ºÝºÝߣ

ºÝºÝߣShare a Scribd company logo
BAB I
Pendahuluan

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh
tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinik tetanus termasuk
didalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan
neurologis lokal.

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat
juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium
tetani berbentuk batang dan merupakan bakteri anaerob obligat yang
menghasilkan spora yang tidak berwarna dan berbentuk oval yang dapat
tahan bertahun-tahun dalam keadaan tidak menguntungkan sekalipun.
Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi karena tidak semua
strain memiliki plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas
antimikrobial bakteri ini.1

1
BAB II
Pembahasan

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh
tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinik tetanus termasuk
didalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan
neurologis lokal. Infeksi ini dapat diidentifikasi melalui beberapa pemeriksaan.
Pemeriksaan
Ada 3 jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan, yaitu :
1. Anamnesa 2
Anamnesa merupakan suatu cara pemeriksaan melalui wawancara,
dimana akan diperoleh data riwayat pasien :
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan
perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis
media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi.
Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/
BUMIL/ WUS.
2. Pemeriksaan fisik 2
Melalui pemeriksaan fisik, dapat diketahui :
Adanya kekakuan lokal atau trismus.
Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan
adanya penyulit

2
3. Pemeriksaan Penunjang 3
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus.
Pada pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju
endap darah sedikit meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal
masih dalam batas normal. Tingkat serum enzim otot mungkin
meningkat. Diagnosis ditegakkan secara klinis dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis.
C. Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus
tetanus, dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak memberikan gejala
tetanus.

Dari ketiga pemeriksaan yang dilakukan, maka dapat dilakukan suatu
diagnosa untuk menyatakan atau membenarkan bahwa pasien positif
terkena tetanus.
Diagnosa yang umumnya dipakai adalah diagnosa kerja dan diagnosa
pembanding (diagonosa diferensiasi /DD).
a. Diagnosa kerja 4
Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis karena
pemeriksaan kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesis
tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya
kuman, adanya trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut
keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup
untuk menegakkan diagnosa tetanus.
b. DD 1
Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya diagnosis pasti
mudah ditegakkan. Pada fase awal, kadang keraguan dapat timbul.
Diagnosis differensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat
menyebabkan trismus, seperti abses alveolar, keracunan strikinin, reaksi
obat distonik, tetanus hipokalsemik dan perubahan – perubahan
3
metabolik dan neurologis pada neonatal. Kondisi – kondisi lain yang
dikacaukan dengan tetanus meliputi meningitis/ensefalitis, rabies dan
proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen).
Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung
dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan
tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa
tetanus.

Epidemiologi Tetanus 1
Tetanus merupakan penyakit yang biasanya timbul di daerah yang
mudah terkontaminasi dengan tanah serta kebersihan dan perawatan luka
yang sangat kurang. Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu
menimpa individu non imun, individu dengan imunitas parsial dan individu
dengan imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas
secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang
membebani di seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis dan di
negara-negara berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam,
Indonesia dan negara benua Asia lainnya. Penyakit ini umum terjadi di di
daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat,
selama musim panas dan pada penduduk pria. Resiko terjadinya tetanus
paling tinggi pada usia tua. Survei serologis skala luas terhada antibodi
tetanus dan difteri yang dilakukan antara lain tahun 1988-1994 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia di atas 6
tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11
tahun sebesar 91%, persentase ini menurun dengan bertambahnya usia;
hanya 30% individu di atas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang mempunyai
tingkat antibodi yang adekuat.

4
Etiologi Tetanus 5
Penyebab penyakit ini adalah Clostridium tetanus yang hidup anaerob,
berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan
mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Toksin ini dapat
menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan
tetanospasmin yaitu tosin yang neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot.
Clostridium tetani bersifat anaerob murni. Kuman ini mudah dikenal karena
pembentukkan spora dan karena bentuknya yang khas. Ujung sel
menyerupai tongkat pemukul genderang atau raket tenis. Spora Clostridium
tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak terkena sinar
matahari. Spora ini terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptik,
pemanasan 100 0c dan bahkan autoklaf 120 0c selama 15-20 menit. Dari
berbagai studi yang berbedam spora ini tidak jarang ditemukan pada feses
manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh
bentuk vegetatifnya.

Faktor Resiko
Tetanus merupakan infeksi dengan masalah utama kebersihan dan
imunitas. Apabila seseorang mengalami luka dan tidak ditangani dengan
tepat (higienitasnya kurang) dan memiliki daya tahan tubuh kurang(imunitas
parsial, kompromise dan sebagainya, maka akan sangat dengan mudah
terinfeksi tetanus.

5
Patofisiologi 4
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua
jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka laserasi, luka tusuk,
luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan
dan sebagainya. Pada 60% dari pasien tatanus, porte d’entrée terdapat di
kaki, terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui
uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir,
clostridium tetani dapat masuk melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong
tanpa memperhatikan kaidah asepsis. Otitis media atau gigi yang berlubang
dapat dianggap sebagai porte d’entrée bila pada pasien tetanus tersebut
tidak ditemukan luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman
tetanus.
Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila
lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan
kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal
di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua
macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanosilin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah,
tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung, melainkan menambah
optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri
atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh
end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruslan melalui saraf sampai ke
sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai susunan saraf
pusat dan terikat pada sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.
Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin
sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.

6
Derajat Keparahan (Phillips Score) 6
Ringan

:

<9

Sedang :

9 – 16

Berat

> 16

:

Masa inkubasi
5–

< 48 jam

4-

2 – 5 hari

3–

6 – 10 hari

2-

11 – 14 hari

1–

> 14 hari

Lokalisasi nyeri / port d’entri
5–

internal / umbilikal

4-

leher, kepala, dinding tubuh

3–

ekstremitas proksimal

2-

ekstremitas distal

1–

tidak diketahui

Imunisasi
10 –
8-

tidak ada
mungkin ada / ibu mendapat

7
4–

> 10 tahun yang lalu

2-

< 10 tahun

0–

proteksi lengkap

Faktor yang memberatkan
10 –

penyakit / trauma yg membahayakan jiwa

8-

kead yg tdk lgs membahayakan jiwa

4–

kead yg tidak membahayakan jiwa

2-

trauma / penyakit ringan

1–

ASA – derajat status fisik penderita

Komplikasi

3

1. Kematian (sudden cardiac death)
Kasus fatal sering terjadi terutamanya pada pasien yang berusia lebih
dari 60 tahun (18%) dan pasien yang tidak mendapat vaksinasi (22%).
Kematian sering diakibatkan oleh adanya produksi katekolamin yang
berlebihan dan adanya efek langsung tetanospasmin atau tetanolisin
pada miokardium.
2. Obstruksi jalan napas
Pasien tetanus sering merasa nyeri hebat waktu mengalami kejang
(spasme) hingga terjadinya laringospasme (spasme pita suara) hingga
menyebabkan obstruksi dan gangguan pada jalan napas.

8
3. Fraktur
Fraktur pada tulang vertebra atau tulang panjang bisa terjadi karena
kontraksi yang berlebih atau kejang yang kuat.
4. Hiperaktifitas sistem saraf otonomik
Efek samping yang terjadi pada keadaan ini adalah dengan
meningkatnya tekanan darah (hipertensi) dan denyut jantung yang
tidak normal.
5. Infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang
lama.
6. Infeksi sekunder
Infeksi sekunder dapat berupa sepsis akibat pemasangan kateter,
hospital-acquired pneumonias dan ulkus dekubitus.
7. Hypoxic injury, aspirasi pneumonia dan emboli paru
Emboli paru adalah masalah yang sering ditemukan pada pasien
lanjut usia dan pasien dengan penggunaan obat-obatan. Aspirasi
pneumonia adalah komplikasi lanjut pada tetanus dan sering
ditemukan pada 50 -70% pasien yang diotopsi.
8. Ileus paralitik, luka akibat tekanan, retensi urin dan konstipasi
9. Malnutrisi dan stress ulcers
10. Koma
11. Neuropati
12. Kelainan psikis
13. Kontraktur otot
14. Dislokasi sendi glenohumeral dan temporomandibular

9
Penatalaksanaan 1
a. Penatalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU,
dimana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan
secara terus-menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan
terhadap jalan napas bersifat vital. Luka hendaknya di eksplorasi,
dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridemen secara
menyeluruh.
Pada penatalaksanaan penyakit tetanus, perlu ditentukan terlebih
dahulu derajat keparahan penyakit (score phillips). Derajat keparahan
penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa inkubasi,
porte d’entrée, status imunologi dan faktor yang memberatkan.
Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh derajat keparahan
penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan (<9), tetanus sedang (916), dan tetanus berat (>16). Tetanus ringan dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan. Tetanus sedang dapat sembuh denga
pengobatan yang baku, sedangkan pada tetanus berat memerlukan
perawatan yang khusus dan intensif.
Pengukuran sejumlah faktor kolateral untuk menentukan nilai indeks
pada cara score Phillips secara bermakna dapat menentukan
prognosis. Makin besar angkanya, makin tinggi angka kematiannya.

b. Terapi
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan :
Organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk
mencegah pelepasan toksin lebih lanjut ; toksin yang terdapat dalam
tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari
toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.
Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat
luka yang dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka
10
dengan larutan antiseptik, eksisi luka, bahkan histerektomi bila uteris
diperkirakan sebagai sumber kuman tetanus, dan pemakaian
antimikroba. Bila tidak ditemukan sumber infeksi yang jelas.
Antimikroba merupakan satu-satunya usaha untuk menghilangkan
kuman penyebab. Dasar pemikirannya adalah perkiraan bahwa
kuman trus memproduksi eksotoksin yang hanya dapat dihentikan
dengan membasmi kuman tersebut.
Antibiotik yang banyak dianjurkan dan efektif untuk membunuh
clostridium tetani adalah penisilin. Metrodinasol nyata lebih efektif
dibandingkan penisilin dalam menurunkan mobilitas dan mortalitas.
Dosis penisilin yang dianjurkan adalam 3 x 1,5 juta unit/hari dan
metronidasol 3 x 1 gr/hari.

Pencegahan Tetanus 1
Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta
masih angka kematian (30-60%), tindakan pencegahan merupakan usaha
upaya yang sangat penting dalam menurunkan angka mordibilitas dan
mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah penyakit tetanus, yaitu
perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi aktif dengan toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan
pencegahan yang paling efektif dalam praktek. Angka kegagalan dari
tindakan ini sangat rendah. Semua individu dewasa yang imun secara
parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapat vaksin tetanus, seperti
halnya pasien yang sembuh dari tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri
atas tiga dosis : dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu
dan dosis ketiga diberikan 6 – 12 bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan
diberikan setiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade
pertangahan seperti 35, 45 dan seterusnya. Namun demikian pemberian
vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan. Untuk individu di atas 7 tahun, toksoid
kombinasi tetanus dan difteri (Td) yang diadsorpsi lebih dipilih. Vaksin yang
11
yang diadsorpsi lebih disukai karena menghasilkan titer antibodi yang lebih
menetap daripada vaksin cair. Sedangkan imunisasi pasif diperoleh dengan
memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau
antitoksin homolog (imunoglobulin anti tetanus).

Prognosis 4
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan
periode onset merupakan faktor yang menetukan prognosis dalam klasifikasi
Cole dan Spooner. Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I
mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III.
Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat kegagalan napas
dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup
ternyata juga menurunkan angka kematian.

12
BAB III
Penutup1

Kesimpulan
Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
Tetanus tetap merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Di negaranegara maju, beberapa kasus terjadi tiap tahun pada pasien – pasien tua
yang tidak diimunisasi. Mortalitas pada kasus-kasus ini tetap tinggi.
Penatalaksanaan intensif jangka panjang mungkin diperlukan, tetapi
sebagian besar terapi didasarkan pada bukti-bukti terbatas. Tantangan
terapi utama adalah pengendalian rigiditas dan spasme otot, terapi
terhadap gangguan ototnomik dan pencegahan komplikasi berkaitan
dengan masa kritis berkepanjangan. Pasien yang selamat dari tetamus
dapat kembali ke fungsi normalnya.

13
Daftar Pustaka
1. Ismanoe, gatoet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed.5. jilid III.
Jakarta, FKUI, 2009. p.2911-23
2. http://www.scribd.com/doc/7432195/Laporan-Kasus-TETANUS
3. http://idmgarut.wordpress.com/2009/02/24/tetanus/
4. Sjamsuhidajat,r. dan de Jong, wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2.
Jakarta,EGC. p.21-24
5. Staf pengajar ilmu kesehatan anak. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Jilid 2. Jakarta,FKUI,1985. p.568-73
6. http://annsilva.wordpress.com/2010/03/27/phillips-score-untukmenilai-grade-tetanus/

14

More Related Content

Makalah 12

  • 1. BAB I Pendahuluan Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinik tetanus termasuk didalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani berbentuk batang dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora yang tidak berwarna dan berbentuk oval yang dapat tahan bertahun-tahun dalam keadaan tidak menguntungkan sekalipun. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi karena tidak semua strain memiliki plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas antimikrobial bakteri ini.1 1
  • 2. BAB II Pembahasan Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinik tetanus termasuk didalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. Infeksi ini dapat diidentifikasi melalui beberapa pemeriksaan. Pemeriksaan Ada 3 jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan, yaitu : 1. Anamnesa 2 Anamnesa merupakan suatu cara pemeriksaan melalui wawancara, dimana akan diperoleh data riwayat pasien : Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi. Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS. 2. Pemeriksaan fisik 2 Melalui pemeriksaan fisik, dapat diketahui : Adanya kekakuan lokal atau trismus. Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan. Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit 2
  • 3. 3. Pemeriksaan Penunjang 3 Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada pemeriksaan darah, jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat serum enzim otot mungkin meningkat. Diagnosis ditegakkan secara klinis dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis. C. Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan kasus tetanus, dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak memberikan gejala tetanus. Dari ketiga pemeriksaan yang dilakukan, maka dapat dilakukan suatu diagnosa untuk menyatakan atau membenarkan bahwa pasien positif terkena tetanus. Diagnosa yang umumnya dipakai adalah diagnosa kerja dan diagnosa pembanding (diagonosa diferensiasi /DD). a. Diagnosa kerja 4 Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis karena pemeriksaan kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman, adanya trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan diagnosa tetanus. b. DD 1 Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya diagnosis pasti mudah ditegakkan. Pada fase awal, kadang keraguan dapat timbul. Diagnosis differensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan trismus, seperti abses alveolar, keracunan strikinin, reaksi obat distonik, tetanus hipokalsemik dan perubahan – perubahan 3
  • 4. metabolik dan neurologis pada neonatal. Kondisi – kondisi lain yang dikacaukan dengan tetanus meliputi meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa tetanus. Epidemiologi Tetanus 1 Tetanus merupakan penyakit yang biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah serta kebersihan dan perawatan luka yang sangat kurang. Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis dan di negara-negara berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia dan negara benua Asia lainnya. Penyakit ini umum terjadi di di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama musim panas dan pada penduduk pria. Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada usia tua. Survei serologis skala luas terhada antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara lain tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu di atas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat. 4
  • 5. Etiologi Tetanus 5 Penyebab penyakit ini adalah Clostridium tetanus yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu tosin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Clostridium tetani bersifat anaerob murni. Kuman ini mudah dikenal karena pembentukkan spora dan karena bentuknya yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau raket tenis. Spora Clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak terkena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptik, pemanasan 100 0c dan bahkan autoklaf 120 0c selama 15-20 menit. Dari berbagai studi yang berbedam spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya. Faktor Resiko Tetanus merupakan infeksi dengan masalah utama kebersihan dan imunitas. Apabila seseorang mengalami luka dan tidak ditangani dengan tepat (higienitasnya kurang) dan memiliki daya tahan tubuh kurang(imunitas parsial, kompromise dan sebagainya, maka akan sangat dengan mudah terinfeksi tetanus. 5
  • 6. Patofisiologi 4 Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60% dari pasien tatanus, porte d’entrée terdapat di kaki, terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir, clostridium tetani dapat masuk melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis. Otitis media atau gigi yang berlubang dapat dianggap sebagai porte d’entrée bila pada pasien tetanus tersebut tidak ditemukan luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanosilin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah, tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung, melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruslan melalui saraf sampai ke sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat pada sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap. 6
  • 7. Derajat Keparahan (Phillips Score) 6 Ringan : <9 Sedang : 9 – 16 Berat > 16 : Masa inkubasi 5– < 48 jam 4- 2 – 5 hari 3– 6 – 10 hari 2- 11 – 14 hari 1– > 14 hari Lokalisasi nyeri / port d’entri 5– internal / umbilikal 4- leher, kepala, dinding tubuh 3– ekstremitas proksimal 2- ekstremitas distal 1– tidak diketahui Imunisasi 10 – 8- tidak ada mungkin ada / ibu mendapat 7
  • 8. 4– > 10 tahun yang lalu 2- < 10 tahun 0– proteksi lengkap Faktor yang memberatkan 10 – penyakit / trauma yg membahayakan jiwa 8- kead yg tdk lgs membahayakan jiwa 4– kead yg tidak membahayakan jiwa 2- trauma / penyakit ringan 1– ASA – derajat status fisik penderita Komplikasi 3 1. Kematian (sudden cardiac death) Kasus fatal sering terjadi terutamanya pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun (18%) dan pasien yang tidak mendapat vaksinasi (22%). Kematian sering diakibatkan oleh adanya produksi katekolamin yang berlebihan dan adanya efek langsung tetanospasmin atau tetanolisin pada miokardium. 2. Obstruksi jalan napas Pasien tetanus sering merasa nyeri hebat waktu mengalami kejang (spasme) hingga terjadinya laringospasme (spasme pita suara) hingga menyebabkan obstruksi dan gangguan pada jalan napas. 8
  • 9. 3. Fraktur Fraktur pada tulang vertebra atau tulang panjang bisa terjadi karena kontraksi yang berlebih atau kejang yang kuat. 4. Hiperaktifitas sistem saraf otonomik Efek samping yang terjadi pada keadaan ini adalah dengan meningkatnya tekanan darah (hipertensi) dan denyut jantung yang tidak normal. 5. Infeksi nosokomial Infeksi nosokomial sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang lama. 6. Infeksi sekunder Infeksi sekunder dapat berupa sepsis akibat pemasangan kateter, hospital-acquired pneumonias dan ulkus dekubitus. 7. Hypoxic injury, aspirasi pneumonia dan emboli paru Emboli paru adalah masalah yang sering ditemukan pada pasien lanjut usia dan pasien dengan penggunaan obat-obatan. Aspirasi pneumonia adalah komplikasi lanjut pada tetanus dan sering ditemukan pada 50 -70% pasien yang diotopsi. 8. Ileus paralitik, luka akibat tekanan, retensi urin dan konstipasi 9. Malnutrisi dan stress ulcers 10. Koma 11. Neuropati 12. Kelainan psikis 13. Kontraktur otot 14. Dislokasi sendi glenohumeral dan temporomandibular 9
  • 10. Penatalaksanaan 1 a. Penatalaksanaan umum Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, dimana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka hendaknya di eksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridemen secara menyeluruh. Pada penatalaksanaan penyakit tetanus, perlu ditentukan terlebih dahulu derajat keparahan penyakit (score phillips). Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa inkubasi, porte d’entrée, status imunologi dan faktor yang memberatkan. Berdasarkan jumlah angka yang diperoleh derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan (<9), tetanus sedang (916), dan tetanus berat (>16). Tetanus ringan dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetanus sedang dapat sembuh denga pengobatan yang baku, sedangkan pada tetanus berat memerlukan perawatan yang khusus dan intensif. Pengukuran sejumlah faktor kolateral untuk menentukan nilai indeks pada cara score Phillips secara bermakna dapat menentukan prognosis. Makin besar angkanya, makin tinggi angka kematiannya. b. Terapi Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan : Organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut ; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi. Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat luka yang dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka 10
  • 11. dengan larutan antiseptik, eksisi luka, bahkan histerektomi bila uteris diperkirakan sebagai sumber kuman tetanus, dan pemakaian antimikroba. Bila tidak ditemukan sumber infeksi yang jelas. Antimikroba merupakan satu-satunya usaha untuk menghilangkan kuman penyebab. Dasar pemikirannya adalah perkiraan bahwa kuman trus memproduksi eksotoksin yang hanya dapat dihentikan dengan membasmi kuman tersebut. Antibiotik yang banyak dianjurkan dan efektif untuk membunuh clostridium tetani adalah penisilin. Metrodinasol nyata lebih efektif dibandingkan penisilin dalam menurunkan mobilitas dan mortalitas. Dosis penisilin yang dianjurkan adalam 3 x 1,5 juta unit/hari dan metronidasol 3 x 1 gr/hari. Pencegahan Tetanus 1 Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih angka kematian (30-60%), tindakan pencegahan merupakan usaha upaya yang sangat penting dalam menurunkan angka mordibilitas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah penyakit tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif dengan toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan pencegahan yang paling efektif dalam praktek. Angka kegagalan dari tindakan ini sangat rendah. Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapat vaksin tetanus, seperti halnya pasien yang sembuh dari tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis : dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6 – 12 bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan setiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertangahan seperti 35, 45 dan seterusnya. Namun demikian pemberian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan. Untuk individu di atas 7 tahun, toksoid kombinasi tetanus dan difteri (Td) yang diadsorpsi lebih dipilih. Vaksin yang 11
  • 12. yang diadsorpsi lebih disukai karena menghasilkan titer antibodi yang lebih menetap daripada vaksin cair. Sedangkan imunisasi pasif diperoleh dengan memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunoglobulin anti tetanus). Prognosis 4 Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset merupakan faktor yang menetukan prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner. Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka kematian. 12
  • 13. BAB III Penutup1 Kesimpulan Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Tetanus tetap merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Di negaranegara maju, beberapa kasus terjadi tiap tahun pada pasien – pasien tua yang tidak diimunisasi. Mortalitas pada kasus-kasus ini tetap tinggi. Penatalaksanaan intensif jangka panjang mungkin diperlukan, tetapi sebagian besar terapi didasarkan pada bukti-bukti terbatas. Tantangan terapi utama adalah pengendalian rigiditas dan spasme otot, terapi terhadap gangguan ototnomik dan pencegahan komplikasi berkaitan dengan masa kritis berkepanjangan. Pasien yang selamat dari tetamus dapat kembali ke fungsi normalnya. 13
  • 14. Daftar Pustaka 1. Ismanoe, gatoet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed.5. jilid III. Jakarta, FKUI, 2009. p.2911-23 2. http://www.scribd.com/doc/7432195/Laporan-Kasus-TETANUS 3. http://idmgarut.wordpress.com/2009/02/24/tetanus/ 4. Sjamsuhidajat,r. dan de Jong, wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta,EGC. p.21-24 5. Staf pengajar ilmu kesehatan anak. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta,FKUI,1985. p.568-73 6. http://annsilva.wordpress.com/2010/03/27/phillips-score-untukmenilai-grade-tetanus/ 14