Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 tahun sejak diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2001.
2) Terdapat berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah, dan aparat keamanan seperti TNI/POLRI dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
3) Kegagalan tersebut antara l
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Kubu Raya di Kalimantan Barat dari sebagian wilayah Kabupaten Pontianak meliputi 9 kecamatan. Ibu kota Kubu Raya berada di Sungai Raya. Urusan pemerintahan daerah Kubu Raya mencakup urusan wajib dan pilihan sesuai peraturan perundang-undangan. Penjabat Bupati Kubu Raya diangkat selama 1 tahun hingga terpilih Bupati definitif melalui pemilihan umum.
Undang-undang ini membentuk dua kabupaten baru di Kalimantan Selatan, yaitu Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan, dengan memisahkan wilayah dari Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Undang-undang ini mengatur batas wilayah, ibu kota, dan pengaturan pemerintahan sementara di dua kabupaten baru tersebut.
Undang-undang ini membentuk 3 kabupaten baru di Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Nias Selatan dari wilayah Kabupaten Nias, Kabupaten Pakpak Bharat dari wilayah Kabupaten Dairi, dan Kabupaten Humbang Hasundutan dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Undang-undang ini juga mengatur batas wilayah, ibu kota, dan kewenangan pemerintahan daerah dari ketiga kabupaten baru tersebut.
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Parigi Moutong yang terpisah dari Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Kabupaten baru ini terdiri dari 6 kecamatan yang sebelumnya masuk Kabupaten Donggala. Ibu kota Kabupaten Parigi Moutong berada di Parigi. Undang-undang ini juga mengatur ketentuan peralihan administrasi dan aset dari pemerintah provinsi dan Kabupaten Donggala ke Kabupaten Parigi Moutong.
Undang-undang ini membentuk Kota Tanjung Pinang dari sebagian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Kota Tanjung Pinang terdiri dari 4 kecamatan yaitu Tanjung Pinang Barat, Tanjung Pinang Kota, Tanjung Pinang Timur, dan Bukit Bestari. Undang-undang ini juga mengatur tentang batas wilayah, kewenangan, dan pemerintahan Kota Tanjung Pinang.
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri memberikan peringatan dan perintah kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari ajaran Islam serta memerintahkan masyarakat untuk menjaga kerukunan umat beragama dan ketertiban.
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau di Provinsi Kalimantan Barat dengan memisahkan wilayah dari Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sanggau. Undang-undang ini mengatur batas wilayah, ibu kota, kewenangan, dan pemerintahan di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau.
Undang-undang ini membentuk Propinsi Banten dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon. Propinsi Banten akan memiliki kewenangan sebagai daerah otonom dan pemerintahan daerahnya akan terdiri dari gubernur, dewan perwakilan rakyat daerah, dan perangkat pemerintahan propinsi. Ketentuan peralihan mengatur penyerahan a
Undang-undang ini membentuk Kota Bau-Bau di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan memisahkan 4 kecamatan dari Kabupaten Buton. Kota Bau-Bau diberi kewenangan sebagai daerah otonom dan akan memiliki pemerintahan sendiri berupa walikota, dewan perwakilan rakyat daerah, dan perangkat pemerintahan. Aturan ketentuan peralihan mengatur penyerahan aset, pegawai, dan anggaran untuk memastikan kelancaran pemerint
Undang-undang ini membentuk 5 kabupaten/kota baru di Provinsi Maluku Utara, yaitu Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan. Undang-undang ini juga mengatur batas wilayah dan ibu kota dari kelima kabupaten/kota baru tersebut.
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khususafifahdhaniyah
Ìý
Dokumen tersebut membahas tentang otonomi daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, termasuk pengertian otonomi daerah, daerah yang diberi otonomi khusus seperti DKI Jakarta dan Provinsi Papua, serta daerah istimewa seperti Aceh dan DIY. Juga dibahas mengenai perangkat daerah, DPRD, proses pemilihan kepala daerah, peraturan daerah, keuangan daerah, dan hubungan
Peraturan Daerah ini mengatur tentang Lembaga Kemasyarakatan Pekon di Kabupaten Tanggamus. Lembaga Kemasyarakatan Pekon dibentuk untuk membantu pemerintah pekon dalam memberdayakan masyarakat melalui perencanaan, pelaksanaan, pengendalian pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Lembaga tersebut antara lain meliputi TP PKK Pekon, LKMP, Karang Taruna, dan Lembaga Adat yang berperan sebag
UU ini mengatur otonomi khusus untuk Provinsi Papua dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah Papua dalam berbagai bidang kecuali politik luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan. UU ini juga mengatur tentang pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan daerah di Papua seperti DPRD, gubernur, dan MRP yang mewakili masyarakat adat Papua. Sel
Beberapa poin penting dalam dokumen tersebut adalah (1) ketidakkoherenan dan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah mengenai Papua, (2) lemahnya instrumen kebijakan pemerintah pusat di Papua, dan (3) perlunya peningkatan koherensi kebijakan, melibatkan tokoh masyarakat Papua, dan memperbaiki pelayanan publik.
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Parigi Moutong yang terpisah dari Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Kabupaten baru ini terdiri dari 6 kecamatan yang sebelumnya masuk Kabupaten Donggala. Ibu kota Kabupaten Parigi Moutong berada di Parigi. Undang-undang ini juga mengatur ketentuan peralihan administrasi dan aset dari pemerintah provinsi dan Kabupaten Donggala ke Kabupaten Parigi Moutong.
Undang-undang ini membentuk Kota Tanjung Pinang dari sebagian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Kota Tanjung Pinang terdiri dari 4 kecamatan yaitu Tanjung Pinang Barat, Tanjung Pinang Kota, Tanjung Pinang Timur, dan Bukit Bestari. Undang-undang ini juga mengatur tentang batas wilayah, kewenangan, dan pemerintahan Kota Tanjung Pinang.
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri memberikan peringatan dan perintah kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari ajaran Islam serta memerintahkan masyarakat untuk menjaga kerukunan umat beragama dan ketertiban.
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau di Provinsi Kalimantan Barat dengan memisahkan wilayah dari Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sanggau. Undang-undang ini mengatur batas wilayah, ibu kota, kewenangan, dan pemerintahan di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau.
Undang-undang ini membentuk Propinsi Banten dari wilayah Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon. Propinsi Banten akan memiliki kewenangan sebagai daerah otonom dan pemerintahan daerahnya akan terdiri dari gubernur, dewan perwakilan rakyat daerah, dan perangkat pemerintahan propinsi. Ketentuan peralihan mengatur penyerahan a
Undang-undang ini membentuk Kota Bau-Bau di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan memisahkan 4 kecamatan dari Kabupaten Buton. Kota Bau-Bau diberi kewenangan sebagai daerah otonom dan akan memiliki pemerintahan sendiri berupa walikota, dewan perwakilan rakyat daerah, dan perangkat pemerintahan. Aturan ketentuan peralihan mengatur penyerahan aset, pegawai, dan anggaran untuk memastikan kelancaran pemerint
Undang-undang ini membentuk 5 kabupaten/kota baru di Provinsi Maluku Utara, yaitu Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan. Undang-undang ini juga mengatur batas wilayah dan ibu kota dari kelima kabupaten/kota baru tersebut.
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khususafifahdhaniyah
Ìý
Dokumen tersebut membahas tentang otonomi daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, termasuk pengertian otonomi daerah, daerah yang diberi otonomi khusus seperti DKI Jakarta dan Provinsi Papua, serta daerah istimewa seperti Aceh dan DIY. Juga dibahas mengenai perangkat daerah, DPRD, proses pemilihan kepala daerah, peraturan daerah, keuangan daerah, dan hubungan
Peraturan Daerah ini mengatur tentang Lembaga Kemasyarakatan Pekon di Kabupaten Tanggamus. Lembaga Kemasyarakatan Pekon dibentuk untuk membantu pemerintah pekon dalam memberdayakan masyarakat melalui perencanaan, pelaksanaan, pengendalian pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Lembaga tersebut antara lain meliputi TP PKK Pekon, LKMP, Karang Taruna, dan Lembaga Adat yang berperan sebag
UU ini mengatur otonomi khusus untuk Provinsi Papua dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah Papua dalam berbagai bidang kecuali politik luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan. UU ini juga mengatur tentang pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan daerah di Papua seperti DPRD, gubernur, dan MRP yang mewakili masyarakat adat Papua. Sel
Beberapa poin penting dalam dokumen tersebut adalah (1) ketidakkoherenan dan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah mengenai Papua, (2) lemahnya instrumen kebijakan pemerintah pusat di Papua, dan (3) perlunya peningkatan koherensi kebijakan, melibatkan tokoh masyarakat Papua, dan memperbaiki pelayanan publik.
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Tojo Una-Una di Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 5,721.15 km2 dan terdiri atas 8 kecamatan. Kabupaten baru ini dibentuk untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di wilayah tersebut yang sebelumnya masuk dalam Kabupaten Poso. Undang-undang ini mengatur tentang batas wilayah, ibu kota, pengalihan
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Supiori yang terpisah dari Kabupaten Biak Numfor di Provinsi Papua berdasarkan aspirasi masyarakat untuk meningkatkan pelayanan. Kabupaten Supiori terdiri dari 3 distrik dari Kabupaten Biak Numfor dengan batas wilayah darat dan laut. Ibu kota Kabupaten Supiori berada di Sorendiweri.
Undang-undang ini membentuk Kabupaten Konawe Selatan yang terdiri dari 11 kecamatan yang berasal dari wilayah Kabupaten Kendari di Sulawesi Tenggara. Ibu kota Kabupaten Konawe Selatan berada di Andoolo. Undang-undang ini juga mengatur tentang pemerintahan sementara di Kabupaten Konawe Selatan hingga terpilihnya kepala daerah yang baru.
Peraturan Daerah ini mengatur tentang retribusi jasa umum yang dikenakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan atas pelayanan kesehatan dan tera serta tera ulang yang diberikan kepada masyarakat. Dokumen ini menjelaskan definisi istilah yang terkait dengan retribusi jasa umum, jenis pelayanan yang dikenakan retribusi, serta ketentuan pelaksanaan pemungutan retribusi.
No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...ppbkab
Ìý
Peraturan Daerah ini membentuk organisasi dan tata kerja Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Pakpak Bharat FM untuk meningkatkan pelayanan informasi kepada masyarakat setempat secara independen, netral, dan tidak komersial berdasarkan peraturan penyiaran yang berlaku.
Undang-undang ini menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun anggaran 2011, mencakup rencana keuangan tahunan pemerintah yang disetujui oleh DPR. Pendapatan negara berasal dari penerimaan perpajakan, PNBP, dan hibah, sedangkan belanja negara digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Dokumen tersebut menjelaskan tentang pembentukan tiga kabupaten baru di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003. Dokumen ini menjelaskan latar belakang pembentukan tiga kabupaten baru tersebut, batasan wilayahnya, dan ketentuan-ketentuan terkait pelaksanaan otonomi daerah di ketiga kabupaten
Bab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasionalandangkusuma
Ìý
Dokumen tersebut membahas tentang tata urutan peraturan perundangan di Indonesia berdasarkan UU No. 10 tahun 2004 dimana UUD 1945 merupakan yang tertinggi, diikuti undang-undang, perpu, perpres, perda provinsi dan kabupaten, serta proses pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari penyiapan RUU oleh DPR dan Presiden hingga penetapannya menjadi UU. Selain itu juga membahas mengenai korupsi dan upaya pem
Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. Pada masa ini, pemerintahan berupaya melakukan stabilisasi politik dan rehabilitasi ekonomi setelah masa transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pemerintah juga melakukan integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia. Di bidang politik terjadi penyimpangan demokrasi namun stabilitas tercapai, sementara di bidang ekon
1. KEGAGALAN PELAKSANAAN UU No. 21 TAHUN 2001 TENTANG
OTONOMI KHUSUS PAPUA 10 TAHUN DI TANAH PAPUA
Vincentsius Lokobal1
A. Sejarah Dasar Lahirnya Otonomi Khusus Papua
Sejarah lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua Merdeka mulai 1998 –
2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab utama yakni 1). Persolan sejarah
integrasi politik Papua, 2). Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggran
HAM terhadap rakyat Papua dan 3). Kegagalan pembangunan dalam bidang Pendidikan,
Kesehatan, Ekonomi dan Infrasktruktur. Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan
Merdeka tersebut melalui aksi damai kemudian memuncak pada tahun 1999 dengan tatap
muka 100 orang wakil Papua dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk
memyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).
Selanjutnya masyarakat Papua mengungkapkannya melalui Kongres Papua II pada tahun
2000.2
Sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat Papua tersebut Pemerintah dibawah
kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No.21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Papua sebagai kebijkan Nasional.3
Kebijakan otonomi
khusus merupakan jawaban pemerintah untuk meredusir berbagi persoalan yang muncul
sejak bergabungnya Provinsi Papua dalan NKRI beserta dinamika social dan politik
termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI yang sering diketahui sebagai
gerakan Papua Merdeka.
Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah pusat kepada
rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang Asli Papua ( dalam segala segi
pembangunan ) agar meminimalisir aspirasi politik orang Papua untuk keluar dari NKRI
dan aspirasi pelanggaran ( berat ) HAM Papua selama 40 – an Tahun ini. Berdasarkan
semangat itu, Otonomi Khusus Indentik dengan penyerahan semua kekuasaan
pemerintahan, kecuali 5 bidang pemerintahan menjadi tanggung – jawab Pemerintah
Pusat ( Pasal 4 ayat (1), UU No.21 Tahun 2001 ).
1
Sekjend Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ( PP PMKRI ).
2
Bdk. Agus Alua, Materi yang disampaikan dalam Kongres I, Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Se
– Tanah Papua ( ICAKAP ), Balai Sosial Kamkey, Abepura Jayapura Papua, tanggal 4 Maret 2009
3
Rakyat Papua menerima status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001, tepatnya 21 November
2001 melalui disahkannya UU No.21/2001
2. Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah
Provinsi harus mengambil kebijakan :
a) Kebijakan dan aksi keberpihakan ( affirmative policy and action ) terhadap orang
asli Papua.
b) Kebijakan dan aksi perlindungan ( protetive policy and action ) terhadap orang asli
Papua.
c) Kebijkan dan aksi pemberdayaan ( empowermental policy and action ) terhadap
orang asli Papua.
Inti dari ketiga bidang kebijakan tersebut adalah penetapan perdasus dan perdasi
substansial untuk keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli
Papua.
B. Fakta Kegagalan Pelaksanaan Otonomi Khusus 10 Tahun.4
Praktek pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dari tahun 2001 – 2011 tidak
berpolakan prinsip semangat dasar Otonomi Khusus Papua diatas sebagai implementasi
dari latar belakang pemberian Otonomi Khusus Papua sebagaimana yang telah
disampaikan diatas. Dana otonomi khusus lebih ditonjolkan sebagai substansi Otsus
dalam pelaksanaan Otonomi Khusus. Karena itu, pemerintah dan rakyat lebih mengejar
pemakaian dana otonomi khusus dari pada membuat kebijakan – kebijakan dasar diatas
supaya dana otsus dipakai berdasarkan penetapan perdasus dan perdasi substansial,
sehingga dapat menolong dan meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.
Selama 10 tahun implementasi Otsus di Papua, ada bengitu banyak pelanggaran
terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Pelanggaran – pelanggaran tersebut dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI. Pelanggaran – pelanggaran
tersebut dibuat dengan sadar dan sengaja maupun tidak sengaja.
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pada Bagian ini akan mengungkapkan fakta – fakta kegagalan Otsus Papua yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
1). Pemerintah Pusat
a) Tertundahnya pembentukan Lembaga Majelis Rakyat Papua ( MRP ),
sebagaiman diamanatkan oleh UU Otsus selambat – selambatnya 6 ( enam )
bulan UU Otsus ditetapkan, sementara PP No. 54 tentang Pembentukan MRP
baru dikeluarkan 23 Desember 2004.
4
Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah MRP dan Orang Asli Papua pada tanggal 9 -10 Juni
2010. Musyawarah ini dihadiri wakil orang Papua dari semua unsure ( Agama, Adat, Perempuan,
Pemuda, dsb ) yang ada ditanah Papua dan luar Papua. Hasil Musyawarah menyatakan bahwa
Otonomi Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan di Tanah Papua.
3. b) Inpres No. 1/Tahun 2003 ( tanggal : 27 Januari 2003 ) ditetapkan dan terbitkan
oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian Jaya Barat,
walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 Tahun 2001, dengan tujuan
untuk mengobrak – abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati
rakyat Papua.
c) Pemerintah Pusat lalai dan gagal melaksanakan keputusan Mahkama
Konstitusi ( MK ) tahun 2003, yang mewajibkan diterbitkannya undang –
undang tentang pemekaran tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (
sekarang Papua Barat ), yang paksakan pembentukannya oleh Pemerintah
Pusat.
d) Penetapan Undang – undang No 35 Tahun 2008, dalam rangka mengakomodir
Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahuin 2001, sebagai Provinsi dalam
Otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan
moncoret dan menambah tersebut melanggar UU No.21 Tahun 2001 kepada
rakyat Asli Papua. MRP sudah mengiongatkan Wapres Jusup Kalla dan
timnya tetapi nyatanya tidak diindahkan.
e) Diberlakukan dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota di daerah
Otonomi khusus di Tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU
No.32 Tahun 2004.
f) Tidak menerbitkan segera beberapa Peraturan Pemerintah ( PP ) yang
amanatkan didalam UU No.21 Tahun 2001, sebagai pelaksanaan UU Otsus
bagi Provinsi Papua.
g) Pencairan DANA OTSUS tiap tahun anggaran hamper selalu sebagian besar
dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara
efektif untuk menolong dan menyelamtkan orang asli Papua, selain dibagi –
bagi dengan laporan keuangan fiktif.
h) Tidak ada realisasi atas pembagian hasil SDA Papua untuk Papua dan Jakarta
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No.21 tahun 2001.
i) Penetapan PP No.77 tahun 2007 tentang larangan Bendera separatis dijadikan
sebagai bendera cultural. Ini bertentangan dengan amanat UU No.21 Tahun
2001, khususnya Pasal 2 ayat (2).
j) Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan Barisan Merah
Putih di Tanah Papua dan kegiatannya, sehingga lembaga Negara di daerah
seperti DPRP dan MRP keberadaan dan kegiatannya terganggu serta
kebijakannya dikontrol dan dikaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga
Negara yang Lebih tinggi.
k) Penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otonomi Khusus Papua versus
penerimaan usul Barisan Merah Putih atas 11 kursi Otsus yang sama oleh
Mahkama Konstitusi ( MK ) dengan mengkerdilkan lembaga MRP dan DPRP
dalam materi gugatannya. Hal ini menunjukan sikap Pemerintah Pusat
terhadap lembaga didaerah tidak diperhatikan dari pada organisasi ( milisi )
yang dibentuknya.
l) Politisasi SK.14/MRP/2009 sehingga SK yang bertolak dari amanat UU No.21
Tahun 2001 menjadi bola liar yang panas di permainkan oleh siapa saja dari
pusat dengan daerah. Sampai sekarang SK 14/MRP/2009 ditanggapi
Pemerintah Pusat penuh curiga dan pemerintah daerah tidak sepenuh hati.
Karena itu nasib SK 14/MRP/2009 sampai saat ini nampaknya terancam tidak
digunakan dalam pemilukada Kab/Kota di Tanah Papua.
4. m) Dalam implementasi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat lalai melakukan
fungsi supervise ( Bimbingan ) dan Intermediasi ( koordinasi antar institute )
bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua.
n) Pengangkatan Kapolda dan Kajati setelah diberlakukan UU Otsus Papua,
Pemerintah pusat tidak pernah memintah persetujuan dari Gubernur Papua,
berdasarkan amanat UU Otsus Papua Pasal 48 ayat (5), Pasal 52 ayat (2).
o) Pemerintah Pusat Gagal melakukan perubahan terhadap UU Otsus Papua,
dengan mengeluarkan UU No.35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU
Otsus Papua, tanpa meminta persetujuan oleh seluruh rakyat Papua melalui
DPRP dan MRP.
p) Pemerintah Pusat mendorong dan menetapkan terbentuknya pemekaran daerah
Otonom Baru Provinsi dan Kab/Kota di Tanah Papua yang semestinya
dilakukan melalui persetujuan MRP dan DPRP, berdasarkan amanat UU Otsus
pada Pasal 76.
q) Bidang Keuangan pemerintah Pusat tidak pernah transparan dalam hal
pembagian pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam, sesuai amanat UU
Otsus Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3).
r) Sepuluh tahun di berlakukan UU Otsus di Tanah Papua, Pemerintah Pusat dan
Daerah tidak pernah melakukan evaluasi, sesuai amanat UU Otsus pada Pasal
78.
s) Implementasi penerapan UU Otsus ini tidak dikawal oleh Presiden maupun
oleh Menteri
t) Segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, tak pernah
melibatkan rakyat Papua.
u) Pemerintah pusat tak pernah sosialisasi UU Otsus Papua pada tingkat internl
Departemen Pusat maupun Daerah.
v) Pemerintah Pusat tak pernah membuat norma – norma pengelolaan anggaran.
2). Pemerintah Daerah ( Provinsi )
Indikator yang menunjukan kegagalan pemerintah Provinsi dan Kab/Kota dalam
implementasi UU Otsus Papua bagi Provinsi Papua. Hal – hal tersebut adalah
sebagai berikut :
a) Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus
selama 7 Tahun Pelaksanaan Otsus Papua, kecuali Perdasi pembagian Dana
Otsus, Pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian dana
Dana Otsus ( yang tidak berfungsi sejak ditetapkan oleh DPRP ). Baru tahun 7
pelaksanaan Otsus ditetapkan 8 Perdasus pada September, Oktober, dan
November tahun 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua perdasi dan
perdasus tersebut belum dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan
pembagunan, sesuai amanat Otsus pada Pasal 75.
b) Tidak terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) dan
pengadilan HAM di Tanah Papua sesuai amanat UU No. 21 Tahun 2001 Pasal
45 dan 46 pemerintah belum menyentuhnya.
c) Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan kewenangan
khusud untuk kepebrpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang
asli Papua, sebagaiman yang diamanatkan dalam pasal 4 ( ayat 2 ), UU No. 21
Tahun 2001.
5. d) Pemerintah Provinsi lalai membentuk Komisi hukum Ad Hock, yang bertugas
melakukan sinkronisasi semua peraturan perundangan harus menyesuaikan
dengan UU Otsus, sesuai pasal 32 ayat (1) dan ( 2).
e) Pemerintah Provinsi lalai membentuk partai politik Lokal, sesuai pasal 28 UU
Otsus Papua.
f) Pemerintah daerah lalai membentuk perdasus tentang lambing dan symbol –
symbol cultural, pada pasal 2 UU Otsus.
g) Perubahan nomenkaltur DPRD menjadi DPRP sesuai amanat UU Otsus, abru
terjadi pada tanggal 22 Juni 2005 yang diputuskan dalam rapat paripurna
DPRD Provinsi Papua No.08/2005, berdasarkan persetujuan Mendagri
berdasarkan surat edaran Mendagri No. 161.81/1034/SG, tanggal 3 Mei 2005.
h) Pemerintah Provinsi gagal membentuk Peradilan Adat di Papua, Pasal 50 ayat
(2).
i) Pembentukan Majelis Rakyat Papua, baru dapat dilakukan berdasarkan
keputusan DPRP, melalui perdasi No.4 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pemilihan Anggota MRP, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2005.
j) Pemerintah Provinsi gagal membentuk perdasi tentang Pembinaan,
Pengawasan dan Pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi
Papua, sesuai pasal 61, ayat (1) UU Otsus Papua. Malahan, Pemerintah
Provinsi Papua Barat melakukan kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat
terkait penempatan transmigrasi ( Rabu, 10 Februari 2010 vivanews).
k) Pemerintah Provinsi lalai membina, melindungi hak – hak masyarakat Papua
secara bermartabat sebagai mitra Pemerintah, sesuai Pasal 47.
l) Pemerintah provinsi Papua gagal bahkan tidak melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap implementasi UU Otsus Papua selama kurang lebih 10
tahun ini.
m) Rekruitmen calon Pengawai Negeri Sipil di Provinsi dan Kab/Kota belum di
prioritaskan terhadap orang Asli Papua, sebagaiman diamanatkan dalm Pasal
62, UU Otsus Papua, tetapi semakin dibanjiri dan penuhi oleh orang – orang
non Papua yang tidak jelas latar belakang hidupnya. Orang Papua sendiri
tersingkir diatas kampong dan tanah warisan leluhurnya sendiri.
n) Pemerintah Provinsi gagal dan lalai melakukan perlindungan terhadap pelaku
bisnis orang Asli Papua sesuai mandate Otsus Papua.
o) Pemerintah Provinsi tidak melakukan Restrukturisasi, Refungsionalisasi, dan
Revitalisasi sesuai UU Otsus Papua.
p) Pemerintah Provinsi melakukan manajemen Pemerintahan yang tidak optimal
dalam ( Kepemimpinan, Perencanaan, Implementasi )
6. 2. Pendekatan Militer dan Pelanggaran HAM
Sekalipun Papua telah menjadi Daerah Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun ini,
namun realitas yang alami oleh masyarakat Asli Papua, tidak mengalami perubahan
signifikan justru sebaliknya masyarakat sipil Papua masih terus menjadi korban aparat
keamanan ( TNI dan POLRI ). Sebagai contoh kasus : Pemebunuhan dan Penculikan
Bapak Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles
Masoka yang terjadi setelah sebulan diberlakukan UU Otsus Papua.
Kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dibanyak tempat dengan berbagai modus dan
bentuk baru. Beberapa bukti kongkrit pelanggaran HAM di era OTSUS pada Tahun
2006 – 2008 :5
1. Pembunuhan dan penculikan Bpk. Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan
penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka.
2. Peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Pada peristiw ini aparat keamanan
dari Brimob Kepolisian Daerah Papua telah melakukan penyisiran terhadap
warga sipil sehingga banyak yang kehilangan nyawa, keluarga dan tempat
tinggalnya.
3. Berimbas dari pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya 4 April
2003 maka aparat keamanan melakukan penyisiran disejumlah kampung di
Wamena sampai di kampung Kuyawage. Akibatnya banyak masyarakat
menjadi korban.
4. Peristiwa penyisiran dan operasi Puncak Jaya berdarah pada tahun 2004.
Masyarakat meninggal karena ditembak, ada juga meninggal ditempat
pengungsian. Banyak masyarakat kehilangan keluarga dan tempat tinggal
mereka.
5. Abepura berdarah 10 Mei 2005, saat masa melakukan aksi untuk
dibebaskannya Yusak Pakage dan Philip Karma di depan Pengadilan Negeri
Abepura. Sebagai tanggapan atas aksi tersebut, aparat Kepolisian secara paksa
membubarkan masa sehingga banyak menjadi korban. Beberapa demonstran
disuntik (diduga beracun) pada bagian kepala. Akibatnya sampai saat ini ada
yang sarafnya terganggu.
6. Timika berdarah atas INRES No. 01 thn 2003, tentang Provinsi Irian Jaya
Barat dan Irian Jaya Tengah membuat masyarakat pro dan kontra (devide et
Impera) menewaskan 6 korban warga sipil.
7. Peristiwa pemukulan oleh Aparat kepolisian Resort Jayawijaya terhadap Obet
Kossay di Kampung Wesaput-distrik Wamena Kota pada pertengahan Januari
2006. Korban dipukul di dalam kamarnya setelah pintu di kunci.
8. Peristiwa penembakan terhadap Moses Douw (meninggal dunia) dan beberapa
warga sipil menjadi korban di Wahgete pertengahan Januari 2006
9. Penembakan oleh Aparat Kepolisian Resort Mimika terhadap, Yulianus Murip
(kena tembakan peluruh pada bagian kepalah), Yohanes Wakerwa (kena
tembakan persis dibagian perut) Melianus Murip dan Yohanes Tipagau. Pelurh
yang keluarkan 150 buah.
10. Penangkapan kerja sama antara Aparat keamanan dengan FBI terhadap 12
warga sipil di di Timika pada awal Januari 2006.
5
Laporan Pelanggaran HAM oleh Aparat TNI/Polri kepada masyarakat Asli Papua, Pada Tahun 2006
- 2008
7. 11. Meningalnya Sodema Huby dan Paulus Mokarineak Kosay dan beberapa
warga kena luka tembak oleh Aparat Brimob dan Kepolisian Resort
Jayawijaya di kediaman mantan Bupati Jayawijaya pada 13-14 Mei 2006.
12. Meninggalnya Yesaya Hisage karena ditembak oleh Aparat Brimob
Kepolisian Daerah Papua pada 18 Maret 2007. Dan penyisiran pasca Abepura
Berdarah 16 Maret 2006 dimana Asrama Mahasiswa (Asrama Nayak,
Ninming, Nabire, Kerit, asrama mahasiswa Tolikara, Puncak Jaya, Timika,
Yahukimo, asrama mahasiswa Universitas Cendrawasih) di hancurkan dan
satu perumahan di bakar. Penyisiran difokuskan terhadap Mahasiswa
Pegunungan Tengah Papua sehingga banyak mahasiswa yang lari ke hutan dan
tinggalkan asrama/kampus.
13. Meninggalnya Hardi Sugumol (narapinada kasus mile 62 Timika) di dalam
tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 1 Desember 2006.
14. Penyisiran dan pembunuhan di Puncak Jaya pasca penembakan anggota
Kopasus dan Purnawirawan TNI pada Desember 2006
15. Kamis Malam, tanggal 14 Mei beberapa anggota Koramil Kurima menyiksa
seorang pemuda; rendam dalam got, ikat kaki dan tangan lapis dengan tiang
bendera, membakar dengan lilin pada lida dan kemaluan, jepit dengan tang di
jari kaki dan biji kemaluan. Korban di rawat secara itensif di rumah sakit.
16. Pada hari Kamis 18 July, 300 lebih masyarakat adat dari Kampung Tablasupa,
Yaru, Sebron, keracunan makanan yang disiapkan oleh petugas.
17. 20 July 2007, aparat kepolisian membawa 3 pemuda yang sedang minum-
minuman beralkohol dari rumah mereka. Sesampai di polsek mereka
melakukan penyiksaan yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 2
lainnya dirawat secara itensif di rumah sakit.
18. Pada 2 Agustus 2007, penembakan oleh TNI Angkatan Laut terhadap Wemi
Gombo. Korban luka kritis pada lengan kiri dan di rawat di RSUD Dok II,
Jayapura.
19. Pada 3 Augutus 2007, Soleman Wandikbo disiksa oleh anggota Polres
Jayawijaya sampai meninggal di ruang sel Polres Jayawijaya.
20. Penembakan terhadap Opinus Tabuni oleh Aparat Keamanan pada 9 Agustus
2008, di Lapangan Sinapup Wamena.
Karena begitu banyak peristiwa ketidakadilan yang selalu terjadi di pelosok
pedalaman, pegunungan, pesisir pantai, lembah dan rawa-rawa, diperbukitan,
lereng gunung yang penuh salyu abadi maka hampir mustahil saya akan merekam
dan membukannya pada lembaran ini. Namun saya jakin pasti suatu kelak akan
terekam dan tercatat dengan baik semua isap tangis rakyat. Mereka hanya
merindukan, keadilan, perdamaian dan kebebasan. Semoga Sang Khalik dapat
mendengarkan-Nya.
8. 3. Rendahnya Tingkat Kesejahteeraan Untuk Orang Asli Papua.
Bidang Kesehatan
Keadaan kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001 – 2009. Waupun
penerapan Otonomi Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun, persoalan
kesehatan di Papua masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan hasil survei
kematian Ibu pada Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang seharusnya
hidup di Papua. Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan 7.150 bayi yang
meninggal. Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita
yang hidup dan terdapat 3.751 balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni
64/1000 kelahiran hidup. ( Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan
di Papua, 2005 ).
Kasus HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah
Papua adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat
yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa :
1). Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang
terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV : 2.181 Orang, sedangkan AIDS 1.773
Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari
kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang Asli Papua.
Dari sisi pengalokasian anggaran Kesehatan yang tertuang dalam dokumen APBD
Provinsi Papua selama 10 ( sepuluh ) tahun selalu menggambarkan ketidak adilan dan
justru menyalahi aturan. Katakanlah hasil analisis APBD Provinsi Papua, untuk
anggaran sektor Kesehatan tahun 2009 sebesar Rp.295,29 miliar ( 5,74 % dari APBD
dan 11,31 % dari dana Otsus ). Dari sisi presentase, belum memenuhi standar amanah
Otsus utk mendanai biaya kesehatan dan juga sesuai dengan standar WHO ( World
Health Organization ), yang menetapkan anggaran Kesehatan 15 % dari APBD
maupun dari Otsus Papua.
Bidang Pendidikan
Hasil Analisis ICS, tentang APBD Provinsi Papua tahun 2009 menyebutkan bahwa
alokasi anggaran penddikan Provinsi Papua tahun 2009 sebesar Rp 242,06 M. Jumlah
ini serata dengan 4,71 % dari APBD atau 9,28 % dari dana Otsus. Jioka
menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003, dan PP No. 48/2008 yang
menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBD, anggaran
pendidikan Papua Tahun 2009 ini seharusnya minimal sebesar Rp 1,03 Triliun.
Apabila menggunakan Perda No. 5/2006 dengan ketentuan 30 % dari dana Otsus,
anggaran pendidikan Papua pada APBD tahun 2009 paling sedikit sebesar Rp. 782,94
Miliar. Hal ini sama dengan dokumen APBD tahun – tahun sebelumnya.
9. Beberapa bidang juga mengalami serupa, seperti, Bidang Ekonomi, Pengkaplingan
dan Eksploritasi sumber daya Alam, Marjinalisasi dan diskriminasi dll.
" Kalimat yang muncul menghormati hak – hak adat, setrelah dihormati apa tindak
lanjutnya, apakah masyarakat adat hanya butuh penghormatan, apakah masyarakat
adat makan penghormatan?, kalimat selanjutnya memberikan kepastian hukum
kepada pengusaha dan elit politik, lalu dimana kepastian hukum bagi masyarakat
adat pemilik sumber daya alam sebagai titipan leluhur ? apa diabaikan ? atau di
anggap hilang?, selanjutnya prinsip – prinsip pelestarian lingkungan ditetapkan
dalam perdasus, masyarakat pemilik ulayat adat hanya dihormati lalu hartanya
diambil tanpa imbalan seperti pencuri lalu pergi meninggalkan pemilik yang bingung
karena hartanya hilang di depan matanya dan lebih tragis lagi Ia mengetahui siapa
yang mengambil hartanya"
Apakah yang kita harus lakukan ? untuk mengurangi keterpurukan dan ketersisihan
masyarakat asli Papua di Negerinya adalah :
1. Mengamandemen UU No.21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua.
2. Memisahkan dana dalam rangka otonomisasi khusus dari APBD, dengan kata lain
dana dalam rangka otonomisasi khusus harusnya merupakan dana terpisah dari
APBD, dimana Dana Otsus di kelola oleh Gubernur dan Bupati/Walikota yang
dikontrol oleh MRP yang penggunaannya khusus untuk orang asli Papua,
sedangkan dana APBD merupakan merupakan dana belanja pemerintahan daerah
yang tetap dikontrol oleh DPRP.
3. Kita semestinya berpikir lebih arif lagi untuk merencanakan pemekaran, apa nilai
dan arti pemekaran bagi masyarakat asli Papua, apakah pemekaran memberikan
kesejahteraan atau menimbulkan konflik sosial baru, lebih – lebih apakah
pemekaran dapat menjawab kebutuhan masyarakat atau masrakat asli Papua
hanya menjadi penonton, perlu di ingat bahwa dana daerah akan habis
dibelanjakan dalam rangka pembentukan infrastruktur.
4. Depopulasi Orang asli Papua
Banyak pihak telah dengan serius mengungkapkan bahaya berkurangnya
jumlah penduduk Oarang asli Papua atau ancaman menuju kepunahan etnis
Papua, bila dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhi pertumbuhan
pemduduk Papua lebih besar ditentukan oleg arus migrasi dari luar Papua (
masuknya pendatang ), bukan akibat pertambahan penduduk karena kelahiran
hidup, khususnya dikalangan orang asli Papua. Program transmigrasi terencana
sudah lama dilakukan di tanah Papua dengan kapal laut maupun pesawat terbang,
merupakan faktor penentu angka perttumbuhan poenduduk Papua yang berkisar 5
% tiap tahunnya. Sebuah artikel dari Dr. Jim Elmslie dibahwa menggambarkan
fakta yang terjadi tanah tercinta Papua.
10. Tabel : Analisa Perubahan kependudukan di Tanah Papua.
Tahun Jumlah Penduduk Total
Penduduk
%
Comparison
Annual Growht Rate
Papua Non Papua Papua Non
Papua
Papua Non Papua
1971 887.000 36,000. 923,000.0096% 4%
1990 1,215,897 414,210. 1,630,107 75% 25%
2005 1,558,795 1,087,694 2,646,489 59% 41% 1,67% 10,5%
2011 1,700,000.1,980,000 3,680,000 47% 55%
2020 1,956,400.4,743,600 6,700,000 29,2%70,8%
2030 2.371.200 13.228.80015.600.00015,2%84,80%
Source : Demographic Desaster in West Papua, Dr.Jim Elmslie.
Dengan demikian penambahan penduduk tidak formal terus meningkat di tanah
Papua sementara rakyat asli Papua semakin minoritas di atas tanahnya sendiri.
Jumlah populasi penduduk Papua secara menyeluruh 2,5 juta jiwa yang terdiri dari
1,3 orang asli Papua dan 1,2 juta bukan asli Papua. Keterangan grafik diatas
bahwa terjadi penurunan yang signifikan untuk pribumi Papua pada kurun waktu
tahun 1971 – 2005 ( 96 % menjadi 59 % ), sebaliknya terjadi kenaikan yang
signifikan untuk penduduk non Papua pada kurun yang sama ( 4 % menjadi 41 %
).
C. SOLUSI
Bertolak dari sejarah dan fakta kegagalan Otonomi khusus Papua sebagaimana uraian
diatas, maka kami memberi solusi yang mesti dilakukan Pemerintah dan Orang Papua
guna mengakhiri berbagi persoalan di tanah Papua sebagai berikut :
1. Dilakaukan evaluasi secara konfrensif dan menyeluruh atas pelaksanaan Otsus Papua
selama 10 Tahun ( 2001 – 2011 ). Evaluasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak
yakni Pemerintah Pusat dan Orang Papua yang menyatakan Otsus gagal. Dalam
evaluasi pemerintah maupun orang Papua mengindentifikasi penyebab yang
menghambat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 tahun ini.
2. Setelah dilakukan Evaluasi oleh masing – masing pihak Jakarta dan Papua kemudian
guna mencari solusi yang tepat dan bijak dalam penyelesaian Otonomi Khusus Papua
secara spesifik dan persoalan Papua lainnya secara menyeluruh dan tuntas mutlak
dilakukannya dialog antara Pemerintah dengan masyarakat Papua yang menyatakan
Pelaksanaan Otonomi Khusus GAGAL dilaksanakan di Tanah Papua.
11. D. PENUTUP
Merujuk pada fakta dan pengalaman kami selama 10 tahun, pelaksanaan Otonomi Khusus
di Tanah Papua gagal dilaksanakan. Pelaku utama kegagalan Otonomi Khusus Papua
ialah Pemerintah ( Pusat dan Daerah ) sendiri. Sementara posisi rakyat Papua hanya
sebagai penonton sekaligus menerima dampaknya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah hampir semuanya bertolak belakang dengan semangat dan jiwa Otonomi
Khusus itu sendiri.
Demikian pokok pikiran ini dapat disampikan. Kiranya berguna bagi semua pihak dalam
melihat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun.
Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan keperluan akan pembaharuan memaksa kita untuk
berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran kita sendiri dengan
keinginan dan pikiran orang lain.
(Uskup Rudolf Staverman ofm, November 1967)