際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Kereta Malam
Malam itu arloji ku telah menunjukkan pukul 8 lebih 10. Dinginnya angin malam
menusuk tulangku, membuat suasana di Stasiun Gambir menjadi lebih syahdu. Ku menunggu
keretaku menuju Solo kira-kira 20 menit lamanya sebelum kunaiki kendaraan berkalung besi itu.
Saat ku masuk, suasananya kulihat tidak begitu ramai,sehingga saat kulangkahkan kakiku
menuju tempat duduk di pojok, suaranya begitu terdengar. Setelah itu kereta berangkat.
Tuut..tuut..tuut. Suara yang memulai perjalanan ku ke kota kelahiranku.
Duduk di depanku seorang ibu setengah baya. Dengan wajah sendu kelabu ia menatapku,
seolah ia teringat pada orang yang dikasihinya. Dan aku pun memberanikan diri untuk memulai
percakapan, tiba-tiba ia berkata,Nak,kamu mengingatkan Ibu pada... Pada siapa,bu? tanyaku.
Pada anak laki-laki ibu satu-satunya. Hiks..hiks..hiks.. tangisnya memecah hangatnya
pembicaraan. Dengan wajah sedih ia berkata bahwa dahulu ia memiliki anak yang wajahnya
mirip denganku. Lalu, ia memelukku erat-erat seakan tak mau ku pergi darinya.
Di saat kami berbincang-bincang, tiba-tiba dari kejauhan ku lihat seorang berwajah seram
dengan pakaiannya yang serba hitam plus kacamata hitam di dahinya. Dari awal ku duduk di
sebelah ibu itu,orang itu melihat kami selalu. Sampai-sampai dia menumpahkan sekaleng soda
yang diletakkan di sebelahnya. Sontak, hal itu membuat dia menjadi pusat perhatian para
penumpang KA Gajayana. Setelah itu, kulihat dia tak lagi melihat kami, melainkan sedang asyik
menyulut sebatang rokok kretek dan menghisapnya sambil menikmati sesuap roti sobek. Sesekali
dia membaca sebuah majalah yang tergeletak di depannya,seolah melupakan insiden kecil tadi.
Perjalanan ke Solo memakan waktu hampir 9 jam. Masinis memberi halo-halo , tanda
bahwa Solo sudah dekat. Seketika itu ibu sepuh itu bangun dari tidur nyenyaknya. Tak disangka,
dia secara tiba-tiba bersikeras bahwa aku adalah anaknya. Kamu harus ikut Ibu pulang,nak!
Pokoknya harus! seru ibu itu.  Tapi habis ini saya harus turun,Bu! Ibu dan ayahku sudah
menunggu di rumah. Mereka merindukanku.jawabku.Akulah ibumu! teriak ibu itu. Kontan
saja, semua penumpang yang sebagian besar sedang tidur ayam bagai mendengar teriakan sang
halilintar. Mereka menutup telinga masing-masing. Aku ingin melawannya,memarahinya,bahkan
memakinya! Tapi, perasaanku tidak tega dengan penampilan setengah lusuhnya, membuatku
menghentikan keinginan itu. Saya punya ayah dan ibu sendiri,bu. Merekalah yang mengajariku
akan segala hal, banyak sekali sampai aku keluar dari rumah. Ku mohon tenanglah! Jangan
marah-marah terus! pintaku berharap meredakan suasana.  Pokoknya kamu tetap anakku!
balas ibu itu.
Stasiun Balapan! Akhirnya ku tiba,seraya mendendang sebuah lagu jawa tentang tempat
ini. Huh..akhirnya sampai. Akhirnya ku lepas dari amukannya. kataku dalam hati sambil
meninju udara sejuk kota ini seperti ekspresi seorang atlet meraih medali emas. Seketika itu
hatiku menjadi tenang. Saat ku menunggu taksi di pintu keluar,tiba-tiba ibu tua tadi menyeretku
ke dalam taksinya. Kamu beritahu dimana rumah orang tuamu! pinta ibu itu. Aku pun
mengiyakan saja,toh aku tak perlu bayar taksi ini. Sesampainya di rumah yang sama seperti 20
tahun yang lalu, bercat kuning penuh bunga-bunga di tembok-tembok yang terletak di pojok
gang, ayah dan ibu memelukku erat dan menyambutku dengan penuh sukacita. Namun tidak
dengan ibu tua itu. Sambil turun dari taksi, dia marah-marah kepada ibuku dengan posisi
menuding. Lalu dia menendang pagar besi yang sudah berkarat.  Kau tidak tahu diri,pelacur!
Kau telah merampas anak kesayanganku! Dia itu anakku. teriaknya yang memekakkan telinga.
Lho,anda siapa? tanya ayah. Akulah ibu dari anak ini. Jawabnya.  Memangnya ini siapa,
Kevin? tanya ibuku.  Wanita ini adalah penumpang kereta yang aku tumpangi,bu. Sebenarnya
pada awalnya biasa saja. Tapi,setelah bangun tidur, kelakuannya berubah tidak menyenangkan.
Berarti dia orang gila! sahut ibuku. Di satu sisi ibuku telah mewakili apa yang ada di benakku
tentang wanita tua itu. Tapi di sisi lain, aku trenyuh saat melihat ekspresi wajahnya. Sungguh
kasihan ibu itu. Tapi yang terjadi malah, Apa? Saya gila? Saya tidak gila, hei pengecut! Aku ke
sini ingi bawa pulang kembali anakku ke pelukanku jawab wanita itu.  Tidak akan! Kau
bahkan tak punya bukti bahwa Kevin adalah anakmu. Kau hanyalah mengada-ada,seperti
pemimpi. Kau tak lebih dari pembohong besar! tegas ibuku. Keadaan yang memanas itu
memaksa tetangga sekitar keluar dari rumahnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba datanglah seorang misterius ke rumah kami ditemani oleh Pak RT. Ku coba
ingat-ingat kembali siapakah orang ini. Ku bingung memikirkan siapa. Setelah ku pikir dan ku
reka-reka,  Oh,ternyata orang yang menatapku di dalam kereta itu. Hanya saja, dia
berkacamata. batinku. Selamat pagi,Pak Darsim. Ini ada orang yang ingin mencari anak bapak.
Katanya ada urusan yang penting. Jelas Pak RT-ku yang rambutnya memutih. Oh,silakan Pak
Imam. Kata ayahku. Orang itu tanpa basa-basi berkata, Selamat pagi,saudara! Saudara tahu
siapa wanita paruh baya ini?.  Siapa,pak?tanyaku tanpa banyak bicara.  Dia adalah pasien
saya. Dia adalah orang gila. Dia adalah pasien di rumah sakit jiwa. jawabnya berulang.  Apa
anda yakin orang ini gila? tanyaku memantapkan pernyataan orang itu.  Tidak diragukan lagi,
memang. Ini kartu nama saya. tegasnya. Ngomong-ngomong, saya ingin perkenalkan diri.
Nama saya Doni,seorang dokter jiwa di RSJ Jakarta. Salam kenal,saudara!. Oh,senang
berkenalan dengan anda. Nama saya Kevin,mahasiswa semester akhir di UI.kataku
menghangatkan suasana.
Saat berbincang-bincang dengan dokter Doni, saya pun diberitahu kalau ibu tua itu
memang pernah mempunyai anak laki-laki seumuran denganku. Nah,setahun lalu, putra
kesayangannya itu meninggal dunia akibat kecelakaan. Dan ibu itu merasa sangat kehilangan
putra semata wayangnya itu. Lalu ia menjadi gila. Setelah asyik bercakap-cakap, dokter Doni
pun membujuk wanita tua itu agar mau kembali. Akhirnya, ia pun mau diajak pulang.

More Related Content

Kereta malam

  • 1. Kereta Malam Malam itu arloji ku telah menunjukkan pukul 8 lebih 10. Dinginnya angin malam menusuk tulangku, membuat suasana di Stasiun Gambir menjadi lebih syahdu. Ku menunggu keretaku menuju Solo kira-kira 20 menit lamanya sebelum kunaiki kendaraan berkalung besi itu. Saat ku masuk, suasananya kulihat tidak begitu ramai,sehingga saat kulangkahkan kakiku menuju tempat duduk di pojok, suaranya begitu terdengar. Setelah itu kereta berangkat. Tuut..tuut..tuut. Suara yang memulai perjalanan ku ke kota kelahiranku. Duduk di depanku seorang ibu setengah baya. Dengan wajah sendu kelabu ia menatapku, seolah ia teringat pada orang yang dikasihinya. Dan aku pun memberanikan diri untuk memulai percakapan, tiba-tiba ia berkata,Nak,kamu mengingatkan Ibu pada... Pada siapa,bu? tanyaku. Pada anak laki-laki ibu satu-satunya. Hiks..hiks..hiks.. tangisnya memecah hangatnya pembicaraan. Dengan wajah sedih ia berkata bahwa dahulu ia memiliki anak yang wajahnya mirip denganku. Lalu, ia memelukku erat-erat seakan tak mau ku pergi darinya. Di saat kami berbincang-bincang, tiba-tiba dari kejauhan ku lihat seorang berwajah seram dengan pakaiannya yang serba hitam plus kacamata hitam di dahinya. Dari awal ku duduk di sebelah ibu itu,orang itu melihat kami selalu. Sampai-sampai dia menumpahkan sekaleng soda yang diletakkan di sebelahnya. Sontak, hal itu membuat dia menjadi pusat perhatian para penumpang KA Gajayana. Setelah itu, kulihat dia tak lagi melihat kami, melainkan sedang asyik menyulut sebatang rokok kretek dan menghisapnya sambil menikmati sesuap roti sobek. Sesekali dia membaca sebuah majalah yang tergeletak di depannya,seolah melupakan insiden kecil tadi. Perjalanan ke Solo memakan waktu hampir 9 jam. Masinis memberi halo-halo , tanda bahwa Solo sudah dekat. Seketika itu ibu sepuh itu bangun dari tidur nyenyaknya. Tak disangka, dia secara tiba-tiba bersikeras bahwa aku adalah anaknya. Kamu harus ikut Ibu pulang,nak! Pokoknya harus! seru ibu itu. Tapi habis ini saya harus turun,Bu! Ibu dan ayahku sudah menunggu di rumah. Mereka merindukanku.jawabku.Akulah ibumu! teriak ibu itu. Kontan saja, semua penumpang yang sebagian besar sedang tidur ayam bagai mendengar teriakan sang halilintar. Mereka menutup telinga masing-masing. Aku ingin melawannya,memarahinya,bahkan memakinya! Tapi, perasaanku tidak tega dengan penampilan setengah lusuhnya, membuatku
  • 2. menghentikan keinginan itu. Saya punya ayah dan ibu sendiri,bu. Merekalah yang mengajariku akan segala hal, banyak sekali sampai aku keluar dari rumah. Ku mohon tenanglah! Jangan marah-marah terus! pintaku berharap meredakan suasana. Pokoknya kamu tetap anakku! balas ibu itu. Stasiun Balapan! Akhirnya ku tiba,seraya mendendang sebuah lagu jawa tentang tempat ini. Huh..akhirnya sampai. Akhirnya ku lepas dari amukannya. kataku dalam hati sambil meninju udara sejuk kota ini seperti ekspresi seorang atlet meraih medali emas. Seketika itu hatiku menjadi tenang. Saat ku menunggu taksi di pintu keluar,tiba-tiba ibu tua tadi menyeretku ke dalam taksinya. Kamu beritahu dimana rumah orang tuamu! pinta ibu itu. Aku pun mengiyakan saja,toh aku tak perlu bayar taksi ini. Sesampainya di rumah yang sama seperti 20 tahun yang lalu, bercat kuning penuh bunga-bunga di tembok-tembok yang terletak di pojok gang, ayah dan ibu memelukku erat dan menyambutku dengan penuh sukacita. Namun tidak dengan ibu tua itu. Sambil turun dari taksi, dia marah-marah kepada ibuku dengan posisi menuding. Lalu dia menendang pagar besi yang sudah berkarat. Kau tidak tahu diri,pelacur! Kau telah merampas anak kesayanganku! Dia itu anakku. teriaknya yang memekakkan telinga. Lho,anda siapa? tanya ayah. Akulah ibu dari anak ini. Jawabnya. Memangnya ini siapa, Kevin? tanya ibuku. Wanita ini adalah penumpang kereta yang aku tumpangi,bu. Sebenarnya pada awalnya biasa saja. Tapi,setelah bangun tidur, kelakuannya berubah tidak menyenangkan. Berarti dia orang gila! sahut ibuku. Di satu sisi ibuku telah mewakili apa yang ada di benakku tentang wanita tua itu. Tapi di sisi lain, aku trenyuh saat melihat ekspresi wajahnya. Sungguh kasihan ibu itu. Tapi yang terjadi malah, Apa? Saya gila? Saya tidak gila, hei pengecut! Aku ke sini ingi bawa pulang kembali anakku ke pelukanku jawab wanita itu. Tidak akan! Kau bahkan tak punya bukti bahwa Kevin adalah anakmu. Kau hanyalah mengada-ada,seperti pemimpi. Kau tak lebih dari pembohong besar! tegas ibuku. Keadaan yang memanas itu memaksa tetangga sekitar keluar dari rumahnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba datanglah seorang misterius ke rumah kami ditemani oleh Pak RT. Ku coba ingat-ingat kembali siapakah orang ini. Ku bingung memikirkan siapa. Setelah ku pikir dan ku reka-reka, Oh,ternyata orang yang menatapku di dalam kereta itu. Hanya saja, dia berkacamata. batinku. Selamat pagi,Pak Darsim. Ini ada orang yang ingin mencari anak bapak. Katanya ada urusan yang penting. Jelas Pak RT-ku yang rambutnya memutih. Oh,silakan Pak Imam. Kata ayahku. Orang itu tanpa basa-basi berkata, Selamat pagi,saudara! Saudara tahu
  • 3. siapa wanita paruh baya ini?. Siapa,pak?tanyaku tanpa banyak bicara. Dia adalah pasien saya. Dia adalah orang gila. Dia adalah pasien di rumah sakit jiwa. jawabnya berulang. Apa anda yakin orang ini gila? tanyaku memantapkan pernyataan orang itu. Tidak diragukan lagi, memang. Ini kartu nama saya. tegasnya. Ngomong-ngomong, saya ingin perkenalkan diri. Nama saya Doni,seorang dokter jiwa di RSJ Jakarta. Salam kenal,saudara!. Oh,senang berkenalan dengan anda. Nama saya Kevin,mahasiswa semester akhir di UI.kataku menghangatkan suasana. Saat berbincang-bincang dengan dokter Doni, saya pun diberitahu kalau ibu tua itu memang pernah mempunyai anak laki-laki seumuran denganku. Nah,setahun lalu, putra kesayangannya itu meninggal dunia akibat kecelakaan. Dan ibu itu merasa sangat kehilangan putra semata wayangnya itu. Lalu ia menjadi gila. Setelah asyik bercakap-cakap, dokter Doni pun membujuk wanita tua itu agar mau kembali. Akhirnya, ia pun mau diajak pulang.