[Ringkasan]
Makalah ini membahas tentang penyakit kusta (leprosy), termasuk definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, dan pengobatan. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan menyebabkan berbagai gejala kulit seperti lesi, kehilangan sensasi, dan kerusakan saraf. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologis.
1 of 24
Downloaded 28 times
More Related Content
Kmb ( pakudin )
1. MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DOSEN PENGAJAR : SYAIFUDDIN,S.Kep,Ns, M.Kes.
KUSTA
O L E H
KELOMPOK III :
AHMAD HAERUL
AINUL MAFRISA
AISYAH NURLIANA R
AKBAR
ALWAN AMASAE
AMELIA FRANSISCA
ANAS
ANDI AHDANIAR
ANDI AMALIA
S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
2. KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu..
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,berkah,dan
nikmat yang diberikannya kepada kita semua khususnya kepada kelompok kami
sehingga apa yang menjadi tugas kami sebagai mahasiswa dapat terlaksanakan
dengan baik walaupun tidak sesempurna seperti yang kita harapkan.Shalawat serta
salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan
risalah islam dan membawa ummatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang
benderang.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH II dengan tema KUSTA . Selanjutnya kami mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan
makalah ini, khususnya kepada orang tua kami yang senantiasa mendukung segala
bentuk aktivitas kami, dengan doanya kami haturkan pula terima kasih kepada dosen
kami yang senantiasa memfasilitasi serta membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini.
Akhir kata, kritik dan saran dari para pembaca makalah ini sangat diharapkan.
Makassar, 28 April 2012
Penyusun
Kelompok III
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
B. EPIDEMIOLOGI
C. ETIOLOGI
D. MANISFESTASI KLINIS
E. PATOFISIOLOGI
F. PENYIMPANGAN KDM
G. PENCEGAHAN
H. PENGOBATAN
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
C. INTERVENSI
BAB IV : PENUTU
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan
seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja
tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan
ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah
masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa
dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita
kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah
untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta
mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa
daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan
sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang
berkembang,dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam
memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan social ekonomi pada masyarakat.
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi
dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I).
5. Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992,
pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Dampak sosial
terhadap penyakit kusta ini sedemikiari besarnya, sehingga menimbulkan keresahan
yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku
penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi
ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit
menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan
menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa
putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara
penyakitpenyakit lain.
Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang
berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab
penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari
sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian
leprophobia 息2003 Digitized by USU digital library 2 yang bermanifestasi sebagai
rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat
kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke
masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan
masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan
dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan
masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai
pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit
kusta.
Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan
menjauhkan ,penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan
terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka
tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di
kalangan masyarakat.
6. B. Tujuan
Penulisan makalah ini diharapkan mencapai beberapa tujuan dalam
memahami penanggulan penyakit kusta , yaitu :
Untuk mengetahui penyakit kusta yang meliputi definisi , sejarah dan
epidemologi penyakit kusta ?
Untuk mengetahi apa apa saja bentuk bentuk dan gejala penyakit
kusta ?
Untuk mengetahui bagaimana transmisi penularan penyakit kusta ?
Untuk mengetahui penegakan upaya pencegahan penanggulangan ,
diagnose penyakit kusta ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
7. Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah
sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki
penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia
bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta
terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya
adalah dari golongan ekonomi lemah.
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia
Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk.
Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa
oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat
dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta
B. EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja
belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab
M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang
mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan
lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-
perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.
Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan
8. adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh
lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang
mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat
banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dfapat
menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di Indonesia
penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 賊 13%, tetapi anak di bawah umur 1
tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor
social ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin
subur penyakit kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan
terdapat di daerah tropis dan subtropics yang panas dan lembab.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakutimoleh karena
adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat kerusakan
saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta
dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis
dan atrofi otot.
C. ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai
microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil tahan asam.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor
genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
9. kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat
terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah
beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan
pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian
berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta
apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut :
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal
ataupun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul atau
nodul.
2. BTA Positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila
ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap tiga bulan
sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain.
Ada tiga tanda kardinal :
a) Lesi kulit yang anastesi
b) Penebalan saraf perifer
c) Ditemukan M. Leprae (bakteriologis positif)
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi
menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit kusta menjadi lim
kelompok bedasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik.
Menurut Ridley dan Jopling :
Tipe Tuberkoloid ( TT ) :
10. v Lesi ini mengenai kulit dan saraf.
v Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
v Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
v Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
v Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
v Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
v Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
v Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
Tipe Mid Borderline ( BB )
v Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
v Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
v Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
v Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
v Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Secara Klinis lesi dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke
seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf
berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya
rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba
pada tempat prediteksi.
Tipe Lepromatosa ( LL )
v Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
11. v Distribusi lesi khas :
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
v Stadium lanjutan :
Penebalan kulit progresif
Cuping telinga menebal
Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,
intis dan keratitis.
v Lebih lanjut
Deformitas hidung
Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
Penyakit progresif, makula dan popul baru.
Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
v Lebih lanjut
Deformitas hidung
Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
Penyakit progresif, makula dan popul baru.
Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
v Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi
dan pengecilan tangan dan kaki.
Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
E. PATOFISOLOGI
12. Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien.
Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kea rah tuberkuloid dan bila
rendah, berkembang kea rah lepromatosa. M. leprae berpredileksi di daerah-daerah
yang relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon
imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik.
F. PENYIMPANGAN KDM
13. G. PENCEGAHAN
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besarkemungkinan
menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadifaktor pengobatan
adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehinggapenularan dapat
dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secarateratur.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
14. kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan
hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita
tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada
obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan
demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada
setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan
berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara
teratur
e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik
Usaha Pencegahan Cacat
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pencegahan kecacatan
adalah :
1. Pencatatan data dasar setiap pasien pada waktu registrasi, yang meliputi :
Pemeriksaan mata.
Pemeriksaan tangan yang meliputi :
1. Adanya nyeri tekan pada syaraf.
2. Kekuatan otot.
3. Rasa raba.
4. Dan adanya kecacatan yang lainnya.
5. Pemeriksaan pada kaki.
Pemeriksaan pada kaki tujuannya sama dengan pemeriksaan pada tangan.
2. Kesimpulan dan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan yang meliputi :
15. Menentukan apakah penderita sedang dalam keadaan reaksi berat atau tidak
sehingga perlu diobati dengan prednison atau tidak.
Mengajarkan cara perawatan diri kepada penderita dengan cacat yang sudah
menetap.
Penderita yang tidak cacat perlu diberikan penjelasan mengenai resiko dan
tanda-tanda reaksi agar penderita segera lapor ke petugas kesehatan atau
puskesmas terdekat
3.Pelaksanaan program pencegahan cacat
4.Tingkat cacat menurut World Health Organisation
H. PENGOBATAN
Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan
3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin
dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine.
1. DDS (Diamino Diphenyl Suffone)
Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100
mg/tab, sifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman
Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2
mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang timbul adalah : anemia
hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur hepatitis, alergi
terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri dan Psychosis.
2. Clofazimine atau Lamprene
Berbentuk kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100
mg/kapsul, sifat bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium
Leprae dan anti reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan ialah 50 mg/hari atau
selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.
16. Efek samping obat ini adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai kehitam-
hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat distop, gangguan pencernaan dapat
berupa diare dan nyeri pada lambung.
3. Rifampizin
Berbentuk kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600
mg, sifatnya mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid). Rifampizin
merupakan obat kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis
10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin tidak boleh
diberikan secara monotheraphy karena dapat memperbesar terjadinya resistensi, efek
sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.
4. Prednison
Obat ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi.
5. Sulfas Ferrosus
Obat tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat.
6. Vitamin A
Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis) (Depkes
RI, 2006).
Obat alternatif lain yaitu :
1. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap
mycobacterium leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran
pernafasan lain.
2. Minosiklin
17. Termasuk dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi daripada
klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin
3. Klaritomisin
Merupakan kelompok antibiotika mikrolid dan mempunyai aktifitas
bakteriosidalnya terhadap Mycobacterium pada tikus dan manusia
Rigimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan
yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut :
1.Penderita Pausi Basiler (PB)
a. Penderita Pausi Lesi I diberikan dosis tunggal ROM (Rifampisin Ofloxacin
Minocycli)
Dewasa 50-70 kg: 600 mg; 400 mg; 100 mg
Anak 5-14 tahun: 300 mg; 200mg; 50 mg
1. Obat ditelan di depan petugas.
2. Anak kurang 5 (lima) tahun tidak diberikan ROM.
3. Ibu hamil tidak diberikan ROM.
Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT. Dalam
program ROM tidak dipergunakan, penderita PB lesi satu diobati dengan regimen PB
selama 6 (enam) bulan.
b. Penderita PB lesi 2-5 . Dewasa, pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang
diminum di depan petugas).
2. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).
3. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
Pengobatan harian : hari ke 2- 28 : 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg, 1 blister
untuk 1 bulan.
Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.
18. 4. Penderita Multi Basiler (MB)
Dewasa, pengobatan bulan : hari pertama (dosis yang diminum di depan
petugas).
2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).
3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg).
1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
Pengobatan harian : hari ke 2 28
1. 1 tablet lamprene 50 mg.
2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
3. 1 blister untuk 1 bulan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Biodata pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
- Keluhan umum
- Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat penyakt keluarga
5. Riwayat nutrisi
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
19. 3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
dan kehilangan fungsi tubuh
C. INTERVENSI
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi
berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka
Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi
dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan
sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan
adakah penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
20. 4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses
penyembuhan
Diagnosa 2
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti
dan berangsur-angsur hilang
Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan
intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
21. 5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional:menghilangkan rasa nyeri
Diagnosa 3
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat
teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
Kriteria:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan
periode istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap
aktifitas
22. 5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada
latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi
secara optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.
Perhatikan perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa
yang terjadi membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan
untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan
realitas
23. 4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku
koping positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan
respon yang lebih membantu pasien
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah
sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki
penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.
Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan
3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin
dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine
B. SARAN
Pada tugas yang akan darang kebih diperhatikan lagi, agar apa yang menjadi
tujuan dari proses belajae ini dapat tercapai dengan maksimal mungkin.
24. DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,
Depkes Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.
http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/18/penyakit-kusta-dan-asuhan-
perawatan/. Diakses pada tanggal 28 April 2012
http://health.kompas.com/read/2012/01/27/18033674/Kusta..Penyakit.Menular.yang.S
ulit.Menular. Diakses pada tanggal 28 April 2012.