1. Kita Semua Ahli Surga,
Insya Allah
-Abu Rizqy Al Jambary-
Dalam sebuah hadist tentang akhirat, Rasul sholallahu alaihi
wasallam bersabda bahwa kaum Nasrani akan terpecah menjadi 71
golongan, Yahudi menjadi 72 golongan dan Umat Islam menjadi 73
golongan (dalam ulasannya Sayyid Qutb menjabarkan tentang
Syiah terdiri dari beberapa faksi, Qadariyah, Jabariyah, Ahmadiyah
dan Mutazilah, juga Ingkar Sunnah), semuanya masuk neraka
kecuali 1 golongan, yakni Ahlussunah wal jamaah. Yang berpegang
kepada Al Quran Wal Hadits.
Nah, lantas kalau semua ngaku ahlussunah wal jamaah, siapa
yang benar? Mari kita lihat secara teliti. Bila merujuk kepada hadits
tadi, maka semua golongan yang berpegang kepada Al Quran wal
Hadits termasuk ahlussunah wal jamaah. Dalam sebuah contoh
kasus; Kaum Nahdliyin yang berpegang pada pendapat Imam
Syafii, tidak membolehkan pria yang punya wudhu bersentuhan
dengan wanita, karena bersentuhan memnyebabkan batal wudhu.
Sedangkan Muhammadiyah mengikuti pedoman pada pendapat Abu
Hanifa atau Imam Hanafi, bahwa bersentuhan dengan wanita tidak
membatalkan wudhu, karena kata bersentuhan menurut beliau
ditafsirkan sebagai kata kiasan yang artinya adalah bersebadan.
Dalilnya dari mana? An Nisa 4:43, Al Maidah 5:6, Maryam
19:20. Dua pendapat yang berbeda, tapi berasal dari ayat Al Quran
yang sama, hanya pada tahapan penafsirannya saja yang berbeda.
Cabang, ikhtilaf, khilafiyah, furuiyah dan istilah lainnya untuk
perbedaan para Imam Madzhab ini, justru sering mengedepan
justru di kalangan bawah, bukan di tataran ulama. Selain karena
para Imam mahdzab di kitabnya selalu menyertakan statement
bahwa: bila ada Imam lain berpendapat berbeda, maka ikutlah dia,
karena aku bisa saja salah. Konsep tasammuh (toleransi) dalam hal
ini dijunjung tinggi.
Materi Perbandingan Madzhab di pesantren, justru diberikan
di tahap akhir kurikulum, sehingga diharapkan para santri
mengamati, memahami segala sesuatu itu dari perspektif yang
holistik. Untuk beberapa hal, faham Syafii berpendapat begini tapi
menurut Maliki justru berlawanan, kadang Hambali mendukung,
dan bahkan Hanafi justru lebih berhati-hati.
Karena Madzhab hanyalah sebatas pola pikir, sudut pandang,
perspektif, para ulama untuk memudahkan pemahaman dalam
praktek pendekatan diri kepada Allah juga RasulNya sebagai contoh
hidup, atau ringkasnya bermadzhab hanya soal nyaman atau tidak,
mau atau tidak.
2. Ibarat makan bareng di Rumah Makan Padang, kalo ada yang
diet silahkan makan sop atau kalo asam urat/ kolesterol darahnya
tinggi, dia boleh pilih minum jus Alpukat saja, tanpa harus ada yang
ngotot semuanya musti makan rendang. Maka sampai sini
persoalan mustinya sudah selesai.
Namun tidak semua murid di kelas bisa jadi rangking 1, inilah
realita yang ada. Dengan kalimat lain, meski belajar hal yang sama,
gurunya sama, waktunya sama, tapi ketekunan berbeda dan daya
tangkap juga bervariasi, maka tidak akan ada rangking 1 di duduki
oleh 2 orang. Meski banyak pengajian, taklim, majelis fikir dan
halaqoh tarbiyah, sering muncul persoalan ketika berbenturan
dengan keseharian. Faham tapi ga suka, ngerti tapi ngga cocok,
sepemikiran tapi ngga diikuti. Permasalahan sederhana sebetulnya,
Setan tidak pernah mau orang shalih jadi banyak. Dibuat iri,
dihembuskan kedengkian, di tiupkan kemarahan, dibakarnya nafsu,
dan sederet ide brilian keturunan Iblis ini tetap tergenapi nuansa
kelicikan.
Egoisme adalah sebuah manifestasi dari perasaan Iblis. Dia
merasa lebih baik dari Manusia. Dan di dalam QS Al Araaf 7:12
sangat jelas statement Iblis terhadap eksistensi Ayahanda Ummat
Dunia yang dijadikan Khalifah di bumi. ana khairu minhum (saya
lebih baik dari dia [Adam a.s].
Dalam berbagai masalah, komunitas grass root
(baca:jamaah) lebih berfikir bahwa dialah yang belajar dengan
benar dan baik, sehingga tidak ada kebenaran yang mendua,
karena kebenaran hanya ada satu, yakni yang datangnya dari Allah.
Maka ketika mereka berfaham pada salah seorang imam madzhab,
maka tak ayal ketika dia tidak merunut kepada apa dasar pemikiran
para Imam madzhab itu, dia akan terjebak kepada perangkap
setan, yang menganggap bahwa fahamnyalah yang paling benar.
Disinilah lahirnya sebuah masalah sepele yang berkepanjangan,
hingga kini mendarah daging, bahkan sebagian dai juga mulai
terkena imbasnya, Astaghfirullah....
Saudaraku seiman seaqidah, Urgensinya cukup tinggi untuk
kita mengembalikan segala sesuatunya hanya kepada kaidah
pengambilan dasar hukum dalam Islam, yakni Al-Quran yang
teratas, kemudian disusul Sunnah / Hadits Rasul SAW, baru jumhur
Ulama atau kesepakatan para Ulama, dan pijakan selanjutnya
adalah ijtihad / pendapat dari para Ulama.
Ada ikhwan yang bertanya: untuk apa ikut madzhab? Kalo
hanya sekedar memperlebar jurang pemisah, lalu apa bedanya
dengan berbagai agama yang semua tujuannya sama, yakni kepada
Tuhan yang satu, cuma istilahnya beda?, maka jawabannya
menurut ana (sekali lagi dengan segala keterbatasan ilmu dan
segenap kebodohan) Soal madzhab, kita tidak harus bermadhzab
apalagi hanya 4, silahkan saja kalau mau bikin madhzab baru, atau
bermahdzab tanpa mahdzab selama kita kuasai belasan ilmu
3. dasarnya dan tetap merujuk pada Quran Hadits, tentu dengan
kesolehan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, soal agama beda tujuan sama. Mohon maaf, tanpa
mengurangi rasa hormat dan rasa persaudaraan, ana sekali lagi
hanya bersandar kepada kekurang lengkapan ana pada konsep
ketuhanan saudara kita yang beraqidah selain Islam. Nasrani
dengan Trinitasnya, Hindu, Budha, Kong Hu Cu hingga Taoisme
jelas jelas Polytheisme. Tapi jangan coba coba antum tanya hal ini
ke mereka, ana yakin seratus persen, mereka akan menyanggah
dengan menjelaskan berbagai pembenaran atas kebenaran yang
mereka fahami tentang ke-Esa-an, dan itupun dengan cerita,
analogi yang ngalor ngidul (kesana kemari) dan berakhir dengan
kebingungan, karena memang mereka tidak bisa menjawab konsep
ketauhidan dengan tepat, lha wong emang ga punya gimana mau
njelasin?
Tatkala kita yang awam ini hanya mampu berpegang pada
sandaran literatur ilmiah yang sudah ada, maka akan terkuras
energi kita untuk memilah (tapi pahalanya banyak lho) mana hadits
yang berkait dengan tauhid, mana yang bab aqidah, mana yang
soal hukum, dst. Belum lagi kalau kita berhadapan dengan Ayat
Quran maupun hadits dalam kerangka kurun waktu, demografi,
budaya, perilaku, asbab nuzul dan asbab wurudnya, Wuih pokoknya
bisa ga ngapa-ngapain kita bila tidak mampu mempelajarinya
langsung dari sumber yang bisa dipercaya, semisal ahli hadits, dlsb.
Maka secara sederhana sebaiknya menurut ana: Ketika
terjadi perbedaan, maka dengan pemahaman yang cukup, siapapun
dia (NU, Muhammadiyah, PERSIS, Salafiyun, Jamaah Tabligh) mari
kita lihat apa dasar pengambilan hukumnya, bila berujung di Quran
Hadits kita musti segera menyalami tangan dia (jangan lupa
senyum dan baca Alhamdulillah) dengan penuh kehangatan, orang
yang berbeda dengan kita, seraya berkata Alhamdulillah, Kita
Semua Ahli Surga, Insya Allah.
Wallahu alam bishshowab.