狠狠撸

狠狠撸Share a Scribd company logo
Paradoks Kebudayaan by amadtattoo


                                 KOKSIDIOSIS KEBUDAYAAN

      Apakah yang kita cari dari semua ini? Sebab yang telah dilontarkan perubahan budaya ke
meja makan kita tidak lebih dari sekedar suara gusar tentang kemakmuran pikir dalam kancah
kedirian yang mulai mudah “dibohongi”. Tidak hanya lipatan waktu dan hari-hari, akan tetapi
wajah perubahan budaya sudah begitu akut dan berotot menggeser tempat duduk dan juga cara
berdiri bangsa Indonesia ini?

      Berawal dari sebuah coffee shop yang lumayan tidak begitu glamour di sebuah kawasan di
Jogja, beberapa batang rokok telah selesai saya hisap. Alunan musik melokalisir telinga para
pengunjung. Kebetulan dalam satu bangunan yang setengah terbuka itu, tempat minum kopi
bertempat di lantai kedua. Sedang lantai pertamanya adalah sebuah toko buku. Tentu dapat
diartikan sebagai perpaduan romansa antara intelektualita dan “kebebasan”. Rupanya gaung lagu
tidak mungkin dapat disatukan, sebab kedua lantai yang tanpa sekat itu memiliki kesamaan untuk
tidak peduli, atau tidak terjadinya penyatuan persepsi tentang suara dan irama yang mewakili.
Masing-masing lantai memutar lagu pilihan hatinya. Dalam idiom fatalis kuno dikatakan bahwa
kesetiaan hanyalah mitos. Namun begitulah, melodi sindir yang begitu natural itu akhirnya
terfahami. Meskipun agak terbata-bata dan penuh kasak-kusuk dalam mengejanya.

      Kemudian saya mengeluarkan beberapa buku yang baru saja saya beli ke atas meja, lalu
saya baca beberapa lembar setiap bukunya, sekedar melepas penasaran dan sedikit menjual
tampang: “bahwa saya bukan orang sembarangan”, menyedihkan memang, namun seperti itulah,
dimensi prasaja (apa adanya) seorang saya hanya sanggup jujur kadang-kadang.

      Lantas saya memesan segelas kopi pahit, saya menyebutnya, regular classic coffee,
meskipun pihak manajemen kafe kopi itu telah menamai kopi pesanan saya itu dengan sebuah
nama yang ternyata setelah beberapa kali saya kesana pun juga tidak mudah saya hafal, nama
yang cenderung mulur-mungret, ambigu, atau mungkin saya yang terlalu udik untuk mampu
memahami kemajuan budaya dalam hal menamai, entahlah.

      Kemudian semakin waktu, semakin bertambah kepadatan ruang. Diantara kami menjadi
tidak banyak berjarak. Dan harusnya, untuk sebuah ritme kebebasan pandangan, kejadian seperti
itu semestinya dimaknai sebagai keberkahan. Tapi toh tidak dengan saya. Pasalnya, dengan
kedekatan tubuh yang semacam itupun tidak juga membuat saya menjadi lebih melekat dengan
yang lain. Tetap saja ada semacam energi pembatas, yang membuat kedirian saya tidak segera



Koksidiosis Kebudayaan                                                                      3
Paradoks Kebudayaan by amadtattoo


ditangkap oleh atmosfir di ruangan itu. Saya yakin perasaan sepi itu tidak hanya terjadi dalam diri
saya saja.

      Musik semakin manis dan liar. Segalanya masih terkendali dalam jalur aman, sebuah pola
progresisfitas dan seolah-olah berkualitas. Namun lepas dari itu semua, yang saya rasakan ialah,
semakin sulit saja saya membedakan antara orang bodoh dan yang benar-benar pintar. Sebab
menurut pengalaman saya, jika manusia hanya sering bertanya, ia hanya akan menjadi tahu
namun belum tentu mengerti dan faham. Dan akan lain jika manusia itu mau membaca maka ia
akan menjadi manusia yang lebih mengerti sekaligus faham. Namun sayang, pendidikan formal di
negeri ini hanya mengajarkan cara bertanya dan menjawab. Tetapi sudahlah, bukan itu yang
hendak saya bicarakan.

      Anyway, kebanyakan dari kami tampil dengan laptop yang dibuat menyala, dan tentu
beberapa buku. Meja saya semakin sunyi, tidak sekelumit diskusi ada dan memantul dari meja
bambu berlapis kaca ini. Adakah yang salah? Tentu tidak. Bukan salah bunda mengandung,
melainkan mungkin saya yang tidak mahir bergaul.

      Begitulah, setiap fenomena yang tercitra dari sekian banyak peristiwa, akan menjadi prolog
menuju sebuah jalan telaah pikir. Renungan bisa saja keliru dalam memahami makna, namun
bukankah semua yang memang berbeda tidak dapat begitu saja disatukan. Dalam konteks
kebudayaan, pengaruh model sosiologis “kebarat-baratan” ternyata sedikit banyak cukup
memberi pengaruh yang signifikan bagi keseimbangan pikir. Nalar dalam upayanya mencari
sesuatu yang paling “pas” secara teratur justru berubah menjadi pembelot. Tanpa sadar, aksi-aksi
sambung rasa budaya sudah membuat mati suri kharisma local genius. Karena maaf, beberapa
manusia, sadar atau tidak, sudah salah faham dengan hakikat “kemajuan”.

      Nampaknya begitu banyak palung pembatas kebudayaan telah diuruk dengan sadis tapi
sexy oleh gejolak globalisasi, dengan dalih modernisme: jembatan menuju keselarasan
humanisme. Namun jika kita sudi menatap kembali cerita masa lalu, tentang dua utusan Ajisaka,
yang akhirnya mati dalam rangka mengayomi nilai kebenaran sebuah substansi “amanah”. Ada
sekelumit sakralitas keberpihakan disana. Ada kemakmuran fikir disana. Ada sesuatu yang pantas
dibela disana.

      Bukannya hendak mengatasnamakan sejarah yang mungkin keliru, tapi kiranya,
pemahaman atas perubahan dan pergeseran budaya yang terjadi dengan deras sekarang ini
selayaknya dihayati sebagai pertarungan pikir. Dan tentunya, yang tidak boleh dilupakan dari

Koksidiosis Kebudayaan                                                                           3
Paradoks Kebudayaan by amadtattoo


semuanya adalah sekat antara benar dan salah adalah mutlak, tidak ada jalan tengah untuk sebuah
penistaan dan dusta, jika sinkretisme budaya tidak lagi memperpanjang kearifan, lalu untuk apa
begitu banyak pilihan palsu begitu dibela?

      Untuk nilai kemanusiaan yang semakin lupa, seharusnya pada hati yang vertikal
menghadap langitlah semua harus dipertanyakan ulang, sudah benarkah apa yang terjadi ini?

      Diantara kerumunan wajah bertopeng, dengan sisa kepedulian terhadap diri yang masih
ada, mari mengingat: bagaimanakah cara “duduk” kita kemarin, di sebuah tempat, di sebuah
ruang kebudayaan, sebuah manusia yang katanya punya SIKAP?




Ahmad Junaidi




Koksidiosis Kebudayaan                                                                       3

More Related Content

Koksidiosis kebudayaan

  • 1. Paradoks Kebudayaan by amadtattoo KOKSIDIOSIS KEBUDAYAAN Apakah yang kita cari dari semua ini? Sebab yang telah dilontarkan perubahan budaya ke meja makan kita tidak lebih dari sekedar suara gusar tentang kemakmuran pikir dalam kancah kedirian yang mulai mudah “dibohongi”. Tidak hanya lipatan waktu dan hari-hari, akan tetapi wajah perubahan budaya sudah begitu akut dan berotot menggeser tempat duduk dan juga cara berdiri bangsa Indonesia ini? Berawal dari sebuah coffee shop yang lumayan tidak begitu glamour di sebuah kawasan di Jogja, beberapa batang rokok telah selesai saya hisap. Alunan musik melokalisir telinga para pengunjung. Kebetulan dalam satu bangunan yang setengah terbuka itu, tempat minum kopi bertempat di lantai kedua. Sedang lantai pertamanya adalah sebuah toko buku. Tentu dapat diartikan sebagai perpaduan romansa antara intelektualita dan “kebebasan”. Rupanya gaung lagu tidak mungkin dapat disatukan, sebab kedua lantai yang tanpa sekat itu memiliki kesamaan untuk tidak peduli, atau tidak terjadinya penyatuan persepsi tentang suara dan irama yang mewakili. Masing-masing lantai memutar lagu pilihan hatinya. Dalam idiom fatalis kuno dikatakan bahwa kesetiaan hanyalah mitos. Namun begitulah, melodi sindir yang begitu natural itu akhirnya terfahami. Meskipun agak terbata-bata dan penuh kasak-kusuk dalam mengejanya. Kemudian saya mengeluarkan beberapa buku yang baru saja saya beli ke atas meja, lalu saya baca beberapa lembar setiap bukunya, sekedar melepas penasaran dan sedikit menjual tampang: “bahwa saya bukan orang sembarangan”, menyedihkan memang, namun seperti itulah, dimensi prasaja (apa adanya) seorang saya hanya sanggup jujur kadang-kadang. Lantas saya memesan segelas kopi pahit, saya menyebutnya, regular classic coffee, meskipun pihak manajemen kafe kopi itu telah menamai kopi pesanan saya itu dengan sebuah nama yang ternyata setelah beberapa kali saya kesana pun juga tidak mudah saya hafal, nama yang cenderung mulur-mungret, ambigu, atau mungkin saya yang terlalu udik untuk mampu memahami kemajuan budaya dalam hal menamai, entahlah. Kemudian semakin waktu, semakin bertambah kepadatan ruang. Diantara kami menjadi tidak banyak berjarak. Dan harusnya, untuk sebuah ritme kebebasan pandangan, kejadian seperti itu semestinya dimaknai sebagai keberkahan. Tapi toh tidak dengan saya. Pasalnya, dengan kedekatan tubuh yang semacam itupun tidak juga membuat saya menjadi lebih melekat dengan yang lain. Tetap saja ada semacam energi pembatas, yang membuat kedirian saya tidak segera Koksidiosis Kebudayaan 3
  • 2. Paradoks Kebudayaan by amadtattoo ditangkap oleh atmosfir di ruangan itu. Saya yakin perasaan sepi itu tidak hanya terjadi dalam diri saya saja. Musik semakin manis dan liar. Segalanya masih terkendali dalam jalur aman, sebuah pola progresisfitas dan seolah-olah berkualitas. Namun lepas dari itu semua, yang saya rasakan ialah, semakin sulit saja saya membedakan antara orang bodoh dan yang benar-benar pintar. Sebab menurut pengalaman saya, jika manusia hanya sering bertanya, ia hanya akan menjadi tahu namun belum tentu mengerti dan faham. Dan akan lain jika manusia itu mau membaca maka ia akan menjadi manusia yang lebih mengerti sekaligus faham. Namun sayang, pendidikan formal di negeri ini hanya mengajarkan cara bertanya dan menjawab. Tetapi sudahlah, bukan itu yang hendak saya bicarakan. Anyway, kebanyakan dari kami tampil dengan laptop yang dibuat menyala, dan tentu beberapa buku. Meja saya semakin sunyi, tidak sekelumit diskusi ada dan memantul dari meja bambu berlapis kaca ini. Adakah yang salah? Tentu tidak. Bukan salah bunda mengandung, melainkan mungkin saya yang tidak mahir bergaul. Begitulah, setiap fenomena yang tercitra dari sekian banyak peristiwa, akan menjadi prolog menuju sebuah jalan telaah pikir. Renungan bisa saja keliru dalam memahami makna, namun bukankah semua yang memang berbeda tidak dapat begitu saja disatukan. Dalam konteks kebudayaan, pengaruh model sosiologis “kebarat-baratan” ternyata sedikit banyak cukup memberi pengaruh yang signifikan bagi keseimbangan pikir. Nalar dalam upayanya mencari sesuatu yang paling “pas” secara teratur justru berubah menjadi pembelot. Tanpa sadar, aksi-aksi sambung rasa budaya sudah membuat mati suri kharisma local genius. Karena maaf, beberapa manusia, sadar atau tidak, sudah salah faham dengan hakikat “kemajuan”. Nampaknya begitu banyak palung pembatas kebudayaan telah diuruk dengan sadis tapi sexy oleh gejolak globalisasi, dengan dalih modernisme: jembatan menuju keselarasan humanisme. Namun jika kita sudi menatap kembali cerita masa lalu, tentang dua utusan Ajisaka, yang akhirnya mati dalam rangka mengayomi nilai kebenaran sebuah substansi “amanah”. Ada sekelumit sakralitas keberpihakan disana. Ada kemakmuran fikir disana. Ada sesuatu yang pantas dibela disana. Bukannya hendak mengatasnamakan sejarah yang mungkin keliru, tapi kiranya, pemahaman atas perubahan dan pergeseran budaya yang terjadi dengan deras sekarang ini selayaknya dihayati sebagai pertarungan pikir. Dan tentunya, yang tidak boleh dilupakan dari Koksidiosis Kebudayaan 3
  • 3. Paradoks Kebudayaan by amadtattoo semuanya adalah sekat antara benar dan salah adalah mutlak, tidak ada jalan tengah untuk sebuah penistaan dan dusta, jika sinkretisme budaya tidak lagi memperpanjang kearifan, lalu untuk apa begitu banyak pilihan palsu begitu dibela? Untuk nilai kemanusiaan yang semakin lupa, seharusnya pada hati yang vertikal menghadap langitlah semua harus dipertanyakan ulang, sudah benarkah apa yang terjadi ini? Diantara kerumunan wajah bertopeng, dengan sisa kepedulian terhadap diri yang masih ada, mari mengingat: bagaimanakah cara “duduk” kita kemarin, di sebuah tempat, di sebuah ruang kebudayaan, sebuah manusia yang katanya punya SIKAP? Ahmad Junaidi Koksidiosis Kebudayaan 3