perlu dikaji di sini adalah yang terkait
dengan perilaku-perilaku ritual mereka. Masyarakat Jawa yang abangan juga memiliki tradisi
ziarah ke makam orang-orang tertentu dengan tujuan untuk mencari berkah atau memohon
kepada para ruh leluhur atau orang yang dihormati agar memberikan dan mengabulkan apa
yang mereka minta. Mereka juga memiliki tradisi melakukan upacara-upacara keagamaan
(ritus) sebagai ungkapan persembahan mereka kepada Tuhan. Di antara tradisi yang terkait
dengan ritus ini adalah upacara labuhan di pantai Parang Kusuma, upacara ruwatan, upacara
kelahiran hingga kematian seseorang, upacara menyambut tahun baru Jawa yang sama
dengan tahun baru Islam, dan bentuk-bentuk upacara ritual lainnya. Acara-acara ritual yang
mereka lakukan seperti itu meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi
menempuh cara yang bertentangan dengan ajaran syariah Islam. Mereka meminta berkah atau
rizki kepada Tuhan tidak secara langsung, tetapi melalui perantara dan memakai sesaji.
Meminta berkah atau rizki kepada selain Allah jelas dilarang dan bertentangan dengan al-
Quran, karena tidak ada yang dapat memberikan berkah atau rizki kepada siapa pun selain
Allah (QS. al-Zumar (39): 52). Syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah mahdlah)
dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah atau dikurangi. Tatacara ibadah kepada Allah
ditetapkan dalam bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji yang didasari dengan iman (kesaksian
akan adanya Allah yang satu dan Muhammad sebagai Rasulullah). Semua bentuk ibadah ini
sudah diatur tatacaranya dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Segala bentuk amalan yang
6. bertentangan dengan cara-cara ibadah yang ditetapkan oleh al-Quran atau hadis disebut
bidah yang dilarang. Dengan demikian, apa yang selama ini dilakuan oleh masyarakat Jawa,
khususnya dalam masalah-masalah ritual seperti itu, jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Karena itu, hal ini sebenarnya harus diupayakan untuk ditinggalkan atau diluruskan
tatacaranya sehingga tidak lagi bertentangan dengan ajaran Islam.