際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
MATA KULIAH      : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DOSEN PENGAJAR   : SYAIFUDDIN,S.Kep,Ns, M.Kes.




                          KUSTA




                            O L E H

                         KELOMPOK III :

                        AHMAD HAERUL

                        AINUL MAFRISA

                        AISYAH NURLIANA R

                        AKBAR

                        ALWAN AMASAE

                        AMELIA FRANSISCA

                        ANAS

                        ANDI AHDANIAR

                        ANDI AMALIA



                         S1 KEPERAWATAN
                   SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
                         NANI HASANUDDIN
                             MAKASSAR
                               2012
KATA PENGANTAR


      Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu..

      Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,berkah,dan
nikmat yang diberikannya kepada kita semua khususnya kepada kelompok kami
sehingga apa yang menjadi tugas kami sebagai mahasiswa dapat terlaksanakan
dengan baik walaupun tidak sesempurna seperti yang kita harapkan.Shalawat serta
salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan
risalah islam dan membawa ummatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang
benderang.

      Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH II dengan tema  KUSTA . Selanjutnya kami mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan
makalah ini, khususnya kepada orang tua kami yang senantiasa mendukung segala
bentuk aktivitas kami, dengan doanya kami haturkan pula terima kasih kepada dosen
kami yang senantiasa memfasilitasi serta membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini.

      Akhir kata, kritik dan saran dari para pembaca makalah ini sangat diharapkan.




                                              Makassar, 28 April 2012
                                              Penyusun


                                              Kelompok III
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I     : PENDAHULUAN
          A. LATAR BELAKANG
          B. TUJUAN
BAB II    : TINJAUAN PUSTAKA
          A. DEFINISI
          B. EPIDEMIOLOGI
          C. ETIOLOGI
          D. MANISFESTASI KLINIS
          E. PATOFISIOLOGI
          F. PENYIMPANGAN KDM
          G. PENCEGAHAN
          H. PENGOBATAN
BAB III   : ASUHAN KEPERAWATAN
          A. PENGKAJIAN
          B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
          C. INTERVENSI
BAB IV    : PENUTU
          A. KESIMPULAN
          B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
                              PENDAHULUAN


A. Latar Belakang


      Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan
seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja
tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan
ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah
masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa
dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita
kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah
untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.


      Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta
mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa
daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan
sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.


      Pada   umumnya      penyakit   kusta   terdapat   di   negara   yang   sedang
berkembang,dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam
memberikan    pelayanan   yang   memadai     di   bidang     kesehatan,   pendidikan,
kesejahteraan social ekonomi pada masyarakat.


      Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi
dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I).
Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992,
pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Dampak sosial
terhadap penyakit kusta ini sedemikiari besarnya, sehingga menimbulkan keresahan
yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku
penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi
ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit
menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan
menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa
putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kenyataan     bahwa      penyakit   mempunyai   kedudukan   yang   khusus   diantara
penyakitpenyakit lain.


         Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang
berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab
penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari
sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian
leprophobia 息2003 Digitized by USU digital library 2 yang bermanifestasi sebagai
rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat
kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke
masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan
masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan
dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan
masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai
pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit
kusta.


         Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan
menjauhkan ,penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan
terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka
tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di
kalangan masyarakat.
B. Tujuan


        Penulisan makalah ini diharapkan mencapai beberapa tujuan dalam
  memahami penanggulan penyakit kusta , yaitu :


              Untuk mengetahui penyakit kusta yang meliputi definisi , sejarah dan
              epidemologi penyakit kusta ?
              Untuk mengetahi apa  apa saja bentuk  bentuk dan gejala penyakit
              kusta ?
              Untuk mengetahui bagaimana transmisi penularan penyakit kusta ?
              Untuk mengetahui penegakan upaya pencegahan penanggulangan ,
              diagnose penyakit kusta ?




                                     BAB II
                             TINJAUAN PUSTAKA


A. DEFINISI
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah
sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki
penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.

           Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia
bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta
terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya
adalah dari golongan ekonomi lemah.

           Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia
Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk.
Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa
oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat
dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta


B. EPIDEMIOLOGI


           Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja
belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab
M.leprae       masih     dapat      hidup     beberapa      hari    dalam      droplet.


           Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang
mengatakan antara 40 hari  40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan
lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-
perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.


           Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan
adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh
lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang
mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.


           Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat
banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dfapat
menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di Indonesia
penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 賊 13%, tetapi anak di bawah umur 1
tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor
social ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin
subur penyakit kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan
terdapat    di     daerah     tropis   dan   subtropics   yang     panas   dan    lembab.


           Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakutimoleh karena
adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat kerusakan
saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta
dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis
dan atrofi otot.


C. ETIOLOGI


           Penyakit   kusta     disebabkan    oleh   kuman       yang   dimakan   sebagai
microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil tahan asam.

           Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor
genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat
terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.

         Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah
beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan
pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian
berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

D. MANIFESTASI KLINIS

         Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta
apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut :
1.    Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal
ataupun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul atau
nodul.
2.    BTA Positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila
ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap tiga bulan
sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain.
Ada tiga tanda kardinal :
a)    Lesi kulit yang anastesi
b)    Penebalan saraf perifer
c)    Ditemukan M. Leprae (bakteriologis positif)
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi
menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit kusta menjadi lim
kelompok bedasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik.
 Menurut Ridley dan Jopling :


 Tipe Tuberkoloid ( TT ) :
v Lesi ini mengenai kulit dan saraf.
v Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
v Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
v Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
 Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
v Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
v Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
v Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
v Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
 Tipe Mid Borderline ( BB )
v Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
v Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
v Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
v Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
v Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.


 Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Secara Klinis lesi dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke
seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf
berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya
rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba
pada tempat prediteksi.
 Tipe Lepromatosa ( LL )
v Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
v Distribusi lesi khas :
 Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
 Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
v Stadium lanjutan :
 Penebalan kulit progresif
 Cuping telinga menebal
 Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,
intis dan keratitis.
v Lebih lanjut
 Deformitas hidung
 Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
 Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
 Penyakit progresif, makula dan popul baru.
 Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
v Lebih lanjut
 Deformitas hidung
 Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
 Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
 Penyakit progresif, makula dan popul baru.
 Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
v Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi
 dan pengecilan tangan dan kaki.
 Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
 Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

E. PATOFISOLOGI
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien.
Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kea rah tuberkuloid dan bila
rendah, berkembang kea rah lepromatosa. M. leprae berpredileksi di daerah-daerah
yang relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.


         Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon
imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik.




F. PENYIMPANGAN KDM
G. PENCEGAHAN

         Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
 dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besarkemungkinan
 menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadifaktor pengobatan
 adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehinggapenularan dapat
 dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan

kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secarateratur.


         Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
 pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
 cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan
 hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.


         Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita
 tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada
 obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan
 demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada
 setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan
 berisikan pengajaran bahwa :
 a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
 b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
 c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
 d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara
   teratur
 e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik
Usaha Pencegahan Cacat

      Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pencegahan kecacatan
      adalah :

1. Pencatatan data dasar setiap pasien pada waktu registrasi, yang meliputi :

      Pemeriksaan mata.
      Pemeriksaan tangan yang meliputi :

  1. Adanya nyeri tekan pada syaraf.
  2. Kekuatan otot.
  3. Rasa raba.
  4. Dan adanya kecacatan yang lainnya.
  5. Pemeriksaan pada kaki.

      Pemeriksaan pada kaki tujuannya sama dengan pemeriksaan pada tangan.

 2. Kesimpulan dan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan yang meliputi :
Menentukan apakah penderita sedang dalam keadaan reaksi berat atau tidak
     sehingga perlu diobati dengan prednison atau tidak.
     Mengajarkan cara perawatan diri kepada penderita dengan cacat yang sudah
     menetap.
     Penderita yang tidak cacat perlu diberikan penjelasan mengenai resiko dan
     tanda-tanda reaksi agar penderita segera lapor ke petugas kesehatan atau
     puskesmas terdekat

3.Pelaksanaan program pencegahan cacat

4.Tingkat cacat menurut World Health Organisation

H. PENGOBATAN


        Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan
3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin
dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine.

1. DDS (Diamino Diphenyl Suffone)

     Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100
mg/tab, sifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman
Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2
mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang timbul adalah : anemia
hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur hepatitis, alergi
terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri dan Psychosis.

2. Clofazimine atau Lamprene

     Berbentuk kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100
mg/kapsul, sifat bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium
Leprae dan anti reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan ialah 50 mg/hari atau
selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.
Efek samping obat ini adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai kehitam-
hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat distop, gangguan pencernaan dapat
berupa diare dan nyeri pada lambung.

3. Rifampizin

     Berbentuk kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600
mg, sifatnya mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid). Rifampizin
merupakan obat kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis
10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin tidak boleh
diberikan secara monotheraphy karena dapat memperbesar terjadinya resistensi, efek
sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.

4. Prednison

     Obat ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi.

5. Sulfas Ferrosus

     Obat tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat.

6. Vitamin A

     Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis) (Depkes
RI, 2006).

Obat alternatif lain yaitu :
1. Ofloksasin

     Ofloksasin merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap
mycobacterium leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran
pernafasan lain.

2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi daripada
klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin

3. Klaritomisin

     Merupakan      kelompok      antibiotika      mikrolid   dan   mempunyai   aktifitas
bakteriosidalnya terhadap Mycobacterium pada tikus dan manusia
     Rigimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan
yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut :

1.Penderita Pausi Basiler (PB)
a. Penderita Pausi Lesi I diberikan dosis tunggal ROM (Rifampisin Ofloxacin
Minocycli)

     Dewasa 50-70 kg: 600 mg; 400 mg; 100 mg
     Anak 5-14 tahun: 300 mg; 200mg; 50 mg

1.   Obat ditelan di depan petugas.
2.   Anak kurang 5 (lima) tahun tidak diberikan ROM.
3.   Ibu hamil tidak diberikan ROM.

     Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT. Dalam
program ROM tidak dipergunakan, penderita PB lesi satu diobati dengan regimen PB
selama 6 (enam) bulan.

b. Penderita PB lesi 2-5 . Dewasa, pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang
diminum di depan petugas).

2.   2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).
3.   1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

     Pengobatan harian : hari ke 2- 28 : 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg, 1 blister
untuk 1 bulan.
     Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.
4. Penderita Multi Basiler (MB)

     Dewasa, pengobatan bulan : hari pertama (dosis yang diminum di depan
petugas).

     2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).
     3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg).
     1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
     Pengobatan harian : hari ke 2  28

1.   1 tablet lamprene 50 mg.
2.   1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
3.   1 blister untuk 1 bulan

                                            BAB III

                               ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
     1.     Biodata pasien
     2.     Riwayat penyakit sekarang
              - Keluhan umum
              - Riwayat penyakit sekarang
     3. Riwayat penyakit dahulu
     4. Riwayat penyakt keluarga
     5. Riwayat nutrisi


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

          1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
            inflamasi

          2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
            jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

     4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
       dan kehilangan fungsi tubuh

C. INTERVENSI

      Diagnosa 1

         Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi
          berhenti dan berangsur-angsur sembuh.

         Kriteria :

           1) Menunjukkan regenerasi jaringan

           2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

         Intervensi:

           1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
              sekitar luka

                Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi
                dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

           2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

                Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan
                sekitar.

           3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan
              adakah penyebaran pada jaringan sekitar

                Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
                mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam

       Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
       mempertahankan kebersihan lesi

    5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

       Rasional:Tekanan      pada     lesi   bisa    maenghambat       proses
       penyembuhan

Diagnosa 2

  Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti
   dan berangsur-angsur hilang

  Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
   berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

  Intervensi:

    1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

       Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan
       intervensi.

    2. Observasi tanda-tanda vital

       Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

    3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

       Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri

    4. Atur posisi senyaman mungkin

       Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

        Rasional:menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3

  Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat
   teratasi dan aktivitas dapat dilakukan

  Kriteria:

    1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

    2) Kekuatan otot penuh

  Intervensi:

    1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

        Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

    2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

        Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

    3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
       kemudian aktif

        Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
        meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

    4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan
       periode istirahat

        Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap
        aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada
       latihan

        Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
        perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 4

  Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi
   secara optimal dan konsep diri meningkat

  Kriteria:

    1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

    2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

  Intervensi

    1. Kaji makna perubahan pada pasien

        Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
        memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

    2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.
       Perhatikan perilaku menarik diri.

        Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa
        yang terjadi membantu perbaikan

    3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
       kenyakinan yang salah

        Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan
        untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan
        realitas
4. Berikan penguatan positif

                Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku
                koping positif

             5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

                Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan
                respon yang lebih membantu pasien

                                       BAB IV

                                      PENUTUP




A.   KESIMPULAN


        Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah
sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki
penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.


        Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan
3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin
dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine


B. SARAN


        Pada tugas yang akan darang kebih diperhatikan lagi, agar apa yang menjadi
tujuan dari proses belajae ini dapat tercapai dengan maksimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,
  Depkes Jakarta

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
  Jakarta.

http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/18/penyakit-kusta-dan-asuhan-
  perawatan/. Diakses pada tanggal 28 April 2012

http://health.kompas.com/read/2012/01/27/18033674/Kusta..Penyakit.Menular.yang.S
  ulit.Menular. Diakses pada tanggal 28 April 2012.

More Related Content

Kmb ( pakudin )

  • 1. MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DOSEN PENGAJAR : SYAIFUDDIN,S.Kep,Ns, M.Kes. KUSTA O L E H KELOMPOK III : AHMAD HAERUL AINUL MAFRISA AISYAH NURLIANA R AKBAR ALWAN AMASAE AMELIA FRANSISCA ANAS ANDI AHDANIAR ANDI AMALIA S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NANI HASANUDDIN MAKASSAR 2012
  • 2. KATA PENGANTAR Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.. Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,berkah,dan nikmat yang diberikannya kepada kita semua khususnya kepada kelompok kami sehingga apa yang menjadi tugas kami sebagai mahasiswa dapat terlaksanakan dengan baik walaupun tidak sesempurna seperti yang kita harapkan.Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan risalah islam dan membawa ummatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II dengan tema KUSTA . Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada orang tua kami yang senantiasa mendukung segala bentuk aktivitas kami, dengan doanya kami haturkan pula terima kasih kepada dosen kami yang senantiasa memfasilitasi serta membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata, kritik dan saran dari para pembaca makalah ini sangat diharapkan. Makassar, 28 April 2012 Penyusun Kelompok III
  • 3. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. TUJUAN BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI B. EPIDEMIOLOGI C. ETIOLOGI D. MANISFESTASI KLINIS E. PATOFISIOLOGI F. PENYIMPANGAN KDM G. PENCEGAHAN H. PENGOBATAN BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN B. DIAGNOSA KEPERAWATAN C. INTERVENSI BAB IV : PENUTU A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA
  • 4. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang,dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan social ekonomi pada masyarakat. Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I).
  • 5. Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikiari besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakitpenyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia 息2003 Digitized by USU digital library 2 yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial. Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan masalah masyarakat karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter masih terlalu takut dan menjauhkan ,penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.
  • 6. B. Tujuan Penulisan makalah ini diharapkan mencapai beberapa tujuan dalam memahami penanggulan penyakit kusta , yaitu : Untuk mengetahui penyakit kusta yang meliputi definisi , sejarah dan epidemologi penyakit kusta ? Untuk mengetahi apa apa saja bentuk bentuk dan gejala penyakit kusta ? Untuk mengetahui bagaimana transmisi penularan penyakit kusta ? Untuk mengetahui penegakan upaya pencegahan penanggulangan , diagnose penyakit kusta ? BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI
  • 7. Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil. Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta B. EPIDEMIOLOGI Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan- perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan
  • 8. adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dfapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 賊 13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor social ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin subur penyakit kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropics yang panas dan lembab. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakutimoleh karena adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat kerusakan saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis dan atrofi otot. C. ETIOLOGI Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
  • 9. kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. D. MANIFESTASI KLINIS Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut : 1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal ataupun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul atau nodul. 2. BTA Positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap tiga bulan sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain. Ada tiga tanda kardinal : a) Lesi kulit yang anastesi b) Penebalan saraf perifer c) Ditemukan M. Leprae (bakteriologis positif) Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit kusta menjadi lim kelompok bedasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik. Menurut Ridley dan Jopling : Tipe Tuberkoloid ( TT ) :
  • 10. v Lesi ini mengenai kulit dan saraf. v Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ). v Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal. v Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT ) v Hampir sama dengan tipe tuberkoloid v Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT. v Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris. v Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal. Tipe Mid Borderline ( BB ) v Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai. v Lesi dapat berbentuk macula infiltrate. v Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris. v Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya. v Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini. Tipe Borderline Lepromatus ( BL ) Secara Klinis lesi dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi. Tipe Lepromatosa ( LL ) v Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
  • 11. v Distribusi lesi khas : Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah. v Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif Cuping telinga menebal Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis. v Lebih lanjut Deformitas hidung Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus. v Lebih lanjut Deformitas hidung Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus. v Stadium lanjut Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling) Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal. Lokasi bagian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta. E. PATOFISOLOGI
  • 12. Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kea rah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kea rah lepromatosa. M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. F. PENYIMPANGAN KDM
  • 13. G. PENCEGAHAN Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besarkemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadifaktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehinggapenularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secarateratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
  • 14. kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa : a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik Usaha Pencegahan Cacat Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pencegahan kecacatan adalah : 1. Pencatatan data dasar setiap pasien pada waktu registrasi, yang meliputi : Pemeriksaan mata. Pemeriksaan tangan yang meliputi : 1. Adanya nyeri tekan pada syaraf. 2. Kekuatan otot. 3. Rasa raba. 4. Dan adanya kecacatan yang lainnya. 5. Pemeriksaan pada kaki. Pemeriksaan pada kaki tujuannya sama dengan pemeriksaan pada tangan. 2. Kesimpulan dan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan yang meliputi :
  • 15. Menentukan apakah penderita sedang dalam keadaan reaksi berat atau tidak sehingga perlu diobati dengan prednison atau tidak. Mengajarkan cara perawatan diri kepada penderita dengan cacat yang sudah menetap. Penderita yang tidak cacat perlu diberikan penjelasan mengenai resiko dan tanda-tanda reaksi agar penderita segera lapor ke petugas kesehatan atau puskesmas terdekat 3.Pelaksanaan program pencegahan cacat 4.Tingkat cacat menurut World Health Organisation H. PENGOBATAN Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine. 1. DDS (Diamino Diphenyl Suffone) Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tab, sifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2 mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang timbul adalah : anemia hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur hepatitis, alergi terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri dan Psychosis. 2. Clofazimine atau Lamprene Berbentuk kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kapsul, sifat bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae dan anti reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan ialah 50 mg/hari atau selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.
  • 16. Efek samping obat ini adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai kehitam- hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat distop, gangguan pencernaan dapat berupa diare dan nyeri pada lambung. 3. Rifampizin Berbentuk kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg, sifatnya mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid). Rifampizin merupakan obat kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis 10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin tidak boleh diberikan secara monotheraphy karena dapat memperbesar terjadinya resistensi, efek sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal. 4. Prednison Obat ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi. 5. Sulfas Ferrosus Obat tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat. 6. Vitamin A Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis) (Depkes RI, 2006). Obat alternatif lain yaitu : 1. Ofloksasin Ofloksasin merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap mycobacterium leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran pernafasan lain. 2. Minosiklin
  • 17. Termasuk dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi daripada klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin 3. Klaritomisin Merupakan kelompok antibiotika mikrolid dan mempunyai aktifitas bakteriosidalnya terhadap Mycobacterium pada tikus dan manusia Rigimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut : 1.Penderita Pausi Basiler (PB) a. Penderita Pausi Lesi I diberikan dosis tunggal ROM (Rifampisin Ofloxacin Minocycli) Dewasa 50-70 kg: 600 mg; 400 mg; 100 mg Anak 5-14 tahun: 300 mg; 200mg; 50 mg 1. Obat ditelan di depan petugas. 2. Anak kurang 5 (lima) tahun tidak diberikan ROM. 3. Ibu hamil tidak diberikan ROM. Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT. Dalam program ROM tidak dipergunakan, penderita PB lesi satu diobati dengan regimen PB selama 6 (enam) bulan. b. Penderita PB lesi 2-5 . Dewasa, pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas). 2. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg). 3. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg. Pengobatan harian : hari ke 2- 28 : 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg, 1 blister untuk 1 bulan. Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.
  • 18. 4. Penderita Multi Basiler (MB) Dewasa, pengobatan bulan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas). 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg). 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg). 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg. Pengobatan harian : hari ke 2 28 1. 1 tablet lamprene 50 mg. 2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg. 3. 1 blister untuk 1 bulan BAB III ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Biodata pasien 2. Riwayat penyakit sekarang - Keluhan umum - Riwayat penyakit sekarang 3. Riwayat penyakit dahulu 4. Riwayat penyakt keluarga 5. Riwayat nutrisi B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi 2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
  • 19. 3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik 4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh C. INTERVENSI Diagnosa 1 Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh. Kriteria : 1) Menunjukkan regenerasi jaringan 2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi Intervensi: 1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi. 2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar. 3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
  • 20. 4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi 5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan Diagnosa 2 Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang Intervensi: 1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi. 2. Observasi tanda-tanda vital Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien 3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri 4. Atur posisi senyaman mungkin Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
  • 21. 5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi Rasional:menghilangkan rasa nyeri Diagnosa 3 Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan Kriteria: 1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari 2) Kekuatan otot penuh Intervensi: 1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas 2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas 3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi 4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
  • 22. 5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan Diagnosa 4 Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat Kriteria: 1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri 2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif Intervensi 1. Kaji makna perubahan pada pasien Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal 2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri. Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan 3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
  • 23. 4. Berikan penguatan positif Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif 5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil. Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine B. SARAN Pada tugas yang akan darang kebih diperhatikan lagi, agar apa yang menjadi tujuan dari proses belajae ini dapat tercapai dengan maksimal mungkin.
  • 24. DAFTAR PUSTAKA Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta. http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/18/penyakit-kusta-dan-asuhan- perawatan/. Diakses pada tanggal 28 April 2012 http://health.kompas.com/read/2012/01/27/18033674/Kusta..Penyakit.Menular.yang.S ulit.Menular. Diakses pada tanggal 28 April 2012.