ºÝºÝߣ

ºÝºÝߣShare a Scribd company logo
KEGAGALAN PELAKSANAAN UU No. 21 TAHUN 2001 TENTANG
OTONOMI KHUSUS PAPUA 10 TAHUN DI TANAH PAPUA
Vincentsius Lokobal1
A. Sejarah Dasar Lahirnya Otonomi Khusus Papua
Sejarah lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua Merdeka mulai 1998 –
2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab utama yakni 1). Persolan sejarah
integrasi politik Papua, 2). Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggran
HAM terhadap rakyat Papua dan 3). Kegagalan pembangunan dalam bidang Pendidikan,
Kesehatan, Ekonomi dan Infrasktruktur. Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan
Merdeka tersebut melalui aksi damai kemudian memuncak pada tahun 1999 dengan tatap
muka 100 orang wakil Papua dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk
memyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).
Selanjutnya masyarakat Papua mengungkapkannya melalui Kongres Papua II pada tahun
2000.2
Sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat Papua tersebut Pemerintah dibawah
kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No.21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Papua sebagai kebijkan Nasional.3
Kebijakan otonomi
khusus merupakan jawaban pemerintah untuk meredusir berbagi persoalan yang muncul
sejak bergabungnya Provinsi Papua dalan NKRI beserta dinamika social dan politik
termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI yang sering diketahui sebagai
gerakan Papua Merdeka.
Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah pusat kepada
rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang Asli Papua ( dalam segala segi
pembangunan ) agar meminimalisir aspirasi politik orang Papua untuk keluar dari NKRI
dan aspirasi pelanggaran ( berat ) HAM Papua selama 40 – an Tahun ini. Berdasarkan
semangat itu, Otonomi Khusus Indentik dengan penyerahan semua kekuasaan
pemerintahan, kecuali 5 bidang pemerintahan menjadi tanggung – jawab Pemerintah
Pusat ( Pasal 4 ayat (1), UU No.21 Tahun 2001 ).
1
Sekjend Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ( PP PMKRI ).
2
Bdk. Agus Alua, Materi yang disampaikan dalam Kongres I, Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Se
– Tanah Papua ( ICAKAP ), Balai Sosial Kamkey, Abepura Jayapura Papua, tanggal 4 Maret 2009
3
Rakyat Papua menerima status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001, tepatnya 21 November
2001 melalui disahkannya UU No.21/2001
Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah
Provinsi harus mengambil kebijakan :
a) Kebijakan dan aksi keberpihakan ( affirmative policy and action ) terhadap orang
asli Papua.
b) Kebijakan dan aksi perlindungan ( protetive policy and action ) terhadap orang asli
Papua.
c) Kebijkan dan aksi pemberdayaan ( empowermental policy and action ) terhadap
orang asli Papua.
Inti dari ketiga bidang kebijakan tersebut adalah penetapan perdasus dan perdasi
substansial untuk keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli
Papua.
B. Fakta Kegagalan Pelaksanaan Otonomi Khusus 10 Tahun.4
Praktek pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dari tahun 2001 – 2011 tidak
berpolakan prinsip semangat dasar Otonomi Khusus Papua diatas sebagai implementasi
dari latar belakang pemberian Otonomi Khusus Papua sebagaimana yang telah
disampaikan diatas. Dana otonomi khusus lebih ditonjolkan sebagai substansi Otsus
dalam pelaksanaan Otonomi Khusus. Karena itu, pemerintah dan rakyat lebih mengejar
pemakaian dana otonomi khusus dari pada membuat kebijakan – kebijakan dasar diatas
supaya dana otsus dipakai berdasarkan penetapan perdasus dan perdasi substansial,
sehingga dapat menolong dan meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.
Selama 10 tahun implementasi Otsus di Papua, ada bengitu banyak pelanggaran
terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Pelanggaran – pelanggaran tersebut dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI. Pelanggaran – pelanggaran
tersebut dibuat dengan sadar dan sengaja maupun tidak sengaja.
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pada Bagian ini akan mengungkapkan fakta – fakta kegagalan Otsus Papua yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
1). Pemerintah Pusat
a) Tertundahnya pembentukan Lembaga Majelis Rakyat Papua ( MRP ),
sebagaiman diamanatkan oleh UU Otsus selambat – selambatnya 6 ( enam )
bulan UU Otsus ditetapkan, sementara PP No. 54 tentang Pembentukan MRP
baru dikeluarkan 23 Desember 2004.
4
Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah MRP dan Orang Asli Papua pada tanggal 9 -10 Juni
2010. Musyawarah ini dihadiri wakil orang Papua dari semua unsure ( Agama, Adat, Perempuan,
Pemuda, dsb ) yang ada ditanah Papua dan luar Papua. Hasil Musyawarah menyatakan bahwa
Otonomi Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan di Tanah Papua.
b) Inpres No. 1/Tahun 2003 ( tanggal : 27 Januari 2003 ) ditetapkan dan terbitkan
oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian Jaya Barat,
walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 Tahun 2001, dengan tujuan
untuk mengobrak – abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati
rakyat Papua.
c) Pemerintah Pusat lalai dan gagal melaksanakan keputusan Mahkama
Konstitusi ( MK ) tahun 2003, yang mewajibkan diterbitkannya undang –
undang tentang pemekaran tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (
sekarang Papua Barat ), yang paksakan pembentukannya oleh Pemerintah
Pusat.
d) Penetapan Undang – undang No 35 Tahun 2008, dalam rangka mengakomodir
Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahuin 2001, sebagai Provinsi dalam
Otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan
moncoret dan menambah tersebut melanggar UU No.21 Tahun 2001 kepada
rakyat Asli Papua. MRP sudah mengiongatkan Wapres Jusup Kalla dan
timnya tetapi nyatanya tidak diindahkan.
e) Diberlakukan dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota di daerah
Otonomi khusus di Tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU
No.32 Tahun 2004.
f) Tidak menerbitkan segera beberapa Peraturan Pemerintah ( PP ) yang
amanatkan didalam UU No.21 Tahun 2001, sebagai pelaksanaan UU Otsus
bagi Provinsi Papua.
g) Pencairan DANA OTSUS tiap tahun anggaran hamper selalu sebagian besar
dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara
efektif untuk menolong dan menyelamtkan orang asli Papua, selain dibagi –
bagi dengan laporan keuangan fiktif.
h) Tidak ada realisasi atas pembagian hasil SDA Papua untuk Papua dan Jakarta
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No.21 tahun 2001.
i) Penetapan PP No.77 tahun 2007 tentang larangan Bendera separatis dijadikan
sebagai bendera cultural. Ini bertentangan dengan amanat UU No.21 Tahun
2001, khususnya Pasal 2 ayat (2).
j) Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan Barisan Merah
Putih di Tanah Papua dan kegiatannya, sehingga lembaga Negara di daerah
seperti DPRP dan MRP keberadaan dan kegiatannya terganggu serta
kebijakannya dikontrol dan dikaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga
Negara yang Lebih tinggi.
k) Penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otonomi Khusus Papua versus
penerimaan usul Barisan Merah Putih atas 11 kursi Otsus yang sama oleh
Mahkama Konstitusi ( MK ) dengan mengkerdilkan lembaga MRP dan DPRP
dalam materi gugatannya. Hal ini menunjukan sikap Pemerintah Pusat
terhadap lembaga didaerah tidak diperhatikan dari pada organisasi ( milisi )
yang dibentuknya.
l) Politisasi SK.14/MRP/2009 sehingga SK yang bertolak dari amanat UU No.21
Tahun 2001 menjadi bola liar yang panas di permainkan oleh siapa saja dari
pusat dengan daerah. Sampai sekarang SK 14/MRP/2009 ditanggapi
Pemerintah Pusat penuh curiga dan pemerintah daerah tidak sepenuh hati.
Karena itu nasib SK 14/MRP/2009 sampai saat ini nampaknya terancam tidak
digunakan dalam pemilukada Kab/Kota di Tanah Papua.
m) Dalam implementasi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat lalai melakukan
fungsi supervise ( Bimbingan ) dan Intermediasi ( koordinasi antar institute )
bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua.
n) Pengangkatan Kapolda dan Kajati setelah diberlakukan UU Otsus Papua,
Pemerintah pusat tidak pernah memintah persetujuan dari Gubernur Papua,
berdasarkan amanat UU Otsus Papua Pasal 48 ayat (5), Pasal 52 ayat (2).
o) Pemerintah Pusat Gagal melakukan perubahan terhadap UU Otsus Papua,
dengan mengeluarkan UU No.35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU
Otsus Papua, tanpa meminta persetujuan oleh seluruh rakyat Papua melalui
DPRP dan MRP.
p) Pemerintah Pusat mendorong dan menetapkan terbentuknya pemekaran daerah
Otonom Baru Provinsi dan Kab/Kota di Tanah Papua yang semestinya
dilakukan melalui persetujuan MRP dan DPRP, berdasarkan amanat UU Otsus
pada Pasal 76.
q) Bidang Keuangan pemerintah Pusat tidak pernah transparan dalam hal
pembagian pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam, sesuai amanat UU
Otsus Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3).
r) Sepuluh tahun di berlakukan UU Otsus di Tanah Papua, Pemerintah Pusat dan
Daerah tidak pernah melakukan evaluasi, sesuai amanat UU Otsus pada Pasal
78.
s) Implementasi penerapan UU Otsus ini tidak dikawal oleh Presiden maupun
oleh Menteri
t) Segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, tak pernah
melibatkan rakyat Papua.
u) Pemerintah pusat tak pernah sosialisasi UU Otsus Papua pada tingkat internl
Departemen Pusat maupun Daerah.
v) Pemerintah Pusat tak pernah membuat norma – norma pengelolaan anggaran.
2). Pemerintah Daerah ( Provinsi )
Indikator yang menunjukan kegagalan pemerintah Provinsi dan Kab/Kota dalam
implementasi UU Otsus Papua bagi Provinsi Papua. Hal – hal tersebut adalah
sebagai berikut :
a) Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus
selama 7 Tahun Pelaksanaan Otsus Papua, kecuali Perdasi pembagian Dana
Otsus, Pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian dana
Dana Otsus ( yang tidak berfungsi sejak ditetapkan oleh DPRP ). Baru tahun 7
pelaksanaan Otsus ditetapkan 8 Perdasus pada September, Oktober, dan
November tahun 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua perdasi dan
perdasus tersebut belum dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan
pembagunan, sesuai amanat Otsus pada Pasal 75.
b) Tidak terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) dan
pengadilan HAM di Tanah Papua sesuai amanat UU No. 21 Tahun 2001 Pasal
45 dan 46 pemerintah belum menyentuhnya.
c) Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan kewenangan
khusud untuk kepebrpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang
asli Papua, sebagaiman yang diamanatkan dalam pasal 4 ( ayat 2 ), UU No. 21
Tahun 2001.
d) Pemerintah Provinsi lalai membentuk Komisi hukum Ad Hock, yang bertugas
melakukan sinkronisasi semua peraturan perundangan harus menyesuaikan
dengan UU Otsus, sesuai pasal 32 ayat (1) dan ( 2).
e) Pemerintah Provinsi lalai membentuk partai politik Lokal, sesuai pasal 28 UU
Otsus Papua.
f) Pemerintah daerah lalai membentuk perdasus tentang lambing dan symbol –
symbol cultural, pada pasal 2 UU Otsus.
g) Perubahan nomenkaltur DPRD menjadi DPRP sesuai amanat UU Otsus, abru
terjadi pada tanggal 22 Juni 2005 yang diputuskan dalam rapat paripurna
DPRD Provinsi Papua No.08/2005, berdasarkan persetujuan Mendagri
berdasarkan surat edaran Mendagri No. 161.81/1034/SG, tanggal 3 Mei 2005.
h) Pemerintah Provinsi gagal membentuk Peradilan Adat di Papua, Pasal 50 ayat
(2).
i) Pembentukan Majelis Rakyat Papua, baru dapat dilakukan berdasarkan
keputusan DPRP, melalui perdasi No.4 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pemilihan Anggota MRP, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2005.
j) Pemerintah Provinsi gagal membentuk perdasi tentang Pembinaan,
Pengawasan dan Pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi
Papua, sesuai pasal 61, ayat (1) UU Otsus Papua. Malahan, Pemerintah
Provinsi Papua Barat melakukan kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat
terkait penempatan transmigrasi ( Rabu, 10 Februari 2010 vivanews).
k) Pemerintah Provinsi lalai membina, melindungi hak – hak masyarakat Papua
secara bermartabat sebagai mitra Pemerintah, sesuai Pasal 47.
l) Pemerintah provinsi Papua gagal bahkan tidak melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap implementasi UU Otsus Papua selama kurang lebih 10
tahun ini.
m) Rekruitmen calon Pengawai Negeri Sipil di Provinsi dan Kab/Kota belum di
prioritaskan terhadap orang Asli Papua, sebagaiman diamanatkan dalm Pasal
62, UU Otsus Papua, tetapi semakin dibanjiri dan penuhi oleh orang – orang
non Papua yang tidak jelas latar belakang hidupnya. Orang Papua sendiri
tersingkir diatas kampong dan tanah warisan leluhurnya sendiri.
n) Pemerintah Provinsi gagal dan lalai melakukan perlindungan terhadap pelaku
bisnis orang Asli Papua sesuai mandate Otsus Papua.
o) Pemerintah Provinsi tidak melakukan Restrukturisasi, Refungsionalisasi, dan
Revitalisasi sesuai UU Otsus Papua.
p) Pemerintah Provinsi melakukan manajemen Pemerintahan yang tidak optimal
dalam ( Kepemimpinan, Perencanaan, Implementasi )
2. Pendekatan Militer dan Pelanggaran HAM
Sekalipun Papua telah menjadi Daerah Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun ini,
namun realitas yang alami oleh masyarakat Asli Papua, tidak mengalami perubahan
signifikan justru sebaliknya masyarakat sipil Papua masih terus menjadi korban aparat
keamanan ( TNI dan POLRI ). Sebagai contoh kasus : Pemebunuhan dan Penculikan
Bapak Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles
Masoka yang terjadi setelah sebulan diberlakukan UU Otsus Papua.
Kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dibanyak tempat dengan berbagai modus dan
bentuk baru. Beberapa bukti kongkrit pelanggaran HAM di era OTSUS pada Tahun
2006 – 2008 :5
1. Pembunuhan dan penculikan Bpk. Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan
penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka.
2. Peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Pada peristiw ini aparat keamanan
dari Brimob Kepolisian Daerah Papua telah melakukan penyisiran terhadap
warga sipil sehingga banyak yang kehilangan nyawa, keluarga dan tempat
tinggalnya.
3. Berimbas dari pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya 4 April
2003 maka aparat keamanan melakukan penyisiran disejumlah kampung di
Wamena sampai di kampung Kuyawage. Akibatnya banyak masyarakat
menjadi korban.
4. Peristiwa penyisiran dan operasi Puncak Jaya berdarah pada tahun 2004.
Masyarakat meninggal karena ditembak, ada juga meninggal ditempat
pengungsian. Banyak masyarakat kehilangan keluarga dan tempat tinggal
mereka.
5. Abepura berdarah 10 Mei 2005, saat masa melakukan aksi untuk
dibebaskannya Yusak Pakage dan Philip Karma di depan Pengadilan Negeri
Abepura. Sebagai tanggapan atas aksi tersebut, aparat Kepolisian secara paksa
membubarkan masa sehingga banyak menjadi korban. Beberapa demonstran
disuntik (diduga beracun) pada bagian kepala. Akibatnya sampai saat ini ada
yang sarafnya terganggu.
6. Timika berdarah atas INRES No. 01 thn 2003, tentang Provinsi Irian Jaya
Barat dan Irian Jaya Tengah membuat masyarakat pro dan kontra (devide et
Impera) menewaskan 6 korban warga sipil.
7. Peristiwa pemukulan oleh Aparat kepolisian Resort Jayawijaya terhadap Obet
Kossay di Kampung Wesaput-distrik Wamena Kota pada pertengahan Januari
2006. Korban dipukul di dalam kamarnya setelah pintu di kunci.
8. Peristiwa penembakan terhadap Moses Douw (meninggal dunia) dan beberapa
warga sipil menjadi korban di Wahgete pertengahan Januari 2006
9. Penembakan oleh Aparat Kepolisian Resort Mimika terhadap, Yulianus Murip
(kena tembakan peluruh pada bagian kepalah), Yohanes Wakerwa (kena
tembakan persis dibagian perut) Melianus Murip dan Yohanes Tipagau. Pelurh
yang keluarkan 150 buah.
10. Penangkapan kerja sama antara Aparat keamanan dengan FBI terhadap 12
warga sipil di di Timika pada awal Januari 2006.
5
Laporan Pelanggaran HAM oleh Aparat TNI/Polri kepada masyarakat Asli Papua, Pada Tahun 2006
- 2008
11. Meningalnya Sodema Huby dan Paulus Mokarineak Kosay dan beberapa
warga kena luka tembak oleh Aparat Brimob dan Kepolisian Resort
Jayawijaya di kediaman mantan Bupati Jayawijaya pada 13-14 Mei 2006.
12. Meninggalnya Yesaya Hisage karena ditembak oleh Aparat Brimob
Kepolisian Daerah Papua pada 18 Maret 2007. Dan penyisiran pasca Abepura
Berdarah 16 Maret 2006 dimana Asrama Mahasiswa (Asrama Nayak,
Ninming, Nabire, Kerit, asrama mahasiswa Tolikara, Puncak Jaya, Timika,
Yahukimo, asrama mahasiswa Universitas Cendrawasih) di hancurkan dan
satu perumahan di bakar. Penyisiran difokuskan terhadap Mahasiswa
Pegunungan Tengah Papua sehingga banyak mahasiswa yang lari ke hutan dan
tinggalkan asrama/kampus.
13. Meninggalnya Hardi Sugumol (narapinada kasus mile 62 Timika) di dalam
tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 1 Desember 2006.
14. Penyisiran dan pembunuhan di Puncak Jaya pasca penembakan anggota
Kopasus dan Purnawirawan TNI pada Desember 2006
15. Kamis Malam, tanggal 14 Mei beberapa anggota Koramil Kurima menyiksa
seorang pemuda; rendam dalam got, ikat kaki dan tangan lapis dengan tiang
bendera, membakar dengan lilin pada lida dan kemaluan, jepit dengan tang di
jari kaki dan biji kemaluan. Korban di rawat secara itensif di rumah sakit.
16. Pada hari Kamis 18 July, 300 lebih masyarakat adat dari Kampung Tablasupa,
Yaru, Sebron, keracunan makanan yang disiapkan oleh petugas.
17. 20 July 2007, aparat kepolisian membawa 3 pemuda yang sedang minum-
minuman beralkohol dari rumah mereka. Sesampai di polsek mereka
melakukan penyiksaan yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 2
lainnya dirawat secara itensif di rumah sakit.
18. Pada 2 Agustus 2007, penembakan oleh TNI Angkatan Laut terhadap Wemi
Gombo. Korban luka kritis pada lengan kiri dan di rawat di RSUD Dok II,
Jayapura.
19. Pada 3 Augutus 2007, Soleman Wandikbo disiksa oleh anggota Polres
Jayawijaya sampai meninggal di ruang sel Polres Jayawijaya.
20. Penembakan terhadap Opinus Tabuni oleh Aparat Keamanan pada 9 Agustus
2008, di Lapangan Sinapup Wamena.
Karena begitu banyak peristiwa ketidakadilan yang selalu terjadi di pelosok
pedalaman, pegunungan, pesisir pantai, lembah dan rawa-rawa, diperbukitan,
lereng gunung yang penuh salyu abadi maka hampir mustahil saya akan merekam
dan membukannya pada lembaran ini. Namun saya jakin pasti suatu kelak akan
terekam dan tercatat dengan baik semua isap tangis rakyat. Mereka hanya
merindukan, keadilan, perdamaian dan kebebasan. Semoga Sang Khalik dapat
mendengarkan-Nya.
3. Rendahnya Tingkat Kesejahteeraan Untuk Orang Asli Papua.
Bidang Kesehatan
Keadaan kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001 – 2009. Waupun
penerapan Otonomi Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun, persoalan
kesehatan di Papua masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan hasil survei
kematian Ibu pada Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang seharusnya
hidup di Papua. Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan 7.150 bayi yang
meninggal. Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita
yang hidup dan terdapat 3.751 balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni
64/1000 kelahiran hidup. ( Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan
di Papua, 2005 ).
Kasus HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah
Papua adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat
yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa :
1). Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang
terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV : 2.181 Orang, sedangkan AIDS 1.773
Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari
kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang Asli Papua.
Dari sisi pengalokasian anggaran Kesehatan yang tertuang dalam dokumen APBD
Provinsi Papua selama 10 ( sepuluh ) tahun selalu menggambarkan ketidak adilan dan
justru menyalahi aturan. Katakanlah hasil analisis APBD Provinsi Papua, untuk
anggaran sektor Kesehatan tahun 2009 sebesar Rp.295,29 miliar ( 5,74 % dari APBD
dan 11,31 % dari dana Otsus ). Dari sisi presentase, belum memenuhi standar amanah
Otsus utk mendanai biaya kesehatan dan juga sesuai dengan standar WHO ( World
Health Organization ), yang menetapkan anggaran Kesehatan 15 % dari APBD
maupun dari Otsus Papua.
Bidang Pendidikan
Hasil Analisis ICS, tentang APBD Provinsi Papua tahun 2009 menyebutkan bahwa
alokasi anggaran penddikan Provinsi Papua tahun 2009 sebesar Rp 242,06 M. Jumlah
ini serata dengan 4,71 % dari APBD atau 9,28 % dari dana Otsus. Jioka
menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003, dan PP No. 48/2008 yang
menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBD, anggaran
pendidikan Papua Tahun 2009 ini seharusnya minimal sebesar Rp 1,03 Triliun.
Apabila menggunakan Perda No. 5/2006 dengan ketentuan 30 % dari dana Otsus,
anggaran pendidikan Papua pada APBD tahun 2009 paling sedikit sebesar Rp. 782,94
Miliar. Hal ini sama dengan dokumen APBD tahun – tahun sebelumnya.
Beberapa bidang juga mengalami serupa, seperti, Bidang Ekonomi, Pengkaplingan
dan Eksploritasi sumber daya Alam, Marjinalisasi dan diskriminasi dll.
" Kalimat yang muncul menghormati hak – hak adat, setrelah dihormati apa tindak
lanjutnya, apakah masyarakat adat hanya butuh penghormatan, apakah masyarakat
adat makan penghormatan?, kalimat selanjutnya memberikan kepastian hukum
kepada pengusaha dan elit politik, lalu dimana kepastian hukum bagi masyarakat
adat pemilik sumber daya alam sebagai titipan leluhur ? apa diabaikan ? atau di
anggap hilang?, selanjutnya prinsip – prinsip pelestarian lingkungan ditetapkan
dalam perdasus, masyarakat pemilik ulayat adat hanya dihormati lalu hartanya
diambil tanpa imbalan seperti pencuri lalu pergi meninggalkan pemilik yang bingung
karena hartanya hilang di depan matanya dan lebih tragis lagi Ia mengetahui siapa
yang mengambil hartanya"
Apakah yang kita harus lakukan ? untuk mengurangi keterpurukan dan ketersisihan
masyarakat asli Papua di Negerinya adalah :
1. Mengamandemen UU No.21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua.
2. Memisahkan dana dalam rangka otonomisasi khusus dari APBD, dengan kata lain
dana dalam rangka otonomisasi khusus harusnya merupakan dana terpisah dari
APBD, dimana Dana Otsus di kelola oleh Gubernur dan Bupati/Walikota yang
dikontrol oleh MRP yang penggunaannya khusus untuk orang asli Papua,
sedangkan dana APBD merupakan merupakan dana belanja pemerintahan daerah
yang tetap dikontrol oleh DPRP.
3. Kita semestinya berpikir lebih arif lagi untuk merencanakan pemekaran, apa nilai
dan arti pemekaran bagi masyarakat asli Papua, apakah pemekaran memberikan
kesejahteraan atau menimbulkan konflik sosial baru, lebih – lebih apakah
pemekaran dapat menjawab kebutuhan masyarakat atau masrakat asli Papua
hanya menjadi penonton, perlu di ingat bahwa dana daerah akan habis
dibelanjakan dalam rangka pembentukan infrastruktur.
4. Depopulasi Orang asli Papua
Banyak pihak telah dengan serius mengungkapkan bahaya berkurangnya
jumlah penduduk Oarang asli Papua atau ancaman menuju kepunahan etnis
Papua, bila dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhi pertumbuhan
pemduduk Papua lebih besar ditentukan oleg arus migrasi dari luar Papua (
masuknya pendatang ), bukan akibat pertambahan penduduk karena kelahiran
hidup, khususnya dikalangan orang asli Papua. Program transmigrasi terencana
sudah lama dilakukan di tanah Papua dengan kapal laut maupun pesawat terbang,
merupakan faktor penentu angka perttumbuhan poenduduk Papua yang berkisar 5
% tiap tahunnya. Sebuah artikel dari Dr. Jim Elmslie dibahwa menggambarkan
fakta yang terjadi tanah tercinta Papua.
Tabel : Analisa Perubahan kependudukan di Tanah Papua.
Tahun Jumlah Penduduk Total
Penduduk
%
Comparison
Annual Growht Rate
Papua Non Papua Papua Non
Papua
Papua Non Papua
1971 887.000 36,000. 923,000.0096% 4%
1990 1,215,897 414,210. 1,630,107 75% 25%
2005 1,558,795 1,087,694 2,646,489 59% 41% 1,67% 10,5%
2011 1,700,000.1,980,000 3,680,000 47% 55%
2020 1,956,400.4,743,600 6,700,000 29,2%70,8%
2030 2.371.200 13.228.80015.600.00015,2%84,80%
Source : Demographic Desaster in West Papua, Dr.Jim Elmslie.
Dengan demikian penambahan penduduk tidak formal terus meningkat di tanah
Papua sementara rakyat asli Papua semakin minoritas di atas tanahnya sendiri.
Jumlah populasi penduduk Papua secara menyeluruh 2,5 juta jiwa yang terdiri dari
1,3 orang asli Papua dan 1,2 juta bukan asli Papua. Keterangan grafik diatas
bahwa terjadi penurunan yang signifikan untuk pribumi Papua pada kurun waktu
tahun 1971 – 2005 ( 96 % menjadi 59 % ), sebaliknya terjadi kenaikan yang
signifikan untuk penduduk non Papua pada kurun yang sama ( 4 % menjadi 41 %
).
C. SOLUSI
Bertolak dari sejarah dan fakta kegagalan Otonomi khusus Papua sebagaimana uraian
diatas, maka kami memberi solusi yang mesti dilakukan Pemerintah dan Orang Papua
guna mengakhiri berbagi persoalan di tanah Papua sebagai berikut :
1. Dilakaukan evaluasi secara konfrensif dan menyeluruh atas pelaksanaan Otsus Papua
selama 10 Tahun ( 2001 – 2011 ). Evaluasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak
yakni Pemerintah Pusat dan Orang Papua yang menyatakan Otsus gagal. Dalam
evaluasi pemerintah maupun orang Papua mengindentifikasi penyebab yang
menghambat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 tahun ini.
2. Setelah dilakukan Evaluasi oleh masing – masing pihak Jakarta dan Papua kemudian
guna mencari solusi yang tepat dan bijak dalam penyelesaian Otonomi Khusus Papua
secara spesifik dan persoalan Papua lainnya secara menyeluruh dan tuntas mutlak
dilakukannya dialog antara Pemerintah dengan masyarakat Papua yang menyatakan
Pelaksanaan Otonomi Khusus GAGAL dilaksanakan di Tanah Papua.
D. PENUTUP
Merujuk pada fakta dan pengalaman kami selama 10 tahun, pelaksanaan Otonomi Khusus
di Tanah Papua gagal dilaksanakan. Pelaku utama kegagalan Otonomi Khusus Papua
ialah Pemerintah ( Pusat dan Daerah ) sendiri. Sementara posisi rakyat Papua hanya
sebagai penonton sekaligus menerima dampaknya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah hampir semuanya bertolak belakang dengan semangat dan jiwa Otonomi
Khusus itu sendiri.
Demikian pokok pikiran ini dapat disampikan. Kiranya berguna bagi semua pihak dalam
melihat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun.
Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan keperluan akan pembaharuan memaksa kita untuk
berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran kita sendiri dengan
keinginan dan pikiran orang lain.
(Uskup Rudolf Staverman ofm, November 1967)

More Related Content

What's hot (20)

Uu 10 2002
Uu 10 2002Uu 10 2002
Uu 10 2002
People Power
Ìý
Uu 05 2001
Uu 05 2001Uu 05 2001
Uu 05 2001
People Power
Ìý
Analisis perbuatan pemerintah
Analisis perbuatan pemerintahAnalisis perbuatan pemerintah
Analisis perbuatan pemerintah
Lisa SYP
Ìý
Uu 34 2003
Uu 34 2003Uu 34 2003
Uu 34 2003
People Power
Ìý
Uu 23 2000
Uu 23 2000Uu 23 2000
Uu 23 2000
People Power
Ìý
Uu 13 2001
Uu 13 2001Uu 13 2001
Uu 13 2001
People Power
Ìý
Uu 01 2003
Uu 01 2003Uu 01 2003
Uu 01 2003
People Power
Ìý
Uu no.32-2004
Uu no.32-2004Uu no.32-2004
Uu no.32-2004
Pradana Collection
Ìý
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi KhususDaerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus
afifahdhaniyah
Ìý
Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah
Pembagian Urusan Pemerintahan DaerahPembagian Urusan Pemerintahan Daerah
Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah
Siti Sahati
Ìý
Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...
Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...
Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
Ìý
No 6-thn-2007
No 6-thn-2007No 6-thn-2007
No 6-thn-2007
Rully Istiawan
Ìý
Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014
Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014
Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014
Aksi SETAPAK
Ìý
Analisis perbuatan pemerintah
Analisis perbuatan pemerintahAnalisis perbuatan pemerintah
Analisis perbuatan pemerintah
Lisa SYP
Ìý
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi KhususDaerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus
Daerah Khusus, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus
afifahdhaniyah
Ìý
Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah
Pembagian Urusan Pemerintahan DaerahPembagian Urusan Pemerintahan Daerah
Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah
Siti Sahati
Ìý
Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...
Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...
Kebijakan dan Mekanisme Pelaksanaan UU no. 23/2014 tentang Pemda terkait Dese...
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
Ìý
Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014
Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014
Dirjen otda-kemendagri-implementasi-uu-23-tahun-2014
Aksi SETAPAK
Ìý

Similar to Kegagalan Pelaksanaan - UU NO 21 Tahun 20011 (20)

UU 21 tahun 2001
UU 21 tahun 2001UU 21 tahun 2001
UU 21 tahun 2001
Nova Bleskadit
Ìý
2623054
26230542623054
2623054
Transmission Music Group
Ìý
Garami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptx
Garami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptxGarami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptx
Garami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptx
lukman25390
Ìý
Bahan tata naskah dinas
Bahan tata naskah dinasBahan tata naskah dinas
Bahan tata naskah dinas
Ilham Ismail
Ìý
Uu 32 2003 Pjls+L
Uu 32 2003 Pjls+LUu 32 2003 Pjls+L
Uu 32 2003 Pjls+L
People Power
Ìý
Konsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan Rakyat
Konsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan RakyatKonsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan Rakyat
Konsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan Rakyat
Oswar Mungkasa
Ìý
MATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptx
MATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptxMATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptx
MATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptx
MiftahFaridl14
Ìý
Uu 35 2003
Uu 35 2003Uu 35 2003
Uu 35 2003
People Power
Ìý
Uu 04 2003
Uu 04 2003Uu 04 2003
Uu 04 2003
People Power
Ìý
Perda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu bara
Perda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu baraPerda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu bara
Perda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu bara
Arifuddin Ali
Ìý
P sulsel 9_2011
P sulsel 9_2011P sulsel 9_2011
P sulsel 9_2011
Dottoro Izhie
Ìý
No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...
No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...
No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...
ppbkab
Ìý
Prinsip dan azas pkn
Prinsip dan azas pknPrinsip dan azas pkn
Prinsip dan azas pkn
Srie Maryati
Ìý
RUU APBN 2011
RUU APBN 2011RUU APBN 2011
RUU APBN 2011
Badan Kebijakan Fiskal
Ìý
Uu 29 2003 Pjls
Uu 29 2003 PjlsUu 29 2003 Pjls
Uu 29 2003 Pjls
People Power
Ìý
Bab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasional
Bab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasionalBab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasional
Bab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasional
andangkusuma
Ìý
TUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptx
TUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptxTUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptx
TUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptx
nurulallizzwell1
Ìý
Pertemuan 3
Pertemuan 3Pertemuan 3
Pertemuan 3
Mia Amelia
Ìý
Uud 1945
Uud 1945Uud 1945
Uud 1945
Ariani Ghomaisha
Ìý
UU 21 tahun 2001
UU 21 tahun 2001UU 21 tahun 2001
UU 21 tahun 2001
Nova Bleskadit
Ìý
Garami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptx
Garami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptxGarami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptx
Garami Sutrisno (Komisi I DPR RI) Materi-Presentasi-KIP-30april2015 (1).pptx
lukman25390
Ìý
Bahan tata naskah dinas
Bahan tata naskah dinasBahan tata naskah dinas
Bahan tata naskah dinas
Ilham Ismail
Ìý
Uu 32 2003 Pjls+L
Uu 32 2003 Pjls+LUu 32 2003 Pjls+L
Uu 32 2003 Pjls+L
People Power
Ìý
Konsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan Rakyat
Konsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan RakyatKonsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan Rakyat
Konsep Dekonsentrasi Lingkup Perumahan Rakyat
Oswar Mungkasa
Ìý
MATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptx
MATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptxMATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptx
MATERI PENYELENGGARAAN PENYIARAN ANDRI S. PERMANA.pptx
MiftahFaridl14
Ìý
Perda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu bara
Perda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu baraPerda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu bara
Perda n0-4-2011-usaha pertambangan mineral dan batu bara
Arifuddin Ali
Ìý
P sulsel 9_2011
P sulsel 9_2011P sulsel 9_2011
P sulsel 9_2011
Dottoro Izhie
Ìý
No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...
No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...
No. 15 ttg pembentukan org dan tata kerja lembaga penyiaran publik lokal radi...
ppbkab
Ìý
Prinsip dan azas pkn
Prinsip dan azas pknPrinsip dan azas pkn
Prinsip dan azas pkn
Srie Maryati
Ìý
Uu 29 2003 Pjls
Uu 29 2003 PjlsUu 29 2003 Pjls
Uu 29 2003 Pjls
People Power
Ìý
Bab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasional
Bab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasionalBab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasional
Bab 3. ketaatan terhadap perundang undangan nasional
andangkusuma
Ìý
TUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptx
TUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptxTUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptx
TUGAS PPKN KELOMPOK 2 TERBARU.pptx
nurulallizzwell1
Ìý
Pertemuan 3
Pertemuan 3Pertemuan 3
Pertemuan 3
Mia Amelia
Ìý

Kegagalan Pelaksanaan - UU NO 21 Tahun 20011

  • 1. KEGAGALAN PELAKSANAAN UU No. 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS PAPUA 10 TAHUN DI TANAH PAPUA Vincentsius Lokobal1 A. Sejarah Dasar Lahirnya Otonomi Khusus Papua Sejarah lahirnya UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua disebabkan oleh desakan rakyat Papua dengan tuntutan Papua Merdeka mulai 1998 – 2000. Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab utama yakni 1). Persolan sejarah integrasi politik Papua, 2). Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan pelanggran HAM terhadap rakyat Papua dan 3). Kegagalan pembangunan dalam bidang Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrasktruktur. Masyarakat Papua menyampaikan tuntutan Merdeka tersebut melalui aksi damai kemudian memuncak pada tahun 1999 dengan tatap muka 100 orang wakil Papua dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Negara untuk memyampaikan Papua ingin keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Selanjutnya masyarakat Papua mengungkapkannya melalui Kongres Papua II pada tahun 2000.2 Sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat Papua tersebut Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua sebagai kebijkan Nasional.3 Kebijakan otonomi khusus merupakan jawaban pemerintah untuk meredusir berbagi persoalan yang muncul sejak bergabungnya Provinsi Papua dalan NKRI beserta dinamika social dan politik termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari NKRI yang sering diketahui sebagai gerakan Papua Merdeka. Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah pusat kepada rakyat Papua adalah meningkatkan kesejahteraan orang Asli Papua ( dalam segala segi pembangunan ) agar meminimalisir aspirasi politik orang Papua untuk keluar dari NKRI dan aspirasi pelanggaran ( berat ) HAM Papua selama 40 – an Tahun ini. Berdasarkan semangat itu, Otonomi Khusus Indentik dengan penyerahan semua kekuasaan pemerintahan, kecuali 5 bidang pemerintahan menjadi tanggung – jawab Pemerintah Pusat ( Pasal 4 ayat (1), UU No.21 Tahun 2001 ). 1 Sekjend Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ( PP PMKRI ). 2 Bdk. Agus Alua, Materi yang disampaikan dalam Kongres I, Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Se – Tanah Papua ( ICAKAP ), Balai Sosial Kamkey, Abepura Jayapura Papua, tanggal 4 Maret 2009 3 Rakyat Papua menerima status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001, tepatnya 21 November 2001 melalui disahkannya UU No.21/2001
  • 2. Maka program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah Provinsi harus mengambil kebijakan : a) Kebijakan dan aksi keberpihakan ( affirmative policy and action ) terhadap orang asli Papua. b) Kebijakan dan aksi perlindungan ( protetive policy and action ) terhadap orang asli Papua. c) Kebijkan dan aksi pemberdayaan ( empowermental policy and action ) terhadap orang asli Papua. Inti dari ketiga bidang kebijakan tersebut adalah penetapan perdasus dan perdasi substansial untuk keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua. B. Fakta Kegagalan Pelaksanaan Otonomi Khusus 10 Tahun.4 Praktek pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dari tahun 2001 – 2011 tidak berpolakan prinsip semangat dasar Otonomi Khusus Papua diatas sebagai implementasi dari latar belakang pemberian Otonomi Khusus Papua sebagaimana yang telah disampaikan diatas. Dana otonomi khusus lebih ditonjolkan sebagai substansi Otsus dalam pelaksanaan Otonomi Khusus. Karena itu, pemerintah dan rakyat lebih mengejar pemakaian dana otonomi khusus dari pada membuat kebijakan – kebijakan dasar diatas supaya dana otsus dipakai berdasarkan penetapan perdasus dan perdasi substansial, sehingga dapat menolong dan meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Selama 10 tahun implementasi Otsus di Papua, ada bengitu banyak pelanggaran terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Pelanggaran – pelanggaran tersebut dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI. Pelanggaran – pelanggaran tersebut dibuat dengan sadar dan sengaja maupun tidak sengaja. 1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada Bagian ini akan mengungkapkan fakta – fakta kegagalan Otsus Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. 1). Pemerintah Pusat a) Tertundahnya pembentukan Lembaga Majelis Rakyat Papua ( MRP ), sebagaiman diamanatkan oleh UU Otsus selambat – selambatnya 6 ( enam ) bulan UU Otsus ditetapkan, sementara PP No. 54 tentang Pembentukan MRP baru dikeluarkan 23 Desember 2004. 4 Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah MRP dan Orang Asli Papua pada tanggal 9 -10 Juni 2010. Musyawarah ini dihadiri wakil orang Papua dari semua unsure ( Agama, Adat, Perempuan, Pemuda, dsb ) yang ada ditanah Papua dan luar Papua. Hasil Musyawarah menyatakan bahwa Otonomi Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan di Tanah Papua.
  • 3. b) Inpres No. 1/Tahun 2003 ( tanggal : 27 Januari 2003 ) ditetapkan dan terbitkan oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian Jaya Barat, walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 Tahun 2001, dengan tujuan untuk mengobrak – abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental dalam hati rakyat Papua. c) Pemerintah Pusat lalai dan gagal melaksanakan keputusan Mahkama Konstitusi ( MK ) tahun 2003, yang mewajibkan diterbitkannya undang – undang tentang pemekaran tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat ( sekarang Papua Barat ), yang paksakan pembentukannya oleh Pemerintah Pusat. d) Penetapan Undang – undang No 35 Tahun 2008, dalam rangka mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahuin 2001, sebagai Provinsi dalam Otsus dengan cara mencoret dan menambahkan. Cara mengakomodir dengan moncoret dan menambah tersebut melanggar UU No.21 Tahun 2001 kepada rakyat Asli Papua. MRP sudah mengiongatkan Wapres Jusup Kalla dan timnya tetapi nyatanya tidak diindahkan. e) Diberlakukan dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota di daerah Otonomi khusus di Tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU No.32 Tahun 2004. f) Tidak menerbitkan segera beberapa Peraturan Pemerintah ( PP ) yang amanatkan didalam UU No.21 Tahun 2001, sebagai pelaksanaan UU Otsus bagi Provinsi Papua. g) Pencairan DANA OTSUS tiap tahun anggaran hamper selalu sebagian besar dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara efektif untuk menolong dan menyelamtkan orang asli Papua, selain dibagi – bagi dengan laporan keuangan fiktif. h) Tidak ada realisasi atas pembagian hasil SDA Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU No.21 tahun 2001. i) Penetapan PP No.77 tahun 2007 tentang larangan Bendera separatis dijadikan sebagai bendera cultural. Ini bertentangan dengan amanat UU No.21 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 ayat (2). j) Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan Barisan Merah Putih di Tanah Papua dan kegiatannya, sehingga lembaga Negara di daerah seperti DPRP dan MRP keberadaan dan kegiatannya terganggu serta kebijakannya dikontrol dan dikaunter oleh masyarakat, bukan oleh lembaga Negara yang Lebih tinggi. k) Penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otonomi Khusus Papua versus penerimaan usul Barisan Merah Putih atas 11 kursi Otsus yang sama oleh Mahkama Konstitusi ( MK ) dengan mengkerdilkan lembaga MRP dan DPRP dalam materi gugatannya. Hal ini menunjukan sikap Pemerintah Pusat terhadap lembaga didaerah tidak diperhatikan dari pada organisasi ( milisi ) yang dibentuknya. l) Politisasi SK.14/MRP/2009 sehingga SK yang bertolak dari amanat UU No.21 Tahun 2001 menjadi bola liar yang panas di permainkan oleh siapa saja dari pusat dengan daerah. Sampai sekarang SK 14/MRP/2009 ditanggapi Pemerintah Pusat penuh curiga dan pemerintah daerah tidak sepenuh hati. Karena itu nasib SK 14/MRP/2009 sampai saat ini nampaknya terancam tidak digunakan dalam pemilukada Kab/Kota di Tanah Papua.
  • 4. m) Dalam implementasi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat lalai melakukan fungsi supervise ( Bimbingan ) dan Intermediasi ( koordinasi antar institute ) bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam pelaksanaan UU Otsus Papua. n) Pengangkatan Kapolda dan Kajati setelah diberlakukan UU Otsus Papua, Pemerintah pusat tidak pernah memintah persetujuan dari Gubernur Papua, berdasarkan amanat UU Otsus Papua Pasal 48 ayat (5), Pasal 52 ayat (2). o) Pemerintah Pusat Gagal melakukan perubahan terhadap UU Otsus Papua, dengan mengeluarkan UU No.35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU Otsus Papua, tanpa meminta persetujuan oleh seluruh rakyat Papua melalui DPRP dan MRP. p) Pemerintah Pusat mendorong dan menetapkan terbentuknya pemekaran daerah Otonom Baru Provinsi dan Kab/Kota di Tanah Papua yang semestinya dilakukan melalui persetujuan MRP dan DPRP, berdasarkan amanat UU Otsus pada Pasal 76. q) Bidang Keuangan pemerintah Pusat tidak pernah transparan dalam hal pembagian pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam, sesuai amanat UU Otsus Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3). r) Sepuluh tahun di berlakukan UU Otsus di Tanah Papua, Pemerintah Pusat dan Daerah tidak pernah melakukan evaluasi, sesuai amanat UU Otsus pada Pasal 78. s) Implementasi penerapan UU Otsus ini tidak dikawal oleh Presiden maupun oleh Menteri t) Segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, tak pernah melibatkan rakyat Papua. u) Pemerintah pusat tak pernah sosialisasi UU Otsus Papua pada tingkat internl Departemen Pusat maupun Daerah. v) Pemerintah Pusat tak pernah membuat norma – norma pengelolaan anggaran. 2). Pemerintah Daerah ( Provinsi ) Indikator yang menunjukan kegagalan pemerintah Provinsi dan Kab/Kota dalam implementasi UU Otsus Papua bagi Provinsi Papua. Hal – hal tersebut adalah sebagai berikut : a) Pemerintah Provinsi dan DPRP tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 Tahun Pelaksanaan Otsus Papua, kecuali Perdasi pembagian Dana Otsus, Pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian dana Dana Otsus ( yang tidak berfungsi sejak ditetapkan oleh DPRP ). Baru tahun 7 pelaksanaan Otsus ditetapkan 8 Perdasus pada September, Oktober, dan November tahun 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua perdasi dan perdasus tersebut belum dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembagunan, sesuai amanat Otsus pada Pasal 75. b) Tidak terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) dan pengadilan HAM di Tanah Papua sesuai amanat UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 45 dan 46 pemerintah belum menyentuhnya. c) Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan kewenangan khusud untuk kepebrpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua, sebagaiman yang diamanatkan dalam pasal 4 ( ayat 2 ), UU No. 21 Tahun 2001.
  • 5. d) Pemerintah Provinsi lalai membentuk Komisi hukum Ad Hock, yang bertugas melakukan sinkronisasi semua peraturan perundangan harus menyesuaikan dengan UU Otsus, sesuai pasal 32 ayat (1) dan ( 2). e) Pemerintah Provinsi lalai membentuk partai politik Lokal, sesuai pasal 28 UU Otsus Papua. f) Pemerintah daerah lalai membentuk perdasus tentang lambing dan symbol – symbol cultural, pada pasal 2 UU Otsus. g) Perubahan nomenkaltur DPRD menjadi DPRP sesuai amanat UU Otsus, abru terjadi pada tanggal 22 Juni 2005 yang diputuskan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Papua No.08/2005, berdasarkan persetujuan Mendagri berdasarkan surat edaran Mendagri No. 161.81/1034/SG, tanggal 3 Mei 2005. h) Pemerintah Provinsi gagal membentuk Peradilan Adat di Papua, Pasal 50 ayat (2). i) Pembentukan Majelis Rakyat Papua, baru dapat dilakukan berdasarkan keputusan DPRP, melalui perdasi No.4 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juli 2005. j) Pemerintah Provinsi gagal membentuk perdasi tentang Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua, sesuai pasal 61, ayat (1) UU Otsus Papua. Malahan, Pemerintah Provinsi Papua Barat melakukan kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait penempatan transmigrasi ( Rabu, 10 Februari 2010 vivanews). k) Pemerintah Provinsi lalai membina, melindungi hak – hak masyarakat Papua secara bermartabat sebagai mitra Pemerintah, sesuai Pasal 47. l) Pemerintah provinsi Papua gagal bahkan tidak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU Otsus Papua selama kurang lebih 10 tahun ini. m) Rekruitmen calon Pengawai Negeri Sipil di Provinsi dan Kab/Kota belum di prioritaskan terhadap orang Asli Papua, sebagaiman diamanatkan dalm Pasal 62, UU Otsus Papua, tetapi semakin dibanjiri dan penuhi oleh orang – orang non Papua yang tidak jelas latar belakang hidupnya. Orang Papua sendiri tersingkir diatas kampong dan tanah warisan leluhurnya sendiri. n) Pemerintah Provinsi gagal dan lalai melakukan perlindungan terhadap pelaku bisnis orang Asli Papua sesuai mandate Otsus Papua. o) Pemerintah Provinsi tidak melakukan Restrukturisasi, Refungsionalisasi, dan Revitalisasi sesuai UU Otsus Papua. p) Pemerintah Provinsi melakukan manajemen Pemerintahan yang tidak optimal dalam ( Kepemimpinan, Perencanaan, Implementasi )
  • 6. 2. Pendekatan Militer dan Pelanggaran HAM Sekalipun Papua telah menjadi Daerah Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun ini, namun realitas yang alami oleh masyarakat Asli Papua, tidak mengalami perubahan signifikan justru sebaliknya masyarakat sipil Papua masih terus menjadi korban aparat keamanan ( TNI dan POLRI ). Sebagai contoh kasus : Pemebunuhan dan Penculikan Bapak Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka yang terjadi setelah sebulan diberlakukan UU Otsus Papua. Kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dibanyak tempat dengan berbagai modus dan bentuk baru. Beberapa bukti kongkrit pelanggaran HAM di era OTSUS pada Tahun 2006 – 2008 :5 1. Pembunuhan dan penculikan Bpk. Theys Hiyo Eluay, 10 November 2001 dan penghilangan sopirnya, Aristoles Masoka. 2. Peristiwa Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Pada peristiw ini aparat keamanan dari Brimob Kepolisian Daerah Papua telah melakukan penyisiran terhadap warga sipil sehingga banyak yang kehilangan nyawa, keluarga dan tempat tinggalnya. 3. Berimbas dari pembobolan Gudang Senjata di Kodim 1702 Jayawijaya 4 April 2003 maka aparat keamanan melakukan penyisiran disejumlah kampung di Wamena sampai di kampung Kuyawage. Akibatnya banyak masyarakat menjadi korban. 4. Peristiwa penyisiran dan operasi Puncak Jaya berdarah pada tahun 2004. Masyarakat meninggal karena ditembak, ada juga meninggal ditempat pengungsian. Banyak masyarakat kehilangan keluarga dan tempat tinggal mereka. 5. Abepura berdarah 10 Mei 2005, saat masa melakukan aksi untuk dibebaskannya Yusak Pakage dan Philip Karma di depan Pengadilan Negeri Abepura. Sebagai tanggapan atas aksi tersebut, aparat Kepolisian secara paksa membubarkan masa sehingga banyak menjadi korban. Beberapa demonstran disuntik (diduga beracun) pada bagian kepala. Akibatnya sampai saat ini ada yang sarafnya terganggu. 6. Timika berdarah atas INRES No. 01 thn 2003, tentang Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah membuat masyarakat pro dan kontra (devide et Impera) menewaskan 6 korban warga sipil. 7. Peristiwa pemukulan oleh Aparat kepolisian Resort Jayawijaya terhadap Obet Kossay di Kampung Wesaput-distrik Wamena Kota pada pertengahan Januari 2006. Korban dipukul di dalam kamarnya setelah pintu di kunci. 8. Peristiwa penembakan terhadap Moses Douw (meninggal dunia) dan beberapa warga sipil menjadi korban di Wahgete pertengahan Januari 2006 9. Penembakan oleh Aparat Kepolisian Resort Mimika terhadap, Yulianus Murip (kena tembakan peluruh pada bagian kepalah), Yohanes Wakerwa (kena tembakan persis dibagian perut) Melianus Murip dan Yohanes Tipagau. Pelurh yang keluarkan 150 buah. 10. Penangkapan kerja sama antara Aparat keamanan dengan FBI terhadap 12 warga sipil di di Timika pada awal Januari 2006. 5 Laporan Pelanggaran HAM oleh Aparat TNI/Polri kepada masyarakat Asli Papua, Pada Tahun 2006 - 2008
  • 7. 11. Meningalnya Sodema Huby dan Paulus Mokarineak Kosay dan beberapa warga kena luka tembak oleh Aparat Brimob dan Kepolisian Resort Jayawijaya di kediaman mantan Bupati Jayawijaya pada 13-14 Mei 2006. 12. Meninggalnya Yesaya Hisage karena ditembak oleh Aparat Brimob Kepolisian Daerah Papua pada 18 Maret 2007. Dan penyisiran pasca Abepura Berdarah 16 Maret 2006 dimana Asrama Mahasiswa (Asrama Nayak, Ninming, Nabire, Kerit, asrama mahasiswa Tolikara, Puncak Jaya, Timika, Yahukimo, asrama mahasiswa Universitas Cendrawasih) di hancurkan dan satu perumahan di bakar. Penyisiran difokuskan terhadap Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua sehingga banyak mahasiswa yang lari ke hutan dan tinggalkan asrama/kampus. 13. Meninggalnya Hardi Sugumol (narapinada kasus mile 62 Timika) di dalam tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 1 Desember 2006. 14. Penyisiran dan pembunuhan di Puncak Jaya pasca penembakan anggota Kopasus dan Purnawirawan TNI pada Desember 2006 15. Kamis Malam, tanggal 14 Mei beberapa anggota Koramil Kurima menyiksa seorang pemuda; rendam dalam got, ikat kaki dan tangan lapis dengan tiang bendera, membakar dengan lilin pada lida dan kemaluan, jepit dengan tang di jari kaki dan biji kemaluan. Korban di rawat secara itensif di rumah sakit. 16. Pada hari Kamis 18 July, 300 lebih masyarakat adat dari Kampung Tablasupa, Yaru, Sebron, keracunan makanan yang disiapkan oleh petugas. 17. 20 July 2007, aparat kepolisian membawa 3 pemuda yang sedang minum- minuman beralkohol dari rumah mereka. Sesampai di polsek mereka melakukan penyiksaan yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 2 lainnya dirawat secara itensif di rumah sakit. 18. Pada 2 Agustus 2007, penembakan oleh TNI Angkatan Laut terhadap Wemi Gombo. Korban luka kritis pada lengan kiri dan di rawat di RSUD Dok II, Jayapura. 19. Pada 3 Augutus 2007, Soleman Wandikbo disiksa oleh anggota Polres Jayawijaya sampai meninggal di ruang sel Polres Jayawijaya. 20. Penembakan terhadap Opinus Tabuni oleh Aparat Keamanan pada 9 Agustus 2008, di Lapangan Sinapup Wamena. Karena begitu banyak peristiwa ketidakadilan yang selalu terjadi di pelosok pedalaman, pegunungan, pesisir pantai, lembah dan rawa-rawa, diperbukitan, lereng gunung yang penuh salyu abadi maka hampir mustahil saya akan merekam dan membukannya pada lembaran ini. Namun saya jakin pasti suatu kelak akan terekam dan tercatat dengan baik semua isap tangis rakyat. Mereka hanya merindukan, keadilan, perdamaian dan kebebasan. Semoga Sang Khalik dapat mendengarkan-Nya.
  • 8. 3. Rendahnya Tingkat Kesejahteeraan Untuk Orang Asli Papua. Bidang Kesehatan Keadaan kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001 – 2009. Waupun penerapan Otonomi Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun, persoalan kesehatan di Papua masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan hasil survei kematian Ibu pada Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang seharusnya hidup di Papua. Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan 7.150 bayi yang meninggal. Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita yang hidup dan terdapat 3.751 balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni 64/1000 kelahiran hidup. ( Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan di Papua, 2005 ). Kasus HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa : 1). Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV : 2.181 Orang, sedangkan AIDS 1.773 Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang Asli Papua. Dari sisi pengalokasian anggaran Kesehatan yang tertuang dalam dokumen APBD Provinsi Papua selama 10 ( sepuluh ) tahun selalu menggambarkan ketidak adilan dan justru menyalahi aturan. Katakanlah hasil analisis APBD Provinsi Papua, untuk anggaran sektor Kesehatan tahun 2009 sebesar Rp.295,29 miliar ( 5,74 % dari APBD dan 11,31 % dari dana Otsus ). Dari sisi presentase, belum memenuhi standar amanah Otsus utk mendanai biaya kesehatan dan juga sesuai dengan standar WHO ( World Health Organization ), yang menetapkan anggaran Kesehatan 15 % dari APBD maupun dari Otsus Papua. Bidang Pendidikan Hasil Analisis ICS, tentang APBD Provinsi Papua tahun 2009 menyebutkan bahwa alokasi anggaran penddikan Provinsi Papua tahun 2009 sebesar Rp 242,06 M. Jumlah ini serata dengan 4,71 % dari APBD atau 9,28 % dari dana Otsus. Jioka menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003, dan PP No. 48/2008 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBD, anggaran pendidikan Papua Tahun 2009 ini seharusnya minimal sebesar Rp 1,03 Triliun. Apabila menggunakan Perda No. 5/2006 dengan ketentuan 30 % dari dana Otsus, anggaran pendidikan Papua pada APBD tahun 2009 paling sedikit sebesar Rp. 782,94 Miliar. Hal ini sama dengan dokumen APBD tahun – tahun sebelumnya.
  • 9. Beberapa bidang juga mengalami serupa, seperti, Bidang Ekonomi, Pengkaplingan dan Eksploritasi sumber daya Alam, Marjinalisasi dan diskriminasi dll. " Kalimat yang muncul menghormati hak – hak adat, setrelah dihormati apa tindak lanjutnya, apakah masyarakat adat hanya butuh penghormatan, apakah masyarakat adat makan penghormatan?, kalimat selanjutnya memberikan kepastian hukum kepada pengusaha dan elit politik, lalu dimana kepastian hukum bagi masyarakat adat pemilik sumber daya alam sebagai titipan leluhur ? apa diabaikan ? atau di anggap hilang?, selanjutnya prinsip – prinsip pelestarian lingkungan ditetapkan dalam perdasus, masyarakat pemilik ulayat adat hanya dihormati lalu hartanya diambil tanpa imbalan seperti pencuri lalu pergi meninggalkan pemilik yang bingung karena hartanya hilang di depan matanya dan lebih tragis lagi Ia mengetahui siapa yang mengambil hartanya" Apakah yang kita harus lakukan ? untuk mengurangi keterpurukan dan ketersisihan masyarakat asli Papua di Negerinya adalah : 1. Mengamandemen UU No.21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua. 2. Memisahkan dana dalam rangka otonomisasi khusus dari APBD, dengan kata lain dana dalam rangka otonomisasi khusus harusnya merupakan dana terpisah dari APBD, dimana Dana Otsus di kelola oleh Gubernur dan Bupati/Walikota yang dikontrol oleh MRP yang penggunaannya khusus untuk orang asli Papua, sedangkan dana APBD merupakan merupakan dana belanja pemerintahan daerah yang tetap dikontrol oleh DPRP. 3. Kita semestinya berpikir lebih arif lagi untuk merencanakan pemekaran, apa nilai dan arti pemekaran bagi masyarakat asli Papua, apakah pemekaran memberikan kesejahteraan atau menimbulkan konflik sosial baru, lebih – lebih apakah pemekaran dapat menjawab kebutuhan masyarakat atau masrakat asli Papua hanya menjadi penonton, perlu di ingat bahwa dana daerah akan habis dibelanjakan dalam rangka pembentukan infrastruktur. 4. Depopulasi Orang asli Papua Banyak pihak telah dengan serius mengungkapkan bahaya berkurangnya jumlah penduduk Oarang asli Papua atau ancaman menuju kepunahan etnis Papua, bila dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhi pertumbuhan pemduduk Papua lebih besar ditentukan oleg arus migrasi dari luar Papua ( masuknya pendatang ), bukan akibat pertambahan penduduk karena kelahiran hidup, khususnya dikalangan orang asli Papua. Program transmigrasi terencana sudah lama dilakukan di tanah Papua dengan kapal laut maupun pesawat terbang, merupakan faktor penentu angka perttumbuhan poenduduk Papua yang berkisar 5 % tiap tahunnya. Sebuah artikel dari Dr. Jim Elmslie dibahwa menggambarkan fakta yang terjadi tanah tercinta Papua.
  • 10. Tabel : Analisa Perubahan kependudukan di Tanah Papua. Tahun Jumlah Penduduk Total Penduduk % Comparison Annual Growht Rate Papua Non Papua Papua Non Papua Papua Non Papua 1971 887.000 36,000. 923,000.0096% 4% 1990 1,215,897 414,210. 1,630,107 75% 25% 2005 1,558,795 1,087,694 2,646,489 59% 41% 1,67% 10,5% 2011 1,700,000.1,980,000 3,680,000 47% 55% 2020 1,956,400.4,743,600 6,700,000 29,2%70,8% 2030 2.371.200 13.228.80015.600.00015,2%84,80% Source : Demographic Desaster in West Papua, Dr.Jim Elmslie. Dengan demikian penambahan penduduk tidak formal terus meningkat di tanah Papua sementara rakyat asli Papua semakin minoritas di atas tanahnya sendiri. Jumlah populasi penduduk Papua secara menyeluruh 2,5 juta jiwa yang terdiri dari 1,3 orang asli Papua dan 1,2 juta bukan asli Papua. Keterangan grafik diatas bahwa terjadi penurunan yang signifikan untuk pribumi Papua pada kurun waktu tahun 1971 – 2005 ( 96 % menjadi 59 % ), sebaliknya terjadi kenaikan yang signifikan untuk penduduk non Papua pada kurun yang sama ( 4 % menjadi 41 % ). C. SOLUSI Bertolak dari sejarah dan fakta kegagalan Otonomi khusus Papua sebagaimana uraian diatas, maka kami memberi solusi yang mesti dilakukan Pemerintah dan Orang Papua guna mengakhiri berbagi persoalan di tanah Papua sebagai berikut : 1. Dilakaukan evaluasi secara konfrensif dan menyeluruh atas pelaksanaan Otsus Papua selama 10 Tahun ( 2001 – 2011 ). Evaluasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak yakni Pemerintah Pusat dan Orang Papua yang menyatakan Otsus gagal. Dalam evaluasi pemerintah maupun orang Papua mengindentifikasi penyebab yang menghambat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 tahun ini. 2. Setelah dilakukan Evaluasi oleh masing – masing pihak Jakarta dan Papua kemudian guna mencari solusi yang tepat dan bijak dalam penyelesaian Otonomi Khusus Papua secara spesifik dan persoalan Papua lainnya secara menyeluruh dan tuntas mutlak dilakukannya dialog antara Pemerintah dengan masyarakat Papua yang menyatakan Pelaksanaan Otonomi Khusus GAGAL dilaksanakan di Tanah Papua.
  • 11. D. PENUTUP Merujuk pada fakta dan pengalaman kami selama 10 tahun, pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua gagal dilaksanakan. Pelaku utama kegagalan Otonomi Khusus Papua ialah Pemerintah ( Pusat dan Daerah ) sendiri. Sementara posisi rakyat Papua hanya sebagai penonton sekaligus menerima dampaknya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir semuanya bertolak belakang dengan semangat dan jiwa Otonomi Khusus itu sendiri. Demikian pokok pikiran ini dapat disampikan. Kiranya berguna bagi semua pihak dalam melihat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 10 Tahun. Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan keperluan akan pembaharuan memaksa kita untuk berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran kita sendiri dengan keinginan dan pikiran orang lain. (Uskup Rudolf Staverman ofm, November 1967)