2. Waruga adalah kubur atau makam leluhur
orang Minahasa yang terbuat dari batu dan
terdiri dari dua bagian. Bagian atas
berbentuk segitiga seperti bubungan rumah
dan bagian bawah berbentuk kotak yang
bagian tengahnya ada ruang.
5. SEJARAH
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur
orang meninggal sebelum ditanam terlebih
dulu dibungkus dengan daun woka
(sejenis janur). Lambat laun, terjadi Tujuan dihadapkan ke bagian Utara
perubahan dalam kebiasaan menggunakan yang menandakan bahwa nenek
daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini moyang Suku Minahasa berasal dari
berubah dengan mengganti wadah rongga bagian Utara. Sekitar tahun 1860
mulai ada larangan dari Pemerintah
pohon kayu atau nibung kemudian orang
Belanda menguburkan orang
meninggal dimasukkan ke dalam rongga
meninggal dalam waruga.
pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru
sekitar abad IX Suku Minahasa mulai Kemudian di tahun 1870, Suku
menggunakan waruga. Orang yang telah Minahasa mulai membuat peti mati
meninggal diletakkan pada posisi sebagai pengganti waruga, karena
menghadap ke utara dan didudukkan waktu itu mulai berjangkit berbagai
dengan tumit kaki menempel pada pantat penyakit, di antaranya penyakit tipus
dan kepala mencium lutut. dan kolera.
6. Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera melalui celah yang terdapat di
antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskan
mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief
umumnya terdapat di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpan
di waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencarian atau pekerjaan orang
tersebut semasa hidup.
Di Minahasa bagian utara, pada awalnya waruga-waruga yang ada tersebar yang akhirnya
dikumpulkan pada satu tempat. Saat ini waruga yang tersebar tersebut dikumpulkan di Desa
Sawangan, Kabupaten Minahasa Utara, yaitu sebuah desa yang terletak di antara Tondano (ibukota
Kabupaten Minahasa) dengan Airmadidi (ibukota Kabupaten Minahasa Utara). Kini lokasi waruga-
waruga di Desa Sawangan tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara.
Tempat ini pun telah dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun
1995.
7. Seorang arkeolog perempuan asal Sulawesi Utara bernama, Yuniawati Umar
(1997), menjelaskan bahwa waruga termasuk peninggalan ‘megalitik’
berlangsung mulai masa ‘neolitik’ sekitar 4500 tahun yang lalu sampai
dengan masa sekarang ini ‘gelalitik’. Perkiraan rentang waktu kapan
waruga muncul di Minahasa, berdasarkan informasi dari Kanwil Depdikbud
Sulut, didasari atas ‘konstatasi’ dan beberapa ‘komparasi’ yang ada,
diperkirakan sebelum abad XIV (pra-Kristenisasi). Dikatakan bahwa jenis
batu waruga merupakan salah satu peninggalan megalitik yang mempunyai
karakteristik khusus yang berbeda dengan peninggalan megalitik lainnya di
Indonesia.
8. Berdasarkan hasil surveinya tentang waruga di Tanah Minahasa,
keseluruhannya berjumlah 1259 buah. Yang paling banyak tersebar di
daerah/pakasa’an, antara lain:
1) Pakasa’an Tonsea (Tumaluntung=280 buah, Airmadidi=210 buah,
Sawangan=185 buah, Tatelu 42 buah);
2) Pakasa,an Toulour (Nimawale=70 buah, Nimawale Langoan=22 buah, Koya
34 buah);
3) Pakasa’an Tombulu (Woloan=60 buah, Tara - Tara=30 buah, dan
Saronsong 20 buah).
10. Hal yang paling menarik
adalah waruga itu dibuat
sendiri oleh orang yang akan
meninggal. Ketika orang itu
akan meninggal maka dia
dengan sendirinya akan
memasuki waruga yang
dibuatnya itu setelah diberi
bekal kubur yang
selengkapanya. Kelak bila itu
dilakukan dengan sepenuhnya
akan mendatangkan kebaikan
bagi masyarakat yang di
tinggalkan.
11. Mengenai isi yang ada di dalam kubur
batu waruga, adalah selain berisi
jenazah, juga terdapat seperangkat
peralatan sebagai ‘tukal kubur’ berupa
piring dan mangkuk, manik-manik,
gelang, pisau, tombak, mata uang atau
peralatan apa saja yang sudah popular
ketika itu. Hal ini dilakukan karena
menurut kepercayaan setempat, orang
yang meninggal itu dalam perjalanannya
kea lam baka (dunia akhirat), perlu
dibekali bahan dan perlengkapan sebagai
‘siagaan’ menghadap Sang Pencipta.
12. Menurut kepercayaan setempat di masa itu, orang wafat harus ‘dipulangkan' ke alam baka sebagaimana
posisinya dalam rahim. Hingga mereka tidak berbaring telentang, tapi dibuat dalam kondisi seperti janin,
yaitu meringkuk atau disebut foetal position.
Urut-urutannya, jenazah disucikan dan diberi mantra serta sesaji. Lantas diarak keliling desa sebanyak tiga
kali yang melambangkan perpisahannya dengan dunia fana, lalu posisinya dibuat seperti janin dan
dimasukkan ke dalam waruga beserta barang-barang pendamping kesehariannya. Seperti senjata tradisional
atau peranti kerjanya. Juga disertakan emas dan berbagai perhiasan yang dipercaya tetap akan ia gunakan
di alam baru nanti.
Masyakarat kawasan ini senantiasa menggunakan waruga sebagai sarana pemakaman sanak keluarga
mereka sampai sekitar abad ke-17. Baru berakhir ketika pemerintah Hindia Belanda melakukan larangan
pemakaian makam waruga ketika terjangkit wabah penyakit, yang diduga kaum penjajah endeminya berasal
dari jasad yang tidak dikubur dalam tanah.