Dokumen tersebut membahas tentang penghulu mogok di Jawa Timur yang dipicu oleh kasus gratifikasi kepala KUA di Kota Kediri. Dokumen juga mengkritik kebijakan Menteri Agama terkait pencatatan nikah yang dinilai memberikan kekuasaan berlebih kepada kepala KUA dan mengabaikan tradisi agama dan budaya masyarakat. Dokumen menganjurkan agar pemerintah tidak terlalu mencampuri proses pernikahan dan memberday
1 of 5
More Related Content
Kua mogok1
1. Penghulu Mogok
dan Kebijakan Menteri Yang Keliru
Oleh
Irfan Setiawan, S.IP, M.Si
Penghulu Mogok!!…. Berita yang lagi hangat-hangat di telinga kita menyusul
setelah aksi para dokter yang mogok. Fenomena aksi solidaritas dari kaum professional
kini mulai marak terjadi, yang membuahkan perdebatan dan keresahan di masyarakat.
Beberapa kantor urusan agama (KUA) menghentikan layanan pencatatan nikah di
luar kantor dan jam kerja. Aksi itu berawal di lingkungan Kantor Urusan Agama
Kota Kediri saja. Namun kemudian, aksi tersebut menjalar ke sebagian besar
KUA di Jawa Timur, bahkan sampai merembet ke Ciamis, Jawa Barat.
Aksi ini dipicu oleh adanya seorang kepala KUA di Kota Kediri (Romli)
yang didakwa terkait dengan kasus gratifikasi. Dalam persidangan, Romli
mengaku menerima uang pemberian dari pihak mempelai atau pasangan yang
dinikahkan, dan digunakan untuk kebutuhan operasional kantor, mengingat
kebanyakan pelaksanaan nikah dilaksanakan di luar kantor KUA dan kegiatan
tersebut tidak ada dalam anggaran kantor.
Berkaitan dengan fenomena tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang
membingungkan, terlihat bahwa penghulu mogok yang membuat beberapa proses
pernikahan di Jawa Timur terhambat terasa dibesar-besarkan. Seakan-akan bila
penghulu tidak bekerja maka tidak akan terjadi proses pernikahan. Hal ini
sungguh tidak masuk akal, sehingga perlu dirunut secara cermat berdasarkan
kebijakan menteri agama, realita di masyarakat. dan proses nikah dari sudut
pandang agama islam.
Kebijakan Menteri Agama dalam Permenag no. 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Nikah merupakan sumber terjadinya kekisruhan di beberapa kantor
urusan agama. kebijakan ini sangat mengatur kegiatan bermasyarakat Pada pasal
21 ayat (1) menyatakan bahwa Akad nikah dilaksanakan di KUA dan ayat (2).
Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat
2. dilaksanakan di luar KUA. Pasal ini memberikan power yang besar bagi kepala
KUA dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk menentukan
pelaksanaan pernikahan, sehingga membuka peluang adanya tawar menawar
harga antara PPN dengan calon pengantin mengenai lokasi pelaksanaan
pernikahan. Sehingga bila mempelai tetap melakukan pernikahan tanpa adanya
persetujuan PPN, pernikahan tersebut tidak akan dicatat dan diberikan akte nikah.
Walaupun masih ada penghulu dan pembantu pencatat nikah pembantu PPN yang
dapat melakukan tugas PPN. Ironinya, penghulu dan pembantu PPN juga tidak
akan diakui telah melaksanakan pernikahan bila tidak ada mandat dari PPN.
Kekuasaaan besar PPN ini membuat mereka berani melakukan mogok kerja untuk
tidak melayani pernikahan di luar KUA. Dapat dibayangkan berapa pernikahan
yang ditangani PPN dalam setahun, dan berapa pula dana yang dapat dihasilkan
oleh PPN nakal ataupun yang gratifikasi selama setahun.
Kita coba hitung secara kasarnya sebagai berikut: seperti yang diberitakan
oleh media bahwa setahun rata-rata jumlah pernikahan yang dicatat di KUA se-
Kabupaten Trenggalek hampir mencapai 10 ribu pernikahan (portalkbr.com).
Jumlah tersebut kita bagi 10 KUA sehingga menjadi sekitar 1000 pernikahan yang
ditangani 1 KUA. Kemudian dirata-ratakan dalam sekali pelaksanaan pernikahan,
pihak mempelai memberikan gratifikasi 200 ribu sehingga jumlah total dalam
setahun 1 KUA menerima gratifikasi 300 ribu dikali 1000 menjadi sebesar Rp.
200 juta. Jumlah tersebut dapat dikatakan fantastis untuk pelayanan pencatatan
pernikahan. Apalagi bila ada pejabat PPN yang nakal dalam pelayanannya
misalkan mematok nilai 500 ribu. Dapat dibayangkan berapa jumlah pendapatan
yang didapatkan dalam setahun.
Ikut campur pemerintah dalam penerapan kebijakan terhadap kehidupan
masyarakat terlalu dalam. Kebijakan yang dibuat kadang memperkecil esensi
kegiatan tatacara agama dan budaya masyarakat serta menonjolkan sisi
administatif belaka. Sebagai contoh, pada UU 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan
(2) hanya menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian pada PP no 9
Tahun 1975 pasal 10 mulai mengatur agar perkawinan dilaksanakan dihadapan
3. Pegawai Pencatat dan Permenag no. 11 tahun 2007 semakin membuat kebijakan
mengada-ada dan memperkecil esensi kegiatan tatacara agama dan budaya
sehingga mengharuskan pelaksanaan akad nikah dilaksanakan di KUA. Mempelai
dapat meminta pelaksanaan diluar KUA namun harus dengan persetujuan PPN.
Pemerintah seharusnya lebih peka dan semakin mengerti kebutuhan
masyarakat mengikuti perubahan paradigma pemerintahan . Paradigma aparat
pemerintahan sebagai tuan atau raja sudah bergeser ke arah pelayan masyarakat.
Kebijakan pemerintah pun lebih menyesuaikan dengan kebutuhan dan
pemberdayaan masyarakat. Proses kehidupan masyarakat seperti lahir, belajar,
bekerja, berdagang, nikah, pindah rumah, mati dsb, tidak seharusnya dicampuri
secara mendalam oleh pemerintah. Pemerintah hanya memberikan pengaturan
dalam bentuk kebijakan dan pengadministrasian pelayanan publik pada proses
tersebut. Pada proses kelahiran, pemerintah tidak boleh mengharuskan seseorang
harus lahir ditangani oleh dokter atau bidan pemerintah dan bila tanpa itu,
kelahiran bayi tersebut dianggap tidak sah menurut pemerintah serta tidak diberi
akte kelahiran, namun campur tangan pemerintah melalui regulasi mengenai
bagaimana dokter atau bidan sehingga mampu memenuhi standar kualifikasi
profesinya dan regulasi batasan standar pelayanan. Hal yang sama pun terjadi
pada proses belajar, bekerja, berdagang, pindah rumah, mati dsb.
Kegiatan administrasi pemerintahan pada pencatatan pernikahan sudah
tidak layak lagi mencampuri secara mendalam kegiatan sektor budaya dan agama.
Pemerintah seharusnya membuat regulasi bagaimana memberdayakan sektor non
formal seperti imam desa, iman masjid atau masyarakat lainnya sehingga mampu
melaksanakan proses akad nikah sesuai standar ajaran agama islam dan regulasi
pengadministrasiannya. Bukan dengan regulasi kebijakan yang membuat kepala
KUA menjadi super power dalam proses sahnya pernikahan seseorang, apalagi
dengan wacana kebijakan penambahan anggaran operasional.
Dari segi ajaran agama islam pun kepala KUA pun tidak mempunyai
posisi yang dapat menyatakan bahwa pernikahan seseorang muslim sah atau tidak.
Dalam proses Ijab Kabul, PPN bukan orang yang bertugas untuk menikahkan,
tetapi bertugas berdasarkan jabatannya, dia hanya ditugaskan untuk mencatat bila
4. ada kegiatan pernikahan. Bahkan bila petugas pencatat nikah itu menikahkan
seorang wanita, sementara ayah kandung wanita tersebut sebagai wali tidak
mengetahuinya, maka pernikahan itu tidak sah.
Kemudian, pengumuman adanya kehendak nikah oleh PPN sesuai pasal 13
ayat (1) dan (2) Permenag no. 11 Tahun 2007, yang dilakukan pada tempat
tertentu yang mudah diketahui oleh umum jarang dilaksanakan, karena
pengumuman kehendak nikah pun lebih dikenal dalam tradisi agama kristen
dimana seseorang yang hendak menikah diumumkan di gereja atau rumah ibadah
oleh pihak gereja, dalam ajaran agama islam tidak mengenal pengumuman
kehendak nikah dan tidak pernah dicontohkan oleh rasullullah, yang ada
pengumuman pada waktu pernikahan yaitu shaut. Adapun makna shaut di sini
adalah pengumuman pernikahan,pada saat pernikahan. Dalam tradisi masyarakat,
pengumuman dilakukan oleh pihak mempelai melalui bentuk undangan baik lisan
maupun tulisan untuk menghadiri acara pernikahan bukan oleh PPN KUA, itupun
atas biaya oleh pihak mempelai.
Intinya, implementasi pelayanan publik tidak harus memberatkan
masyarakat, pemerintah seharusnya memberdayakan potensi masyarakat, apalagi
dalam urusan pernikahan. Pengadministrasian kegiatan pernikahan memang
diperlukan sehingga pendataan kependudukan dapat tertangani dengan baik.
Namun, akad nikah tidak perlu dilakukan di kantor KUA, artinya dapat dilakukan
dimana saja dan tidak perlu diwajibkan kehadiran Kepala KUA/PPN untuk sahnya
suatu pernikahan. Biarlah masyarakat yang melengkapi administrasinya dan
melakukan proses kegiatan pernikahan kemudian mengurus buku nikahnya di
KUA. Pemerintah dalam hal ini Kementerian agama sepatutnya memikirkan dan
membuat kebijakan yang tidak mempersulit kegiatan masyarakat tapi
mempermudah, dan tidak menjadikan KUA sebagai super power dalam proses
pernikahan. Perlunya ditata peraturan agar Kepala KUA tidak perlu turun ke
masyarakat, sehingga masyarakat tinggal melaporkan kepada KUA disertai
dengan kelengkapan admnistrasi. PPN merupakan aparat pemerintah dalam hal ini
aparat pelayan masyarakat, bukan penentu sah tidaknya suatu pernikahan.