Krisis timor leste sampai kudeta bersenjata mayor alfredo reinado
1 of 10
Download to read offline
More Related Content
Krisis timor leste sampai kudeta bersenjata mayor alfredo reinado
1. 1
Krisis Timor Leste Sampai Kudeta Bersenjata Mayor Alfredo
Reinado
(Sebuah Catatan Sejarah Konflik Bersaudara di Negeri Timor Lorosa'e)
oleh;
Dede Yusuf
Pendidikan Sejarah 2011-Universitas Pendidikan Indonesia
1.1 Latar Belakang Krisis Timor Leste
Dapat dikatakan, bahwa semenjak bangsa-bangsa yang mendiami pulau
Timor mulai dijajah oleh bangsa-bangsa dari Eropa, maka Timor Leste sering
menjadi ajang konflik, baik konflik antara bangsa Timor Leste melawan bangsa
Asing maupun antar sesama bangsa Timor Leste sendiri. Konflik antar bangsa
Timor Leste dengan kuantitas yang cukup besar pernah terjadi pada tahun 1975
bertepatan dengan berlangsungnya pergantian kekuasaan di Portugal setelah
meletusnya revolusi bunga pada bulan April 1974. Pada akhirnya, pergolakan
politik yang terjadi di Portugal, secara tidak langsung mempengaruhi kondisi
politik di Timor Portugis (sebutan Timor Leste). Beberapa elit politik Timor
Portugis merespon perubahan politik ini dengan mendirikan organisasi sosial
politik, diataranya adalah UDT, KOTA, ASDT, APODETI, dan Partido
Trabalista. Konflik antar elit politik yang melibatkan massa rakyat berpuncak
dengan dibentuknya FRETILIN, yang selanjutnya pada tanggal 28 Nopember
1975 memproklamirkan berdirinya negara Timor Leste.
Konflik internal semakin tak terkendali dengan adanya campur tangan dari
pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Indonesia pun menyatakan Timor Leste
menjadi bagian dari negara Indonesia. Berawal dari konflik politik internal serta
ditambah dengan selama pendudukan Indonesia, korban yang terjadi akibat
konflik, diperkirakan mencapai lebih dari 600.000 orang.[1] Jumlah ini di luar
akibat konflik internal selama dilangsungkannya referendum tahun 1999.
2. 2
Pada waktu Administrasi UNTAET, banyak institusi Negara modern
dibentuk. Ini termasuk Parlemen Nasional, Dewan Menteri, struktur-struktur
pemerintahan lokal, dinas kepolisian dan angkatan pertahanan. Berfungsinya
dinas kepolisian, PNTL, saat ini, dan angkatan pertahanan, F-FDTL pada
khususnya, terhalangi perasaan kurang adanya legitimasi karena cara
pembentukannya. PNTL dibentuk dengan sejumlah orang Timor Leste yang
sebelumnya bekerja dengan dinas kepolisian Indonesia. Pada tahun 2000, tentara
FALINTIL dari berbagai distrik dikumpulkan bersama di Aileu (kantonisasi).
Masa waktu hidup bersama yang dipaksa ini menyebabkan persaingan-persaingan
politik yang dulu muncul. Kerapuhan dalam rasa kebersamaan dan disiplin sangat
kelihatan. Pada akhir tahun 2000, UNTAET tunduk pada tekanan dari Xanana
Gusmao, dan setuju bahwa proses pemilihan calon-calon untuk angkatan
pertahanan yang baru akan tetap merupakan masalah internal FALINTIL. Ini
berarti bahwa pihak kepemimpinan FRETILIN tidak diperbolehkan ikut serta
dalam proses ini. Pada tanggal 1 Februari 2001, FALINTIL dibubarkan dan FDTL
dibentuk.[2]
Antara bulan Oktober 2001 dan bulan Mei, sebuah administrasi transisi
dibentuk. Semua partai mengambil bagian dalam pemerintah, dengan Mari Al-
katiri sebagai Kepala Menteri. Konstitusi RDTL dirancang oleh Majelis
Konstituante yang didominasi oleh Partai FRETILIN. Beberapa bagian dalam
UUD dipersoalkan oleh partai-partai oposisi. Dipilihnya 28 Nopember sebagai
hari kemerdekaan nasional merupakan penghormatan terhadap pernyataan
kemerdekaan secara sepihak oleh FRETILIN. Bendera dan lagu kebangsaan
FRETILIN, Patria-Patria, dipilih sebagai bendera nasional dan lagu kebangsaan.
F-FDTL yang baru dibentuk, diberikan nama FALINTIL-FDTL (F-FDTL) dalam
suatu upaya untuk mengaitkan angkatan pertahanan yang baru dengan sejarah
FRETILIN dan mengatasi persoalan penarikan FALINTIL oleh Xanana Gusmao
pada tahun 1987.[3]
F-FDTL mengalami pukulan dari masyarakat umum secara luas, terutama
dari organisasi-organisasi veteran yang mulai terbentuk pada tahun 2001. Rogerio
3. 3
Lobato menyampaikan himbauan-himbauan yang bersifat populis,
mempertanyakan legitimasi F-FDTL dengan mengambil nama FALINTIL.
Kelompok-kelompok veteran, termasuk Colimau 2000 dan Sagrada Familia,
menjadi titik fokal untuk retorika anti-FDTL. Menyusul pemilihan umum pada
tahun 2001, kelompok-kelompok tersebut mulai meminta pembentukan kembali
angkatan pertahanan setelah restorasi kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 2002.
Rogerio dipertimbangkan untuk mengambil, tetapi pada akhirnya tidak diberikan,
jabatan sebagai Sekretaris Negara urusan Pertahanan setelah Taur Matan Ruak
mengancam untuk meninggalkan angkatan pertahanan. Menjelang tanggal 20 Mei
2002, Lobato dan para pendukungnya mengadakan pawai-pawai veteran di Dili.
Setelah perolehan kemerdekaan, Rogerio Lobato diangkat sebagai Menteri
Administrasi Dalam Negeri.[4]
Peranan dan pemisahan antara PNTL dan F-FDTL di dalam masyarakat
Timor Leste juga menjadi sebuah masalah perdebatan sejak tahun 2002. Pada
awal tahun 2003, F-FDTL diminta untuk memulihkan ketertiban menyusul
serangan dari mantan milisi. Rogerio Lobato, yang pada waktu itu sudah menjadi
Menteri Dalam Negeri, didukung oleh Perdana Menteri Alkatiri dan Dewan
Menteri, meminta PBB untuk membentuk unit-unit kepolisian paramiliter.
Pembentukan Unit Cadangan Kepolisian (URP) dan Unit Penjagaan Perbatasan
(UPF) sesudah itu, yang mempunyai tanggungjawab atas patroli perbatasan,
penanganan serangan-serangan milisi perbatasan dan kontra pemberontakan di
daerah pedalaman tidak diterima dengan baik oleh F-FDTL atau partai-partai
oposisi. Menteri Dalam Negeri menyatakan niatnya untuk memperluas URP
menjadi batalyon yang lengkap dan memulai proses perekrutan di mana sebagian
besar petugas yang direkrut untuk unit tersebut berasal dari distrik-distrik wilayah
barat. Pemerintah tidak dapat memperoleh senjata untuk URP dan UPF ketika
PBB masih memegang kekuasaan eksekutif. Pada tanggal 20 Mei 2004, mandat
tersebut berakhir. Pada tanggal 21 Mei 2004, pemerintah menerima pengiriman
180 senapan penyerangan semi otomatis HK33 dari Malaysia, yang diberikan
kepada URP. Pada bulan September 2004, pemerintah membeli 200 senapan
4. 4
penyerangan semi otomatis untuk URP. 46 senapan penyerangan semi otomatis
FNC juga dibeli untuk Unit Gerak Cepat (UIR). 7 senjata api otomatis F2000 juga
dibeli, katanya untuk kegunaan perlindungan dekat.
1.2 Kudeta Bersenjata Mayor Alfredo Reinado
Sementara itu, konflik yang terjadi di bulan April 2006 merupakan konflik
yang berawal dari permasalahan yang muncul di dalam tubuh institusi militer
Falintil-Forca Defeza de Timor-Leste (F-FDTL). Sebab-sebab munculnya
permasalahan dipicu dugaan adanya praktek diskriminasi yang dilakukan oleh
Pejabat Tinggi Militer terhadap para anggotanya.[5] Akibatnya, pada tanggal 8
Januari 2006, sekitar 594 personil militer F-FDTL melakukan aksi mogok dan
keluar dari barak, memprotes diskriminasi promosi berdasarkan etnis Lorosae.
Dalam hal ini, tentara dari wilayah Loromonu merasa dianaktirikan.
Sebagai bentuk tanggapan atas mogok tersebut, maka Pimpinan F-FDTL
dengan persetujuan dari pihak Pemerintah melakukan pemecatan terhadap
sekitar 594 tentara Petisioneriu pada tanggal 17 Maret 2006. Sebagai kelanjutan
atas pemecatan ini adalah semakin tumbuhnya rasa kekecewaan di kalangan
kelompok militer Petisioneriu.
Pada tanggal 24-28 April 2006, para Petisioner melancarkan aksi protes
secara terbuka terhadap pemerintah dengan melakukan aksi demonstrasi ke
Palacio Governu, yang kemudian berakhir terjadi aksi kerusuhan dengan
dibakarnya beberapa mobil dan dirusaknya beberapa fasilitas Palacio Governu
oleh massa demonstran pada tanggal 28 April 2006 pada sekitar jam 11.30 Oras
Timor Leste. Pada hari tersebut, kekerasan hanya meletus tidak lebih dari 4
tempat, yakni di sekitar Palacio Governu, mercado Comoro, bundaran Comoro
dan kawasan Tasi Tolu.
Di kawasan Tasi Tolu sendiri, kekerasan mulai meletus hampir bersamaan
dengan kekerasan yang terjadi di Palacio Governu. Peristiwa ini ditandai dengan
adanya aksi saling tembak antara anggota aktif F-FDTL dengan kelompok
5. 5
Petisioner yang dibantu oleh warga sekitar yang mengakibatkan setidaknya 2
orang meninggal, beberapa luka, hancurnya puluhan rumah milik etnik Lorosae
dan mengungsinya ratusan penduduk ke pinggiran kota Dili seperti Dare, Tibar
dan ada juga yang ke jantung kota. Aksi tembak-menembak ini tidak terlepas dari
keberadaan para Petisioner yang bermarkas di gedung karantina pengungsian
1999 serta serta markas F-FDTL yang hanya berjarak sekitar 1 km dari tempat
Petisioner.
Selanjutnya, tanggal 28 April 2006 menjadi awal dimulainya konflik
bersaudara berbau etnik meletus dan berkembang dengan terlibatnya anggota
masyarakat sipil dari kedua etnis antar bangsa Timor Leste. Bukan hanya itu,
institusi keamanan lain seperti Policia Nacional de Timor-Leste (PNTL) juga
terkena imbasnya. Dan makin memuncak dengan keluarnya komandan Polisi
Militer (PM) Mayor Reinaldo Alfredo dan puluhan anak buahnya dari Markas
Besar F-FDTL di Cai Coli serta sejumlah anggota PNTL yang lengkap dengan
senjata pada awal Mei 2006.
Pada tanggal 10 Mei 2006, Pemerintahan Mari Al-katiri menawarkan
bantuan kemanusiaan dan subsidi sebagai sebuah solusi atas permasalahan yang
ada bagi para tentara desertir yang yang dipecat dengan tujuan meredam suasana
agar tidak semakin memburuk. Namun, tawaran tersebut ditolak. Seiring dengan
itu, konflik antar warga pun semakin tidak terkendali. Kerusuhan terjadi hampir
merata di area ibukota Dili. Dan korban nyawa serta harta benda pun terus
berjatuhan.
Memasuki akhir minggu ketiga bulan Mei, kelompok militer pimpinan
Mayor Alfredo Reinaldo melakukan serangan terhadap sejumlah pejabat dan
anggota militer F-FDTL di kawasan Fatu-Ahi. Kontak senjata ini, seakan-akan
mempertegas adanya nuansa interesta politika yang melatarbelakangi konflik.
Melihat semakin tidak terkendalinya situasi keamanan nasional
(perpecahan di tubuh F-FDTL dan PNTL, serta terpolarisasinya kelompok
masyarakat), khususnya ibukota Dili, maka pada tanggal 24 Mei 2006, pemerintah
6. 6
membuat sebuah keputusan politik yang intinya meminta bantuan militer dari
negara-negara tetangga seperti Australia, Portugal (CPLP), Selandia Baru dan
Malaysia.
Sehari kemudian, yakni pada tanggal 25 Mei 2006, kontingen militer
berjumlah 150 personel komando Australia tiba di Dili. Pada hari yang sama,
rumah kerabat Menteri Dalam Negeri Regerio Lobato dibakar oleh sekelompok
massa yang mengakibatkan meninggalnya seorang ibu dan lima orang anaknya
dengan kondisi tubuh yang hangus terbakar.
Masih pada tanggal 25 Mei 2006, sebagai aksi balasan atas peristiwa
penyerangan di Fatu-Ai, tentara resmi pemerintah (F-FDTL aktif) melakukan
penembakan terhadap markas kepolisian hingga menewaskan 11 anggota polisi
saat keluar dari gedung dengan pengawalan mobil polisi Persatuan Bangsa-
Bangsa.
Selanjutnya, pada tanggal 29 Mei 2006, Presiden Xanana Gusmao
melakukan perundingan dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri beserta anggota
kabinetnya di istana kepresidenan. Sementara itu, di luar istana, ratusan
demonstran meneriakkan yel-yel anti terhadap pemerintahan Mari Alkatiri.
Sementara itu, di tempat lain terpisah, sebuah gudang logistik pemerintah berisi
pangan dijarah oleh massa. Dalam perundingan tersebut, mulailah bermunculan
desakan dari berbagai pihak termasuk dari Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta
agar Mari Alkatiri mengundurkan diri dari jabatan perdana menterinya. Alasannya
adalah karena dinilai gagal total dalam mengendalikan situsi keamanan nasional,
khususnya ibukota Dili.
Sebagai follow up hasil pertemuan darurat tersebut adalah
Presiden Xanana Gusmao mengumumkan keadaan darurat dan mengambil alih
kekuasaan dengan dipecatnya Menteri Dalam Negeri Rogerio Lobato dan Menteri
Pertahanan Roque Rodrigus sehingga menimbulkan perselisihan dengan Alkatiri.
Namun, Mari Alkatiri bertekad untuk mempertahankan kedudukannya, sambil
7. 7
mengatakan bahwa hanya pemilihan umum sajalah yang baru akan diadakan pada
2007 yang dapat menyingkirkannya.
Pada tanggal 7 Juni 2006, Mayor Alfredo Reinaldo menyatakan bersedia
berunding untuk mengakhiri kerusuhan berdarah. Meski demikian, dia secara
tegas meminta agar solusi damai bagi Timor Leste adalah dengan tidak
dilibatkannya Mari Alkatiri. Hanya dengan persyaratan inilah, perdamaian di
Timor Leste akan tercapai.
Pada 21 Juni 2006 Presiden Xanana Gusmao memberikan dua pilihan
kepada Mari Alkatiri, yakni mengundurkan diri atau dipecat, atau jika kedua opsi
tidak diterima, maka Xanana mengancam akan mundur dari jabatan
kepresidenannya.
Beberapa hari setelah pernyataan bernada ancaman dari Presiden
tersebut, pada tanggal 25 Juni 2006, Jose Ramos Horta menyatakan
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri serta jabatan
sementaranya sebagai Menteri Pertahanan. Ia menyatakan, "tidak ingin dirinya
terkait dengan pemerintahan saat (itu) maupun pemerintah apapun yang terkait
dengan Alkatiri."[6]
Sehari setelah pengunduran Ramos Horta, maka pada tanggal 26
Juni 2006, Mari Alkatiri mengumumkan pengunduran dirinya. Sebagai solusi atas
kekosongan jabatan, Fretilin mengusulkan nama Menteri Pertanian Estanislau da
Silva dan Ramos Horta untuk mengisi posisi perdana menteri. Selanjutnya, pada
tanggal 8 Juli 2006 Presiden Xanana Gusmao menunjuk Ramos Horta sebagai
Perdana Menteri dan dilantik pada 10 Juli 2006.
Pelantikan Ramos Horta sendiri berada di bawah pengawalan ketat para
prajurit komando Australia yang memimpin pasukan penjaga perdamaian yang
jumlahnya hampir mencapai 2 ribu personel. Horta sendiri bertekad untuk
mengakhiri kekerasan yang telah menyebabkan 150.000 orang mengungsi. "Kami
akan bekerja sangat keras," katanya menegaskan.[7] Sementara itu, jabatan
8. 8
pemerintahan Ramos Horta hanya berlangsung hingga
diselenggarakannya pemilihan umum 2007.
Pergantian kekuasaan sebagaimana yang dituntut para elit politik ternyata
tidak membawa perubahan pada meredanya konflik sosial. Sebaliknya, konflik
terus berlanjut. Berbagai insiden benturan fisik antar kelompok di kota Dili
semakin meningkat dengan isu baru, yakni arte marciais. Isuatau Loromonu
dengan Lorosae tidak lagi terdengar, setidak-tidaknya hingga bulan Oktober
2006.
Sementara itu, terkait dengan isu arte marciais dalam perjalanan
sejarahnya sudah mulai muncul semenjak era Indonesia. Sesungguhnya, berbagai
aliran perguruan beladiri, khususnya PSHT, mulai ada dan berkembang di Timor
Leste adalah karena di bawah oleh tentara-tentara Indonesia.[8] Semenjak itu
pula, bibit-bibit permusuhan antar kelompok arte marciais sudah mulai nampak
walau dengan kadar yang lebih rendah dibanding dengan pasca konflik April
2006. Bahkan, isu arte marciaisini masih bertahan hingga sekarang ini. Dalam
konteks konflik 2006, isu arte marciais mulai terdengar sekitar bulan Agustus di
area Comoro.[9]
Sementara itu, terdapat opini lain yang berkembang terkait dengan
perubahan isu yang ada serta motif mendasar di balik konflik. Konflik ini adalah
konflik dengan kategori politis. Motif di balik itu semua, salah satunya adalah
menyangkut faktor tanah. Sebagai ibukota negara, Dili, mau tidak mau harus
mengubah raut mukanya, yakni lebih cantik dan elok. Babi-babi yang berkeliaran
di jalanan, rumah-rumah kediaman yang bercampur dengan kandang babi, dan
semua bentuk cacat sosial harus disingkirkan. Tata ruang kota harus
dilaksanakan. Dan tanah adalah salah satu aset yang menguntungkan dalam logika
produksi kapitalisme. Sementara waktu, keinginan tersebut tidak akan terpenuhi,
mengingat banyak manusia yang sudah tinggal di atasnya. Pemindahan secara
baik-baik tidaklah mungkin, karena akan memakan biaya yang besar: ganti rugi.
Satu-satunya jalan adalah dengan memindahkan mereka secara paksa, yakni
9. 9
melalui konflik. Orang Lorosae sudah pergi dari rumahnya yang di Tasi tolu,
Comoro, Manleuana, Bairro Pite, Becora dan sebagainya. Tetapi sayangnya,
orang Loromonu malah membanjiri kota Dili. Tentu tidak bisa dibiarkan. Maka
harus dipecah kembali. Arte marciais adalah cara yang efektif. Sesama orang
Loromonu, atau Loromonudengan Lorosae, atau sesama orang Lorosae akan
saling membunuh. Yang kuat yang tersisa. Dan mereka yang akan dipelihara. Ini
takkan pernah berhenti. Isu hanya bungkus. Kepentingan di balik itu semua.[10]
Sekitar bulan Januari 2007, kembali terjadi ketegangan antar masyarakat
dan juga antar masyarakat dengan pihak pemerintah terkait dengan langkanya
beras di pasaran. Jika pun ada, maka harganya sudah naik menjadi 2 kali lipat.
Sebagai respon atas kondisi ini, pemerintah Ramos Horta mengeluarkan kebijakan
dengan pembagian beras secara cuma-cuma pada masyarakat, di mana setiap
orang berhak mendapatkan 5 kg.[11]
Konflik di Timor Leste mencapai titik kulminasi pada tanggal 11 Februari
2008 pagi dengan terjadinya serangan bersenjata yang dilakukan Mayor Alfredo
Reinado terhadap Presiden Jose Ramos Horta dan PM Xanana Gusmao. dengan
memanfaatkan kelengahan baik pasukan keamanan Australia, polisi dan pasukan
keamanan presiden,Alfredo melakukan serangan bersenjata dan berhasil melukai
serius Presiden Ramos Horta di rumahnya, walau ahirnya Mayor Alfredo juga
tewas. Keberhasilan serangannya menjadi sejarah hitam atas konflik panjang yang
terjadi di Timor Leste. [12]
Dengan kondisi tersebut, isu arte marciais kembali menghilang. Isu baru
pun mengemuka, yakni terkait dengan pelakanaan Pemilu Presiden bulan April
2008. Konflik bernuansa kekerasan kembali muncul seiring dengan diadakannya
kampanye antar kandidat, bahkan sempat terjadi bentrokan dan memakan korban
nyawa.
Isu berbau politik masih terus mengemuka hingga diselenggarakannya
Pemilu Parlemen pada bulan Juni 2008 dan berpuncak pada tanggal 6 Agustus
2008 bertepatan dengan diumumkannya nama Perdana Menteri yang baru oleh
10. 10
Presiden Jose Ramos Horta. Sebagai bentuk kekecewaannya, selanjutnya para
simpatisan Fretilin melakukan aksi protes dengan cara membakar roda mobil dan
membakar gedung Departemen Bea dan Cukai Nasional di Col-Mera. Tak lama
kemudian, sebuah aksi kekerasan juga meletus di area Metinaro, serta di beberapa
distrik seperti di Baucau, Ermera, Lautem dan Viqueque.
DAFTAR PUSTAKA
[1] John G. Taylor. Perang Tersembunyi: Sejarah Timor Timur yang
Terlupakan. Diterjemahkan oleh Putri. 1998. Penerbit: Fortilos, Jakarta. Lihat
juga, CAVR: Disseminating CHEGA. Januari 2007
[2] Laporan Komisi Penyelidik Khusus dan Independen untuk Timor-Leste,
Genewa, 2 Oktober 2006
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Laporan Hasil Investigasi oleh Komisi Independen bulan Oktober 2006
[6] Australian Associated Press (2006). Timor's foreign minister resigns. Diakses
pada 22 Juli 2013. Pukul: 15.03.56 Oras Timor Leste.
[7] Diperoleh dari: http//.www.wikipedia.org/wiki/negara_negara/konflik/timor
timur. Diakses pada tanggal 22 Juli 2013.
[8] Ibid,
[9] Clar達o Post, Edisi perdana/no.01/thn.I/Oktober/2006. Banjir Darah Di Bumi
Timor. hal.3. Sebuah tabloit mingguan internal yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Propaganda Partido Socialista de Timor.
[10] Ibid, 3. Rubrik Sorotan Utama: Tanah di balik konflik.
[11] Suara Timor Lorosae. Pemerintah Bagi-bagi Beras. 23 Januari 2007. hal. 1
[12] Diperoleh dari: http://suar.okezone.com/read/2008/02/16/58/84046/pelajaran-
konflik-timor-leste. Diakses pada tanggal 22 Juli 2013