際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
KESUNDAAN DAN KEARIFAN LOKAL
Oleh SUKRON ABDILAH
SEKARANG ini paradigma pembangunan lebih bersifat high-techsentris, hingga
keberhasilan pun hanya dilihat dari angka kuantitatif yang berdimensi material.
Sementara itu keseimbangan ekologis, langka  untuk tidak mengatakan tak pernah
sama sekali  mendapat perhatian dari fasilitator pembangunan.
Akibatnya ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan rupiah terkikis habis diterjang
kemurkaan alam lewat berbagai kondisi lingkungan yang kian degradatif. Misalnya,
hutan Indonesia mengalami kerusakan yang sedemikian parah dari sekira 120,35 juta
hektare; 59 juta hektare diantaranya rusak dan memerlukan rehabilitasi. Bahkan laju
pengrusakannya berkisar 2,83 juta hektare setiap tahunnya. Kerugian material yang
diderita pun hampir mencapai Rp. 10 triliunan per tahun (PR, 11/04/2006).
Jika kondisi di atas tidak segera mendapat perhatian, saya rasa sepuluh atau dua puluh
tahun ke depan, hutan Indonesia akan mengalami penurunan, bahkan kehancuran.
Maka, pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara terpadu semestinya menggunakan
paradigma berwawasan ekologis hingga pemanfaatannya tidak berbentuk pengurasan
habis-habisan yang mengabaikan kaidah-kaidah keseimbangan alam.
Ramah lingkungan
Lantas, bagaimana peran religiusitas, dalam hal ini (ber)Islam yang memiliki sumber
pertama (masdar al-awwal) al-quran dalam memberikan sumbangsih bagi
keberlangsungan ekosistem lingkungan hidup? Sebab, kekritisan sumber daya alam
adalah ancaman berat bagi pembangunan. Dari sinilah, pembangunan berbasis nilainilai religius sangat urgen diperhatikan agar bangsa dapat bepijak secara kokoh dan
program pembangunan pun berkesinambungan serta mengikuti aturan main alam.
Agama mengajarkan bahwa arah pembangunan semestinya digusur pada keteraturan
yang mengikuti kaidah-kaidah alamiah. Ada firman Tuhan yang bermakna pentingnya
menjaga keteraturan ekologis, yakni surat Ar-Ruum ayat 41: Telah tampak kerusakan
di darat dan di laut karena ulah (eksploitasi dan eksplorasi tak berkaidah) manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatannya, agar mereka
kembali (ke program konservasi alam).
Esensi ayat di atas, menjelaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) yakni dari kalimat agar mereka kembali. Terma kembali kalau
ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan ekologis, bersanding kuat dengan
program pelestarian lingkungan hidup. Misalnya, program konservasi alam, reboisasi,
pajak perusahaan untuk menjaga kelestarian alam, pendidikan lingkungan hidup untuk
anak didik dan pengurusan izin analisis dampak lingkungan (amdal).
Kearifan ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat tentang
keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah (sapi betina), Al-Adiyat
(kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut (Laba-laba), Ath-Thur (bukit thur) dan
masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi alam beserta ekosistem
kehidupannya memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. Karena
itu, alangkah arif rasanya jika bangsa mulai merenungi kearifan ekologis yang
dipesankan oleh-Nya melalui teks dan kita kontekstualisasikan sehingga bersesuaian
dengan perkembangan zaman.
Tujuannya agar arah pembangunan dihiasi etika ke(adi)luhungan agama, dan ketika
berinteraksi dengan ekosistem lingkungan tidak dimanfaatkannya sembari angkat
tangan melestarikan atau malah cuci tangan ketika dirinya merusak alam. Sebab,
setiap penganut agama (baca: umat Islam) yang berbudaya tidak boleh bersikap dan
berperilaku destruktif seperti melakukan pengrusakan secara membabi buta terhadap
lingkungan hidup atas dalih pembangunan infrastruktur.
Budaya lokal
Pun demikian, dalam konteks sistem sosial budaya, hampir tiap daerah di kepualauan
Indonesia memiliki indigenous knowledge system masing-masing ketika
memperlakukan lingkungan hidup. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sunda
pedalaman terdapat tiga klasifikasi hutan (leuweung) yang dijelaskan secara gamblang
oleh Kusnaka Adimiharja (1994) dan bermanfaat bagi arah gerak pembangunan.
Pertama, leuweung sampalan, yakni hutan yang telah mengalami konversi menjadi
lahan yang ditanami dan dijadikan tempat penggembalaan oleh masyarakat. Kedua,
leuweung geuledegan, semacam hutan yang tidak boleh dieksploitasi warga, karena
alasan kepercayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Ketiga, leuweung titipan,
semacam hutan yang boleh dieksploitasi dan dimanfaatkan warga setelah mendapatkan
izin dari pemimpin adat.
Dari tiga sistem pengetahuan tersebut, terdapat makna perennial yakni pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dan berparadigma ekologis adalah sebuah
keniscayaan. Sebab selama ini arah pembangunan kerap diinterpretasi dengan
pendekatan ekonomi-sentris saja. Akibatnya, potensi alam banyak terdegradasi ketika
terkena proyek pembangunan, misalnya peristiwa meluapnya Lumpur panas di Sidoarjo
yang menelan kerugian besar ialah salah satu ekses negatif dari pembangunan yang tak
berkaidah. Atau, meningkatnya suhu Kota Bandung sebesar 34,5 derajat celcius pada
musim kemarau adalah akibat dari penebangan pohon dan pembangunan infrastruktur
yang jarang memerhatikan sarakan (baca: lingkungan) sekitar.
Kondisi di atas, tidak semestinya diabaikan oleh para pemerintah agar tercipta
pembangunan yang menghasilkan income ekonomi di satu sisi dan keuntungan ekologis
bagi warga secara berkesinambungan di lain sisi. Maka, konsep pembangunan di
Indonesia mesti menghargai kearifan sistem sosial masyarakat daerah yang semenjak
dahulu selalu berharmoni dengan alam sekitar. Para stakeholders di tiap daerah juga
wajib menengok dan mempraktikkannya untuk kemudian dikontekstualisasi sehingga
mewujud dalam bentuk pembangunan berkelanjutan.
Alhasil, income pendapatan ekonomi yang diperoleh warga tidak sesaat, melainkan
terus-menerus (sustainable) sampai terwariskan pada anak cucu. Sebab, kita juga tahu
bahwa kekayaan ekologis merupakan titipan anak cucu kita dan mesti dipelihara agar
kelak mereka dapat bersenyum ria pada kehidupan. Tidak bermuram durja, apalagi bila
sampai berusaha mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri akibat kemiskinan yang
diderita.
Akhirul kalam, untuk mewujudkan generasi makmur dan sentosa, bijaksana rasanya
jika arah gerak pembangunan yang dikembangkan berpijak pada paradigma agama,
budaya lokal, dan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa lain, mencetuskan
pembangunan berkelanjutan (sutainable development), berwawasan lingkungan (ecodevelopment) dan bisa juga kita sebut dengan konsep eco-religious, sebab memelihara
lingkungan adalah perintah suci dari sang pencipta alam raya ini, Allah SWT. Karena
itu, mari kita gulirkan program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan agama,
budaya lokal, dan berparadigma ekologis mulai detik ini. Wallahualam
Penulis, Peminat Masalah Lingkungan Hidup, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal
Sunda.

More Related Content

Kesundaan dan kearifan lokal

  • 1. KESUNDAAN DAN KEARIFAN LOKAL Oleh SUKRON ABDILAH SEKARANG ini paradigma pembangunan lebih bersifat high-techsentris, hingga keberhasilan pun hanya dilihat dari angka kuantitatif yang berdimensi material. Sementara itu keseimbangan ekologis, langka untuk tidak mengatakan tak pernah sama sekali mendapat perhatian dari fasilitator pembangunan. Akibatnya ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan rupiah terkikis habis diterjang kemurkaan alam lewat berbagai kondisi lingkungan yang kian degradatif. Misalnya, hutan Indonesia mengalami kerusakan yang sedemikian parah dari sekira 120,35 juta hektare; 59 juta hektare diantaranya rusak dan memerlukan rehabilitasi. Bahkan laju pengrusakannya berkisar 2,83 juta hektare setiap tahunnya. Kerugian material yang diderita pun hampir mencapai Rp. 10 triliunan per tahun (PR, 11/04/2006). Jika kondisi di atas tidak segera mendapat perhatian, saya rasa sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, hutan Indonesia akan mengalami penurunan, bahkan kehancuran. Maka, pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara terpadu semestinya menggunakan paradigma berwawasan ekologis hingga pemanfaatannya tidak berbentuk pengurasan habis-habisan yang mengabaikan kaidah-kaidah keseimbangan alam. Ramah lingkungan Lantas, bagaimana peran religiusitas, dalam hal ini (ber)Islam yang memiliki sumber pertama (masdar al-awwal) al-quran dalam memberikan sumbangsih bagi keberlangsungan ekosistem lingkungan hidup? Sebab, kekritisan sumber daya alam adalah ancaman berat bagi pembangunan. Dari sinilah, pembangunan berbasis nilainilai religius sangat urgen diperhatikan agar bangsa dapat bepijak secara kokoh dan program pembangunan pun berkesinambungan serta mengikuti aturan main alam. Agama mengajarkan bahwa arah pembangunan semestinya digusur pada keteraturan yang mengikuti kaidah-kaidah alamiah. Ada firman Tuhan yang bermakna pentingnya menjaga keteraturan ekologis, yakni surat Ar-Ruum ayat 41: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah (eksploitasi dan eksplorasi tak berkaidah) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke program konservasi alam). Esensi ayat di atas, menjelaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yakni dari kalimat agar mereka kembali. Terma kembali kalau ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan ekologis, bersanding kuat dengan program pelestarian lingkungan hidup. Misalnya, program konservasi alam, reboisasi, pajak perusahaan untuk menjaga kelestarian alam, pendidikan lingkungan hidup untuk anak didik dan pengurusan izin analisis dampak lingkungan (amdal).
  • 2. Kearifan ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat tentang keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah (sapi betina), Al-Adiyat (kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut (Laba-laba), Ath-Thur (bukit thur) dan masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi alam beserta ekosistem kehidupannya memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara sebaik-baiknya. Karena itu, alangkah arif rasanya jika bangsa mulai merenungi kearifan ekologis yang dipesankan oleh-Nya melalui teks dan kita kontekstualisasikan sehingga bersesuaian dengan perkembangan zaman. Tujuannya agar arah pembangunan dihiasi etika ke(adi)luhungan agama, dan ketika berinteraksi dengan ekosistem lingkungan tidak dimanfaatkannya sembari angkat tangan melestarikan atau malah cuci tangan ketika dirinya merusak alam. Sebab, setiap penganut agama (baca: umat Islam) yang berbudaya tidak boleh bersikap dan berperilaku destruktif seperti melakukan pengrusakan secara membabi buta terhadap lingkungan hidup atas dalih pembangunan infrastruktur. Budaya lokal Pun demikian, dalam konteks sistem sosial budaya, hampir tiap daerah di kepualauan Indonesia memiliki indigenous knowledge system masing-masing ketika memperlakukan lingkungan hidup. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sunda pedalaman terdapat tiga klasifikasi hutan (leuweung) yang dijelaskan secara gamblang oleh Kusnaka Adimiharja (1994) dan bermanfaat bagi arah gerak pembangunan. Pertama, leuweung sampalan, yakni hutan yang telah mengalami konversi menjadi lahan yang ditanami dan dijadikan tempat penggembalaan oleh masyarakat. Kedua, leuweung geuledegan, semacam hutan yang tidak boleh dieksploitasi warga, karena alasan kepercayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Ketiga, leuweung titipan, semacam hutan yang boleh dieksploitasi dan dimanfaatkan warga setelah mendapatkan izin dari pemimpin adat. Dari tiga sistem pengetahuan tersebut, terdapat makna perennial yakni pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berparadigma ekologis adalah sebuah keniscayaan. Sebab selama ini arah pembangunan kerap diinterpretasi dengan pendekatan ekonomi-sentris saja. Akibatnya, potensi alam banyak terdegradasi ketika terkena proyek pembangunan, misalnya peristiwa meluapnya Lumpur panas di Sidoarjo yang menelan kerugian besar ialah salah satu ekses negatif dari pembangunan yang tak berkaidah. Atau, meningkatnya suhu Kota Bandung sebesar 34,5 derajat celcius pada musim kemarau adalah akibat dari penebangan pohon dan pembangunan infrastruktur yang jarang memerhatikan sarakan (baca: lingkungan) sekitar. Kondisi di atas, tidak semestinya diabaikan oleh para pemerintah agar tercipta pembangunan yang menghasilkan income ekonomi di satu sisi dan keuntungan ekologis bagi warga secara berkesinambungan di lain sisi. Maka, konsep pembangunan di Indonesia mesti menghargai kearifan sistem sosial masyarakat daerah yang semenjak dahulu selalu berharmoni dengan alam sekitar. Para stakeholders di tiap daerah juga
  • 3. wajib menengok dan mempraktikkannya untuk kemudian dikontekstualisasi sehingga mewujud dalam bentuk pembangunan berkelanjutan. Alhasil, income pendapatan ekonomi yang diperoleh warga tidak sesaat, melainkan terus-menerus (sustainable) sampai terwariskan pada anak cucu. Sebab, kita juga tahu bahwa kekayaan ekologis merupakan titipan anak cucu kita dan mesti dipelihara agar kelak mereka dapat bersenyum ria pada kehidupan. Tidak bermuram durja, apalagi bila sampai berusaha mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri akibat kemiskinan yang diderita. Akhirul kalam, untuk mewujudkan generasi makmur dan sentosa, bijaksana rasanya jika arah gerak pembangunan yang dikembangkan berpijak pada paradigma agama, budaya lokal, dan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa lain, mencetuskan pembangunan berkelanjutan (sutainable development), berwawasan lingkungan (ecodevelopment) dan bisa juga kita sebut dengan konsep eco-religious, sebab memelihara lingkungan adalah perintah suci dari sang pencipta alam raya ini, Allah SWT. Karena itu, mari kita gulirkan program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan agama, budaya lokal, dan berparadigma ekologis mulai detik ini. Wallahualam Penulis, Peminat Masalah Lingkungan Hidup, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda.